Disebut sebagai sebuah kota, Pagar Alam memang tak seramai definisi kota pada umumnya. Wajar saja, sejak menjadi kota administratif di tahun 1991, baru pada 2001 Pagar Alam diresmikan menjadi kota oleh Gubernur Sumatera Selatan. Namun, tak perlu bersusah payah mencari obyek wisata di kota ini karena semua terhidang di depan mata. Hingga tak salah jika Departemen Pariwisata menjadikan kota ini sebagai tujuan wisata untuk program Ayo Tamasya.
Banyak hal yang menarik dari kota tua ini. Meski di sana sini bangunan-bangunan baru bermunculan, tak bisa dipungkiri masih banyak bangunan tua berdiri dengan gagahnya. "Bahkan kalau mau mencari rumah adat, Pagar Alam lah pusatnya. Kami masih punya sekitar seratusan rumah adat yang berusia sekitar 100 tahunan. Itupun masih ditinggali," kata Supratman. Dalam budaya Pagar Alam, ada dua jenis rumah adat. Rumah adat polos tanpa ukiran yang disebut gilapan. Sementara rumah adat dengan ukiran disebut rumah tatahan.
Keunikan jenis rumah ini ada pada ragam hias ukiran yang sebagian besar dari tumbuhan serupa pakis, dan bebulan atau ukiran rembulan berbentuk bulat yang biasanya ada di bagian pintu. Dilihat dari ukuran, rumah adat Pagar Alam juga hanya mengenal luas bujur sangkar yaitu 6x6 atau 9x9 meter persegi. Kekhasan tatahan dan gilapan terdapat pada pembuatannya yang hanya menggunakan pasak atau sok tanpa paku sama sekali.
Saat ini rumah adat tak ada lagi yang membuatnya karena semakin sulit mencari kayu-kayu besar yang menjadi syarat pembuatan rumah adat yang kuat. "Paling orang yang membuat rumah baru menggunakan potongan ukiran dari rumah adat yang tak lagi digunakan. Ukiran Pagar Alam memang khas. Bahkan, kami menduga justru orang Jepara banyak belajar dari Pagar alam dilihat dari motif arsitekturnya," ucap Supratman.
Bukan hanya bangunan, masyarakat Besemah -- suku asli masyarakat Pagar Alam juga tak kalah unik. "Ada yang mengatakan Pasemah, tapi sesungguhnya yang benar adalah Besemah," katanya. Masyarakat Besemah tidak menggunakan bahasa Melayu, tapi mereka punya tatanan bahasa yang membatasi pembicaraan antara seseorang dengan kerabat tertentu yang disebut sebagai adat Singkuh. "Misalnya saya tak bisa bicara sembarang dengan adik ipar saya," sambung Supratman mencontohkan. Sayangnya, adat Singkuh mulai sedikit sekali dilakukan orang Besemah.
Lembaga adat di Besemah hingga kini masih ada meski tidak beroperasi secara formal. "Minimal para orang tua masih mengerti konsep ini. Belanda yang menghancurkan lembaga adat dengan memecahnya menjadi beberapa keresidenan. Di zaman orde baru, karesidenan diubah menjadi kelurahan," papar dia.
Adalah seorang Pesirah, yang memimpin keenam marga atau keluarga besar yang ada dalam Besemah. Dari musyawarah keenam kepala keluarga ini lah muncul semboyan "Ke lapik empat, merdike due". Artinya, kata dia, menyelesaikan segala masalah dengan musyawarah di enam marga besar atau sumbai, yang empat biasanya duduk di tikar sementara dua marga yang lebih muda mengikuti kesepakatan. Keenam sumbai itu adalah Sumbai Besar, Ulu Rurah, Mangku Anom dan Tongkok. Sementara dua keluarga besar lain yang lebih muda adalah Semidang dan Penjalang.
Masyarakat Pagar Alam kini hidup dari dari pertanian, kopi, padi, sayur buah dan perkebunan plasma teh. Tiap hari minimal menghasilkan 10 ton teh hitam dan teh hijau dengan tujuan ekspor Irak, Jepang dan AS. Selain teh masyarakat Pagar Alam juga bangga akan hasil kopi Arabika dan Robusta.
Seperti Patra, 24 tahun, pemuda asal desa Nenah Agung, tiap panen kopi biasa menjemur kopi selama satu minggu sebelum digiling di kota Pagar Alam, atau dikirim ke Lampung. "Harganya lumayan lah, kalau sedang bagus bisa mencapai Rp 4.200 per kilogram. Pernah juga mencapai Rp 15 ribu per kilogram," kata Patra. Jadi, jika ingin oleh-oleh khas Pagar Alam, tak perlu sulit-sulit menggiling biji kopi kiloan dari petani kopi. Bubuk kopi giling segar banyak dijual dengan harga Rp 12 ribu perkilo.
Wisata adat ini tentu bakal sangat mengesankan ketika juga sempat menengok sejumlah pusat wisata lain di sekitar Pagar Alam. Ada 37 air terjun, meski baru tiga yang sudah bisa diakses untuk pariwisata, yaitu air terjun Lematang Indah, Curup Embun dan Curahan Kasih Bunda. Belum lagi danau yang masih asri, sungai berair jernih dan pemandangan pegunungan yang berhawa sejuk. utami widowati
http://www.korantempo.com/news/2004/7/11/Perjalanan/43.html
0 comments:
Post a Comment