MODUL MASYARAKAT ADAT DAN PLURALISME
Oleh Abdur Rozaki dan Dewi Utari
A. Pendahuluan
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, “proyek” menjadi Indonesia mengalami pengkoyakan secara sistematis. Keragamaan budaya, bahasa, adat istiadat dan tradisi seolah menjadi alasan penguat terjadinya benturan yang maha dasyat dalam bentuk konflik agama, suku, ras dan antargolongan (ideologi). Di berbagai wilayah nusantara seperti Kalimatan, Maluku, Poso, Papua dan lainnya benturan itu memakan korban nyawa manusia yang teramat mahal harganya. Kebersamaan dan energi toleransi antar komunitas masyarakat yang sebelumnya menjadi permadani dalam interaksi keberagamaan budaya, melalui kesamaan tekad dan visi membangun Indonesia yang dapat memakmurkan komunitas-komunitas sosial di dalamnya sontak mengalami disharmoni yang benar-benar mengancam eksistensi immagined ke-Indonesia-an.
Mengapa suasana demikian ini terjadi? Secara sederhana pertanyaan ini barangkali dapat dijawab, karena “kita” gagal dalam memaknai dan mengelola pluralitas dari keindonesiaan yang kita miliki bersama. Indonesia yang di dalamnya dihuni oleh multiragam komunitas budaya, selama puluhan tahun mengalami salah urus. Proyeksi kekuasaan dari rezim ke rezim selalu melihat pluralisme budaya dengan cara pandang yang berbau stigmatis, penuh curiga, seperti dalam memandang dimensi lokalitas sebuah kewilayahan. Seperti yang tercermin dalam bahasa pusat, nasional, dan kota yang seringkali memandang dirinya sebagai ruang-kewilayahan yang serba maha tahu sehingga membuat dirinya selalu hadir untuk mengatur, mengurus sekaligus menata eksistensi yang bersifat pariferi, lokalitas, desa/adat. Pusat selalu menghadirkan dirinya sebagai rujukan sumber kemajuan dan keberadaban. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah praktek hegemoni budaya yang mengkonstruksikan dan memposisikan wilayah lokalitas sebagai arena eksploitasi secara politik, ekonomi dan budaya demi kepentingan “rezim” pusat.
Lokalitas yang dimaksud disini adalah eksistensi masyarakat adat yang mengalami proses marginalisasi akibat modernisasi dan kapitalisasi yang dimotori oleh kekuatan state-negara dan pasar. Negara dan kekuatan modal bertindak sebagai komparator yang memisahkan keterpaduan antara komunitas adat dengan alam lingkungan yang melahirkan bentuk-bentuk tradisi dan sistem kepercayaan serta sesuatu yang menjadi mata pencahariannya. Misalnya, antara hutan dan komunitas adat di dalamnya adalah kesatuan yang melahirkan energi saling tumbuh dan memberikan ruang akan hak hidup. Penebangan hutan selalu disertai dengan adanya penanaman kembali (reboisasi). Penebangan hutan bukan pula berorientasi pada nafsu ketamakan untuk mencapai kekayaan. Sikap ini memunculkan kearifan lokal untuk selalu menjaga harmoni dengan alam. Namun negara, terutama yang tercermin sebagai kekuatan pusat-nasional, mencengkeram dan mengurasnya sampai memunculkan kerusakan ekologis yang berakibat pula pada keterasingan komunitas-komunitas adat di dalam lingkungan budayanya sendiri. Masyarakat adat kehilangan akses, dan kontrolnya terhadap dinamika alam lingkungannya.
Adanya resistensi mereka terhadap kekuatan negara sebagai representasi kekuatan nasional, pusat kerapkali ditanggapi dengan menghadirkan stigma berbau pejoratif seperti gerakan kiri, pengacau dan sejenisnya, bukannya dengan sikap yang empati, dialogis, dan saling menghargai. Di beberapa tempat di penjuru nusantara, seperti di Papua, komunitas-komunitas adat ini mengalami kekerasan secara fisik oleh para aparatus negara. Selain itu, rezim juga melakukan politik budaya ke dalam proses uniformasi, penyeragamaan dengan cara menyumbat dan mempersempit ruang gerak masyarakat adat dalam berekspresi secara bebas dalam memaknai komunitas dan lingkungannya sendiri. Guna memelihara kekuasaannya, rezim juga mereproduksi ideologi yang berbau streotipe, rasistis dan diskriminatif melalui propaganda suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), sehingga membuat sub-sub kultur masyarakat, termasuk masyarakat adat terjangkiti virus sikap saling menanam kecurigaan dalam interaksi antar individu dan komunitas di dalam pergaualan bermasyarakat dan berbangsa. Tampaknya puncak dari resistensi ini begitu amat terbuka ke dalam sebuah tuntutan yang begitu jelas ketika Orde Baru lengser dari panggung kekuasaan. Tema publik pun bergeser dalam konteks ketegangan pusat dengan daerah dalam proses pengelolaan kekuasaan, terutama berkaitan dengan hasil sumber daya alam.
Dalam kasus post-otoritarianisme negara Orde Baru, dengan hadirnya rezim “reformasi”, di beberapa tempat masyarakat adat mengalami kebangkitan dengan menghadirkan identitas budayanya, setelah sebelumnya mengalami penyumbatan dalam mengekspresikannya. Dengan adanya desentralisasi melalui praksis otonomi daerah, masyarakat adat menemukan ruang untuk melakukan negoisasi. Sekalipun dalam prakteknya, praksis otonomi daerah ini dalam beberapa kasus mengalami disfungsi dan politisasi dengan menghadirkan semangat kedaerahan yang mengancam bangunan pluralisme dan demokrasi. Dalam konteks ini adalah sesuatu yang ironis, bila selama ini energi pluralisme itu diberangus oleh kekuatan negara atas masyarakat (adat), justru kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat sendiri yang memberangusnya. Seperti adanya semangat etnisitas dan keberagamaan yang eksklusif.
Dalam konteks pergantian rezim ini, sudah sepantasnya eksistensi masyarakat adat diberi ruang sebagai fondasi utama dari bangunan keindonesiaan. Pengelolaan negara dan masyarakat semestinya menghargai pluralisme kebudayaan yang ada. Dalam hal ini masyarakat adat harus memiliki kebebasan agar kembali menemukan dan memaknai kearifan budayanya sehingga dapat memperoleh akses dan kontrol atas dinamika alam dan lingkungan tempatnya berpijak. Namun demikian, antar sub-kultur atau antar masyarakat adat yang satu dengan yang lain perlunya pula menghadirkan visi dan pola pergaulan yang pluralis, dan demokratis. Dalam konteks semangat inilah modul masyarakat adat dibuat, agar kultur pluralisme dapat tumbuh dan berkembang di dalam dinamika masyarakat adat sehingga dapat mempercantik “wajah” keindonesian yang sebelum ini terkoyak oleh mesin-mesin kekerasan.
B. Tujuan Modul
Modul masyarakat adat dan pluralisme ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut;
1. Memberikan bekal pengetahuan secara teoritis dan praktis untuk para pendampingan masyarakat adat tentang pentingnya mengelola pluralisme sebagai energi yang perlu ditumbuhkan dan dipelihara bersama dalam menjalin interalasi antarmasyarakat adat dan subkultur di dalam masyarakat adat.
2. Untuk menumbuhkan sensifitas culture bagi pendampingan masyarakat adat agar nantinya dapat dengan mudah melakukan proses pengorganisiran dan pemberdayaan masyarakat adat.
3. Sebagai instrumen teknis agar memperoleh skill dan kecakapan dalam memfasilitasi proses pengelolaan pluralisme tentang masyarakat adat bagi para pendamping.
C. METODE
Proses penggunaan modul ini dengan menggunakan metode fokus group discassun secara partisipatif. Dengan proses membangun kesetaraan dalam diskusi, diharapkan antara peserta dengan fasilitator dapat mengutarakan pengalaman, dan persepsinya dalam membangun pluralisme dan kebersamaan sosial. Melalui proses yang partisipatif pula semua prasangka dapat dibongkar dan saling diklarifikasi, sehingga komitmen bersama dalam menumbuhkan semangat pluralisme dapat muncul sebagai kesadaran kritis, bukan sesuatu yang dipaksakan.
D. PEMBAHASAN
1. Diskursus Pluralisme dalam Kemajemukan
Sudah menjadi fakta sosiologis-antropologis bahwa adanya kemajemukan atau keragamaan kepulauan sebagai fondasi dari kebangsaan Indonesia di dalamnya menyimpan pluralisme etnik-suku, agama, bahasa, tradisi dan adat istiadat.Tidak heran bila dalam keindonesiaan ini di dalamnya tumbuh komunitas-komunitas adat pula. Adanya kemajemukan ini sebenarnya menjadi kekayaan kultural yang begitu tinggi nilainya, sekaligus menyimpan berbagai aneka macam keindahan dan tebaran pesona yang mengundang decak kagum bagi siapapun yang menghayati dan menikmatinya. Misalnya, di kepulauan Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, dan Jawa berbagai macam aneka tradisi dan karya budaya tumbuh berkembang di dalamnya. Seperti aneka tarian, arsitektur rumah adat, candi, kerajinan tangan dan jenis makanan. Begitu pula dengan adanya keragamaan sistem sosial di dalam masyarakat (nusantara) memunculkan pula mekanisme dan pola kepemimpinan yang satu sama lain memiliki keunikan atau kekhasan. Agama dan identitas etnik terkadang berpengaruh pula dalam jalinan pola kemasyarakatan dengan semangat toleransi dan pluralisme yang begitu tinggi.
Seperti yang ditunjukkan oleh sistem subak (irigasi) di dalam masyarakat adat Bali.Subak sebagai sistem pengairan tradisional masyarakat adat Bali eksistensi sangat dipengaruhi oleh ruh agama (Hindu) bagaimana dalam proses pengaturan air dapat mengairi seluruh persawahan warga secara adil dan merata, sehingga mendatangkan kemakmuran hidup bersama. Sistem subak sekalipun warga Bali dalam perkembangannya mengalami pluralitas keberagamaan, tetap berjalan dengan penuh harmoni dan kerukunan, tanpa ada konflik –kekerasan. (Pitana, 1997).
Sedangkan dalam konteks pengelolaan tata sosial kemasyarakatan, seperti yang dialami oleh masyarakat Padang, Sumatera Barat, pluralisme ini tercermin pada adanya “sinkretisasi” antara hukum adat dan hukum agama, melalui ungkapan “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi kitabullah”. Meskipun dalam konteks sinkretisasi atau pribumisasi ini sebelumnya mengalami benturan, konflik disertai dengan kekerasan antara tokoh agama dan tokoh adat. (Baso, 2003). Akan tetapi adanya “rekonsiliasi” atau strategi kultural yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut guna mendorong proses perdamaian adalah kekayaan budaya tersendiri bagi berkembangnya semangat memelihara pluralisme dan kultur perdamaian (peace culture).
Potret peristiwa terurai tadi, bila disandingkan dengan belajar dari pengalaman terhadap munculnya keindonesiaan, terutama fenomena kebahasaan Indonesia sebagai bahasa bersama dalam penciptaan “wadah” komunitas besar lintas batas kesuku-bangsaan merupakan bukti bahwasannya pluralisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia digotong dan dimaknai secara bersama sehingga memiliki akar yang kuat di dalam masyarakat. Dengan demikian, diskursus pluralisme dan kemajemukan memiliki akar sosial di dalam kultur masyarakat (Indonesia) sendiri. Sebab itu sejarah (awal) dalam proses menuju dan menjadi Indonesia, kultur masyarakat Indonesia tidak memiliki ideologi rasialis, seperti dalam masyarakat Amerika yang rasialis, tercermin pada adanya diskriminasi karena perbedaan kulit antara warga kulit putih dengan hitam.(Budiman, 1995). Rasa pluralisme sebagai kesadaran bersama tercermin dan dapat kita lihat di jalanan sudut-sudut kota di Indonesia melalui warung-warung makanan dengan rasa masakan dari berbagai etnik. Seperti masakan Padang, Soto atau sate Madura, nasi uduk Betawi, Gudeg Jogya dan sejenisnya selalu mengundang selera dari komunitas etnik yang lainnya tanpa ada perasaan yang eksklusif. Semisal masakan gudeg Yogya, dapat mengundang rasa nikmat lidah orang dari etnik yang lainnya, begitu pula sebaliknya.
Dari semangat pluralisme itu pula deretan makna tentang visi dan cita-cita bersama melalui “perahu” Indonesia menjadi kesadaran bagi komunitas-komunitas (warga) akan suatu hidup bersama bersederajat yang membawa kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana yang tertera dalam konstitusi negara (Indonesia). Dalam konteks ini pula, adanya kemajemukan yang disertai dengan kesadaran pluralisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sudah semestinya menjadi modal sosial (social capital) dalam membangun dan memberdayakan komunitas-komunitas di dalamnya.
Permadani pluralisme, kekhasan dan keunikan yang dimiliki oleh masyarakat adat itu memang sempat mengalami pengkoyakan dan mengerus ketika negara Orde Baru menciptakan format politik yang sentralistik dengan pendekatan stabilitas keamanan guna meraih pertumbuhan ekonomi tanpa mengindahkan prinsip pemerataan dan pengetahuna lokal. (Pabottingi, 1995). Guna mencapai ambisi politik dan ekominya tersebut, Orde Baru meminggirkan bahkan mengeksploitasi hak-hak sosio-kultural masyarakat adat. Institusi sosial masyarakat adat dibonsai dan secara berlahan dilucuti substansinya sebagai kekuatan sosial masyarakat. Sedangkan kekayaan alam yang menjadi tempat mencari nafkah untuk hidup, dialienasi dari lingkar kebudayaannya. Adanya kerusakan ekologis misalnya, semakin memarginalisasi dan memiskinkan masyarakat adat di berbagai tempat di tanah air.
Dalam suasana demikian, kesadaran pluralisme dan toleransi di kalangan masyarakat adat benar-benar dirusak oleh penguasa-negara, sehingga dalam kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi dari adanya ketegangan dan kekerasan yang menimpa atasnya, seringkali memunculkan kesadaran kritis dikalangan mereka melalui berbagai macam protes sebagai bentuk resistensi yang tidak jarang diwarnai pula dengan tindakan kekerasan, baik terhadap aparatus dan simbol-simbol negara, ataupun kelompok sosial di luar komunitas adat yang dianggap sebagai “etnik” yang merepresentasi “sosok” kekuasaan. Karena itu, ketika Orde Baru mengalami kehancuran, ledakan keras berupa benturan, konflik dan kekerasan baik yang bersifat vertikal dan horisontal mewarnai dinamika masyarakat adat. Momentum pelaksanaan otonomi daerah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menghadirkan kembali tradisi-adat yang puluhan tahun (hampir/sudah) punah, dan seringkali tanpa disertai dengan upaya kontektualitas akan kandungan substansi dengan adanya perubahan zaman. Bahkan tidak jarang pula wacana otonomi daerah menghadirkan semangat otoritarianisme etnik atau agama terhadap kelompok warga yang minoritas dari segi kuantitas.
Hal ini tampaknya merupakan problem kekinian yang dialami oleh masyarakat Indonesia dalam mengelola pluralisme. Di satu sisi kegagalan negara Orde Baru dalam mengelola pluralisme belum mampu diatasi secara baik oleh rezim “reformasi”. Sementara di sisi yang lain, adanya keterbukaan dan ruang kebebasan di dalam masyarakat dalam konteks tertentu memunculkan ‘wajah’ chauvanistik, fanatisme kelompok etnik atau agama yang memiliki potensi pula akan hadirnya masyarakat otoritarian yang dapat merusak permadai indah pluralisme masyarakat (adat) Indonesia. Dengan melihat adanya berbagai kasus konflik etnik dan agama, pemicunya utamanya dapat ditemukan dalam format politik yang tidak mengamodasi pluralitas entitas politik (eksistensi adat), sehingga komunitas-komunitas adat tidak menemukan ruang untuk memaknai dan menikamati bersama Indonesia sebagai payung besar dalam berkomunitas, berbangsa dan bernegara. Imagened Community, meminjam istilah Ben Anderson semakin buram dan bergerak luntur dalam kesadaran komunitas adat, sehingga yang ada imagened community itu menjadi sosok bayangan yang mengecil, yakni hanya pada lingkaran terbatas komunitasnya sendiri.
Dalam konteks ini radikalisasi masyarakat adat terhadap sesuatu yang dianggap berbeda atau lain dengan identitas kelompoknya seringkali menjadi sasaran kecurigaan dan sosok yang harus diwaspadai. Bahkan tidak jarang semangat itu memuncak dalam bentuk konflik, seperti dalam kasus penduduk “lokal” dengan mereka yang dipersepsikan berstatus sebagai pendatang. Kondisinya semakin bertambah runyam, karena seringkali ketegangan dalam kondisi demikian, dimanfaatkan komunitas adat ini oleh para elite (politisi) atau oknum state apparatus. Kesadaran pluralis, sikap toleran yang sebelum ini begitu kuat, benar-benar mengalami ujian yang cukup berat. Kekuatan sosial di dalam masyarakat semestinya bergerak untuk meramu kembali kesadaran pluralis dalam semangat bersama yang harmonis dari adanya guncangan konflik etnis, agama dan ras, agar nantinya di masa depan tiada lagi konflik yang membawa rembesan ke arah identitas komunal, seperti yang terjadi di masa lalu itu.
2. Dari Pluralisme Menuju Multikulturalisme
Dengan melihat kemajemukan dan keragamaan masyarakat Indonesia, maka cara strategis dalam mencapai kemajuan, dalam arti kesejahteraan sosial adalah dengan mengelola kesadaran pluralis berbasis komunitas. Pemerintah perlu terus mendorong kesadaran pluralis ini melalui proses secara struktural dan kultural sebagai bentuk jaminan sosial agar masyarakat lebih memiliki perasaan aman di dalam komunitas atau dalam menjalin interaksi sosial dengan komunitas lainnya. Misalnya, dalam politik pendidikan. Pemerintah perlu melakukan kurikulum yang dapat mendorong munculnya saling kesepahaman antar budaya (understanding of culture) antar komunitas adat yang terdapat di tanah air. Sebagai contoh, Orang Padang dapat memahami kebudayaan Dayak, begitu juga sebaliknya, maka adanya pemahaman antar kebudayaan dan sub kebudayaan tersebut akan membentuk kesadaran atau sense of belonging sebagai ikatan (budaya) keindonesiaan. Begitu pula dalam politik kekuasaan, dengan adanya proses pelibatan masyarakat adat dalam proses pembagunan, maka resistensi atau protes secara komunal akan dapat dihindari, karena kesejahteraan sosial lebih terasakan di dalamnya.
Mengerasnya kesedaran identitas etnis atau kesukuan dan keberagamaan secara eksklusif dalam beberapa tahun terakhir ini perlunya menjadi kesadaran bersama yang perlu mendapatkan pemecahan. Kegagalan negara di masa lalu dalam mengelola pluralisme, tidak lantas dengan serta merta dapat merusak dan menciptakan “kegagalan” baru di tingkat antarkomunitas di dalam masyarakat sendiri. Otoritarianisme negara yang merusak kultur pluralis, kultur damai di masa lalu haruslah dicegah agar tidak menjangkiti kesadaran di tingkat masyarakat akan munculnya bahaya otoritarianisme kultural dengan baju baru melalui bahasa atau istilah penduduk ”asli”, pribumi dengan pendatang. Sebab bila kesadaran ini dibiarkan tumbuh dan berkembang hanya akan menciptakan kesadaran paranoid, kekerasan horisontal yang mempersempit adanya dialektika budaya, dan menghambat adanya kemajuan dan produktifitas untuk menjadi lebih berbudaya dan beradab.
Dengan melihat adanya perkembangan industri teknologi, interaksi dan mobilitas sosial berlangsung begitu cepat. Gerak individu-individu dalam masyarakat dengan begitu mudah dapat melintasi bahkan dapat bermukim di satu kawasan atau daerah dan dalam beberapa waktu yang lama dan setelah itu dapat pula berpindah ke tempat yang lain. Begitu pula dengan adanya semangat untuk saling berimigrasi dan sejenisnya, dengan mudah terfasilitasi oleh kemudahan teknologi transportasi. Dalam proses ini perubahan demografi kependudukan dapat mengalami perubahan dan perkembangan pula. Bila proses ini tidak difasilitasi dan mediasi secara baik, maka dapat saja menguncang dinamika komunitas yang lebih lama tinggal di suatu kawasan. Sebab dalam proses interaksi sosial ekonomi, tidak jarang kita menjumpai adanya tingkat adaptasi yang berbeda dan beragam antar komunitas.Komunitas yang memiliki skill, kemampun dan ketrampilan yang begitu tinggi dapat meninggalkan bahkan melakukan praktek dominasi dan hegemoni terhadap komunitas yang ketrampilannya masih menggunakan peralatan yang sederhana dan daya adaptasinya masih menyatu dengan kekuatan alam. (Zakaria, 2002.) Menghadapi kenyataan seperti ini, maka pemerintah bahkan kekuatan dalam masyarakat sendiri harus memiliki kepekaan bagaimana adanya perbedaan dalam tingkat adaptasi ini dapat diatas secara bersama sehingga dapat secara bersama pula membangun kesejahteraan sosial secara adil. Bila tidak disadari, goncangan-goncangan sosial akan dengan mudah muncul, karena ada kelompok yang merasa dimarginalisasi, dan dipinggirkan.
Para teoritisi budaya dalam hal ini melihat bahwa, memang tidak cukup hanya memberikan semacam pengakuan terhadap adanya kemajemukan dan pluralitas yang ada di dalam masyarakat. Pengakuan adanya perbedaan identitas bahkan ideologi antar kelompok haruslah terfasilitasi ke dalam suatu model atau pola bagaimana “proyek’ pluralisme ini dikelola. Bila di dalam pengakuan pluralisme tersebut, di dalamnya masih menyimpan semangat untuk mendominasi dan menganggap hanya kebudayaan konumitasnya yang paling superior dan menggangap kebudayaan diluar kelompoknya inferior sehingga harus disublimasikan ke dalam idiologi kebudayaan dominan, maka yang terjadi adalah adanya ketidaksetaraan atau kesederatan dalam interaksi berkebudayaan. Ujung dari semangat ini nantinya akan memungkinkan terjadinya praktek kuasa, agar individu atau komunitas minoritas harus tunduk pada hukum budaya pihak mayoritas, atau budaya dominan. Padahal yang diharapkan dari adanya pluralitas tersebut adalah munculnya dialektika budaya melalui adanya pertukaran, komunikasi, bahkan kerjasama sehingga satu sama lain saling merasa memberikan kontribusi dan merasa ikut andil dalam membangun tatanan sosial masyarakat yang dicita-citakan.
Munculnya wacana multikulturalisme merupakan reaksi terhadap adanya pluralitas yang begitu kompleks di dalam masyarakat, yang di dalamnya tidak hanya pengakuan yang dibutuhkan tetapi juga kesadaran budaya yang inklusif dan transformatif. Bagaimana terjadi komunikasi dan pertukaran budaya yang saling berdialektis antarragam komunitas (sosial) atau kelompok-kelompok masyarakat tanpa harus menyertai semangat atau ideologi untuk saling menundukkan dan mengganggap kebudayaan kelompoknya paling superior. Dalam hal ini, multikulturalisme adalah semangat menghargai lokalitas di dalam kesadaran universalitas. Semangat untuk saling memahami, saling belajar diantara para aktor masing-masing pendukung atau pelaku budaya di dalam kelompok masyarakat. Di dalam multikulturalisme, pengakuan dan kesadaran akan pluralitas adalah dengan cara membiarkan kebudayaan-kebudayaan antarkomunitas itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan jati dirinya, akan tetapi tidak menutup ruang terhadap perubahan yang ada sesuai dengan tantangan dan konteks zaman yang dihadapinya.
Dalam konteks ini pula, hidup bersama dalam bangunan masyarakat multikultural sekalipun beralaskan entititas budaya yang tumbuh secara beragam bukannya bersandarkan pada moralitas dan ideologi komunal yang terpisah satu sama lain antar komunitas, akan tetapi beragama komunitas sosial itu memiliki landasan hidup bersama tersebut dengan merumuskan sebuah nilai, baik itu melalui kontrak sosial yang dapat menjadi landasan etik dan “payung” dari pluralitas budaya tersebut. Dalam konteks ini, kontrak sosial tersebut merupakan rumusan nilai dari hasil serapan di dalam kebudayaan multiragam komunitas. Tidak ada etnik atau kelompok atau ras tertentu yang merasa harus memperoleh fasilitas atau pelayanan lebih dalam konteks multikultural, karena setiap individu dari asal usul sosial darimana ia berasal diberi ruang dan dihargai secara sama, setara dan sederajat. Dalam arti kata, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang menentang pratek diskriminasi berdasarkan etnik, agama atau pun identitas sosial lainnya. Melalui pengelolaan masyarakat berbasis demikian ini, tampaknya konflik di dalam masyarakat dapat dikelola secara produktif sehingga dapat menghindari undangan kekerasan dalam dalam menyelesaikan perbedaan (kepentingan) yang ada.
3. Pluralitas Masyarakat Adat Kabupaten Gianyar Bali
Memahami masyarakat Bali, tidak bisa lepas dari memahami mitos-mitos termasuk mitologi dewa atau batara - yang menceritakan asal muasal keberadaan dan keragaman masyarakat Bali. Orang Bali sangat percaya akan mitologi, yang kemudian menjadi kepercayaan terorganisir karena mitos mereka pun diperkuat dengan catatan sejarah atau babad yang ditulis oleh tokoh agama, khususnya agama Hindu. Agama Hindu dipercaya masuk ke Bali dibawa oleh Rsi Markandeya dan memulai peradaban baru yang disebut jaman Kerajaan Bali Awal (Bali Age). Dari catatan sejarah pula, sebelum Hindu datang, masyarakat Bali belum mengenal agama. Pada jaman Bali Age ini, masyarakat mengenal 6 sekte agama, yang seringkali menimbulkan pertentangan di antara mereka (Adiyoga,2002).
Sejak masuknya pengaruh Kerajaan Majapahit melalui invasi pada tahun Saka 1265 (1343 M), terjadi pergantian kekuasaan dari kerajaan Bali Awal yang otonom ke kerajaan Bali baru yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Pergantian kekuasaan ini membawa perubahan di sistem struktur masyarakat dan sistem pemerintahan, yang sekarang kita kenal sebagai Kasta. Sistem kasta dijadikan sebagai salah satu referensi utama yang menempatkan seseorang pada kedudukan di pemerintahan, masyarakat, agama, dan ekonomi. Sistem ini sempat terusik ketika memasuki era kemerdekaan Indonesia, dimana terjadi pertentangan kasta Brahmana dan Ksatrya di satu pihak, dan kasta Jaba di lain pihak.
Memasuki era Orde Baru, sistem kasta menjadi sebuah isu yang ditabukan seiring dengan diharamkannya pertentangan yang berbau SARA. Masyarakat Bali berubah menjadi masyarakat yang lebih egaliter, dan tidak terlalu mengagungkan sistem kasta dalam sendi kehidupan, seperti pemerintahan dan aktivitas ekonominya. Meski demikian, dalam beberapa hal sistem kasta masih berpengaruh, misalnya dalam penggunaan bahasa (mengalami jenjang seperti di Jawa Tengah/DIY)) dan dalam ritual keagamaan. Hanya saja, ke- ragaman bahasa tidak ditemui di Bali. Masyarakatnya mengenal hanya satu bahasa, yaitu bahasa Bali, meski dalam penggunaannya keseharian mengalami ke-jenjangan, misalnya anak kepada orangtua, berbeda dengan teman sebayanya.
Yang cukup menarik di dalam masyarakat adat Bali adalah fenomena Desa Adat, atau yang lebih dikenal dengan Desa Pakraman. Secara tradisional, terbentuknya Desa Adat di Bali dikaitkan dengan kedatangan Rsi Markandeya, seorang pendeta besar penyebar Agama Hindu di Bali. Selanjutnya keberadaan Desa Adat yang dicirikan oleh kepemilikan tiga pura utama (kahyangan tiga) dikaitkan dengan hasil pertemuan segi tiga (samuan tiga) yang dilakukan oleh Mpu Kuturan pada zaman Bedahulu (abad XI), yang bertujuan untuk mempersatukan berbagai aliran (sampradaya) Agama Hindu yang banyak berkembang di Bali pada saat itu. Suatu komunitas atau organisasi tradisional di Bali dapat diidentifikasikan sebagai suatu desa adat apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
1. Desa Adat biasanya mempunyai batas-batas geografis yang jelas, yang umumnya berupa batasan alam seperti sungai, hutan, jurang, bukit dan pantai ataupun batas buatan seperti tembok penyengker.
2. Mempunyai anggota atau kerama yang jelas, dengan persyaratan tertentu dan sebagian besar krama desa adat berdomisili di wilayah desa adat bersangkutan.
3. Mempunyai kahyangan tiga atau kahyangan desa, atau pura lain yang mempunyai fungsi dan peranan sama dengan kahyangan tiga. Hal ini perlu ditegaskan karena banyak desa adat, Pura Desa dan Pura Puseh ada dalam satu kompleks, sehingga seakan-akan hanya merupakan satu pura. bahkan ada desa adat yang ketiga kahyangan tiganya ad adalam satu kompleks.
4. Mempunyai otonomi, baik keluar maupun kedalam. Otonomi kedalam berarti kebebasan atau kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sedangkan otonomi keluar diartikan sebagai kebebasan untuk mengadakan kontak langsung dengan institusi diluar desa adat.
5. Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat) sendiri yang berlandaskan kepada peraturan-peraturannya sendiri (awig-awig), baik tertulis maupun tidak tertulis.
6. Adanya catur dresta (empat aturan) yang melandasi adat-istiadat Bali menyebabkan terjadinya variasi yang sangat besar antar Desa Adat di Bali. terlebih lagi dengan adanya konsep "desa-kala-patra", yang bermakna bahwa variasi yang ada memang diakui dan dihargai. Bahkan kemudian 'hak untuk berbeda' antar desa adat juga dibenarkan dalam tatanan masyarakat Bali, sehingga muncul ungkapan pembenaran yang dikenal dengan istilah"desamawacara".
Dari variasi yang ada, desa adat di Bali dapat diklasifikasikan atas berbagai dasar. Berdasarkan tradisi dominan pada suatu Desa Adat, Desa Adat dapat dibedakan menjadi tiga- tipe.
1. Desa Bali Kuna (Bali Mula), yaitu Desa Adat yang masih tetap menganut tradisi pra-Majapahit. Pada desa-desa seperti ini tidak dikenal adanya sistem kasta, pendeta tertinggi tidak melakukan upacara padiksan dan kepemimpinan desa umumnya menganut pola kembar ataupun kolektif, berdasarkan sistem bulu apad atau senioritas. Desa Adat seperti ini sering juga disebut Desa Adat Baliaga.
2. Desa Apanage, yaitu Desa Adat yang sistem kemasyarakatannya sangat dipengaruhi oleh Majapahit (mengikuti hukum Hindu yang diterapkan di Majapahit, yang bersumber pada Manawadharmasastra). Desa-desa ini umumnya terletak di Bali dataran. Kepemimpinan pada Desa Adat tipe ini umumnya merupakan kepemimpinan tunggal yang dipilih oleh krama Desa Adat.
3. Desa Anyar (desa baru), yaitu desa yang berbentuk relatif baru, sebagai akibat dari adanya perpindahan penduduk (transmigrasi lokal) dengan tujuan awal pencarian penghidupan. Desa-desa seperti ini misalnya dapat ditemui di daerah Jembrana dan Buleleng Barat. Disamping itu, ada juga desa adat yang telah mendapat pengaruh secara intensif dari kehidupan modern, sehingga dalam kehidupan sehari-hari unsur modern ini lebih menonjol. Desa Adat seperti ini juga dapat dikatakan sebagai desa adat modern, dengan ciri multi-etnis dan multi-budaya.
Persoalan dalam kehidupan multikultur dalam masyarakat Bali dengan dualisme Desa adat dan Desa Dinas (resmi dari pemerintah) seringkali bukan karena perbedaan suku maupun agama, tetapi kebanyakan dari konflik perebutan tanah-tanah yang diklaim sebagai milik desa atau komunitas adatnya. Konflik ditambah juga dengan persoalan hadirnya kaum pendatang yang disebut sebagai krama tarmiu yang selalu dikhawatirkan oleh penduduk asli (krama nuwed) tidak saja membawa pengaruh buruk terhadap kebudayaan mereka, tetapi juga menggeser lahan ekonomi dan kekuasaan masyarakat asli adat Bali. Terhadap krama tarmiu ini, para nuwed mendesak pemerintah adat mereka untuk membuat awig-awig (hukum adat) yang mengatur bagaimana seharusnya krama tarmiu ini bersikap terhadap budaya asli, melakukan kegiatan perekonomian, tidak boleh menguasai tanah adat, sampai tidak diijinkan pula memegang kekuasaan di desa adat.
Kedatangan krama tarmiu ke Bali yang sekaligus mengenalkan masyarakat adat Bali akan adanya budaya dan agama yang lain, tidaklah berlangsung dalam sekejap. Semenjak Bali dikenal oleh kalangan kapitalis sebagai tempat yang sangat asri alamnya dan berpotensi besar menjadi lahan sumber ekonomi yang menjanjikan di bidang pariwisata, orang dari penjuru nusantara datang berbondong-bondong tidak sekedar mencicipi keindahan Bali, tetapi juga berusaha menguasai ekonomi pariwisata Bali. Kehadiran migran atau pendatang dengan membawa kepentingan ekonomi yang bertemu dengan logika kapitalisme pasar (baca: pariwisata) dapat dipastikan menimbulkan perubahan konfigurasi demografik di Bali. Masyarakat menjadi sangat heterogen, berubah dari yang dulunya homogen. Selain itu, kedatangan krama tarmiu ini juga menimbulkan pergeseran pola relasi pendatang-pribumi, dari pola hubungan pertukaran menjadi relasi yang kompetitif. (Dwipayana,2003).
Keunggulan krama tarmiu dalam hal kemampuan ekonomi dan etos kerja memunculkan kecemburuan dan akhirnya mendatangkan perasaan ethnosentrisme dalam diri pribumi Bali. Hal ini terjadi karena tenaga kerja pendatang lebih diminati oleh pengusaha pariwisata Bali karena etos kerja yang lebih rajin dan rela dibayar lebih murah dibandingkan orang-orang pribumi Bali yang mengenal banyak hari libur untuk memperingati hari besar keagamaan Hindu. Bagi nuwed (pribumi atau masyarakat asli Bali), kondisi demikian dikhawatirkan mengancam sumber ekonomi mereka, dan kehadiran krama tarmiu dianggap melunturkan atau bahkan menghacurkan sendi-sendi budaya, agama, dan adat Bali. Oleh karenanya di beberapa desa adat diberlakukan semacam peraturan bagi krama tarmiu yang disebut pararem (peraturan kesepakatan) agar mereka menghormati eksistensi budaya dan adat Bali.
Kasus Tragedi Bom di Legian Denpasar Bali yang merupakan pusat roda ekonomi Bali berputar 12 Oktober 2002 yang lalu, makin membuat nuwed Bali merapatkan barisan mewaspadai setiap krama tarmiu yang datang. Identitas ke-Bali-an tumbuh makin kental. Bahkan para pejabat desa adat di Bali bersama pecalang (pasukan keamanan adat Bali) di setiap desanya melakukan tindakan prefentif dengan sweeping, dan mengusir para krama tarmiu yang tidak jelas status kependudukannya (ditunjukkan dengan kepemilikan KTP) dan tujuannya datang ke Bali.
4. Pluralitas Masyarakat Adat Musi Rawas- Sumatera Selatan
Daerah Sumatera Selatan terdiri dari 7 kabupaten yang di dalamnya terdapat kurang lebih 14 suku besar dan asli, dan sejumlah suku atau kaum pendatang. Di Kabupaten Musi Rawas saja, terdapat 4 suku, yaitu Suku Rejang, Anak Dalam, Musi, dan Ogan yang meliputi Rawas Ulu. Kekayaan jumlah suku ini ditambah pula dengan masuknya etnis-etnis pendatang, seperti etnis Cina yang berdiam hampir di seluruh kotamadya dan kabupaten dan memilih bidang perdagangan sebagai mata pencahariannya, Suku Jawa yang mendiami daerah-daerah perkebunan dan transmigrasi, dan Suku Bugis yang berada di daerah pelabuhan. Di samping itu dijumpai pula pendatang dari bangsa India, Arab, dan beberapa orang barat yang membuka investasi dan bisnis di kota Palembang.
Keragaman suku-suku atau etnis di Sumatera Selatan berpengaruh pada keragaman bahasa, adat istiadat, sampai pada jenis pekerjaan atau mata pencaharian mereka. Untuk daerah kabupaten Musi Rawas saja, terdapat 6 bahasa yang digunakan oleh penduduk, yaitu :
1. bahasa Rejang di Ulu Rawas Kecamatan Rawas Ulu
2. bahasa Rawas di Kecamatan Rupit dan Rawas Ilir
3. bahasa Musi di Kec. Muara Kelingi dan Muara Lakitan
4. bahasa Beliti di Kecamatan Muara Beliti dan BKL Ulu Terawas
5. bahasa Jawa di Kecamatan Jayaloka dan Tugumulyo
6. bahasa campuran pendatang di Kota Lubuk Linggau
Di samping itu memiliki 3 cara adat perkawinan, yaitu Daku Anak, Bajojo, dan Semendo Rajo-Rajo. Dengan demikian, bisa dibayangkan bagaimana pluralnya masyarakat di kabupaten ini.
Desa Ulu Terawas di Kecamatan Batu Kuning Lakitan Kabupaten Musi Rawas menjadi contoh yang respresentatif bagi fenomena pluralitas masyarakat Sumatera Selatan. Desa atau kelurahan ini masih mempunyai dan mempertahankan komunitas adat yang disebut sebagai Marga. Marga mempunyai sistem pemerintahan dan hukum asli yang merupakan konvensi warga atau penduduk asli sesuai dengan tradisi dan kebudayaan mereka.Marga ini secara kelembagaan diakui dengan SK Bupati Musi Rawas No. 140/25/Pembdes/1991 dan Perda No.14/2000. Suku asli yang juga merupakan mayoritas penduduk asli di desa itu adalah Suku Tengah Lakitan (STL) Ulu Terawas, berjumlah hampir 80 % dari jumlah keseluruhan. Di samping Suku Tengah Lakitan, terdapat pula 15% suku Jawa, dan 5% Suku Batak dan Minang. Dari sisi keragaman agama, warga di desa ini yang menganut agama Islam hampir 99%, selebihnya (1%) beragama Kristen yang biasanya dianut oleh etnis Batak (pendatang). Penduduk Terawas sebagian besar bermata pencaharian petani karet, dan selebihnya adalah buruh. Dilihat dari beragamnya partai besar yang masuk pada kontes Pemilu 1999 yang lalu (5 partai besar) dan memperoleh suara yang berimbang, maka tampak pula keragaman kesadaran politik warga, dan cara mereka berpolitik atau paling tidak cara dalam menyampaikan aspirasi masing-masing.
Persoalan pluralisme dalam masyarakat adat di sini adalah:
1).Banyak kalangan yang menghendaki kembali hukum adat berbasis pada satu ajaran agama, yaitu Islam, sehingga dalam beberapa wilayah terjadi dualisme hukum: hukum adat atau hukum negara. Yang menjadi masalah adalah bagaimana dengan warga yang tidak menganut agama Islam, hukum apa yang mereka gunakan ? Kepentingan minoritas ini yang belum terakomodir dalam hukum dan regulasi. 2) Budaya patriarkal masih sangat tinggi, terbukti dari persyaratan utama menjadi pemimpin dalam komunitas ini adalah Laki-laki. Sehingga isu gender masih sangat lemah, ditambah pula dengan belum maksimalnya upaya pemberdayaan perempuan di daerah ini.
3).Tidak ada persoalan konflik agama meski agama Islam sangat dominan. Dalam masyarakat ini terjadi interaksi yang baik antara mayoritas dengan minoritas. 4).Persoalan baru terasa ketika terjadi jual bali tanah dengan kaum pendatang dan menimbulkan sengketa tanah. Hal ini didasarkan pada sikap kurang senangnya penduduk asli atau suku apabila warga pendatang hendak membeli tanah. Ada kekhawatiran dalam diri mereka bila tanah mereka habis. Sehingga ada peraturan yang diundangkan, yaitu orang luar hanya berhak mengerjakan tanah saja dengan seijin masyarakat hukum (Ulayat) yang bersangkutan.
5).Beberapa orang suku merasakan prihatin karena adat istiadat asli mengalami reduksi atau pergeseran. Misalnya pada sebuah acara adat di Musi Rawas, pendatang dari Padang memakai baju Padang, yang dari Jawa berbusana Jawa. Malahan orang Musi Rawas sendiri sekarang mulai menggunakan adat Jawa dalam pesta perkawinan misalnya, sehingga adat Mura sendiri akhirnya tidak banyak dikenal orang (akibat asimilasi/percampuran adat?)
5. Pluralitas Masyarakat Adat Sumatera Barat
Diantara seluruh suku di Nusantara ini, barangkali hanya Suku Minang yang menempati mayoritas di Sumatera Barat-lah yang menggunakan budaya matriarkal, bukannya budaya patriarkal. Budaya matriarkal ini menyentuh sendi kehidupan suku Minang, di mana garis keturunan mereka ditentukan oleh garis keturunan ibu, yang dikenal dengan budaya Bundo Kanduang. Namun demikian, budaya matriarkal ini tidak menyentuh pada level pemerintahan, karena di dalam pemerintahan laki-laki masih mendominasi kekuasaan dibandingkan dengan kaum perempuan. Hal ini karena pengaruh agama Islam yang sangat kuat di kalangan Suku Minang.
Berbicara tentang Padang dan Sumatera Barat, memang mau tidak mau kita harus mengingat Suku Minang. Suku Minang adalah suku yang sangat dominan dan hampir sebagian besar menganut agama Islam di bumi Sumatera Barat, meski wilayah ini cukup terbuka untuk didatangi oleh etnis darimana saja. Namun penting untuk diingat juga, bahwa Sumatera Barat tidak sendirian. Ada pulau -dan menjadi kabupaten termuda di Sumbar- lain yang beretnis lain, yaitu Kepulauan Mentawai yang memiliki adat, budaya dan agama yang berbeda pula (Kristen).
Suku besar Minang terdiri banyak sekali sub-suku yang berbasis klan keluarga. Sikap primordial masih mewarnai kehidupan suku Minang, yang ditunjukkan dengan sikap sangat hati-hati dalam menerima kaum pendatang yang membawa budaya dan (apalagi) agama yang berbeda dengan mereka. Apabila anak atau putra daerah mereka (disebut juga anak suku) menikah dengan anak suku atau etnis di luar mereka dan berlainan agama, maka yang bersangkutan tidak dianggap sebagai anak suku lagi, dan kehilangan hak-hak sebagai seorang anak suku. Bahkan tidak jarang terjadi pelarangan menikah bagi sepasang yang berasal dari subsuku (klan) yang berlainan, meski sama-sama orang Suku Minang. Di samping itu, tanah ulayat (tanah adat) mereka tidak boleh dijual ke pihak yang beretnis lain, dan ini dilegalkan dalam hukum adat. Namun demikian, suku ini relatif cukup terbuka dengan kedatangan etnis lain sebatas pada penghormatan yang tinggi suku itu terhadap kebudayaan Minang dengan tidak merusak atau sampai melunturkan budaya Minang. Ini yang menyebabkan etnis yang masuk seperti Cina mau tidak mau berada pada kondisi ‘pembauran diri’ dan dalam beberapa hal rela melepaskan identitas kulturnya.
Gerakan dan semangat kembali ke Nagari yang sangat didukung oleh pemda, Ninik mamak (kalangan bangsawan), tokoh ulama, dan akademis di Sumatra Barat pasca Orde Baru dan masa otonomi daerah, didasarkan pada semangat revitalisasi dan pemaknaan kembali adat dan surau dengan berbasis agama Islam. Masalahnya, kaum Minang dikenal sebagai kaum perantau. Banyak putra daerahnya merantau ke berbagai belahan Indonesia, dan ketika kembali ke bumi Minang seringkali membawa pengaruh dan nilai budaya baru, yang dianggap merusak ‘kemurnian’ budaya mereka, seperti pornografi dan mabuk-mabukan. Dengan demikian, timbul krisis kepemimpinan (crisis of leadership) bagi mereka. Oleh karenanya, saat ini kalangan pemikir dan tetua Minang sedang gencar-gencarnya membuat jaringan internal anak-anak suku mereka yang sedang merantau seperti Ikatan Gebu Minang, untuk mempersiapkan kepemimpinan Minang, agar tidak direbut oleh pendatang yang berasal dari etnis lain. Selain untuk mencari bibit baru yang bisa diangkat sebagai pemimpin, ikatan ini konon dibuat agar orang-orang Minang selalu ingat asal muasalnya dan tidak serta merta bisa meninggalkan adat istiadat dan kearifan lokal mereka.
Gerakan kembali ke Nagari di Sumatera Barat ternyata tidak didukung oleh Kabupaten Mentawai yang memiliki perbedaan etnis, budaya, dan agama. Ini karena mereka tidak memiliki sejarah Nagari seperti di dataran Sumatera Barat sebelumnya. Penolakan UU kembali ke nagari oleh kaum etnis Mentawai juga didasari oleh sikap sentimen karena mereka merasa terpinggirkan oleh mainstream politik dan pemerintahan di Sumatera Barat.
6. Pluralitas Masyarakat Adat Kalimantan Barat
Pengelompokan sosial di Kalimantan Barat menurut Naerssen (dalam Hasanuddin dkk,2000) didasarkan pada ras, agama, dan etnisitas. Berdasarkan etnis (suku), komposisi masyarakat di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
a. Suku Dayak - dan ada beberapa pakar menyebutkan- dan juga Suku Penan merupakan kelompok kekerabatan yang tinggal di daerah pedalaman. Suku ini sampai sekarang dianggap sebagai suku asli Pulau Kalimantan. Mereka pun merupakan komunitas yang tertutup dan lebih menonjolkan kesamaan dan kesatuan sosio kultural. Yang membedakan antara suku Dayak dengan Suku Penan adalah dilihat dari mata pencarian. Orang Penan sebagian besar berburu dan meramu di hutan dan menangkap ikan, sedangkan suku Dayak bercocok tanam di ladang. Pada awalnya mereka menganut agama animisme, yaitu kepercayaan dan mitos tentang penghormatan yang sangat tinggi terhadap keberadaan dan fenomena alam. Pada awalnya sebelum kedatangan orang Suku Melayu, mereka tinggal di semenanjung sungai dan laut. Tetapi sejak kedatangan orang Melayu, mereka tersingkir hingga masuk ke pedalaman, sehingga sering disebut “orang darat”.
b. Komunitas atau etnis Melayu, Bugis, dan Arab, yang kebanyakan menganut agama Islam, dan mereka lebih menekankan aspek sosio historis sebagai kelompok kelas penguasa.
c. Komunitas etnis Cina yang mendiami daerah pesisir, dan merupakan satu kesatuan sosio ekonomis.
Masyarakat adat Dayak asli Kalimantan Barat menurut pandangan kaum evolusionis termasuk dalam kategori masyarakat rank, masyarakat yang relasi sosialnya tidak terbedakan menurut kelas sosial. Pemimpin adat (di sana masing-masing klan keluarga namanya berbeda) misalnya, meski ia adalah seorang pemimpin tetapi jabatan itu karena pengetahuannya terhadap adat yang lebih dalam, bukan karena kondisi ekonominya lebih baik. Jadi jabatan ketua adat hanya merupakan status sosial yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan ekonomi dan politik (Yuwono,1996:199). Namun sejak berkuasanya kerajaan Melayu dan masuknya berbagai etnis ke bumi Kalimantan serta masuknya penjajah Belanda, dalam kehidupan mereka kemudian mengenal stratifikasi sosial. Di wilayah kerajaan Melayu (salah satunya adalah Kerajaan Sintang), orang Dayak dianggap sebagai budak atau ulun, yang berada pada strata sosial yang paling rendah. Mereka diperlakukan layaknya budak belian oleh kaum bangsawan Melayu, dan mereka akan dianggap sepadan apabila orang Dayak memeluk agama Islam, dan melakukan Turun Melayu seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut. Sedangkan terhadap etnis Cina, orang Dayak juga mengalami ketersingkiran. Imigran Cina datang dengan motivasi ekonomi dan oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi otonomi khusus dengan kewenangan untuk menerapkan sistem politik dan sosial secara eksklusif sehingga terbentuk Republik Kecil Cina. Sekali lagi orang Dayak menjadi tawanan mereka dan dijadikan sebagai budak. Pandangan orang Cina terhadap orang Dayak sangat merendahkan.
Dipandang dari sisi keragaman agama, masyarakat Dayak Kalimantan Barat mengalami perubahan yang membawa efek pada beragamnya komunitas Dayak. Masuknya agama-agama dunia menggeser kebudayaan Animisme mereka dan mengubah identitas kultur mereka. Beberapa komunitas Dayak yang dikategorikan menurut agama adalah sebagai berikut:
1. Komunitas Dayak yang masih memegang agama dan kultur Animisme. Kepercayaan mereka diidentikkan dengan tahayul, pemujaan benda-benda alam termasuk tanaman yang dianggap keramat dalam ritual keagamaannya. Bahkan sampai sekarang Suku Dayak animisme terkenal dengan kemampuan magisnya, pun dalam keadaan perang antarsuku. (Ada isu yang berkembang pada waktu konflik dengan orang Madura meletus, orang Dayak dengan kemampuan magisnya bisa membedakan mana orang Madura asli dan mana orang Jawa yang bukan orang Madura)
2. Komunitas Dayak Muslim. Orang-orang Melayu dari Sumatera datang ke bumi Kalimantan selain berdagang –kemudian mengambilalih kekuasaan dan mendominasinya – juga membawa misi agama Islam. Orang-orang suku Dayak diperkenalkan pada agama ini, dan lambat laun mereka menganut Islam, yang disebut sebagai Turun Melayu. Mereka menjadi komunitas tersendiri (Dayak Melayu) karena meninggalkan identitas kesukuannya, dan terisolir dari komunitas Dayaknya terdahulu. Dengan proses Melayunisasi dan Islamisasi, orang Dayak merasa ‘naik derajat’ dan di sisi lain orang Melayu merasa menjadi bagian dari pribumi asli. Namun dalam beberapa tahun belakangan, muncul fenomena atau gejala baru dimana orang Dayak Muslim yang dulunya melepaskan identitas Dayak-nya kembali mengaku bahwa dirinya kini Dayak.
3. Komunitas Dayak Kristen Protestan. Agama ini masuk dibawa oleh misionaris dan penginjil, yang oleh JJ Kusni disebut sebagai la mission sacree yaitu memperadabkan orang-orang liar, memandang kebudayaan Dayak sebagai ragi usang yang harus dibuang (Bamba,2001:88). Kedatangan mereka membawa nilai-nilai modernitas dalam ajaran Protestan. Namun demikian, orang Dayak tidak perlu mengubah identitas mereka ketika menjadi orang Kristen Protestan. Hanya saja kebiasaan mereka seperti menjalankan ri- tual asli sesuai adat Dayak, minum miras, merokok, dan berjudi harus ditinggalkan apabila mereka masuk dalam gereja Protestan tertentu. (agama Kristen Protestan memiliki banyak aliran atau denominasi, dan ini mempengaruhi gaya hidup masing-masing jemaatnya).
4. Komunitas Dayak Kristen Katolik. Agama Katolik masuk ke dataran Kalimantan melalui pendekatan sosial yang berbeda, yakni lebih menekankan pendekatan inkulturasi. Artinya ritual-ritual keagamaan asli diadopsi bentuk kegiatannya namun diisi dengan konsep keimanan Kristen. (Bamba,2001)
Untuk melihat betapa pluralnya masyarakat adat Dayak Kalimantan Barat, Kabupaten Landak barangkali bisa menjadi represent untuk menggambarkan fenomena ini. Kabupaten Landak sebagai bagian dari wilayah Kalimantan Barat memiliki banyak subsuku Dayak. Tetapi suku yang dominan di kabupaten ini adalah komunitas adat Dayak Kanayatn (Kendayan). Bahasa Dayak Kanayatn merupakan lingua franca bagi semua sub etnis Dayak di wilayah Kabupaten Pontianak dan Landak. Ada sementara pendapat bahwa suku Dayak Kanayatn merupakan induk dari sub suku Dayak yang lain, seperti Dayak Bekati dan Dayak Menyuke. Komunitas adat Dayak Kanayatn terdapat di 10 kecamatan di Landak, meski di beberapa tempat telah mengembangkan subkultur tersendiri dan bahasa yang berbeda masing-masing subkulturnya. Di Kecamatan Ngabang terdapat 6 subsuku, Kecamatan Air Besar ada 4 subsuku, Kecamatan Kuala Behe hanya satu subsuku. Bagian barat Kabupaten Landak memiliki bahasa yang sama dan sedikit perbedaan dialek yaitu Kecamatan Mempawah Hulu, Kecamatan Manjalin, Kecamatan Mandor, Kecamatan Sengah Temila dan Kecamatan Sambi. Pluralitas di Kabupaten Landak seperti halnya dengan wilayah lain ditambah dengan kehadiran suku dan etnis lain (Melayu, Jawa, Batak, dll) yang membawa budaya, agama, dan bahasa mereka sehingga terjadi percampuran budaya.
Ketersingkiran masyarakat adat Dayak oleh etnis pendatang di segala bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, dan kekuasaan menyebabkan kegeraman di kalangan Dayak dan mereka pun membentuk sikap antipati dan sentimen terhadap kaum pendatang, terlebih terhadap Suku Melayu. Konflik etnis di beberapa kota Kalimantan antara bertahun-tahun lamanya dan mencapai titik kulminasi pada tahun 1997-2000 adalah akumulasi dari kebencian masyarakat adat Dayak terhadap pendatang yang dianggap sewenang-wenang. Konflik etnis pun berdampak juga di kabupaten Landak, di mana muncul eforia di kalangan Dayak untuk merebut kekuasaan mereka kembali dalam bentuk perebutan tanah-tanah adat yang dikuasai oleh pendatang. Tanah orang-orang Melayu di Kecamatan Ngabang, misalnya, dipasang patok dan diklaim sebagai milik orang Dayak. Atas nama adat istiadat, pemuda dayak melakukan pemerasan terhadap pemilik usaha yang bukan orang Dayak. Atas nama adat pula, komunitas Batak didenda 1 juta karena selama 3 hari masa berkabung kematian orang batak menggunakan bahasa Batak meski yang datang melayat tidak hanya orang Batak, tetapi orang Dayak juga. Mereka dianggap tidak menghormati adat istiadat orang Dayak dan dipersalahkan mengapa tidak berbahasa Indonesia saja yang bisa dipahami bersama. Persoalan-persoalan konflik semacam ini diselesaikan melalui hukum adat oleh Dewan Adat Dayak yang terdapat di setiap kabupaten, dan diperbarui setiap saat menurut kasus konflik yang terjadi, misalnya dalam peninjauan kembali denda adat.
Ada sebuah sentimen rasis yang saat ini masih sangat membekas di kalangan orang Dayak (termasuk Dayak Kendayan) terhadap orang Melayu, bila menengok masa lalu. Tradisi lisan menceritakan bahwa asal muasal orang Dayak dan Melayu di Landak adalah saudara kandung kakak beradik. Namun sejak nenek moyangnya, pihak Dayak sudah kalah sumpah,” Dayak salah, Dayak Mati. Melayu salah, Dayak Mati”, demikian isi sumpah itu. Sumpah ini tidak bisa dicabut karena terlanjur dilempar ke sungai Landak. Simbol lisan ini menjadi sumber pengesahan dominasi sosial budaya politik Melayu terhadap Dayak.
7. Pluralitas Masyarakat Adat
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur
Secara geografis, Nusa Tenggara Timur yang memiliki 12 kabupaten merupakan provinsi kepulauan, yang memiliki 566 pulau besar dan terdiri dari ratusan etnsis yang mempunyai bahasa, dialek, dan ritual adat tersendiri. Dalam pengorganisasian sosial, masyarakat NTT terpilah-pilah berdasarkan adat yang berbeda-beda pula. Adat bukan hanya digunakan sebagai ritual kepercayaan, namun juga digunakan dalam pola-pola kemasyarakatan termasuk untuk perlindungan dan konservasi alamnya. Pluralitas etnis masyarakat NTT dengan keragaman adat istiadatnya juga diperkaya dengan budaya pendatang dan penjajah yang datang ke bumi NTT. Tidak berbeda dengan masyarakat daerah lain, masyarakat NTT mendapat pengaruh budaya dan agama dari Belanda, Portugis, Arab, India, dan Jawa.
Masyarakat TTS biasa disebut sebagai orang Meto, dan komunitas adat yang ada didasarkan atas marga nama kerajaan mereka, yaitu Amanatun, Amanuban, dan Mollo. Perbedaan komunitas ini diikuti dengan perbedaan cara berpakaian dan dialek atau logat bahasa masing-masing. Basis komunitas mereka juga tergantung pada mata pencarian dan kondisi alam, yang sebagian besar adalah petani dan peternak. Di samping itu komunitas mereka diperkuat oleh faktor-faktor sosio kultural dalam bentuk :
a. Ikatan adat yang menuntut kolektivitas dan komunalisme, khususnya dalam urusan mempertahankan adat istiadat
b. Keterikatan karena agama
c. Upaya mencegah konflik, cemburu, dan kebencian antar anggota suku, dengan pola kolektifitas dalam cara berpakaian, kesenian, pesta maupun ibadah.Kesamaan dan keseragaman ini diatur secara tegas dalam hukum adat dan tidak boleh diselewengkan.
Keberadaan orang-orang dan kebudayaan di wilayah TTS tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan Dawan, karena mereka adalah penduduk asli TTS. Dalam masyarakat Dawan umumnya pemukiman dimulai dari pola keluarga yang terdiri dari bapak,ibu, dan anak yang disebut Ume. Beberapa Ume akan membentuk klan kecil yang disebut Pulunes, baru terbentuk kembudian klan besar atau disebut juga dengan Kanaf. Dalam struktur sosial TTS, masyarakat golongan Usif merupakan golongan terhormat, dan berkedudukan sebagai kepala suku. Di bawah usif ada Amaf (sekelompok masyarakat yang terdiri dari klan kecil). Di samping Amaf yang sejajar ada Meo yang menjadi barisan hulubalang menjaga keamanan dan ketertiban untuk menghadapi ancaman dari luar, serta mempertahankan marga dan kampung mereka.
Sejarah TTS selama berabad-abad mencatat, terjadi akulturasi budaya besar-besaran di tanah Timor, termasuk TTS. Akulturasi ini terjadi sejak pedagang dari luar daerah dan bangsa asing masuk, dengan motivasi perdagangan kayu cendana, komoditi perdagangan yang sangat laku di pasar internasional. Pedagang datang kebanyakan dari Jawa, Sumatera, dan Bali. Mereka datang tidak semata berbisnis, tetapi juga membawa pengaruh, paling tidak dalam bahasa. Usif, misalnya, dari kata Gusti (tuan, bahasa Jawa), Temuku dari kata Temenggung, dan sebagainya. Bangsa asing yang masuk seperti kita ketahui adalah Portugis, Belanda, India (waktu itu sebagai tentara Portugal), dan beberapa orang Cina perantauan dari wilayah Indonesia lain.
Betapapun kompleksnya etnis penduduk yang mewarnai Timor, namun secara garis besar penduduk ini dibagi dalam 2 kelompok besar. Pertama; orang Belu Timur, yang menunjukan persamaan ciri dengan penduduk barat dari Kepulauan Melayu. Belakangan orang Belu ini menyebut dirinya orang Dawan, walau kata ini tidak pernah digunakan oleh mereka sendiri. Kedua; orang Timor khususnya di pegunungan yang ada di bagian tengah dan darat dari kepulauan Timor. Orang-orang ini hampir sama cirinya dengan orang Papua, dan mereka menyebut dirinya sebagai Atoin Meto. Ciri-ciri mereka lebih banyak dipengaruhi unsur Melanesia.
Masyarakat adat TTS sebenarnya memiliki sistem pemerintahan sendiri yang khas, yang sangat dekat dengan sistem kekerabatan. Tetapi karena mendapatkan pengaruh dari kerajaan Jawa dan Belanda, sistem ini berubah dari waktu ke waktu. Sampai pada masa orde Baru yang melakukan uniformitas (penyeragaman) melalui UU No.5/1979, tampak sekali perubahan yang mencolok, yang sedikit demi sedikit menyingkirkan pola sistem pemerintahan asli. Sehingga tidak jarang kaum muda sekarang tidak bisa mengenali sistem pemerintahan dan kebudayaan mereka yang asli.
Dengan dibukanya dan mulai berlakunya UU otonomi daerah, kesempatan untuk mengembalikan keaslian budaya TTS dalam sistem pemerintahan dan perekonomian makin terbuka. Dalam beberapa tahun pasca Orde Baru, banyak terjadi kecenderungan kaum pendatang di bumi TTS dilarang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, khususnya pemerintahan adat. Sebenarnya komunitas adat mereka cukup terbuka untuk menerima kaum pendatang yang mempunyai perbedaan budaya dan suku. Tetapi dengan alasan mempertahankan tradisi, kaum pendatang tidak diperkenankan memegang kekuasaan dengan duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif adat mereka.
8. MANAJEMEN DAN TEKNIK MENGELOLA PLURALITAS
A. Manajemen Pluralitas Komunitas Adat sebagai Pengalaman Berharga
Dengan deskripsi praksis pluralitas masyarakat adat di atas, faktor yang signifikan untuk dipahami adalah, bagaimana masing-masing komunitas adat tersebut mengelola keragaman suku di dalamnya. Tampaknya sesuatu yang tidak dapat dinafikan bila melihat potret komunitas adat adalah realitas konflik dan ketegangan, baik yang bersifat laten maupun manifes. Semisal konflik antaretnis maupun subsuku, serta antara pribumi dengan pendatang. Konflik tidak sekedar persoalan perbedaan agama dan budaya saja, tetapi juga sudah menyangkut kepentingan ekonomi politik yang cukup krusial.
Namun demikian, tidak selamanya komunitas masyarakat adat berkutat dalam arena konflik karena mereka memiliki manajemen pluralitas. Sepert masih adanya kearifan lokal yang menerima perbedaan (pluralitas) secara terbuka, dan dengan perangkat ini pula, mereka mendasarkan diri dalam mengelola pluralitas dan konflik yang terjadi, baik secara institusional maupun personal. Kearifan lokal dan kesadaran inilah, yang banyak membantu masyarakat adat untuk terhindar dari konflik, tanpa mereka harus kehilangan identitas kultur dan kekhasan yang dimilikinya.
Masyarakat adat Dayak Kanayatn di Landak, di dalamnya memiliki sub suku yang teridentifikasi dengan nama tempat mereka bermukim. Orang Dayak yang tinggal di Sungai Mempawah disebut “Mempawah”, yang bermukim di Sungai Ambawang disebut ‘urakng Ambawang”. Dalam pergaulan antar masyarakat dua komunitas itu, mereka akan mengidentifikasi dirinya sebagai “urakng diri” atau “orang kita”. Orang Melayu mereka sebut sebagai “orang laut “, dan masyarakat etnis Cina mereka sebut “Sobat”. (Djuweng,1997).
Masyarakat adat Musi Rawas Sumatera Selatan, memiliki semboyan yang sampai sekarang masih berlaku: “ Tebing betaut same junjang, ulak bepadu semberangan” yang kira-kira bermakna: pada dasarnya manusia sama derajatnya, janganlah saling meremehkan. Mereka berprinsip bahwa siapapun yang masuk dalam komunitas mereka akan diterima dengan terbuka, asalkan menghargai keberadaan penduduk asli, baik adat, budaya, maupun agama masyarakat adat Musi Rawas (Joko HP,2003). Contoh lain, orang Bali menyebut umat beragama Islam di daerah Bali “Nyameslam” yang artinya Saudara (kita) umat Islam. Untuk umat Islam di Bali pun, dalam perayaan atau acara event besar di Bali disediakan makanan khusus yang tidak mengandung babi, yang disebut hidangan selam (untuk saudara Islam).
Masyarakat adat Timor Tengah Selatan, NTT memiliki adat istiadat penerimaan mereka terhadap kehadiran orang lain, yang mereka sebut Okomama. Okomama adalah wadah tempat sirih pinang yang terbuat dari daun lontar, di dalamnya berisi seperangkat bahan-bahan untuk nginang (kata dari bahasa Jawa; yang artinya menyerap sari campuran tembakau, sirih, dan kapur dengan mengunyahnya terlebih dulu), serta sejumlah uang. Okomama merupakan simbol pendekatan dan persaudaraan. Artinya orang asing di luar etnis mereka yang datang dengan membawa atau melakukan Okomama akan dianggap sebagai saudara secara kultur, dan akan diterima dengan baik. Dalam sejarahnya, tradisi ini digunakan untuk resolusi konflik atau menyelesaikan perselisihan dan konflik.( Mefi,2002).
Contoh-contoh di atas adalah bukti pemahaman pluralistik masyarakat adat secara kultur dan individu, di mana pada dasarnya mereka bisa menerima kehadiran orang lain yang berbeda dengan mereka, dengan catatan yang selalu digarisbawahi dan ditegaskan, yaitu sejauh pendatang tidak merusak adat istiadat mereka, dengan kata lain tidak melakukan dekulturasi yang masyarakat adat itu miliki.
Beberapa daerah mencoba melakukan institusionalisasi pemahaman pluralistik ini, dengan membangun ruang dialog antaretnis, antaragama, dan lintas budaya sebagai tempat bertemunya seluruh etnis dan agama yang berada dalam komunitas itu. Di Kabupaten Musi Rawas misalnya. Masyarakat Musi Rawas hidup berkomunitas sesuai dengan genealogis subsukunya. Namun demikian masyarakat adat ini memberikan keleluasaan kepada etnis lain untuk mengembangkan identitas daerah asalnya asalkan mereka bisa menghargai kebudayaan asli Musi Rawas dan tidak melakukan usaha intimidasi atau pengaruh yang berlebihan terhadap suku asli Musi Rawas. Komunitas etnis lain yang ada dan berkembang di sana, adalah Ikatan Keluarga Minang, Ikatan Keluarga Jawa Timur (Arema), Ikatan Masyarakat Batak,dan lain-lain. Di Musi Rawas juga berdiri sebuah lembaga dialog antariman sebagai bentuk keprihatinan mereka atas konflik antaragama beberapa tahun belakangan ini, yang dipelopori oleh M. Jauhari, seorang warga Kecamatan Tugumulyo (komunitas etnis Jawa), yang bernama Forum Komunikasi Umat Beragama (Joko HP,2003). Senada dengannya, di Kabupaten Gianyar juga sedang dirintis lembaga antariman dan lintas budaya bernama Uluangkep. Lembaga ini memfasilitasi bertemunya seluruh tokoh berbagai agama, budaya, adat, pemerintah desa dinas, maupun desa adat, di mana fokus perhatian mereka adalah persoalan-persoalan resolusi konflik dan peace building ( membangun perdamaian).
Kehadiran LSM lokal maupun internasional di Kalimantan Barat yang melalui pendekatan-pendekatan kultural untuk masuk ke komunitas adat Dayak Kanayatn, sedikit banyak juga mempengaruhi terbuka dan inklusifinya komunitas adat untuk bisa menerima ‘dunia luar’, meski LSM yang bersangkutan datang tidak serta merta membawa wacana pluralisme secara langsung. Bahkan banyak di antaranya membawa misi karitatif, yaitu melalui program pendidikan, pengembangan kredit melalui koperasi seperti dilakukan oleh Yayasan Pancur Kasih, dan beberapa LSM advokasi yang membantu masyarakat adat Dayak memperjuangkan hak-hak tanah ulayatnya dan sumber kekayaan alamnya kembali, seperti LBBT (Hudayana, 2002). Tidak menutup kemungkinan masyarakat adat Dayak Kanayatn harus bertemu dengan komunitas adat Dayak lain atau etnis lain untuk melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi seluruh elemen dan tokoh masyarakat adat, salah satunya difasilitasi oleh LSM lokal yaitu Yayasan Pangingu Binua (ibid).
Kasus yang tidak kalah menariknya dalam upaya memenej pluralisme adalah seperti yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Madura dengan Dayak, Melayu dan Banjar di Yogyakarta (2001). Di saat konflik suku meledak di Kalimantan Tengah, mereka para mahasiswa ini justru bersatu padu membangun pemahaman bersama, bagaimana meredam konflik agar tidak semakin berkobar. Mereka memandang adanya perbedaan kepentingan, perbedaan budaya tidak akan mungkin dapat diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, tetapi sebaliknya dibutuhkan cara –cara dialogis, dan non kekerasan. Mereka memandang begitu rumitnya instrumen peledak konflik, terutama konflik kepentingan antarkelompok strategis di lingkaran kekuasaan dalam era transisi politik, dapat memungkinkanmelakukan politisasi pada arena adudomba konflik etnik. Modus politisasi konflik demikian, haruslah dengan cepat dicegah dengan cara antartokoh komunitas etnik melakukan dialog, membangun persepsi dan komitmen bersama dalam mencegah kekacauan lebih lanjut. Guna memperkuat proses itu mereka membuat forum bersama, guna mengkampenyekan suara-suara perdamaian dan saling memberikan klarifikasi bersama temuan-temuan di lapangan yang berkaitan dengan adanya profokasi dan sejenisnya. Sehingga adanya kesalapahaman tidak sampai meluas dan membentuk lingkaran konflik. Upaya yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa ini dalam konteks tertentu memiliki kesuksesan yang dapat dipelajari bersama.
B. Teknik-teknik Pengelolaan Pluralitas
Dengan melihat paparan di atas, banyak hal yang dapat diperoleh ketika pluralisme dapat dikelola secara produktif. Pengetahuan akan pernak-pernik kebudayaan masyarakat antar satu dengan yang lain, akan makin memperkaya perspektif dan wawasan keindonesiaan ini. Dengan adanya proses pemahaman antar budaya, maka dengan mudah untuk mempertebal sikap dan komitmen dalam memelihara pluralisme. Komitmen untuk saling memahami budaya masyarakat lain dapatpula menciptakan jalinan sosial dan kekeluargaan yang begitu hangat dan bersahaja.
Kerjasama antarindividu dan komunitas dengan mudah terjalin ke arah fungsi sosial yang saling menguntungkan. Namun sebaliknya, bila komitmen pluralisme ini dirusak oleh sikap egois dan orientasi yang berlebihan pada kelompoknya sendiri, maka dengan mudah nantinya akan menuai perpecahan dan disentegrasi sosial. Rusaknya kesadaran pluralis di dalam masyarakat akan menciptakan masyarakat tersebut makin mengecil dan terkotak-kotak ke dalam satuan kelompok. Dalam konteks ini, kebebasan yang dimilikinya justru dipasung oleh kesadaran yang eksklusif sehingga membelenggu eksistensinya untuk dapat maju dan berkembang. Misalnya, suatu kebudayaam masyarakat A tidak dapat leluasa secara bebas dalam membangun pergaulan dan kerjasama dengan kebudayaan dari wilayah dan komunitas B, atau sebaliknya karena kedua komunitas budaya ini saling bersitegang dan mengganggap kebudayaannyalah yang paling unggul. Guna memperkuat ketengangan, keduanya saling mereproduksi streotipe, prasanggka dan sejenisnya. Akibatnya satu sama lain saling memendam rasa curiga yang membuat keduanya tidak dapat saling menikmati indahnya saling belajar terhadap aroma dan sentuhan di dalam masing-masing budaya antarkomunitas.
Bagaimana teknik-teknik dalam pengelolaan pluralitas ini harus dilakukan? Berikut beberapa uraian yang dapat digunakan sebagai masukan serta bahan pertimbangan. Pertama, setiap individu atau keluarga diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme terhadap putra-putrinya. Menanamkan indahnya nilai-nilai kebersamaan, dan semangat untuk saling menimba pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat lain di luar dirinya. Menanamkan indahnya hidup bersama dengan tidak saling menanam kebencian terhadap individu dari komunitas masyarakat lain. Seorang anak tidak selayaknya diajarkan untuk mempelajari agama, etnis dan ras dari golongan masyarakat berdasarkan streotipe, buruk sangka, tetapi nilai mulailah dengan cara mendeskripsikan sesuatu yang positif yang dapat dipelajari dari masing-masing kebuadayaan yang ada.
Kedua, penanaman nilai-nilai pluralisme juga perlu dilakukan melalui institusi-institusi sosial di dalam masyarakat, terutama melalui media pendidikan. Ketidakmampuan individu dalam memahami kebudayaan masyarakat lain di luar dirinya akan dengan mudah menciptakan konflik, dengan adanya penanam dan proses pendidikan budaya, maka mudah kesadaran pluralis ini terkondisikan sejak dini. Ketiga, mulailah dengan membiasakan diri dalam membangun pergaulan dengan tidak melihat seseorang itu berdasarkan asal usul etnik, agama ataupun ras. Dengan cara demikian, adanya interaksi sosial yang inklusif dan manusiawi ini akan memberi jalan bagi terbentuknya proses merajut pengalaman bersama, sehingga nantinya dapat memperkuat rasa kebersamaan dan bangunan pluralisme di dalam masyarakat. Keempat, janganlah terjebak dalam memberikan penilaian pejoratif dalam melihat kesalahan atau kelalaian dari perilaku individu di dalam masyarakat bersadarkan indentitas etnik, agama dan ras sosialnya, tetapi belajarlah dengan cara yang jernih dan obyektif dalam menilai perilaku individu tersebut pada kesalahan di dalam struktur kesadaran diri dari seseorang yang melakukan kesalahan atau kelalaian. Dengan adanya penilaian kritis dan obyektif ini, maka kemungkinan adanya konflik yang bermuara pada tindakan kekerasan dengan melibatakan identitas komunal dapat dengan mudah dihindari.
Kelima, mulailah membangun perspektif masa depan secara lebih kritis dengan tidak menggunakan identitas etnik, suku atau pun kelonpok dalam pencapaian kekuasaan sosial. Mulailah membangun kesadaran dengan membekali diri dengan mengasah kemampuan, ketrampilan dengan berbagai prestasi sosial, sebab bangunan kekuasaan akan mendorong pada penguatan sosial, keberpihakan kepada rakyat bila di dalamnya diisi oleh komitmen inklusif, yakni berdasarkan komampuan, kompetensi, prestasi dan integritas moral.
Problematika kekuasaan yang di alami masyarakat kita sekarang yang mendorong pada perusakan bangunan pluralisme diakibatkan karena rekruitmen kekuasaan (jabatan publik) didasarkan pada praktek koropsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Virus KKN ini hampir merasup ke dalam alam bawah sadar sebagian masyarakat kita, karenanya harus semaksimal mungkin dicegah, dipotong agar nurani dan akal sehat kita dalam masyarakat tidak mengalami kekaburan dalam melihat sesuatu yang salah yang bila dibiarkan dapat berusak tatanan social dalam bermasyarakat dan bernegara.
Kecenderungan yang akhir-akhir ini muncul di dalam masyarakat yang dapat mengancam bangunan sosial masyarakat pluralis adalah adanya eksklusfisme kelompok, baik dalam etnik dan agama atau sejenisnya melalui radikalisasi dalam bentuk teror dan kekerasan terhadap komunitas lain yang tidak “sealiran”. Upaya menebaran teror ini memang menciptakan kerumitan tersendiri bila dikaitkan upaya-upaya dalam meraih kekuasaam (politik), sebab dalam konteks ini modus operandinya tidak jarang melibatkan alat-alat negara. Sehingga ekses konfliknya dengan mudah meluas dan kobaran “apinya” dapat berkepanjangan, seperti yang terlihat dalam beberapa rangkaian konflik etnik, agama dan golongan social tertentu di tanah air.
Guna mencegah situasi demikian, maka beberapa cara yang perlu di lakukan adalah : 1) para aktor sosial di dalam masyarakat dari latar belakang sosial apapun perlu saling mengikat komitmen, membangun sikap saling percaya bagaimana menciptakan suasana saling merasa aman di dalam lingkungan sosialnya. 2)saling mengkomunikasikan sesuatu yang dianggap dapat menciptakan ketegangan sosial.
3) saling mengapresiasi munculnya opini-opini atau suara-suara yang tidak sehat yang dapat menganggu adanya kesalahpahaman sosial, baik dengan cara (saling) mengklarifikasi ataupun dengan menciptakan dialog sosial. 4) dengan mengidentifikasi aktor-aktor sosial atau kelompok-kelompok sosial yang dapat mengancam tumbuhnya kesadaran pluralis di dalam masyarakat dengan pendekatan budaya, misalnya melalui dialog. 5) menciptakan forum warga dengan berbasiskan pada kesadaran pluralis, inklusif diantara warga masyarakat dari tingkatan yang paling basis (grass-root).
E. Kesimpulan
Dengan menyadari adanya pluralisme (sosial) di dalam masyarakat Indonesia, seperti yang terlihat melalui adanya eksistensi masyarakat adat, tiada cara yang lebih strategis selain mengelolanya sebagai kekuatan yang produktif dalam mencapai kemajuan bersama. Proses-proses sosial perlu terus dilakukan dalam memelihara dan menyegarkan terajutnya jalinan pluralisme ini menjadi suatu tatanan sosial yang mapan di dalam masyarakat. Mamang dibutuhkan kesadaran bersama tentang visi kebudayaan yang dapat merangkai adanya pernak-pernik budaya di dalam entitas masyarakat adat di tanah air dalam sebuah bangunan keindonesiaan yang benar-benar dapat memayungi eksistensinya untuk dapat berkembang dalam mencapai kemajuan. Karena itu negara, harus benar-benar dapat mendorong secara struktural adanya regulasi-regulasi yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme di dalam masyarakat.Regulasi yang berbasis pada kekuatan komunitas adat, bukan dengan cara menyinggirkan dan memarginalissasikan mereka dari lingkungannya.
Peran negara diharuskan pula agar senantiasa dapat mempromusikan nilai-nilai budaya atau karya budaya di dalam masing-masing komunitas masyarakat, agar tercipta saling kesepahaman budaya yang dapat memperkuat kesadaran pluralis sehingga menjadi kekuatan bersama secara kelembagaan dalam institusi kemasyarakatan maupun kebangsaan dan kenegaraan. Peran pemerintah yang selama ini cenderung melakukan praktek eksploitasi terhadap masyarakat adat perlu segera diperbaharui, agar kesadaran pluralis di dalam masyarakat adapt tidak berkembang pada bentuk resestensi yang tidak sehat, misalnya dengan cara membangun ekslusfisme identitas kelompok dengan cara melakukan teror, kekerasan terhadap “identitas” komunitas anggota masyarakat lainnya. Perlunya pemerintah juga mengakomodasi entitas lokal (local culture) dalam skema bagian dari pengembangan budaya nasional. Sehingga apa yang disebut dengan Imagened Communnity Keindonesiaan adalah berkembangnya entitas local culture untuk tumbuh berdasarkan jati dirinya tanpa harus melepaskan keterkaitannya sebagai bagian dari bangunan kebangsaan yang sama. Guna menghadirkan bangunan social dengan visi pluarilsme ini, maka negara yang dapat berperanan menjadi “payung sosial” dalam menghargai adanya kesederajatan dan martabat (human dignity) di dalam keragaman asal usul sosial dari individu-individu dan komunitas-komunitas di dalam masyarakat. Dalam konteks ini adanya diskriminasi terhadap eksistensi individu atau komunitas berdasarkan entitas budaya yang mereka miliki haruslah dapat dihindari.
Begitu pula di tingkat masyarakat, kesadaran pluralis harus terus ditanam dan dikembangkan di dalam lingkungan sosialnya. Sikap eksklusif dengan cara menonjolkan kebudayaannya sendiri atau hanya terpaku pada produk nilai lama dan enggan untuk mengapresiasi nilai baru yang dapat memberdayakan kehidupan bersama selayaknya pula ditanggalkan karena dapat menghambat kemajuan dan kreatifitas dalam membangun kebudayaan. Interaksi budaya antar aktor-aktor sosial di dalam masyarakat perlu terus dikembangkan, apakah melalui bentuk kerjasama secara institusional maupun secara personal. Forum-forum budaya yang dapat memperkuat kesadaran membangun pluralisme perlu terus dikembangkan. Hanya dengan cara demikian, adanya perbedaan dan keragamaan budaya tidak menciptakan daya ledak kekerasan antar komunitas di dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Adiyoga, Dewa Bagus., “Satu Bali: Upaya Mempertahankan Bali Sebagai Satu Kesatuan Entitas Sosial, Budaya, dan Ekonomi” ,makalah Seminar Internasional Ketiga, Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Pluralitas Dalam Perspektif Lokal, tgl 9-12 Juli 2002 di Percik Salatiga.
Benedict, Anderson., Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang, Insist-Pustaka Pelajar, Yogakarta, 2001.
Bamba, John.,”Menggalang Solidaritas Mempertegas Identitas: Masyarakat Adat Dayak Kalimantan dan Resiliensi Ekologis”, dalam Niko Andasputra et.al(editor), Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosial dan Resiliensi Ekologis di Kalimantan Barat, Institute of Dayakology Research and Development, Pontianak, 2001.
Budiman, Arief., “Dimensi Sosial Ekonomi Konflik Antar Agama di Indonesia”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Dian/Interfidei, Yogyakarta, 1995.
Baso, Ahmad., Plesetan Lokalitas Politik Pribumisasi Islam, Desantara, Jakarta, 2002.
Djuweng, Stephanus., “Dayak Kanayatn, Kelompok Besar yang Hampir Terlupakan” dalam Nico Andasputra dkk (editor), Mencermati Dayak Kanayatn, Institute of Dayakology Research and Development, 1997.
Dwipayana, Ari Dwipayana AAGN., Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Bali, IRE, Yogyakarta, 2002.
Hasanuddin,et.al, Pontianak 1771-1900: Suatu Tujuan Sejarah Sosial Ekonomi, Romeo Grafika, Pontianak, 2000.
Hermawanti, Mevi, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur, IRE Yogyakarta, 2002.
Hudayana, Bambang, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat, IRE Yogyakarta, 2002.
Sudjito, Arie, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Sumatera Selatan, IRE Yogyakarta, 2002.
Rex, John., “Konsep Mengenai Masyarakat Multikultural”, dalam Pendidikan Memang Multikultural, ed.Aryo Danuasi, SET-Ragam, Jakarta, 2002.
Yunanto, Sutoro Eko, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Sumatera Barat, IRE Yogyakarta, 2002.
Yuwono, Pujo S., “Demokrasi di Kalangan Masyarakat Dayak” dalam Mohammad Nadjib dkk (editor), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, LKPSM, Yogyakarta, 1996.
http://www.ireyogya.org/adat/modul_pluralisme.htm
0 comments:
Post a Comment