MUSIRAWAS SUMATERA SELATAN[1]
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat di Kabupaten Musirawas dapat dikatakan sedang mengalami proses transisi yang tajam, baik dari segi demografi, interaksi sosial dan bisnis dengan daerah-daerah lain, perkembangan sosial politik lokal, maupun pertumbuhan ekonomi yang sedang dialami wilayah tersebut. Era reformasi dan otonomi daerah juga disambut dengan semangat berbagai segmen masyarakat di Musirawas. Begitu pula gaung “kembali ke adat”, yang akhir-akhir ini menasional, juga ditangkap dengan keinginan untuk mengeksistensikan kembali adat di Musirawas. Upaya kembali menguatkan adat dan institusi adat, atau yang populer sisebut “pemberdayaan” terhadap masyarakat adat, tentu saja perlu diawali dengan studi yang relatif mendalam terhadap komunitas bersangkutan, apalagi menyangkut komunitas-komunitas adat di Musirawas yang sedang dalam proses transisi. Oleh karena itu kegiatan Need Assesment (NA) ini dilakukan di Kabupaten Musirawas.
Cakupan data need assesment ini relatif cukup luas karena program pemberdayaan masyarakat adat yang akan dilakukan oleh IRE (Institute for Research and Empoerment)-Yogyakarta atas dukungan Komisi Eropa, juga akan berdimensi relatif luas. Pemberdayaan yang akan dilakukan mengarah kepada tumbuhnya kepercayaan dari warga masyarakat adat untuk menghidupkan institusi dari hak-haknya sejalan dengan konsep HAM, menguatkan manjemen organisasi adat sehingga mempunyai kemandirian serta profesionalisme dan mampu melakukan proses regenerasi, penguatan wacana demokratisasi, menumbuhkan semangat pruralisme, menumbuhkan sensivitas gender dalam komunitas adat, menguatkan ekonomi kerakyatan, mengembangkan jaringan dengan berbagai stakeholders, dll. Arah kegiatan yang semacam ini tentu saja membutuhkan pemahaman atas sebuh komunitas dari berbagai sudut, baik pada level grassroots, tokoh-tokoh adat, masyarakat awam, pers, pelaku bisnis/ekonomi, tokoh agama, dan tentu saja pejabat terkait di tingkat Dinas, Pemda, maupun DPRD.
B. MASYARAKAT ADAT TERAWAS
Proyek pemberdayaan ini bertempat di Kelurahan Terawas Kecamatan Batu Kuning Lakitan Ulu (BKL) Terawas, Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan, sekitar 23 Km dari Kota Lubuk Linggau. Komunitas masyarkat adat Terawas dijadikan objek setekah melalui analisa/pertimbangan beberapa hal dibandingkan komunitas adat yang terdapat di Kabupaten Musi Rawas komunitas masyarakat adat Kelurahan Terawas lebih representatif dan memawakili untuk dijadikan objek pemberdayaan oleh karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Masih terdapat organisasi adat danpengurus adat berdasarkan SK Bupati Musi Rawas Nomor : 140/25/Pundes/1991.
b. Pengurus adat masih komitmen agar nilai-nilai budaya/adat berperan sebagai pedoman serta mendorong bagi prilaku manusia di Terawas.
c. Masyarakat Terawas masih menggunakan hukum-nukum adat untuk menyelesaikan masalah kemasyarakatan, seperti adat hak waris, pernikahan, gotong-royong, penyelesaian konflik antar warga, menghargai etnis pendatang dan tata cara menjaga wilayah tanah masyarakat adat.
d. Komunitas adat Terawas berjumlah 80 %, penduduk asli 15 % Jawa, 5 % suku Batak, Minang, Palembang dan lain-lain.
e. Di Kabupaten Musi Rawas terdapat beberapa komuditas adat yang pernah diteliti, oleh TIM Peneliti Universitas Sriwijaya diantaranya :
Desa Batu Urip di Kecamatan Lubuk Linggau Timur dan Dusun Baru Kecamatan Muara Beliti, namun penelitian tersebut tidak bertujuan pemberdayaan masyarakat adat, sehingga menimbulkan kekecewaan measyarakat setempat, sedangka Desa Terawas Kecamatan Batu Kuning Ulu Terawas belum pernah dijadikan objek penelitian.
f. Setelah melakukan dialog secara individu/perorangan oleh TIM Peneliti IRE, tokoh masyarakat, tokoh adat dan unsur pemerintah di Kabupaten Musi Rawas memberikan respon yang positif, jika ada upaya IRE Jogjakarta melakukan penelitian untuk pemberdayaan masyarakat adat di Desa Terawas.
C. PROSES DAN METODE NEED ASSESMENT
Kegiatan NA ini dilakukan selama kurang lebih 10 hari, dimulai dengan pembuatan izin oleh tim peneliti kepada: Kepala Dinas Perlindungan masyarakat Sumatera Selatan dan Kepala Dinas Perlindungan masyarakat Kabupaten Musi Rawas. Tokoh adat masyarakat yang dijadikan sumber data antara lain: Amrullah Arpan, SH. LLM. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, tokoh adat kelahiran Musi Rawas, Ir. Johan Hanafiah, anggota DPRD Tingkat I Sum Sel dan Budayawan, tokoh adat Sumatera Selatan Hambali Hasan, SH. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, anggota Lembaga adat Sumatera Selatan, Drs. H. Abdurahim, staf Kantor Gubernur Sum Sel , penasehat Lembaga adat Sumatera Selatan. Arpan Abdullah, mantan Ketua Marga, Pelaksana Pengadilan Asli (adat) Musi Rawas, Ketua DPRGR tahun 1965. Ali Pita, tokoh Adat Batu Urip Lubuk Linggau, Drs. Abdul Jabbar tokoh masyarakat dan aktifis keagamaan Lubuk Linggau, Ahmad Tokoh adat Terawas, Zainal Kadus, tokoh adat dan ketua Dusun 3. Ir. Sudirman Masuli, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Musi Rawas, Alamsyah. S.Sos. Kepala Dinas Perlindungan masyarakat Musi Rawas Camat Batu Kuning Lakitan Ulu TerawaZainal Hobbli, BA. Lurah Terwas, Suryanto.
Kepada para tokoh masyarakat dan stakeholders tersebut telah dilakukan wawancara mendalam dengan menggunakan instrumen need assesment, begitu juga telah diadakan beberapa kali dialog dan diskusi terbatas kepada mereka.
D. GAMBARAN UMUM SUMATERA SELATAN
Luas daerah Sumatera Selatan kurang lebih 109.254 Km. Terletak antara 1o – 4o Lintang Selatan dan 102 o – 108 o Bujur Timur. Daearah sumatera Selatan berbatasan masing-masing dengan: Sebelah Utara dengan Propinsi Jambi, Sebelah Selatan dengan Propinsi Lampung, Sebelah Timur dengan Selat Karimata dan Luar Jawa, Sebelah Barat dengan Propinsi Bengkulu. Letak Sumatera Selatan berbagi atas dua bagian, yaitu : Daerah daratan Sumatera dan Daerah Kepulauan. Secara topografis Sumatera Selatan : Pantai Timur wilayah terdiri dari rawa-rawa dan paye yang dipengaruhi oleh surut dengan populasi tumbuhan Palmal dan Kayu Rawa ( Bakam) makin ke Barat sedikit tinggi, merupakan daratan rendah dan lembah sungai lebar.
Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 1980 penduduk Sumatera Selatan sebesar 4.627.719 Jiwa. Kelompok Penduduk yang telah mantap sering disebut penduduk asli, sedangkan yang lain disebut penduduk pendatang. Penduduk asli secara umum sudah terbiasa disebut suku. Melihat dari Peta Bahasa/Peta Suku Bangsa di atas Sumatera Selatan terdapat berbagai suku antara lain :
1. Rejang
2. Musi Ulu
3. Musi Ilir
4. Palembang
5. Pasemah
6. Lematang
7. Ogan Ulu
8. Ogan Ilir
9. Komring Ulu
10. Komring Ilir
11. Bangka
12. Mapur
13. Bugis
14. Belitung
Dilihat dari pola adat istiadatnya maka secara rinci di masing-masing Kabupaten yang ada Sumatera Selatan terbagi-bagi lagi beberapa suku seperti :
· Di Kabupaten Ogan Komring Ilir (OKI) terdapat suku Komring Kayu Agung Dana, Komring Ilir, Suku Ogan, Pagagan dan Sasak (Meliputi Meranjat, Padamaran dan Boti).
· Di Kabupaten Ogan Komring Ulu (OKU) terdapat suku Komring, Lahat dan Ogan.
· Di Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT) sering di sebut Kabupaten Muara Enim terdapat suku Lahat (Pasemah) Semando Darat, Suku Ogan meliputi Lematang dan Enim, selain itu suku anak Dalam.
· Di Kabupaten Lahat terdapat suku : Lematang, Kikim, Pasemah dan Lintang.
· Di Kabupaten Musi Rawas terapat suku : Rejang, Anak Dalam, Musi dan Ogan meliputi Rawas Ulu.
· Di Kabupaten Bangka terdapat Suku Belitung dan Sekak.
· Di Palembang Terdapat Suku Palembang asli.
Etnis-ertnis pendatang seperti Cina hampir tiap Kota Kabupaten dan Kota Madya hampir disetiap Kota Pelabuhan terdapat Suku Bugis Suku Jawa Di Daearah Perkebunan , Transmigran dan di Kota-kota Ibukota Kabupaten. Selain itu hampir setiap suku yang ada di Indonesia terdapat di Sumatera Selatan terutama di Kota Madya Palembang, termasuk juga bangsa dari India, Arab dan beberapa orang barat.
Bila dikaitkan dengan beragamnya etnis yang ada, maka gambaran mengenai pola mata pencaharian di Sumatera Selatan antara lain : Perdagangan, Pertanian, Tukang kayu, Pandai besi, Pengrajin, Nelayan, Dan lain-lain
E. GAMBARAN UMUM KABUPATEN MUSIRAWAS
E.1. Sejarah Singkat Kabupaten Musi rawas
Kabupaten daerah Tingkat II Musi Rawas yang dikenal dengan Bumi Silampari memiliki luas wilayah sekitar 21.513 Km2 atau 2.151.300 (Ha) yang terdiri dari 65,5% dataran rendah yang subur dengan struktur 62,75% tanah liat. Keadaan alamnya terbagi atas hutan potensi dan sawah ladang, kebun karet, cadas dan berbagai kebun lainnya, di daerah ini tidak terdapat Gunung berapi, di bagian Barat terdapat daratan rendah yang sempit dan berbatasan dengan Bukit Barisan dan daratan ini makin ke Timur makin luas (Dinas Pariwisata Kabupaten Musi Rawas 1990).
Awalnya, Kabupaten Musi Rawas termasuk dalam wilayah Keresidenan Pelembang (Tahun 1825 hingga 1866). Hal ini ditandai oleh jatuhnya perlawanan Kesultanan Pelembang dan perlawanan Benteng Jati serta enam Pasirah dari Pasemah Lebar ke tangan pemerintah Belanda. Sejak saat itu Belanda mengadakan ekspansi dan penyusunan pemerintah terhadap daerah ulu Pelembang yang berhasil dikuasainy. Sistem yang dipakai pemerintah terhadap daerah Ulu Palembang yang berhasil dikuasainya. Sistem yang dipakai adalah Dekosentrasi. Kemudian Keresidenan Palembang dibagi atas wilayah binaan (Afdeling), yakni :
1. Afdeling Banyuasin en Kabustreken, Ibukotanya Palembang
2. Afdeling Palembangsche Beneden Landen, Ibukotanya Baturaja
3. Afdeling Palembangsche Boven landen, Ibukotanya Lahat dengan beberapa Onder Afdeling (Oafd) yakni :
~ Oafd Lematang Ulu Ibukotanya Lahat
~ Oafd Tanah Pasemah Ibukotanya Bandar
~ Oafd Lematang Ilir Ibukotanya Muara Enim
~ Oafd Tebing Tinggi Empat Lawang Ibukotanya Tebing Tinggi
~ Oafd Musi Ulu Ibukotanya Muara Beliti
~ Oafd Rawas Ibukotanya Surulangun Rawas.
Setiap Afdeling itu dikepalai oleh Asistent Residen yang membawahi Onder Afdeling yang dikepalai Controleur (Kontrolir). Setiap Onder Afdeling juga membawahi Onder Distric dengan Demang sebagai Pimpinannya. Musi-Rawas berada pada Afdeling Palembangsche Boven Landen. Pada Tahun 1907, Order Distric Muara Beliti dan Muara Kelingi diintergrasikan ke dalam satu Onder Afdeling, yakni Onder Afdeling Musi Ulu.
Tahun 1933, jaringan Kereta Api Palembang – Lahat – Lubuk Linggau (dibuat antara tahun 1928 – 1933) dibuka Pemerintah Belanda. Hal ini menyebabkan dipindahkannya Ibukota Oafd. Musi Ulu, Muara Beliti ke Lubuk Linggau, yang menjadi cikal bakal Ibukota Kabupaten Musi Rawas. Pada tanggal 17 Februari 1942, kota Lubuk Linggau diduduki Jepang dan Kepala Oafd. Musi Ulu Controleur De Mey serta aspirant Controleur Ten Kate menyerahkan jabatannya kepada Jepang pada tanggal 20 April 1943. Jepang mengadakan perubahan instansi dan jabatan ke dalam bahasa Jepang.
Perubahan inilah yang menjadi titik tolak hari Kabupaten Musi Rawas. Perubahan nama tersebut antara lain :
· Onder Afdeling Musi Rawas Ulu diganti nama Musi Kami Gun dipimpin Gunce (Guntuyo) sedangkan Oafd Rawas diganti Rawas Gun.
· Musi Kami Gun digabung dengan Rawas Gun menjadi Kabupaten (BunSyu) Musi Rawas yang dikepalai Bun Syunco atau Sidekang Bupati.
Bun Syuco Pertama Kabupaten ini adalah Kato kemudian diganti oleh Saweda. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 peralihan kekuasaan terjadi dari Pemerintah Jepang kepada kepada Pemerintah Indonesia. Dalam peralihan ini, Raden Ahmad Abusamah diangkat sebagai Bupati Kepala Wilayah Kabupaten Musi Rawas (Sriwijaya Post,1992).
Setelah dibentuk Komite Nasional Daerah yang diketahui oleh Dr. Soepa’at pada bulan November 1945. Pada tanggal 23 Juli 1947 Residen Palembang, Abdul Rozak memindahkan Pusat Pemerintahan dari Lahat (Ibukota Afdeling Palembangsche Boven Laden) ke Lubuk Linggau Ibukota Kabupaten Musi Rawas.
E.2. Geografis dan Keadaan Alam
Kabupaten Musi Rawas terletak di sebelah Barat Propinsi Sumatera Selatan di Hulu Sungai Musi dan sepanjang Sungai Rawas dengan batas-batas sebagai berikut :
~ Sebelah Utara dengan Propinsi Jambi
~ Sebelah Selatan dengan Propinsi Lampung
~ Sebelah Barat dengan Propinsi Bengkulu
~ Sebelah Timur dengan Kabupaten Musi Banyu Asin dan Kabupaten Muara Enim.
Ibukota Kabupaten Musi Rawas adalah Kota Administrasi Lubuk Linggau dengan ketinggian 129 meter dari permukaan laut (dpl) dan terletak pada 37,5 o Bujur Timur dan 8 o Lintang Selatan. Kabupaten Musi Rawas terdiri dari 12 Kecamatan dengan 252 Desa dan 26 Kelurahan, ke – 12 Kecamatan itu adalah :
1. Kecamatan Rawas Ulu Ibukotanya Sarolangun.
2. Kecamatan Rupit Ibukotanya Muara Rupit
3. Kecamatan BKL. Ulu Terawas Ibukotanya Terawas
4. Kecamatan Muara Beliti Ibukotanya Muara Beliti
5. Kecamatan Tugumulyo Ibukotanya B. Srikaton
6. Kecamatan Jayaloka Ibukotanya Marga Tunggal
7. Kecamatan Muara Kelingi Ibukotanya Muara Kelingi
8. Kecamatan Muara Lakitan Ibukotanya Muara Lakitan
9. Kecamatan Rawas Ilir Ibukotanya Bingin Teluk
10. Kecamatan Lubuk Linggau Barat Ibukotanya Kayu Ara
11. Kecamatan Lubuk Linggau Timur Ibukotanya Taba Pingin
12. Kecamatan Megang Sakti Ibukotanya Megang Sakti
Jarak geografis antar wilayah dalam Kabupaten ini memang boleh dikatakan cukup jauh ditopang lagi dengan kondisi sarana jalan yang tidak terlalu baik. Gambaran jarak antar wilayah di dalam kabupaten tersebut tergambar dalam data-data berikut. Jarak dari Ibukota Kabupaten Musi Rawas dengan Ibukota Kecamatan dan Ibukota propinsi adalah :
1. Lubuk Linggau – Palembang : 380 KM
2. Lubuk Linggau – Muara Beliti : 24 KM
3. Lubuk Linggau – Tugumulyo : 18 KM
4. Lubuk Linggau – BKL. Ulu Terawas : 36 KM
5. Lubuk Linggau – Rupit : 80 KM
6. Lubuk Linggau – Surolangun Rawas : 115 KM
7. Lubuk Linggau – Muara Kelingi : 60 KM
8. Lubuk Linggau – Muara Lakitan : 90 KM
9. Lubuk Linggau – Marga Tunggal : 59 KM
Kabupaten Musi Rawas mempunyai iklim Tropis dan basah dengan variasi hujan antara 2.000 hingga 2.500 mm per tahun. Dalam setiap tahun jarang sekali ditemukan bulan – bulan kering. Kabupaten ini memiliki suhu maksimum 37 o.
Di Kabupaten Musi Rawas banyak memunyai sungai-sungai besar yang dapat dilayari. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan. Sungai-sungai yang terdapat di Kabupaten Musi Rawas antara lain : Sungai Rawas, Lakitan, Kelingi, Rupit dan Sungai Musi. Sementara itu jika dilihat dari keadaan tanah Kabupaten Musirawas, maka dapat dibagi atas:
· Aluvial yang bercirikan, warnanya coklat kekuning-kuningan, bahan induk terdiri dari endapan liat dan pasir, dijumpai dibagian datar kota Lubuk Linggau, Tugumulyo dan Muara Kelingi banyaknya 8,05 % dari luas Kabupaten, 41,18 % diantaranya Kecamatan Muara Kelinggi, tanah ini sesuai untuk padi, sawah dan palawija/
· Asosiasi Cleihumus, yang bayaknya 7,16 % dari luas Kabupaten Musi Rawas, 39,72 % diantaranya terdapat di Kecamatan Rupit, dan cocok untuk padi sawah
· Tanah Litosol, terdiri dari 0,27 % dari luas Kabupaten, digunakan untuk tanaman keras, rumput-rumputan dan ternak.
· Tanah Asosiasi Litosol, banyaknya 0,77 % dari luas Kabupaten, diantaranya terdapat di daerah Kecamatan BKL. Ulu Terawas dan Rupit
· Recosol, banyaknya 0,77 % dari luas Kabupate, di antaranya 55,89 % di Kecamatan Muara Beliti dan 13,34 % di Kecamatan Rawas Ulu, cocok untuk padi sawah, palawija dan tanaman keras.
· Podsoloik, banyaknya 37,72 % dari luas Kabupaten, merupakan jenis tanah terluas di Kabupaten Musi Rawas. Sebagian besar terdapat di Kecamatan Muara Rupit, Rawas Ulu, Muara Lakitan dan Jaya Loka. Cocok untuk padi sawah, ladang dan tanaman karet.
· Assosiasi Podsolik, hanya terdapat di Kecamatan Muara Lakitan dan Rawas Ilir banyaknya 29,59 % dari luas Kabupaten.
· Tanah Komplek Podsolik, hanya terdapat di Kecamatan Rawas Ulu.
E.3. Kebudayaan, Seni-Budaya, dan Pariwisata
Kabupaten daerah tingkat II Musi Rawas dikenal memiliki motto daerah yang disebut “Lan Serasan Sekentenan“ yang secara harfiah diartikan: “Lan berasal dari bahasa Sindang dan Musi yang berarti kerja atau usaha atau karya nyata“. “Serasan merupakan bahasa yang lazim dipakai oleh sebagian penduduk Sumatera Selatan yang berarti se – mufakat “. “Sekentenan berasal dari bahasa Rawas yang berarti berteman akrab atau kelompok”. Kesimpulan pengertian dari Lan Seketenan adalah karya mufakat yang kompak, ini menunjukkan Masyarakat Kabupaten Daerah Tingkat II Musi Rawas Senantiasa bekerja sama / mufakat dalam mensukseskan setiap kegiatan pembangunan di daerah.
Sementara itu dari segi seni dan budaya, Kabupaten Musi Rawas memiliki seni budaya asli daerah “Bumi Silampari “, yaitu jenis taria-tarian antara lain: 1. Tari Silampari, 2. Tari Tangai, 3. Tari Putri Bergias, 4. Tari Grigik, 5. Tari Tempurung, 6. Tari Piring, 7. Tari Sabung 8. Tari Dana, 9. Tari Kume 10. Tari Senjang, 11. Tari Selendang, 12, Tari Kain 13. Tari Turak. Jenis nyanyi-nyanyian antara lain: 1. Ribu-ribu, 2. Senjang 3. col name – name, 4. umak – umak, 5. percang naik gunung, 6.Tiung Di Tiung, 7. Cerai Kasih, 8. Sukat Malam, 9. Cacam Bate dan 10. Bujang Ngen Dere.
Kabupaten Musi Rawas memiliki adat dasar Musi Rawas antara lain tentang cara perkawinan, seperti umumnya di Sumatera Selatan. Cara Perkawinan di Musi Rawas ada tiga macam, yakni: Daku Anak ( laki-laki dan Perempuan); Bajojo ( Perempuan ikut Laki-laki); Semendo Rajo-rajo (Bebas memiliki kedudukan). Sedangkan bahasa yang digunakan diKabupaten Musi Rawas ada sekitar 6 Bahasa, yaitu : (a) Bahasa Rejang di Ulu Rawas Kecamatan Rawas Ulu (b) Bahasa Rawas di Kecamatan Rupit dan Rawas Ilir (c) Bahasa Musi di Kecamatan Muara Kelingi dan Muara Lakitan (d) Bahasa Beliti di Kecamatan Muara Beliti dan BKL. Ulu Terawas (e) Bahasa Jawa di Kecamatan Jayaloka dan Tugumulyo (f) Bahasa Campuran (pendatang ) di Kota Lubuk Linggau.
Kabupaten Musi Rawas dikenal memiliki banyak objek wisata yang keindahan alamnya tidak diragukan lagi. Dari sekian banyak objek wisata sebagian besar telah diteliti oleh Dinas Pariwisata Musi Rawas ( Dinas Pariwisata, 1990). Objek wisata yang sudah disurvei adalah : Gua Napa Licin di Kecamatan Rawas Ulu (terdiri dari Gua Bukit Batu, Gua Bukit Pengaba, Gua Bukit Payung dan Gua Karang Nato), Danau Raya di Kecamatan Rupit, Bukit Sulap di Kecamatan Lubuk Linggau Barat, Benteng Kuto Ulak Lebar di Kecamatan Lubuk Linggau Barat, Air Terjun Temam dan Air Terjun Jukung di Kecamatan Muara Beliti, Dam Irigasi Air Gegas di Kecamatan Jayaloka, Dam Irigasi Water Vang di Kecamatan Lubuk Linggau Timur, Air Mancur Panas/Sumber air panas di Kecamatan Muara Kelingi
F. MARGA SEBELUM PEMERINTAHAN BELANDA
Tulisan mengenai sejarah asal usul dan perkembangan kesatuan yang terendah dalam wilayah Propinsi Daerah tingkat I Sumatera Selatan yang berkembang secara evolusioner dari kekuatan-kekuatan dan daya Budaya yang timbul dari rakyat sendiri, meliputi kurun waktu dari titik awal mula terjadinya hingga sekarang tidaklah dapat ditemukan.
Yang dapat diketemukan hanyalah karangan-karangan yang disusun orang-orang Belanda yang datang untuk kepentingan dagang rempah-rempah, akan tetapi kemudian menjalankan kekuasaan Pemerintahan secara Umum sejak tahun 1822. Pada tahun 1822 Belanda mengadakan perjanjian melalui traktat dengan Pemerintah Kesultanan Palembang yang mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda sepenuhnya. Pemerintah Belanda menempatkan seorang Komisaris Pemerintahan di Palembang, yaitu Van Sevenhoven (Tahun 1821 – 1824) dan sejak 1822 telah menunjuk seorang Assisten Resident untuk pedalaman Palembang antara lain De Sturler (tahun 1822-1830).
Pemerintahan secara langsung masih tetap di tangan Pemerintah Kesultanan. Oleh karena itu nampaknya kepentingan dagang Pemerintah Belanda baik ekonomis maupun dari segi keamanan dianggapnya masih kurang terjamin. Pada tahun 1851 Pemerintah Belanda menghapus Pemerintah Kesultanan Palembang dan mulai melakukan Pemerintahan langsung dalam wilayah Sumatera Selatan ini, yang termasuk dalam wilayah lingkaran adat (rechtskring) Sumatera Selatan cabang adat ( rechtgouw ) Palembang yang meliputi daerah Palembang sebagian dari Bengkulu (Rejang Lebong Belalau) dan daerah sebelah Selatan Danau Ranau.
Akan tetapi sebelum tahun 1851 yaitu sejak tahun 1848 Belanda telah menempatkan amtenar Pemerintahannya di daerah-daerah pedalaman. Dari karangan-karangan amtenar-amtenar Belanda ini dapat dipetik bagian-bagian, yang merupakan bahan-bahan yang memberikan gambaran tentang sejarah perkembangan pemerintahan Marga tersebut. Secara sepintas lalu dapat diambil kesimpulan, bahwa sebelum Pemerintahan Belanda melakukan pemerintahan secara langsung sejak 1851, Pemerintahan Kesultanan telah memanfaatkan lembaga pemerintahan asli sari rakyat ini yang berkembang dengan kekuatan daya budaya dari rakyat sendiri dengan mengadakan modifikasi-modifikasi. Pemerintah Belanda melanjutkan mempergunakan kesatuan-kesatuan pemerintah asli ini dengan mengadakan menyeragamkan beberapa macam tugas kekuasaaan dan bentuk kesatuan-kesatuan yang dimaksud seperti dalam Gemeente Ordonnantie Buitengewesten Stbl. 1938 No. 4990 jo 681.
Usaha menata kembali susunan dan kewenangan dari marga-marga ini ditingkat Nasional ialah dengan dikeluarkannya UU No. 19/1965 tentang Desa Praja yang bertujuan penggabungan beberapa marga yang disebut Desa Praja yang diproyektir sebagai Daerah Tingkat III berdasarkan UU No. 18/1965. Jadi ada usaha penyamaan marga menjadi daerah Otonom gaya barat (berasal dari Belanda dengan dasar Hukum Pokok UU Desentralisasi 1903). Usaha ini tidak berjalan M.P.R.S. telah memutuskan untukmembekukan UU No. 19/1965 dan meninjau kembali UU tersebut. Baru dengan UU No. 5/1979 berdasarkan ps 88 UU No. 5/1974 dikeluarkan UU Khusus, yang memekarkan Marga menjadi desa-desa sedangkan dalam UU khusus tersebut, kesatuan-kesatuan wilayah Pemerintahan yang sejajar dengan dusun didalam kota-kota dijadikan wilayah pemerintahan, yang disebut Kelurahan yang tidak Otonom, akan tetapi berdasarkan azaz dekosentrasi. Desa dan Kelurahan jadinya merupakan kesatuan pemerintahan yang terendah berhadapan langsung dengan rakyat umum.
Kita melihat pasang surut pemerintahan dalam kesatuan-kesatuan Pemerintahan yang terdepan dan terendah dalam arti berhadapan langsung dengan rakyatnya. Kesatuan pemerintahan ini sangat penting kedudukannya dalam mata rantai pemerintahan dari pemerintah Pusat sampai kerakyat umum. Oleh itu kehidupan kesatuan Pemerintahan ini patut mendapatkan perhatian khusus. Eksistensi kemampuan tata pemerintahan lokal tingkat bawah ini dimasa datang tidak dapat diabaikan kecuali diganti dengan peningkatan jumlah aparatur negara. Pelayanan terhadap rakyat justru tumbuh dengan mempergunakan kesatuan-kesatuan pemerintahan asli ini dengan biaya dan usaha yang relatif ringan. Pemanfaatan kesatuan lembaga pemerintahan asli dari rakyat ini diteruskan oleh pemerintahan bala tentara Jepang untuk kepentingan perang Asia Timur Rayanya. Antara lain dalam pengumpulan tenaga kerja (romusha) dan pangan (padi, sayur-sayuran, telur, ikan dan daging).
G. ASAL USUL MARGA: TAHAP PERKEMBANGAN
Seperti di atas disinggung bahan tulisan yang secara kronologis teratur dari waktu ke waktu sangat kurang tentang sejarah perkembangan kesatuan pemerintahan yang disebut Marga di Sumatera Selatan. Hanya berdasar cuplikan-ciplikan dari kalangan amtenar-amtenar Belanda dari tahun 1825 maka kita dapat memperoleh gambaran perkembangan Marga. Perkembangan ini nampaknya berlangsung di bawah pengaruh-pengaruh dari luar daerah. Van Royen dalam buku disertainya tentang Marga di Palembang menggambarkan perkiraan perkembangan dalam beberapa tahap. Perkembangan dalam tahap-tahap ini bukan berdasarkan bahan dokumentasi dan informasi yang teratur akan tetapi merupakan hasil renungan dan pemikiran.
Tahap 1 : Peninggalan sejarah Orang Kubu
Tahap yang tertua ialah adanya rumpun orang yang hidup mengembara dan berpindah pindah dari suatu tempat yang lain. Mereka ini merupakan suatu kelompok yang hidup dari penghasilan hutan, perburuan dan penangkapan ikan. Menurut hikayat yang beredar dari mulut kemulut dahulu kala terdapat orang-orang Hindu dan orang Jawa, yang mengembara menyelusuri pinggir sungai, mencari tempat yang serasi, air dan tanah yang baik untuk kebutuhan hidup mereka. Mereka itu mempunyai pola hidup mengembara sebagai orang – orang yang disebut Nomad, yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Sisa – sisa dari kehidupan ini ialah orang – orang Kubu jauh masuk kepedalaman, yang hanya sedikit menerima pengaruh asing yang sudah menerima pengaruh asing adalah daerah-daerah tepi pantai atau sungai-sungai.
Sampai sekarang pemerintah (Kantor Wilayah Sosial) masih melakukan usaha-usaha pemukiman di pedalaman Kab. Musi Rawas bagi orang-orang Kubu, yang masih di dapati di Sumatera Selatan dalam rumpun-rumpun yang bersatu, diikat oleh semata-mata tali kekeluargaan. Jadi tipe kelompok orang-orang Kubu inilah yang dianggap sebagai asal mula kesatuan genealogis, yang merupakan benih pertama dari masyarakat hukum adat bersifat genealogis yang kemudian menjadi kesatuan masyarakat hukum genealogis teritorial
Tahap II
Dalam tahap kedua telah terjadi peningkatan pola hidup dari sebagian pengembara menjadi penghuni – penghuni yang menunjukkan gejala – gejala ingin menetap dan mencari nafkah hidupnya dari bertani secara sangat primitif di tanah-tanah ladang yang berpindah-pindah selang jangka lebih kurang tahun berhubungan dengan kesuburan tanah. Dari kelompok-kelompok setengah pengembara ini timbul dusun - dusun semi permanen yang masih diikat dalam kesatuan oleh tali kekeluargaan. Anggotanya bersatu karena masih seketurunan dari seorang puyang tertentu. Pada tahun 1927, sewaktu J.W. Van Royen menuliskan disertainya kelompok masyarakat tersebut disebut sebagai contoh dari sisa masyarakat “anak Lakitan”. Tipe kesatuan masyarakat ini berkembang sekitar tahun 1859 dengan Marga Batu Kuning Lakitan. Sementara Marga Batu Kuning Kelingi hidup dipinggir-pinggir dan di muara-muara anak-anak sungai Lakitan.
Tahap III
Dari kesatuan-kesatuan masyarakat yang masih berladang berpindah-pindah dari talang ke talang dengan antara waktu lebih kurang 2 tahun, timbul dusun-dusun yang bersifat permanen. Masing-masing rumpun biasanya memenghuni suatu daerah yang mempunyai batas-batas alamiah seperti lembah-lembah. Dalam satu dapat tinggal satu atau lebih rumpun yang berasal dari satu nenek puyang. Anggota-anggota rumpun sebagian besar tetap hidup dari pertanian menetap dengan cara yang sudah maju. Ikatan batin antara warga suatu rumpun dengan tanah lingkungannya sudah lebih mendalam contohnya dalam tahun 1916 antara lain rumpun yang disebut di daerah Rejang Lebong yang terkemuka adalah Petulai Jurukalang, Bermani, Selupu dan Subai (daerah ini masih termasuk lingkaran adat Sumatera Selatan, sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi DT. I Bengkulu ) dan menurut Pangeran Muara Danau dalam tahun1825 di empat Lawang telah berkembang sembilan rumpun orang-orang Rejang, yaitu Semidang Sakti, Bungo Sakti, Semintal Sakti, Juru Talang Sakti, Selapo Sakti, Marigi Sakti, Brahmani Sakti, Serai Sakti dan Piagu Pring Sakti. Menurut cerita dogeng Semindang berasal dari seorang penguasa dusun dari kerajaan Pagar Ruyung (Sumatera Barat).
Suatu organisasi pemerintahan yang teratur dalam tiap-tiap rumpun yang mencakupi seluruh rumpun belum terdapat, hanya menurut hikayat empat rumpun terpenting membentuk persatuan untuk menyerang dan membela mempertahankan diri. Tiap-tiap dusun ini merupakan suatu jurai keturunan, hal mana antara lain dapat disimpulkan dari suatu kebiasaan adat, apabila seorang dalam suatu jurai keturunan hal mana antara lain dapat disimpulkan dari suatu kebiasaan adat, apabila seorang dalam suatu Jurai sama sekali tidak disukai lagi tinggal didusun karena tingkah lakunya sudah terlampau bejat, ia diusir keluar dusun, tindakan mana disebut “ Buang Jurai “.
Tahap IV
Dalam tahap IV terdapat perkembangan sedemikian rupa, sehingga telah terdapat rumpun – rumpun yang menetap disuatu lokasi / Karena anggota rumpun-rumpun ini berkembang biak dan apabila suatu lokasi mulai dirasakan sempit rumpun itu berpisah lokasi tempat tinggal ditempat yang agak jauh tetapi masih dalam suatu kesatuan daerah setara geografis. Biasanya hubungan kekeluargaan belum terputus, karena jarak antara dusun induk dan dusun baru biarpun satu keturunan dari satu puyang, berjalan sendiri – sendiri. Disini rumpun itu disebut Kabuayan, di daerah – daerah Kroi antara lain disebut kesatuan masyarakat ini (satu rumpun ialah Kembahang, Buai Belungu, Sukan dan Buai Kenjanga). Dalam perkembangan tahap IV ini didapati hubungan kekeluargaan yang erat, biarpun sudah memisah tempat tinggal dari dusun Induk, karena satu keturunan dari satu Puyang. Pada tahap permulaan perkembangan ini masih tetap dirasakan kekeluargaan satu Keturunan. Dalam Stadium kita dapati masyarakat yang menetap dan menduduki areal teritorial areal tertentu mulai berkembang kesatuan masyarakat yang genealogis teritorial.
Tahap V
Dalam suatu daerah tertentu secara geografis tidak hanya terdapat rumpun satu keturunan, tetapi juga ada rumpun pendatang, kemudian merupakan kesatuan mandiri dan merasa satu keturunana dari nenek moyang lain dari rumpun yang lebih dulu dari daerah tersebut, tanpa ada percampuran antara rumpun itu. Biasanya rumpun yang kecil dan datang kemudian mengakui wibawa lebih (supremasi) dari rumpun tertua karena disuatu daerah tidak lahir satu rumpun, tetapi berbeda-beda garis keturunan, lama kelamaan menjadi kanur dan menonjol sifat teritorial masyarakat sebagai ilustrasi rumpun Pasemah yang berpindah dan bermukin di Semendo Darat membentuk kesatuan masyarakat menjadi marga Semendo, Makakau, Bayan dan Kisam. Disini timbul kesatuan masyarakat yang sifat teritorialnya menonjol, sifat geneologisnya menyurut. Stradium inilah timbul Marga sebagai suatu kesatuan masyarakat.
Kata Marga di depan dalam piagam Sultan Palembang sejak kurang lebih tahun 1760 Antenar-antenar Belanda/Inggris tidak pernah menyebutkan istilah ini dalam karangan mereka dan menyebutkan kesatuan masyarakat dengan istilah Petulai, Sumbai, Kebuaian atau suku yang mencetuskan sifat teritorial ini adalah Sultan dari Kerajaan Paelembang sebagai suatu kebijaksanaan pemerintah.
Khusus Pasemah Lebar
Di dataran tinggi Pasemah Lebar berkembang empat rumpun asli dan rumpun kemudian, yaitu :
1. Sumbai Besar
2. Sumbai Ulu Lurah
3. Sumbai Pangkal Lurah
4. Sumbai Mangku Anom
5. Sumbai Penjalang
6. Sumbai Semidang.
Keempat Sumbai mengaqkui kekuasaan Sultan, dengan suatu piagam antqara Sultan dan Lampit Ampat, sedangkan Sumbai Penggalang dan Semidang tetap tidak takluk pada pemerintahan Kelustananan dan baru kemudian ditaklukkan oleh Belanda tahun 1866. Federasi bukan merupakan kesatuan yang pokok yang memutuskan dalam suatu sidang antara kepala Sumbai, Kepala Suku dan Proatin (Kepala tiap Dusun) dalam hal perselisihan antara Sumbai. Dari uraian Van Royen disimpulakan bahwaq di Pasemah Lebar pada awal mulanya berkembang kesatuan genealogis, sebagai ciri masyarakat hukum yang benyak menjalankan kekuasaan politik. Antara suku-suku sering terdapat faktor saling mempengaruhi melalui kekerasan, kecerdasan dengan jalan perdamaian dan kemupakatan.
Dari Uraian tersebut diatas rumpun-rumpun seringkali mengadakan suatu traktat pengakuan dalam daerah-daerah di pinggir sungai dan jalan-jalan. Sejak Belanda menghapuskan pemerintahan Kesultanan sering mengadakan perjalanan kepedalaman dan mengadakan perjanjian dengan kesatuan masyarakat hukum yang ada, baik yang bersifat territorial genealogis mapupun genealogis territorial yang mengakui kedaulatan Belanda, disimpulkan bahwa kesatuan masyarakan hukum yang berdasarkan adat tersebut berkembang sebelum dan sesudah berdirinya Pemerintahan Kesultanan dan Pemerintahan Belanda. Sebagai perkembangan tahap akhir pemerintah Belanda mengorganisir kesatuan masyarakat yang masih terikat oleh ikatan genealogis melalui perkawinan yang semata-mata menonjol sifat territoir. Marga merupakan kesatuan administratif yang diakui oleh keluarga yang minoritas, maupupn kesatuan giografis menurut perkembangan sejarah.
Sejarah pembentukan kesatuan masyarakat merupakan satu pemerintahan yang berbentuk badan hukum yang berkembang secara patenalistis genealogis pada awalnya suatu kesatuan dari keturunan nenek moyang tertentu diketuai oleh ketua rumpun. Wibawea pemerintahan kedalam tidak begitu kuat yang kemudian justru meningkat pengaruh dari luar antara lain usaha saling menindas, tindakan sewenang-wenang pemerintah kesultan dan pemerintah Belanda yang secara umum mengabaikan nilai kekeluargaaan yang sering dimanfaatkan untuk kebijaksanaan tertentu. Akhirnya perjalanan sejarah rumpun-rumpun mengalami kemunduran dan percampuran sehingga timbul masyarakat yang bersifat territorial. Keputusan pemerintah kesultanan dan pemerintahan Belanda tidak mengapuskan masyarakat hukum territoriel yang dimanfaatkan secara politis di zaman modern sekarang ini.
Seorang amtenar Belanda G.L.M. Swaab mengemukakan dalam karangannya pada majalan kolonial apa yang dikatakan oleh penulis Maine dalam bukunya “ Ancient Law “ (Hukum Klasik) bahwa secara umum sejarah paham politik mulai dengan pengaqkuan azas, bahwa hubungan kekeluargaan merupakan landasan pertama bagi kerjasama dalam bidan ketatanegaraan. Dalam tahap kehidupan sebagai nomad (pengembara) dapat dilihat pengelompokan-pengelompokan dalam rumpun-rumpun dalam bentuknya yang semurni-murninya, yang dapt bertahan, selama tidak dimasuki oleh pengaruh – pengaruh dari luar, dengan pengertian bahwa hubungan kekeluargaan seketurunan membentuk kesatuan-kesatuan masyarakat kenegaraan. Setelah kehidupan nomad (Pengembara) ditinggalkan dan rumpun bermukim tetap ditempat tertentu, kesatuan yang bersangkutan dibatasi oleh wilayang yang diduduki. Dapatlah dikatakan bahwa sejarah terbentuknya kesatuan-kesatuan yang dalam awalnya perkembangannya bersifat genealogis menjadi territorial sepenuhnya. Karena luas daerah yang dihuni tetap saja.
Perkembangan dusun-dusun (dorp) menjelma dari ikatan dari dusun-dusun (dorpsbond) digambarkan sebagai berikut : proses pertumbuhan ini dapat diperumpamakan dengan proses pertumbuhan sebuah pohon. Dari batah tubuhnya tumbuh dahan-0dahan dan dari dahan tumbuh lagi ranting-ranting, yang pada lilitannya mengeluarkan tangkai-tangkai tempat daun-daun dan bunga-bunga bertengger. Ada kemungkinan, karena pengaruh kelancaran lalu lintas perdagangan atau pengaruh lain dari luar seperti pemerintah atasan lebih menguasai atasan- atasan kesatuan-kesatuan bahawan antara lain Pemerintahan Kesultanan, kemudian pemerintah Belanda, dalam satu wilayah iografis terdapat dua atau lebih serikat dusun-dusun, anggota-anggotanya berasal dari nenek puyang berlainan. Serikat dusun-dusun ini yang disebut Marga, istilah yang berasal dari Pemerintahan Kesultanan (lihat atas). Menurut J.L.K. Swaab dalam buku Prop. Dr. G.A.W. Wilken dikatanan bahwa istilah “Marga” berasal dari kata Sanskrit “Varga” yang mengandung makna baik suatu territoir tertentu (Afdelling-terretoir) di Sumatera Selatan ini dalam arti luas terdapat :
1. Federasi dari serikat dusun-dusun .
2. Serikat Dusun-dusun.
3. Dusun-dusun.
4. Bagian-bagian dari dusun, yang masih kuat menampakkan gubungan tali kekeluargaan.
5. Keluarga-keluarga kecil.
Bentuk pertama ad (1), yaitu serikat – serikat dusun-dusun merupakan kekecualian, antara lain terdapat di Kerinci (masih termasuk dalam Lingkungan Hukum Adat Sumatera Selatan), yang disebut “ Selapan Helai Kain” dan “ Tiga Helai Kain” yang terakhir ini kemudian menghilang sendiri. Yang Diakui dan dibina oleh pemerintah Belanda melanjudkan kebijaksanaan dari poemerintah kesultanan adalah serikat dusun-dusun (biorpsbond) dan dusun-dusun yang besar (seperti di Pasemah Lebar), yang ditetapkan sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, yang sekarng ini disebut sebagai Marga, yan gsecara menonjol sudah bersifat territoriel sungguhpun di dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tersebut sedikit banyaknya masih ada kemungkinan dapt ditelusuri hubungan kekeluargaan/ hubungan genealogis berdasarkan keturunan sedarah.
H. MARGA DALAM ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
Pengaruh Pemerintah Belanda terhadap perkembangan pemerintahan Marga secara umum. Pada umumnya pemerintah Belanda menjalankan 3 macam pengaruh, yaitu :
1. Menyeragamkan cara-cara pemerintahan menuju pada usaha-usahaUnifikasi ;
2. Menguatkaan peraturan-peraturan adat yang berjalan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda ;
3. Mengadakan perubahan-perubahan seperlunya.
Karena antara keadaan dalam beberapa bagian dari wilayah kekuasaan sangat banyak perbedaan-perbedaan, tindakan menyeragamkan kadang-kadang berakibat bagi sesuatu bagian, perubahan sama sekali dari keadaan yang ada. Tindakan-tindakan tersebut mencakupi antara lain :
a. menetapkan semua kesatuan-kesatuan pemerintahan sebagai kesatuan-kesatuan yang bersifat territorial serupa dengan margta yang didapati di Daerah Kepungutan dalam es Wilayah Kesultanan pada waktu Wilayah Kesultanan ini dijadikan wilayah yang diperintah langsung oleh Belanda dengan dihapusnya pemerintahan kesultanan;
b. Menetapkan satu macam cara peradilan dalam seluruh wilayah yang dikuasai;
c. Mengatur pungutan menurut adat secara lebih rasional;
d. Menjalankan usaha-usaha kodifikasi dari hukum adat material;
Dalam segala tindakan ini diadakan perubahan untuk menghapuskan keadaan-keadaan yang timpang dan penyelewengan-penyelewengan. Selanjutnya diadakan perubahan-perubahan seperti :
a. Pengaturan kembali sistem pajak dan rodi yang dibuat oleh Sultan-sultan.
b. Usaha-usaha yang pengapusan marga-marga sebagai Kesatuan Masyarat Hukum (dalam awal pemerintahan Belanda, tetapi kemudian berubah lagi sebaliknya)
c. Penyatuan dan pemecahan (pemekaran)marga-marga:
d. Pembentukan kas-kas (dana) marga;
e. Pembentukan dewan-dewan marga;
f. Pernyataan pemilikan (domeinverklaring) atas tanah-tanah oleh pemerintah Belanda;
g. Mengatur peruntukan dan pembagian hasil dari kehutanan;
h. Mengatur hukum tanah;
i. Pembentukan kesatuan-kesatuan pemerintahan wilayah administratif meliputi secra hiearchis kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut, yaitu district dan onderdistrict.
Sebelum Belanda menghapuskan Pemerintahan Kesultanan pada tahun 1851, mulai tahun 1848 Belanda telah menempatkan amtenar-amtenar di pedalaman. Waktu itu didapati oleh belanda kesatuan-kesatuan ketatanegaraan yang terendah dalam tahap perkembangan yang berbeda-beda. Belanda mempersamakan kedudukan semua kesatuan sebagai kesatuan teritorial dengan mengambil sebagai pola kesatuan Marga, yang dibentuk oleh Pemerintahan Kesultanan.
Tindakan-tindakan Belanda mempersamakan hak-hak warga marga, apakah ia merupakan matagawe (Kepala Keluarga) ataukah aiingan (pengikut-pengikut atau anggota keluarga), menghapuskan larangan orang luar dari marga meetap dalam marga dan larangan bagi warga marga pndah tempat bermukim antar marga, menetapkan pemilihan kepala-kepala marga yang disebut secra umum sebagai Depati dan kepala-kepala dusun (proatin-proatin)berdasarkan tempat tingga dalam suatu territoir sebagai faktor pengikat bagi kesatuan-kesatuan dimaksud. Pada akhirnya hanya sifat territorial dari Marga-marga tersebut menjadi batas-batas wadah pemerintahan yang disebut marga ini.
Di daerah Pasemah, yang ikatan kekeluargaan masih kuat, akan tetapi oleh karena dusun-dusun dari rumpun-rumpun sumbai itu, berbaur antara satu sama lain, Belanda menetapkan pembentukan Marga-marga berdasarkan batas-batas giografis. Jadi Belanda membentuk kesatuan-kesatuan ketatanegaraan yang bersifat territorial dengan tidak menghiraukan ikatan-ikatan genealogis yang ada, yang bertambah lama kian kabur dan secara formal kurang mendapat perhatian dalam soal-soal pemerintahan. Selanjutnya Belanda menjalankan usaha-usaha penyempurnaan administrasi, terlebih lagi dalam bidang keuangan.
Dalam Pemerintahan Kesultanan nampaknya telah dilakukan pungutan-pungutan adat dan penarikan-penarikan jasa tenaga rakyat, yang berperan sebagai sarana melaksnakan Pemerintahan. Pungutan adat, antara lain dlam bentuk denda-denda memberikan penghasilan plada Kepala-kepala Adat, sedang penarikan jasa-jasa masih cenderung berlandaskan perbudakan atau penyanderaan (tanggungan hutang).
I. MARGA DALAM ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Seperti telah disinggung dalam Bab ini, pada waktu Belanda mengungsi dari wilayah Indonesia, sewaktu Jepang menyerbu dan menduduki wilayah Indonesia pada tahun 1942, kedudukan Marga sebagai suatu kesatuan pemerintahan terdepan yang berhadapan secra langsung dengan rakyat berdarakan hukum adat sudah mantap, memegang gungsi pemerintahan dalam arti luas yang mencakupi tugas perundangan, pelaksanaan, lperadilan dan kepokisian menurut teori caturpraja dari V. Vollenhoven. Selain drai berlandaskan prinsif otonomi menuirut hukum adat, juga Pemerintahan Marga menjalankan urusan-urusan pemerintahan sentral sebagai tugas pembantuan (medebewind). Pemerintah Marga merupakan tumpuan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam arti luas, karena pada hakekatnya Marga merupakan sambungan terakhir dari mata rantai tingkat-tingkat pemerintahan dalam wilayah Indonesia (pada waktu itu masih Hindia-Belanda).
Dapat dikatakan bahwa tata cara Pemerintahan dalam Marga berlandaskan prinsif-prinsif yang merupakan resultante dari faktor-faktor adat dan prinsip-prinsip pemerintahan barat, suatu amalgamansi antara unsur-unsur asli dan dari luar, antara faktor-faktor timur dan barat, suatu amalgamansi antara unsur-unsur asli dan dari luar, antara faktor-faktor timur dan barat. Pemerintah Marga merupkan Pemerintah yang berwibawa terdapat rakya, yang dimanfaatkan pemerintah Belanda dalam segala urusan pemerintahan sampai-sampai dalam pungutan Pajak Negara. Untuk kepentingan Pemerintah Belanda, pemerintah Belanda dilengkapi dengan sarana-sarana yang meningkatkan kewibaan dimaksud, antara lain dengan sarana dan kewenangan peradilan (peradilan Adat) dan sarana dan kewenganan kepolisian (Kepala Marga merupakan Hulpmagistraat). Singkat sebelum pemerintah Belanda jatuh karena serbuan dan pendudukan Militer Jepang, dapat dikatakan, bahwa kedudukan kepla marga terlebih-lebih dalam daerah-daerah yang subur (plus) menjadi perebutan, khususnya dlam kalangan keluarga seketurunan dari seorang nenek puyang tertentu persaingan perebutan keududukan Pasirah Kepala Marga yang lowong, dapat menimbulkan perasaan dendam yang berkepanjangan antara keluarga-keluarga yang menang dan kalah dalam suatu perebutan kedudukan.Jepang mulai dengan masa pendudukannya mewarisi keadaan yang sedemikian ini. Kepala marga mempunyai kedudkan yanmg kuat sebagai aparat operasional dari Pemerintah Belanda, yang mengawasi dan membina pemerintahan Marga tersebut dengan perantaraan Pamong Praja Bangsa Indonesia ( Demang dan Asisten Demang), yang merupakan aparat pembantu bagi Pamong Praja Bangsa Belanda. Setelah militer Jepang berbenah diri dari kesibukan – kesibukan penyerbubuan dan pendudukan ia mulai menyusun kekuatan sipilnya untuk mengabdi pada tugas-tugas pelaksanaan kepentingan perang.
Tentara Jepang tidak banyak membawa perubahan Yuridis dalam susunan pemerintahan Marga yang ada, dan khususnya memanfaatkan susunan eksekutif (Pasirah dan Krio, Penggawa) untuk tugas-tugas demi kepentingan perang dan dapat dikatakan tidak mengaktifkan, malahan dalam prakteknya dirasakan sebagai pembekuan sebagian besar kegiatan-kegiatan legislatif dan yudikatif. Kedudukan Pamong Praja Eropa diambil alih oleh orang Jepang (Gubernur, Residen dan Ass. Residen dengan istilah bahasa Jepang Tyokakakka, Syu-Seityo dan Bunsyutjo) kecuali Kepala Onderafdeling yang tidak dipegang oleh orang Jepang pengganti Countroleiur orang Belanda, tetapi oleh seorang Bangsa Indonesia yang dalam zaman Pemerintah Belanda merupakan Pembantu Countroleiur dengan jabatan sebagai Demang, ditunjuk memegang kedudukan itu dengan nama jabatan dalam istilah bahasa Jepang Gun-tjo, yang dibantu oleh Fuku-Guntjo membawahi kepala-kepala dudun ( Krio dengan istilah Kutijo).
Disamping Guntjo (Bangsa Indonesia )ada seorang kepala Polisi orang Jepang dengan jabatan yang sama dengan Guntjo. Pemerintahan bala tentara Jepang memanfaatkan susunan yang relatif stabil dari pemerintahan sipil bangsa Indonesia dan Marga untuk kepentingan peperangan Asia Timur Rayanya. Selama pendudukan tentara Jepang inilah rakyat merasakan betapa pedihnya berada di wilayah penjajahan bangsa lain yang melakukan pemerasan-pemerasan, penekanan-penekanan dan kekejaman untuk kepentingan perang Asia Timur Rayanya.
Pemerintah Jepang dengan memanfaatkan tenaga kepala-kepala Marga (Sontjo) dengan perantaraan Gun-tjo Fuku – Guntjo, yang diharuskan mengumpulkan bahan-bahan makanan dan tenaga-tenaga kerja dari rakyat dengan cara paksaan, apabila perlu dengan kekerasan-kekerasan atau ancaman-ancaman kekerasan oleh anggota Polisi rahasianya (Kempatai), yang melakukan penganiayaan-penganiayaan secara kejam terhadap siapa saja yang dianggap tidak membantu Jepang dalam melaksanakan kepentingan perang. Dengan perantaraan Sontjo rakyat harus menjual hasil buminya untuk kepentingan perang seperti padi, beras, telur, ikan dan sayur-mayur pada tentara Jepang dengan harga yang kurang memadai.
Begitu pula dengan perantaraan Sontjo, tenaga-tenaga kerja rakyat dikumpulkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan perang, seperti membuat jalan atau lapangan terbang darurat dan lain-lain tugas. Tenaga-tenaga kerja paksa inilah yang disebut Romusha. Tenaga kerja paksa ini mendapatkan perlakuan yang menyedihkan apalagi dalam hal permakan dan pemeliharaan kesehatan. Bnyak diantara Romusha itu tewas meninggal dunia dalam medan pelaksanaan pekerjaan paksa, karena kekurangan makan, sedangkan pekerjaan yang harus dilaksanakan sangat berat. Korban-korban Romusha itu dikubur secara massal tanpa mengindahkan tata cara agama disekitar tempat bekerja. egitu pula Sontjo diharuskan menyediaan tenaga – tenaga muda dari rakyat untuk direkrut menjadi anggota tentara pasukan Jepang, yang disebut Heiho dan tenaga-tenaga muda yang lebih terpelajar lagi untuk dijadikan anggota-anggota pasukan suka rela disamping dan dibawah pembinaan dan pengawasan dari tentra Jepang yang disebut Gyugun (pasukan Sukarela) yang akan berhadapan dengan pasukan-pasukan Sekutu. Gyugun ini menjadi sumber anggota TNI di kemudian hari sejak saat proklamasi RI 17 Agustus 1945.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas ialah bahwa Jepang boleh dikatakan tidak mengadakan perubahan dalam susunan pemerintahan marga, akan tetapi justru memanfaatkan susunan dan kewibawaan pemerintah Marga yang diwarisinya dari Belanda untuk kepentingan peperangan Jepang menghadapi Sekutu yang didengung-dengungkan sebagai peperangan Asia Timur Raya, untuk menghapuskan penjajahan orang – orang barat terhadap orang – orang Asia, orang – orang Timur. adi Pemerintah Marga memainkan peranan penting dalam mengadakan keperluan – keperluan dan kebutuhan peperangan Jepang melawan Sekutu, yang diusahakan dari rakyat, baik secara sukarela maupun secara paksa. Tindakan pemerintah Marga dimaksud, yang menimbulkan perasaan benci serta latent dihati sebagian rakyat. Perasaan dendam inilah meletus sesudah saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
J. MARGA PADA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA
Sejak saat proklamasi Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, biarpun diantara golongan kepala – kepala marga ini ada yang dapat segera menyesuaikan diri dengan suasana kencah perjuanagan kemerdekaan, terdapat juga diantaranya yang bersikap ragu – ragu dan lebih banyak bersikap pasif dalam pemerintahan. Sebaliknya proklamasi kemerdekaan RI menggelorakan semangat rakyat, yang atas anjuran pemerintah pusat (Nasional) menyusun diri dalam barisan-barisan politik sampai ke dusun – dusun dalam Marga. Rakyat mabuk kemerdekaan, disana sini dengan penafsiran yang menyimpang dari arti kemerdekaan yang bertanggung jawab, antara lain timbulnya penafsiran bahwa aparat – aparat lama berasal dari Belanda tidak perlu ditaati lagi dan pajak – pajak termasuk pajak – pajak termasuk pajak Marga tidak perlu dibayar lagi oleh rakyat.
Karena sikap ragu – ragu dan pasif ini seperti disinggung di atas timbul isu –isu terhadap golongan ini , seolah – seolah mereka menginginkan keadaan seperti sebelum Jepang menyerbu dan mereka yang bersikap ragu – ragu diisukan sebagai kaki tangan Belanda yang akan membantu di Indonesia, yang disebut termasuk Golongan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) . Diboncengi perasaan – perasaan dendam karena masih teringat tindakan – tindakan penindasan yang dilakukan untuk kepentingan perang Jepang, Sungguhpun ini dilakukan karena diperintahkan oleh pemerintah pendudukan Jepang dengan ancaman saksi penganiayaan kalau tidak dapat dipenuhi dengan alasan apapun juga dan disana sini mungkin pula oleh perasaan dendam yang berlatar belakang pada persaingan kedudukan perebutan sebagai kepala Marga, yang di zaman pemerintah Belanda secara teoritis merupakan kedudukan seumur hidup, yang hanya akan diganti karena terbuka lowongan disebabkan kematian atau kesalahan kriminal atau administrasi (menggelapkan uang marga atau melalaikan tugas yang diperintahkan seperti memungut pajak penghasilan kecil - inkomsten – belasting, kleine aanslag), terjadi penculikan – penculikan malahan penganiayaan sampai meninggal terhadap golongan ini. Usaha – usaha menenangkan gejolak ini makan waktu yang agak panajng dengan memperhatikan dan memberikan saluran pada hasrat rakyat.
K. PERUDANG–UNDANGAN SEJAK PROKLAMSI SAMPAI BERLAKUNYA UU NO. 5 TH. 1979
Tindakan sebagai usaha pertama untuk meredakan perasaan negatif terhadap golongan ini, ialah dikeluarkannya oleh pemerintah Propinsi di Palembang peraturan – peraturan tentang pendemokrasian susunan dari badan-badan Perwakialan Marga dan cara – cara pemilihan anggota – anggota Pemerintah Marga mulai dari Kepala Marganya sampai pejabat – pejabat lain tingkat bawahan, yaitu Krio, Penggawa, penghulu dan Khotib. Kalau semasa Pemerintahan Belanda Pemilihan Kepala Marga hanya dilakukan secara bertingkat dengan peraturan Gubernur dimaksud ditentukan pemilihan secara langsung dan umum sedangkan masa jabatan bagi pejabat – pejabat Marga tidak lagi seumur hidup akan tetapi dibatasi.
Pada tanggal 1 Desember 1979 telah disyahkan dan diundangkan UU RI No 5. Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 No. 56) UU ini adalah UU yang memenuhi perintah dari Majelis Permusyawaratan Rakyat agar meninjau kembali dan mengganti UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Judul UU ini sebenarnya kurang lengkap, karena UU ini dalam materinya disamping mengatur Pemerintahan Desa, juga memberikan ketentuan – ketentuan tentang Pemerintah Kelurahan. Kedua macam Pemerintah ini merupakan eselon Pemerintahan terrendah dalam wilayah Negara Republik Indonesia, yang berada langsung di bawah Pemerintah Kecamatan.
Pemerintah Desa berada berada di luar kota – kota Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten / Kotamadya, Kota Kecamatan dan Kota-kota lain yang ditetapkan, sedangkan Pemerintah Kelurahan berada di dalam kota tersebut di atas. Perbedaan – perbedaan yang prinsipil anatara kedua jenis pemerintaan adalah sebagai berikut :
~ Pemerintah Desa merupakan Pemerintahan, yang menyelenggarakan rumah tangga sendiri, sedangkan Pemerintahan Kelurahan merupakan Pemerintahan administratif di dalam kota – kota Kepala Desa dipilih secara langsung, Umum, Bebas dan Rahasia oleh rakyat di dalam desa yang bersangkutan sedangkan Kepala Kelurahan diangkat oleh instansi atasab tanpa pemilihan dan mempunyai status Pegawai Negeri sepenuhnya.
~ Pemerintah Desa terdiri dari dari Kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa dibantu oleh perangkat desa terdiri dari sekretariat desa dan kepala – kepala dusun
~ Sekretariat desa dikepalai oleh seorang Sekretaris desa, yang ditunjuk dengan pengangkatan dan kepala – kepala urusan juga diangkat sebagai pegai desa. Pejabat – pejabat dalam perangkat desa ini bukan pegawai negeri.
~ Pemerintahan Kelurahan hanya terdiri dari Kepala Kelurahan dibantu oleh Sekretariat Kelurahan dan Kepala-kepala lingkungan ( sejajar dengan dusun dalam desa ). Bedanya dengan pemerintah kelurahan tidak ada Lembaga Musyawarah Kelurahan.
~ Kepala Kelurahan dan Pejabat – pejabat lainnya dari perangkat kelurahan merupakan Pegawai Negeri.
Tugas Pemerintah Desa adalah menyelenggarakan rumah tangga sendiri disamping itu ia dapat juga dibebani tugas – tugas pembantuan yang diberikan instansi vertikal atau daerah otonom atasan. Desa adalah daerah daerah otonomi asli berdasarkan hukum adat, berkembang dari rakyat sendiri menurut perkembangan sejarah yang dibebani oleh instansi atasan dengan tugas – tugas pembantuan (Medebewind). Pemerintah Kelurahan merupakan suatu wilayah administrasi tingkat terendah dalam Republik Indonesia berada langsung di bawah Pemerintah Kecamatan dalam kota. Tugas Pemerintah Kelurahan jadinya berlandaskan atas dikonstrasi, yang tentu saja tidak menghalanginya melaksanakan tugas – tugas di bidang desentralisasi melalui saluran camat, Bupati dan Gubernur Kepala Daerah.
Perbedaan antara Pemerintah desa dan pemerintah kelurahan ini nampaknya didasarkan atas pemikiran, bahwa dipandang dari segi penduduknya, maupun dari segi cara hidupnya, hal ini dianggap wajar mencapai daya dan hasil guna pemerintahan sebesar – besarnya. Di desa tetep terdapat nilai-nilai tradisi asli, dimana penduduknya cukup homogen sebagian besar terdiri dari kaum tani yang hidup dari pertanian sedangkan dalam kelurahan di kota – kota sifat tradisionalnya hampir – hampir tidak nampak penduduknya heterogen yang terdiri atas pegawai negeri , buruh, pedagang dan sebagainya yang hidupnya dari penghasilan tetap yaitu industri, perdagangan dan pemberian jasa.
Perbedaan ini berpengaruh pada struktur organisasi pemerintah dan pengisian jabatan – jabatannya. Di dalam kota kepentingan dan golongan – golongan memperhatikan perbedaaan – perbedaan, yang menyolok dan sifat yang heterogen ini akan banyak memakan waktu apabila segala sesuatu senantiasa akan dimusyawarahkan, sedangkan kehidupan yang dinamis memperlihatkan perubahan – perubahan yang cepat yang tidak dapat diikuti kalau senantiasa harus diadakan musyawarah atas pertimbangan inilah kelurahan – kelurahan tidak diadakan lembaga musyawarah seperti di dalam desa.
Seperti dapat dimaklumi dari penjelasan umum atas No. 5 tahun 1979 tentang pemerintah desa UU ini mengarah pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional yang menjamin terwujudnya demokrasi Pancasila secara nyata. Dengan menyalurkan pendapat masyarakat dalam wadah yang disebut Lembaga Musyawarah Desa. Secara tegas dinyatakan, bahwa hak menyelenggarakan rumah tangga bagi Pemerintahan Desa bukanlah hak otonom sebagaimana dimaksudkan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok – pokok pemerintah di daerah (gaya barat : Penuli). Tetapi mengatur desa dari segi pemerintahannya yang berasakan Demokrasi Pancasila. UU ini menurut penjelasannya tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat yang kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan ketahanan nasional.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas ialah bahwa UU No. 5 Tahun 1979 tetap menambahkan kehidupan demokratis berdasarkan Pancasila dengan cara Musyawarah untuk mufakat. UU No. 5 Tahun 1979 tidak menghendaki kehidupan yang demokratis berlandaskan atas liberalisme dengan cara yang membuka peluang bagi terbentuknya arena tempat wakil-wakil golongan yang memerintah dan golongan oposisi mengadakan diskusi yang menjurus pada sifat perdebatan – berdebatan yang lebih mengarah kejurusan Demokrasi Barat dan lebih banya membawa kecenderungan pada ketegangan dan perpecahan perasaan sehingga usaha mencapai tujuan memperkuat kesatuan dan ketahanan masyarakat desa dan memperlancar Pemerintah desa akan berjalan dengan tersendat-sendat. Ditingkat kesatuan masyarakat terdepan bukanlah cara demokrasi formal yang penting, tetapi yang lebih penting adalah demokrasi material, isi dari masyarakat yang perlu ditingkatkan ke arah pencapaian kemajuan, kesejahteraan dan keadilan dengan melalui cara – cara musyawarah untuk mufakat. Berhubungan dengan itu sifat Lembaga Musyawarah desa berbeda dari suatu badan perwakilan yang kita warisi dari pengaruh barat, seperti nanti akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
L. IDENTITAS KOMUNITAS KOMUNITAS ADAT
DESA TERAWAS
Komoditas adat desa Terawas berada di wilayah Kecamatan Batu Kuning Lakitan (BKL) Ulu Terawas terletak di sebelah Utara Kota Lubuk Lingga. Sebagai Ibu Kota Kecamatan BKL. ULU Terawas yang berbentuk Kelurahan ULU Terawas, yang memiliki 12 RT. Jumlah Kepala Keluarga. Luas Wilayah Kelurahan Terawas 12 RT. Jumlah Kepala Keluarga. Luas Wilayah Kelurahan Terawas 12 Km2 sebagian besar mata pencarian penduduk petani Karet, Buruh dan Lain – lain.
Lokasi Adat.
Lokasi adat adalah Kelurahan Terawas, yang menjadi ibukota dari Kecamatan BKL. ULU Terawas, jarak lokasi ke Kota Lubuk Linggau 36 Km. Lokasinya perbukitan dan ditepi sungai Lakitan di bagian Ulu. Hutan yang terdapat di wilayah Terawas merupakan hutan Produktif
Nama Komunitas
Kelompok pendudukyang menetap sering disebut sebagai penduduk asli yang jumlahnya mencapai 80 % dari jumlah penduduk Kelurahan Terawas. Sedangkan yang 20 % penduduk pendatang. Komunitas Penduduk asli yang dimaksud adalah Suku Tengah Lakitan (STL) Ulu Terawas.
Kesatuan Kelompok
Komunitas masyarakat Kelurahan Terawas terdiri dari kesatuan kelompok suku antara lain 80 % kesatuan kelompok Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas , 15 % Suku Jawa dan 5 % Suku Batak dan Minang.
Jumlah Kepala Keluarga (KK)
Berdasarkan Demografi Kelurahan Terawas jumlah Penduduk Kelurahan Terawas sebanyak 5184 jiwa.
Kewilayahan dan Sarana Umum
Secara Geografis kelurahan Terawas / suku Tengah Lakitan Ulu Terawas di Ibukota terletak Kecamatan BKL. Ulu Terawas yang terlwtak di Tepi sungai Bagian Ulu. Perkebunan Karet yang masih yang terdapat di Kelurahan Terawas antara lain :
~ 1 buah Kantor kelurahan
~ 1 buah Puskesmas
~ 1 buah Kantor Koramil
~ 1 buah kantor Kecamatan
~ 1 buah Kepolisian
~ 3 buah SDN
~ 1 buah Madrasah
~ 1 buah SLTP Negeri
M. SELF GOVERNING KOMUNITAS ADAT
Struktur dan Fungsi Adat
Lembaga adat di desa Terawas berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Musi Rawas Nomor : 140/25/Pembdes tanggal 29 Juli 1991. Menetapkan susunan pemangku adat suku tengah Lakitan Ulu ( STL Ulu ) Terawas Kabupaten Musi Rawas. Dengan susunan sebagai berikut:
1. Ketua merangkap anggota : Cik Ali
2. Wakil Ketua I merangkap anggota : Soleh
3. Wakil Ketua II merangkap anggota : Usman Husin
4. Sekretaris merangkap anggota : Khumaidi Matjik
Abu Dardak ( Unsur tua-tua adat)
Ahmad (Unsur Alim Ulama)
Tamrin (Unsur Cendikiawan)
Hidi (Unsur Alim Ulama)
Susunan pemakai adat tersebut adat di atas sampai dengan tahun 2002 ini belum ada re-organisasi. Dalamm menjalani fungsi dan tugasnya pemangku adat menetapkan tata tertib dan perturan rumah tangga sesuai dengan adat istiadat setempat yang disahkan oleh Bupati. Untuk memberdayakan pelestarian dan perkembangan adat dan lembaga adat. Bupati Musi Rawas mengesahkan Perda. No. 14. Tahun 2000. Tugas dan Fungsi lembaga ada mempedomani kompilasi adat istiadat Kabupaten.
Peran Adat dalam Mayarakat
Hasil kompilasi adat se-Musi Rawas maupun Perda yang disahkan oleh Bupati. Peranan adat dalam masyarakat mengembangkan adat istiadat dalam masyarakat, menyelesaikan perselisihan yang menyangkut adat istiadat masyarakat desa. Untuk peran ada khususnya di Terawas secara umum belum tersosialisasikan.
Adat dan Pemerintahan Desa
Lembaga ada dikeluarkan ditetapkan dengan surat keputusan camat atas usulan lurah. Hubungan lembaga ada dengan pemerintahan kelurahan kemitraan. Dalam pelaksanaan tata kerja antara lembaga adat dengan kelurahan diterapkan prinsip koordinasi,l integrasi dan sinkronisasi.
Adat dan Agama , Partai Politik, Suku lain
Adat dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, secara umum hukum agama (Islam) berkaitan dengan hukum adat. Seperti hukum perkawinan dan perceraian, silang sengketa, waris.
Adat dan partai politik bisa berpartisipasi dengan baik karena baik hukum-hukum adat yang ada tidak bertentangan dengan partai dengan partai politik, suku lain dengan adat Terawas cukup baik.
Manajemen organisasi adat dan komplik internal.
Manajemen organisasi lembaga adat di Terawas masih sederhana sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Konflik Internal
Hukum-hukum adat yang berlaku di Terawas yang menyangkut dengan Instrumen, masyarakat, tokoh adat, pengurus adat, organisasi masyarakat. Potensi komplek internal yang sering terjadi seperti :
~ Hiburan pada pesta hajatan
~ Sengketa tanah
~ Perselisihan paham agama
~ Penggunaan air (mencari ikan dengan menggunakan tuba/racun yang merusak ekosistem air sehingga dikenakan denda
~ Masalah hutang – piutang.
Potensi komplik anatara lain masalah perkawina, perselisihan, utang-piutang dan lain sebagainya. Penyelesaian komplik internal di masyarakat adat Terawas terlebih dahulu diselesaikan oleh yang berwenang. Sinkronisasi antara manajemen organisasi adat dan pemerintah dalam menyelesaikan konflik internal yang terjadi di masyarakat adat Terawas, sehingga koordinasi antara lembaga adat dan pemerintahan setempat dapat dijadikan alternatif penyelesaian konflik.
N. KONDISI PLURALISME MASYARAKAT
Beragam Ethnis:
Penduduk kelurahan Terawas yang terdapat berbagai ethnis, suku asli yang mayoritas dapat interaksi dengan baik dengan ethnis yang minoritas.
Hubungan Antar Agama:
Kelurahan Terawas 99 % penduduknya beragama Islam dan 1 % beragama Kristen Protestan (berethnis Batak). Hubungan yang ada cukup baik ada kendala dengan minoritas agama Kristen Protestan yang ada.
Nilai-nilai Perbedaan Struktur Ekonomi:
Mayoritas penduduk kelurahan Terawas adalah petani Karet, perbedaan struktur ekonomi tidak dominan.
Aspirasi Politik:
Berdasarkan data pemilu 1999 yang lalu, aspirasi politik masyarakat kelurahan Terawas cukup terakomodir. Hal ini dapat dilihat adanya partai politik yang ada seperti : PDIP, P. GOLKAR,PAN,PPP dan PKB. Kehidupan berpolitik masyarakat Terawas cukup kondusif.
O. IDENTITAS KULTURAL
Identitas kultural komunikasi masyarakat Terawas biasanya diwarnai oleh budaya keseharian yang terlihat pada komunitas tersebut, identitas kultur yang dimaksud adalah :
a. Hak Ulayat
Hak ulayat dalam masyarakat Terawas diatur tercantum dalam kompilasi adat istiadat materinya diantaranya :
a.1. Masyarakat hukum bersangkuta dan anggota-anggotanya bebas mengerjakan tanah-tanah yang masih belum dibuka, membentuk dusun, mengumpulkan kayu atau hasil hutan-hutan lainnya.
a.2. Orang luar ,bukan anggota masyarakat hukum yang bersangkutan hanya boleh mengerjakan tanah dengan seizin masyarakat hukum yang bersangkutan ( izin kepala marga/ dusun).
a.3. Bukan anggota masyarakat hukum yang bersangkutan, kadang- kadang juga masyarakat hukum harus membayar untuk penggarapan tanah. Dalam marga secara retribusi, yang disebut, sewa bumi, sewa tanah, sewa sungai, sewa lebung dan sebagainya.
a.4. Pemerintah marga sedikit banyak campur tangan dalam cara penggarapan tanah , sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan
a.5. Pemerintah marga bertanggung jawab atas segala kejadian-kejadian dalam wilayah kekuasaannya.
a.6. Pemerintah marga menjaga agar tanahnya tidak terlepas dari lingkup kekuasaannya untuk seterusnya.
Pada umumnya tanah-tanah ulayat desa Terawas sebagian besar sudah digarap oleh induvidual oleh anggota masyarakat hukum, hak masyarakat hukum hanya terlihat pada tanah-tanah yang belum dikerjakan atau tanah-tanah yang terlah pernah dikerjakan, akan tetapi ditinggalkan oleh penggarapnya, sehingga menjadi hutan belukar. Hak tanah ulayat menjadi kubur selain telah menjadi hak milik individu-individu, ada yang dikuasai oleh investor yang dimaksud adalah PT London Sumatera (Lonsum) yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit ada juga digunakan untuk kepentingan masyarakat seperti , kantor Lurah, Kantor Camat, Sekolah-sekolah, Puskesmas, dan Lapangan Sepak Bola.
b. Social Capital
Tidak seperti layak orang pedesaan dijawa ada kecenderungan mempunyai model sosial yang tinggi, model kebersamaan semacam jimpitan iuran kesehatan untuk anggota masyarakat yang sakit, bantuan spontan bagi yang terkena musibah, kesepakatan membayar beberapa orang untuk siskamling di lingkungan rumah tinggal bahkan para petani tambakan di Klaten dapat bersatu dan bekerja sama mengontrol kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur penanaman tambakan. LSM mitra oxfum juga mendorong bekerjanya modal sosial dikalangan petani Kopi di Nusa Tenggara timur untuk mengontrol harga kopi sehingga harga kopi yang sehat sesuai dengan mekanisme pasar, hal tersebut belum terlihat di desa Terawas.
Sedangkan modal sosial yang terlihat di desa Terawas adalah gotong royong mengurus jenazah jika ada anggota masyarakat yang meninggal dunia, acara pernikahan dengan sistem “ Tetak Jopang “ yaitu memberikan bantuan / sumbangan kepada yang punya hajat, dari pihak wanita, tetangga dan saudara membawa dua ekor ayam, kelapa dan beras satu baskom, untuk laki-laki memberikan sumbangan sejumlah uang, uang tersebut diserahkan saat pesta perkawinan dan disaksikan oleh banyak orang (tamu – tamu ). Satu persatu dalam amplop dibuka lalu disebutkan jumlahnya melalui pengeras suara, anggota masyarakat wajib mengembalikan sejumlah yang diterima dari sumbangan tersebut.
c. Issue Gender
Pada umumnya masyarakat Musi Rawas belum banyak mengetahui upaya pemberdayaan wanita. Pemberdayaan wanita tumbuh secara ilmiah, tergantung dengan tingkat pendidikan dan lingkungannya. Namun demikian, beberapa respon di Terawas menyatakan bahwa pemerintah Orde Baru telah melakukan upaya pemberdayaan wanita melalui komunitas PKK dan Posyandu, Pelatihan-pelatihan yang dimaksud, terdapat pada tabel di bawah ini :
No. | Jenis Pelatihan | Pelaksanaan |
1. 2. 3. 4. 5. | Program Keluarga Sehat Program tanaman obat Masak – memasak Budi daya Ayam Buras Kerajinan Tangan / Home Industri | Puskesmas PKK Kecamatan PKK Desa Peternakan Perindustrian |
Dari tabel di atas mengindentifikasikan bahwa pemberdayaan yang dilakukan pemerintah belum konprehensif ( maksimal), masalah pendidikan, demokratisasi, sosial yang lebih luas belum tercakup, sehingga mengakibatkan sumber daya manusia (SDM) perempuan di desa Terawas relatif rendah.
d. Demokrasi Komunikasi
Dengan diundangkannya peraturan pemerintah No. 5/1979 model demokrasi komunitas adat yang alamiah, hampir tidak ada proses demokrasi masyarakat Terawas dilakukan untuk kepentingan pemerintah dan bersifat “ Top Down “ semasa untuk keperluan. Sosialisasi pajak bumi dan bangunan setiap tahun iuaran pemakaman, bersih desa, gotong royong dilakukan atas inisiatif Lurah atau Camat, bahkan proses demokrasi komunitas untuk memilih pemimpin adat atau pemimpin pemerintah desa hampir tidak ada yang , yang ada dan nyata dilakukan oleh komunitas masyarakat adat dan desa melalui media “ Pengajian”, melalui pengajian ide-ide masyarakat biasanya muncul dan tumbuh, lalu secara spontan direspon oleh pimpinan adat dan pemerintah. Salah satu studi kasus yang pernah muncul di desa Terawas adalah :
1. Penarikan Pajak Bumi dan Bangunan
Umumnya pajak bumi dan bangunan dibayar masyarakat melalui BRI, tetapi tanpa ketentuan yang jelas. Aparat desa / kelurahan juga memungut PBB, sehingga jumlah yang disetor kepada pemerintah tidak sesuai dengan jumlah wajib pajak yang tercantum di desa / kelurahan.
2. Pelayanan Publik
Melalui pengajian malam jum’atan / yasinan masyarakat juga sering mengeluhkan pelayanan aparat kelurahan dan Kecamatan yang belum maksimal dalam memberikan pelayanan masyarakat, selain pungutan yang tidak resmi, waktu pengurusan surat yang tidak resmi, waktu pengurusan surat yang bertele-tele dan etika pelayanan aparat menjadikan masyarakat tidaka simpatik.
Selanjutnya, tentang cara pemilihan ketua adat, komunitas masyarakat adat Terawas, tidak terlalu mengandalkan pendidikan tinggi atau jabatan formal dipemerintahan secara sederhana cara pemilihannya dengan aklamasi, syarat-syarat memilih ketua adat adalah :
1. Laki – laki
Laki-laki dianggap secara fisik memupunyai kriteria yang cocok untuk pemimpin selain untuk kewibawaan, juga cukup kuat menjadi penengah yang sedang mengalami konflik fisik.
2. Yang paling tua di desa / kelurahan
Orang p[aling tua dianggap hafal dan menguasai hukum adat istiadat komunitasnya, orang yang dituakan dianggap berpengalaman meskipun tidak berpendidikan tinggi, sehingga ia dapat menjadi tokoh atau pada komunitasnya.
3. Dekat dengan Masyarakat
Ketua adat yang reprensentatif dan menjadi harapan masyarakat adalah ia yang dekat dengan masyarakt, hadir ketika masyarakt membutuhkan baik secara materi dan non materi.
4. Tidak buta huruf
Ketua adat yang tidak buta huruf dibutuhkan untuk merekam kegiatan adat, mensosialisasikan kitab Undang – Undang “ Sumber Cahaya “ dan diharapkan dapat berkomunikasi dengan komunitas luar.
P. GAMBARAN PEREKONOMIAN
Di Kabupaten Musi Rawas, Sekotr Pertanian merupakan sektor andalan dalam peningkatan pendapatan regional, hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Musi Rawas yang selalu diatas 50 %, baik untuk harga konstan maupun harga berlaku, namun demikian masing-masing Kecamatan di Kabupaten mempunyai sektor-sektor andalan dalam basis perekonomian masyarakat, kecamatan Tugumulyo sektor andalannya adalah Padi , karena diidukung oleh pengairan “ water Vang”, debit air mencukupi kebutuhan ribuan hektar sawah, bahkan Kecamatan Tugumulyo sebagai lumbung padi terbesar di Sumatera Selatan, Kecamatan Jaya Loka, Padi dan Kelapa Sawit dan 12 kecamatan lainnya termasuk Batu kuning Lakitan Ulu (BKL) Ulu Terawas . Sektor andalannya adalah tananaman kering, yaitu Karet dan Kopi.
Dalam rangka mencapai perekonomian yang seimbang dan mantap. Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Musi Rawas masih terus ditingkatkan dengan tujuan meningkatkan produktivitas guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri serta meningkatkan pendapatan petani dan meningkat kesempatan kerja.
P.1. Basis Ekonomi Masyarakt Terawas.
Adapun komposisi mata pencaharian masyarakat kelurahan Terawas yang berjumlah KK dan Jiwa adalah sebagai berikut : Sektor pertanian 86 %, PNS dan TNI POLRI 2 % buruh 9 % dan Pedagang 4 % sedangkan sektor pertanian yang dimaksud adalah tanaman karet, menngingat 90 % daerah tanah di Terawas termasuk datara tinggi dan kering dan kering, berladang Karet merupakan kultur turun temurun, menurut responden, penduduk asli Terawas, penanganan tanaman karet lebih mudah dibanding tanaman padi atau kopi,rata-rata petani bila menghasilkan 7 Kg getah Karet perhektar dan 10 Kg jika bukan musim kemarau, petani karet di Terawas umumnya memunyai lebih dari 1 Hektar pohon karet, harga getah karet per Kg saat ini Rp. 2.500,- TNI POLRI dan PNS di desa Terawas dianggap sebagai warga kelas satu, mereka adalah tergolong warga terdidik, PNS umumnya bekerja pada instansi Kecamatan / PEMDA, Guru dan Pegawai Dinas Kesehatan yang bertugas di Puskesmas.
P.2. Kompditi Andalan
Seperti telah dijelaskan di atas basis ekonomi masyarakat kelurahan Terawas adalah sektor pertanian pada pertanian lahan kering : Karet dan Kopi dengan luas tanah pertanian masing –masing sebagai berikut :
~ Tanaman Karet : 2234 Ha
~ Tanaman Kopi : 558 Ha
~ Persawahan : 148 Ha
~ Lain – lain : --- Ha
P.3. Teknologi dan Sumber Daya Manusia
Masyarakat pedesaan dan kultur masyarakat tani, sektor pendidikan dan kemajuan teknologi belum menjadi prioritas utama, umumnya masyarakat petani masih berpikir bagaimana cara mengupayakan kebutuhan sandang, pangan dan papan oleh karenanya masyarakat desa Terawas Kecamatan BKL Ulu Terawas belum mempunyai sumber daya manusia dan teknologi yang cukup. Sebagaimana dimiliki oleh masyarakat perkotaan melek pendidikan. Selain itu Kecamatan BKL Ulu Terawas sarana pendidikannya terdiri 3 Sekolah Dasar, 1 SLTP, 1 MTS, jika anggota masyarakat ingin melanjutkan pendidikan ke SMU, harus menempuh 35 Km di Ibukota Kabupaten. Menurut responden di desa Terawas, diperkirakan tingkat pendidikan masyarakat desa Terawas terdapat pada tabel di bawah ini :
1. Tidak Sekolah : 13 %
2. Pendidikan SD : 40 %
3. Pendidikan SLTP : 30 %
4. Pendidikan SMU : 15 %
5. Diploma 3 : 1 %
6. Sarjana : 1 %
7. S2 dan lain – lain : -
P.4. Investo
Di Kabupaten Musi Rawas terdapat beberap0a investor diantaranya adalah PT London Sumatera (Lonsum) bergerak pada sektor perkebunan kelapa sawit, Pt. Xillo bergerak dibidang pengolahan kayu, Explorasi Pertambangan Emas (Minning), Perminyakan (Pertamina) dan beberapa investor lokal yang bergerak dibidang perkebunan dan peternakan. Untuk Kelurahan Terawas Kecamatan BKL Ulu Terawas hanya terdapat 1 investor yaitu PT. Lonsum, namun keberadaan investor tersebut tidak memberi kontribusipositif bagi kesejahteraan masyarakat terlebih komunitas adat setempat, bahkan cenderung menimbulkan masalah semisal pola pembebasan tanah. Hal ini bermasalah karena investor tidak melibatkan masyarakat dan tokoh adat tetapi investor melakukan pembebasan tanah dengan pendekatan birokrasi dan kekuasaan pemerintah sehingga terjadi kasus jual beli ganda, artinya satu kapling tanah yang ditanami Kelapa Sawit, bisa dijual dengan dua orang yang berbeda, sehingga mempunya sertifikat ganda.
Investor (PT Lonsum) belum banyak memanfaatkan tenaga kerja lokal, sebagai usaha investor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, namun dilain pihak, menurut responden setempat, alasan investor tidak dan kurang berminatnya memanfaatkan tenaga kerja lokal karena tenaga kerja lokal dianggap tidak segiat dibandingkan dengan tenaga kerja pendatang khususnya transmigrasi dari jawa.
P.5. Kendala Ekonomi Lokal dan Pengaruhnya.
Kendala perkembangan ekonomi lokal masyarakat Kelurahan Terawas Kecamatan BKL Ulu Terawas adalah sebagai berikut :
1. Sumber Daya Manusia (SDM) lokal yang terbatas, sehingga proses perputaran ekonomi masyarakat pada sektor perkebunan, perdagangan, pertanian dilakukan secara konvensional (conservative).
2. Tidak ada pioner baik individu maupun lembaga untuk menumbuhkan “Social Capital” (komunitas Kebersamaan) sehingga proses ekonomi, khususnya penjualan getah karet, dimonopoli oleh tengkulak bekerjasama dengan pemerintah daerah (Unbargaing Price).
3. Pengaruhnya, adalah sifat stagnan dan apatisme bagi masyarakat lokal, selain tidak ada social capital. Untuk mengembangkan ekonomi secara komunal, kehidupan ekonomi berjalan secara individual dan konservatif.
4. Kondisi Kesejahteraan Secara Umum.
Kondisi Kesejahteraan masyarakat kelurahan Terawas secara umum tercemin melalui beberapa indikator yaitu : Pendidikan , Kesehatan, Peradilan, di bawah ini dibuat secara sederhana informasi kondisi kesejahteraan masyarakat kelurahan Terawas secara umum melalui tabel .
No. | Pra Sejahtera | % | Sejahtera I | % |
1. 2. | Alasan Ekonomi Bukan Ekonomi | 25 23 | Alasan Ekonomi Bukan Ekonomi | 32 20 |
Pendidikan.
Pendidikan akan berhasil apabila sarana dan prasarana pendukung pendidikan dapt terpenuhi secra lengkap, misalnya kebutuhan akan berguna dan gedung sekolah, guru yang cukup memadai, serta fasilitas lainnya. Untuk daerah kelurahan Terawas Kecamatan BKL Ulu Terawas dilihat dari segi jumlah tingkat pendidikan kurang memadai : yaitu 3 SD, 2 SLTP, tidak ada SMU.
2. Kesehatan.
Upaya pemerintah dalam pelayanan kesehatan menitik beratkan kepada masyarakat pedesaan dengan golongan ekonomi lemah, sehingga dapat menjangkau semua lapisan. Untuk daerah Kelurahan Terawas Kecamatan BKL Ulu Terawas terdapat 1 Pos kesehatan Masyarakat dengan 4 orang tenaga medis, tetapi masyarakat belum optimal memanfaatkan secara optimal.
3. Peradilan/ Keamanan.
Berhasilnya sektor pendidikan, ekonomi dan kesehatan ditopang oleh adanya ketertiban yang menimbulkan rasa aman bagi seluruh masyarakat, salah satu indikator kamtibnas adalah statistik tindak kejahatan dan statistik perkara pidana. Dibawah ini tabel kamtibnas di Kelurahan Terawas.
No. | Jenis Kamtibnas. 2001 | % |
1. 2. 3. 4. 5. 6. | Pencurian Perkelahian Penganiayaan Pembunuhan Penipuan Kesusilaan | 0,6 ]4 0,5 - 0,4 0,3 |
TENSI KONFLIK
Konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adat kelurahan Terawas adalah konflik yang terjadi perselisihan antara bujang gadis, artinya hanya persoalan yang ditimbulkan karena perselisihan anak muda yang linjangan (Besindo) atau pacaran. Kemudian apabila ada keramaian seperti pesta pernikahan dengan hiburan musik dangdut, bujang gadis berusaha dan berebut untuk mendendangkan lagu, bila ada penonton dan penggemar dangdut yang terlambat atau diak dipanggil untuk menyanyi, maka sudah dapat dipastikan bakal terjadi kericuhan, seperti belago (berkelahi), tujahan (penusukan) bahkan keroyokan. Untuk mengantisifasi hal tersebut biasanya bila warga hendak mengadakan hajatan, maka tuan rumah mengajak warga sekitar untuk membuat panitia hajatan dan dilengkapi seksi-seksi.
Apabila timbul masalah maka ketua kampung dapat memanggil pelaku kerusuhan bersama orang tua dan keluarga untuk mengadakan perdamaian (tepung tawar) apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan antar keluarga, maka diserahkan ke Kantor Polisi. Secara umum potensi konflik selain persoalan bujang gadis, memang ada tetapi tidak begitu dominan hanya persoalan dusun yang ingin memisahkan diri dari kelurahan Terawas. Alasannya wilayah tersebut (Dusun Kosgoro) terletak agak jauh dari kelurahan Terawas lebih kurang 50 KM, akan tetapi menurut pemerintah kecamatan BKL Ulu Terawas belum layak untuk menjadi Desa sendiri karena jumlah kepala keluarga dan jumlah penduduk belum memenuhi syara
R. PERDA ASPIRATIF DAN NON ASPIRATIF
Berdasarkan Perda nomor 14 tahun 2000 tentang pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat. Perda tersebut sudah cukup aspiratif untuk masyarakat Musi Rawas namun semua itu belum tersosialisasikan dengan aktifitas masyarakat, tokoh masyarakat dan elemen – elemen lain yang mendukung proses pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Hal ini antara lain kurangnya pengetahuan dan motivasi dari kaum muda terhadap hukum – hukum adat, nilai – nilai lembaga yang positif. Namun hal ini tetap diusulkan ke kabupaten agar dusun kosgoro menjadi desa persiapan. Selain dari potensi konflik di atas, potensi konflik yang lain seperti sengketa tanah perusahaan ekosistem perairan dengan mentuba (racun) air untuk mencari ikan.
S. REKOMENDASI
Berdasarkan anjang sana dan dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah (Rt, Lurah, dan Camat) menyimpulkan harapan-harapan antara lain :
1. Menghidupkan masyarakat adat di kelurahan Terawas.
2. Adanya pendampingan untuk masyarakat yang bertujuan untuk mengharapkan Sumber Daya Manusia, berupa pelatihan-pelatihan dan training-training, antara lain:
~ demokratisasi adat - desa
~ SDM melalui pendidikan formal dan non-formal
~ pengetahuan demokrasi, politik, ekonomi, dan HAM
[1] Need Assesment di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan dilaksanakan pada pada tanggal 16 Mei s/d. 25 Mei 2002 oleh staf IRE yakni Arie Sujito dan Poppy S. Winanti. Laporan ini disusun berdasarkan proceeding Need Assesment yang disusun oleh peneliti lokal wilayah Musirawas.
http://www.ireyogya.org/adat/na_sumsel.htm
0 comments:
Post a Comment