8. Nira dan Mata Ikan
Klik
Kembali ke Bag.7
Note :
Bagian ini menceritakan :
- Tempat kejadian di Air Deras Tunggang, mitos Batu Mengapung, dan daerah Lubuk Genyem
- Lemea makana khas suku rejang sudah dikenal sejak dulu.
- Asal usul nama tempat Penyeberangan Gajah di Tabah Anyar tes
Puteri Serimbang Bulan telah segar bugar kembali. Bahkan wajahnya lebih cantik dari semula. Apa hendak dikata, janji tak dapat dimungkiri lagi. Rajo Magek telah berjanji untuk kedua kalinya terhadap Raden Cetang.
Rajo Magek, menetapkan bahwa perkawinan antara anaknya dengan Raden Cetang segera akan dilaksanakan. Peralatan perkawinan itu direncanakan akan mengadakan bimbang gedang selama sembilan bulan.
Disiarkanlah berita rencana Rajo Magek ini ke seluruh pelosok kampung dan desa, ladang dan huma. Seluruh rakyat diharuskan membantu menyiapkan bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan untuk bimbang gedang sembilan bulan itu.
Kaum lelaki mengumpulkan kayu dan bambu untuk bahan balai. Kayu api dan damar untuk lampu dikumpulkan juga. Kaum perempuan juga mencari bahan-bahan yangdiperlukan untuk menerima tamu. Sirih, pinang, rebung, dan daun pembungkus dikumpulkan dalam sebuah ladang.
Rajo Magek meminta juga kepada bakal menantunya agar ia dapat menyediakan nira dan mata ikan. Nira gunanya untuk minuman para tamu dan pekerja-pekerja dan juga untuk manisan juadah wajik dan sebagainya. Mata ikan gunanya untuk bahan makanan membuat lemea. Lemea adalah makanan khas suku rejang. Bahannya adalah rebung yang diasamkan bercampur ikan.
Sebenarnya Rajo Magek hendak mencari alasan untuk menggagalkan perkawinan ini. Bukankah tidak sedikit nira yang diperlukan untuk bimbang gedang selama sembilan bulan itu? Mengapa pula mata ikan yang diminta untuk bahan membuat lemea itu? Tidak sedikit mata ikan yang harus dikumpulkan.
Dengan sabar dan keteguhan hati, pulanglah Raden Cetang ke ladang nenek. Diceritakannya permintaan bakal mertuanya kepadanya. Nenekpun terkejut mendengar beban yang sangat berat itu.
Raden Cetang mulai mengumpulkan serat kelai. Dipintalnya serat kelai itu. Setelah cukup, mulailah ia menyirat jala. Kecepatannya menyirat jala luar biasa. Tidak cukup seminggu, jala telah siap untuk dibawa mencari ikan.
Sambil menyandang jala, berangkatlah Raden Cetang ke hulu Air Deras dekat jembatan Tunggang sekarang. Di sini, menurut keterangan orang, disekitar itu ada sebuah batu yang disebut Batu Mengapung. Batu itu terletak di tengah-tengah air yang deras. Bagaimana pun besarnya banjir, batu itu takkan tenggelam dan hanyut.
Dihulu batu inilah Raden Cetang menyerakkan jalanya yang pertama kali. Wah, banyaknya ikan. Gembira ia melihat jalanya penuh berisi ikan. Dari bawa dilihatnya tiap mata jala terisi ikan. Sampai dipuncak jala ternyata dua lobang mata jala itu masih kosong.
Hatinya belum puas. Belum sakti namanya kalau masih terdapat kekurangan. Dilepaskannya semua ikan itu kedalam air. Seekorpun tak dibunuhnya.
Lebih kurang satu kilometer dari tempat itu, arah ke hulu, disuatu lubuk yang dinamai Lubuk Genyem, diseraknya jalanya untuk kedua kalinya. Bila diangkatnya, ternyata masih ada satu lobang mata jala yang masih kosong. Dilepaskannya kembali semua ikan itu ke dalam lubuk.
Disandangnya jala. Berpikir sebentar. Kemana lagi akan diserakkan jala ini agar tidak ada lagi sematapun yang kosong. Ia mengingat ngingat di mana ia pernah melihat ikan banyak. Ia teringat sebuah lubuk dekat ladangnya di Teluk Lem danau tes.
Berangkatlah ia ke hulu memintas jalan darat. Di tengah jalan, didapatinya bekas jalan yang dilalui gajah. Dan samapi sekarang tempat itu masih disebut Penyeberangan Gajah (dekat SD Negara Taba Anyar Tes sekarang). Dipinggir jalan itu didapatinya sebatang enau yang sedang mengurai mayang. Mayang sudah tua dan sudah waktunya untuk di sadap niranya.
Diambilnya rodok dan dipancungnya mayang itu. Disadapnya dengan seruas buluh telang. Selesai memasang bumbung, ia berangkat ke Teluk Lem.
Di Teluk Lem ia merasa puas. Tak selobangpun mata jalanya yang kosong. Diangkatnyalah jala ke darat. Diculiknya mata ikan itu masing masing sebelah. Setelah diambil matanya sebelah, dilepaskannya kembali ikan itu ke lubuk. Demikianlah sampai habis ikan yang di jala. Mata ikan itu dimasukkan ke dalam buluh telang. Seruas buluh telang telah penuh dengan mata ikan.
Jala di sandang, buluh dijinjing berjalanlah ia menuju ke hilir. Ketika sampai dipenyeberangan gajah dilihatnya bumbung niranya hampir penuh. Diambilnya dan dibawa pulang. Jadi dalam sekali perjalanan ia telah berhasil mendapat dua permintaan bakal mertuanya.
Tiba di hulu dusun Kutai Ukem, disandarkannya kedua buluh bumbung itu pada sebatang pohon belimbing. Mungkin karena beratnya bumbung itu, batang belimbing itu menjadi condong.
Segera dilaporkannya hasil pencariannya itu kepada bakal mertuanya. Ia kembali ke pondok nenek. Istri Rajo Magek memerintahkan seorang laki-laki untuk mengambil bumbung yang bersandar pada pohon belimbing di hulu dusun. Aneh, bumbung itu tidak terangkat olehnya. Sebuah bumbungpun tak dapat diangkat. Bergerak saja tidak.
Suruhan itu segera melaporkan hal itu kepada isteri Rajo Magek Beberapa suruhan lain pun tak dapat membawa bumbung itu pulang.
Isteri Rajo Magek tidak percaya dengan laporan-laporan orang suruhannya itu. Ia pergi bersama perempuan-perempuan lainnya untuk mengambil bumbung itu. Benarlah, apa yang telah dilaporkan oleh suruhan-suruhannya itu. Sebuah bumbung tak dapat diangkat oleh berpuluh-puluh orang.
Hal itu diceritakan oleh isteri Rajo Magek kepada suaminya. Tak terkatakan marah Rajo Magek mendengar cerita yang bukan-bukan itu.
"Pemalas kalian ini. Masakan bumbung hanya dua buah itu kalian serahkan kepada saya untuk mengangkatnya? mungkinkah itu?," bentak Rajo Magek.
"Kalau tidak percaya, pergilah kanda mencobanya", sahut isterinya.
Sambil menggerutu pergilah Rajo Magek ke tempat bumbung tersandar itu. Dicobanya mengangkat salah satu bumbung itu. Aneh! Tidak bergerak. Aduh alangkah beratnya. Dibacanya ilmu kuat. Dikeluarkannya ilmu kesaktiannya. Dicoba sekali lagi. Jangankan terangkat, bergerakpun tidak. Bahkan batang belimbing itu bertambah condong. Tanah disekitar pohon Belimbing itu berbencah-bencah seperti gajah berlaga. Bercucuran keringatnya, namun usahanya sia-sia saja.
Rajo Magek pun menyerah. Ia pulang menceritakan hal itu kepada isterinya. "Temuilah Raden Cetang. Katakan saja bahwa bumbungnya tidak diketahui tempatnya. Telah payah dicari tidak bersua. Katakan kepadanya agar ia sendiri mengambilnya dan dibawa ke dekat balai ini".
Pergilah isterinya Rajo Magek menceritakan hal itu kepada Raden Cetang.
"Raden, telah kami suruh orang untuk mengambil bumbung yang Raden ceritakan itu. Mereka tidak dapat menemuinya. Barangkali baik juga tempat Raden menyembunyikan bumbung itu. Atau bumbung itu sudah dicuri orang?".
Demikianlah isteri Rajo Magek, tidak mau menceritakan kelemahannya. Dimintanya agar Raden Cetang sendiri yang mencarinya dan dibawa ke dekat balai.
Raden Cetang pergi ke tempat ia meletakkan bumbung. Masih ada. Belum bergerak dari tempatnya. Kedua-duanya masih tersandar ke pohon belimbing. Ia tersenyum ketika melihat tanah di sekitar tempat itu berbencah-bencah, seperti bekas beberapa ekor gajah berlaga. Ia mengerti apa yang telah terjadi di tempat itu.
Diangkatnya kedua bumbung itu dengan mudah, disandarkannya ke bahu kiri dan kanan, di bawa ke dekat balai Rajo Magek. Diletakkannya di bawah batang jambu, sehingga buah jambu yang masih muda-muda berguguran semuanya akibat getaran bumbung ketika dihentakkan ke tanah.
Hampir semua orang mengejek ketika melihat bahan yang di bawa oleh Raden Cetang.
"Nira yang sedemikian cukup untuk sekali teguk".
"Ikan itu barangkali untuk makanan kucing", kata yang lain pula.
"Ikan itu barangkali untuk makanan kucing", kata yang lain pula.
Bermacam-macam lagi kata-kata ejekan karena melihat bahan yang sangat sedikit itu. Mereka mengira Raden Cetang hanya sekedar melepas hutang saja.
Isteri Rajo Magek berkata, " Tidak apalah. Maklum saja orang yang akan jadi pengantin. Itu hanya sekadar untuk mendapat berkahnya saja. Nantilah kita usahakan mencari lainnya. Bukankah kalian sanggup membantu kami untuk memeriahkan perhelatan ini?".
Mendengar itu redalah ocehan orang banyak itu. Mereka berebut-rebutan ingin mencoba meminum nitra. Saling dahulu-mendahului, karena takut kehabisan. Anehnya ! Seluruh yang hadir telah meminum sepuas-puasnya namun sisanya masih tetap ada dalam bumbung. Dipergunakan untuk memasak juadah sekuali, dua kuali, bahkan berpuluh-puluh kuali namun nira masih juga bersisa.
Demikian juga halnya dengan mata ikan. Bepuluh-puluh guci telah penuh lemea. Beberapa banyak ikan yang diperlukan tetap keluar dari dalam buluh dan masih bersisa.
Tak ada yang berani mengeluarkan kata-kata ejekan lagi. Sekarang barulah mereka tahu bahwa Raden Cetang adalah manusia luar biasa. Kalau cemoohan sampai terdengar kepadanya, mungkin akan mencelakan orang kampung. Untunglah hal yang demikian tidak terjadi.
0 comments:
Post a Comment