Catatan Perjalanan ke “Batavia Kecil”
(Sebuah catatan perjalanan ke kota tambang emas tua yang sarat dengan nilai sejarah)
"Perjalanan menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai). Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa kemerdekaan ini.
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih.
Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam. Setiba dipangkal desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh
Dr. AK Gani Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Photo Molek, di buat dari modifikasi lori jaman
keemasan Tambang Emas Lebong Tandai.
keemasan Tambang Emas Lebong Tandai.
Setelah itu, kita kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang
adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun. Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Mengingat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel. Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan
atau dibelakang Molek yang kita tumpangi.
Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk diketahui sejak jaman
penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan).
Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek (+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan
tambang .
Warung-warung berjejer dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa. Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah
melewati perjalanan selama 3, 5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini. Berbicara tentang
hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat. Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi.
Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia. Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980an didesa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada
dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini hampir saja ada lokalisasi, karena PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup dilokasi tambang tanpa boleh membawa istri).
Selain itu, hampir setiap ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan RI Camat memilih mengunjungi desa ini untuk merayakannya dengan berbagai aneka kegiatan dan berziarah ke makam pahlawan bersama warga desa. Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin.
Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang.
Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana (Mantan Presiden Soeharto). Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Muko-muko. Hanya sedikit warga yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi diantara yang menolak itu adalah Mahyudin (54) konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi keluar desa. Namun hal itu ada hikmahnya misalnya bagi Mahyudin , dengan situasi sulit itu kemudian dia
mendapat keahlian baru yaitu beralih profesi menjadi pandai besi dengan membuat alat-alat dapur dan pertanian, seperti pisau dan cangkul, kemudian dijual kepada para pekerja PT Lusang Mining.
Untunglah situasi itu tidak berlangsung lama karena pada tahun 1994 PT Lusang Mining bangkrut. Banyak pekerja yang tidak dibayar gajinya hingga saat ini, aset rumah dan gedung sebanyak 45 unit dan alat-alat tambang ditinggalkan begitu saja oleh pihak PT Lusang Mining.
Penduduk yang tadinya ditransmigrasikan, kembali ke Lebong Tandai. Beberapa pekerja khususnya yang memiliki sertifikat juru ledak dinamit dan pengeboran banyak yang pindah bekerja di PT Freeport Papua. Sekarang ini masyarakat belum berani membuat bangunan permanen, kebanyakan masih memanfaatkan sisa-sisa bangunan bekas Belanda atau PT Lusang Mining. Mereka trauma dengan kejadian pengusiran yang pernah mereka alami.
Salah satu yang mereka sesalkan adalah tidak adanya pembelaan dari pemerintah waktu itu pada saat mereka diusir padahal usaha ‘proyek’ (sebutan untuk lokasi penambangan emas) milik warga dilengkapi dengan ijin usaha (HO) dari pemerintah dan tidak lupa membayar pajak. Padahal bukti pembayaran pajak dan surat Ijin usaha itu menunjukkan kekuatan hukum warga atas usaha yang dikelolanya.
Karena kita tiba didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada didesa ini. Namun jangan lupa
membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah yang bisa kita kunjungi antara lain :
Tambang Emas TradisionalPerusahaan yang pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada 3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kabupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
melewati perjalanan selama 3, 5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini. Berbicara tentang
hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat. Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi.
Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia. Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980an didesa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada
dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini hampir saja ada lokalisasi, karena PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup dilokasi tambang tanpa boleh membawa istri).
Selain itu, hampir setiap ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan RI Camat memilih mengunjungi desa ini untuk merayakannya dengan berbagai aneka kegiatan dan berziarah ke makam pahlawan bersama warga desa. Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin.
Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang.
Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana (Mantan Presiden Soeharto). Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Muko-muko. Hanya sedikit warga yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi diantara yang menolak itu adalah Mahyudin (54) konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi keluar desa. Namun hal itu ada hikmahnya misalnya bagi Mahyudin , dengan situasi sulit itu kemudian dia
mendapat keahlian baru yaitu beralih profesi menjadi pandai besi dengan membuat alat-alat dapur dan pertanian, seperti pisau dan cangkul, kemudian dijual kepada para pekerja PT Lusang Mining.
Untunglah situasi itu tidak berlangsung lama karena pada tahun 1994 PT Lusang Mining bangkrut. Banyak pekerja yang tidak dibayar gajinya hingga saat ini, aset rumah dan gedung sebanyak 45 unit dan alat-alat tambang ditinggalkan begitu saja oleh pihak PT Lusang Mining.
Penduduk yang tadinya ditransmigrasikan, kembali ke Lebong Tandai. Beberapa pekerja khususnya yang memiliki sertifikat juru ledak dinamit dan pengeboran banyak yang pindah bekerja di PT Freeport Papua. Sekarang ini masyarakat belum berani membuat bangunan permanen, kebanyakan masih memanfaatkan sisa-sisa bangunan bekas Belanda atau PT Lusang Mining. Mereka trauma dengan kejadian pengusiran yang pernah mereka alami.
Salah satu yang mereka sesalkan adalah tidak adanya pembelaan dari pemerintah waktu itu pada saat mereka diusir padahal usaha ‘proyek’ (sebutan untuk lokasi penambangan emas) milik warga dilengkapi dengan ijin usaha (HO) dari pemerintah dan tidak lupa membayar pajak. Padahal bukti pembayaran pajak dan surat Ijin usaha itu menunjukkan kekuatan hukum warga atas usaha yang dikelolanya.
Karena kita tiba didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada didesa ini. Namun jangan lupa
membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah yang bisa kita kunjungi antara lain :
Tambang Emas TradisionalPerusahaan yang pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada 3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kabupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda. (Data LPAP FISIP UNIB, 2003) Dilokasi Tambang Lebong Tandai ini perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau membuat 16 level terowongan yang jarak satu level dengan level yang lainnya rata-rata 50 meter kebawah tanah. Pada waktu itu dibuat tangga lip untuk pekerja masuk ke terowongan itu. Sampai sekarang tiang-tiang lip itu masih dapat kita jumpai.
Salah satu jalur lori untuk mengangkut batu emas (Gold Ore) tahun 1910
Lori listrik yang mengangkut gold ore sudah ada sejak dahulu (Photo 1932)
Lori listrik yang mengangkut gold ore sudah ada sejak dahulu (Photo 1932)
Setelah masuknya PT Lusang Mining terowongan-terowongan ini kembali dikelola. Namun itupun hanya sampai level 11 karena level 12-16 sudah penuh dengan air dan tertimbun tanah. Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas)(Mungkin gold ore yang dimaksud penulis, by admin),.
Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya. Saat ini, setiap saat para penambang dapat mengetahui pasaran harga emas dunia, dengan memonitor berita keluar negeri, misalnya BBC London. Dengan rumus tertentu mereka dapat mengetahui harga emas dunia dengan standar dolar. Bahkan ada juga yang memiliki pesawat telepon satelit. Penggunaan alat elektronik seperti TV, kulkas atau radio komunikasi ditunjang oleh tersedianya aliran listrik dari tenaga air terus menyala siang-malam tak pernah mati.
Eks Rumah Sakit Belanda Lokasi rumah sakit ini terletak dibukit barisan sebelah barat desa
Lebong Tandai. Rumah sakit ini menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit. Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap.
Lebong Tandai. Rumah sakit ini menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit. Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap.
Penambang sedang mengebor di tambang emas Lebong Donok (1932)
Paling lama 6 bulan pekerja ini sudah terserang penyakit. Kalaupun ada rumah sakit itupun tidak banyak membantu. Menurut cerita warga bagi pekerja bagian pengeboran yang sakit maka diberi 2 pilihan apakah akan dikirim pulang kekampung halamannya (kebanyakan pekerja dari pulau Jawa tepatnya Banten) atau tetap dirawat dirumah sakit itu sambil menunggu ajal tiba. Tak heran dibagian belakang rumah sakit terdapat lokasi kuburan yang sebagian besar adalah ‘korban’ perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.
Kamar BolaTempat ini khusus disiapkan oleh Belanda sebagai sarana hiburan bagi para pekerja tambang. Letaknya dikaki bukit barisan dibawah eks rumah sakit jaman Belanda. Kita dapat membayangkan waktu tahun 1900an ditempat ini sudah ada permainan yang yang sebenarnya permainan itu lazim dimainkan oleh kelas menengah Eropa waktu itu. Saat ini yang tersisa hanya gedungnya saja meja, stik dan bola billyard sudah tidak ada lagi. Tapi walaupun demikian bagi yang ingin mencoba bermain billyard dilokasi ini sambil membayangkan kehidupan waktu itu, kita masih bisa bermain billyard karena beberapa warga membangun sarana billyard sendiri. Rumah Simau Bangunan kayu ini mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, tapi dibuat seperti bedeng-bedeng terdiri dari 13 pintu, tingginya sekitar 12 meter dari tanah, panjangnya sekitar 70 meter. Ruangan bagian atas dan bawah bisa ditempati sebagai tempat tinggal.
Dinamakan Rumah Simau atau Pondok Baru karena bangunan yang didirikan sekitar tahun 1940 ini merupakan bangunan terakhir yang didirikan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, sebelum tambang ini dikuasai oleh Penjajah Jepang Tahun 1942-1945. Awalnya bangunan ini diperuntukkan bagi para pekerja perusahaan Belanda itu. Hingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya.
Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya
rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.
Pemakaman Belanda Pemakaman ini berada disebelah selatan Desa Lebong Tandai yaitu sekitar 1 jam berjalan kaki, banyak orang asing khususnya Belanda yang bekerja di Perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau dikuburkan disini. Sebagian diantara orang asing itu meninggal karena dibunuh oleh pekerja kontrak yang tidak tahan dengan penderitaan.
Menurut cerita disana dimakamkan juga tuan Smith yang dibunuh oleh seorang inang (perempuan) dengan cara ditusuk dengan paku yang telah dipipihkan sebagai senjata ke bagian leher tuan Smith. Ada juga orang Belanda yang meninggal karena kepalanya di bor oleh pekerja tambang.
Pemakaman China Lokasinya berada sekitar 3 km dari arah Lebong Tandai menuju Desa Napal Putih. Berada disebuah bukit kecil disebelah kanan rel kereta Molek. Sampai sekarang setiap hari raya Tionghoa maupun acara keagamaan Konghucu, ahli waris masih melakukan upacara atau ritual keagamaan dilokasi ini. Beberapa diantara warga desa Lebong Tandai dan Napal Putih adalah keturunan Tionghoa.
Makam Pahlawan Terletak dibelakang eks rumah sakit jaman Belanda. Mereka yang dimakamkan disini adalah para pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat dan sebagian memang tentara. Mereka gugur karena ledakan bom, saat Belanda bermaksud menguasai kembali lokasi tambang ini tahun 1947-1949. Rakyat yang tergabung dalam laskar-laskar itu diberi pangkat setelah gugur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan.
Desa Lebong Tandai juga pernah dijadikan basis gerilya pada waktu perang mempertahankan
kemerdekaan. Gedung Bulu Tangkis BelandaBentuk bangunan masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda.
Air Panas Alami Lokasinya terletak dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit.
Tidak jauh dari air panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air terjun Kelumbuk.
Alat Tambang KunoAlat tambang peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak, diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini.
Sungai Lusang Nama PT Lusang Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai, airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini.
Kelebihan ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri dari tulang rawan.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.
Hutan TNKSHutan ini masih relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat).
kemerdekaan. Gedung Bulu Tangkis BelandaBentuk bangunan masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda.
Air Panas Alami Lokasinya terletak dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit.
Tidak jauh dari air panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air terjun Kelumbuk.
Alat Tambang KunoAlat tambang peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak, diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini.
Sungai Lusang Nama PT Lusang Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai, airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini.
Kelebihan ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri dari tulang rawan.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.
Hutan TNKSHutan ini masih relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat).
Salah satu pintu masuk TNKS
Pernah terjadi penebangan kayu oleh pembalak liar dikawasan TNKS, melihat kejadian itu warga langsung berinisiatif untuk menelepon petugas dibalai TNKS di Sungai Penuh Jambi guna melaporkannya. Jika dihitung biaya telepon satelit yang digunakan warga cukup mahal, tapi demi kelestarian hutan masyarakat dengan ikhlas melakukannya. Didalam hutan TNKS ini juga masih banyak beraneka jenis, hewan, kayu atau tumbuhan langka lainnya. Sungguh tepat jika ada yang bermaksud mengadakan penelitian.
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.
Kerajinan Perak. Kerajinan perak ini masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil.
Bermacam-macam perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat dibeli atau dipesan disini.
Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni.
Pemasaran perhiasan ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang berkunjung kesini.
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.
Kerajinan Perak. Kerajinan perak ini masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil.
Bermacam-macam perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat dibeli atau dipesan disini.
Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni.
Pemasaran perhiasan ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang berkunjung kesini.
Photo :
Tanah rejang arsip
Rumah bola, gelundung, penambang, dan bak pembuangan by Ramadiandri
Moleh by pelangi biru
Reference :
www.paskass.org
2 comments:
Assalamu'alaikum...
Terima kasih atas apresiasinya bos..Mudah-mudahan dengan foto itu dapat lebih menjelaskan kondisi Lebong Tandai. Tak banyak yang bisa saya lakukan, namun jika bermanfaat tentunya saya akan senang jika bisa lebih dimanfaatkan. Mari berbagi untuk Bengkulu...
Terkait permintaannya mendokumentasikan rumah Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga Ketahun Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto), kiranya bukan saya tak mau. Besar sebenarnya keinginan saya untuk lebih konsen menulis tentang kebudayaan di Bengkulu. Bukan hanya di Bengkulu Utara, tapi juga di kabupaten-kabupaten lain seperti Seluma, Manna dan Curup atau Kepahiang mungkin. Tapi karena kesibukan dan tuntutan tugas, hal itu belum dapat terealisasi. Mudah-mudahan ada waktu, akan saya lakukan.
Wassalam...
Rama Diandri
Assalamu'alaikum..
Terima kasih atas apresiasinya. Tak banyak yang bisa saya berikan. Namun jika bermanfaat, saya sangat senang jika saudara bisa memanfaatkan karya kecil tsb. Mari kita berbagi untuk Bengkulu demi kemajuannya.
Terkait permintaan saudara untuk mendokumentasikan rumah Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga KetahunPangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto, bukannya saya tak mau. Namun karena kesibukan dan kebetulan saya berdomisili di Kota Bengkulu, tentunya harus ada waktu khusus untuk pergi dan mengabadikan tulisan serta gambarnya.
Menulis tentang kebudayaan bengkulu, bagi saya sesuatu yang mengasyikkan. Apalagi saya memang asli Bengkulu. Bahkan saya juga berkeinginan untuk mendokumentasikan tulisan dan foto bukan hanya di Kabupaten Bengkulu Utara. Namun juga di kabupaten-kabupaten lain misal, Seluma, Manna, Kepahiang atau Curup atau kabupaten lain mungkin.Ini sudah lama saya cita-citakan. Tapi karena keterbatasan, terpaksa niat ini saya tunda dulu. Mudah-mudahan ke depan saya punya waktu dan semuanya yang mendukung untuk itu...
Wassalam...
Rama Diandri
Post a Comment