Oleh : MELYAN AST BAKKKARA
Tokoh utama di cangkir ini adalah kucing kami. Namanya tidak ada, Serip itu bukanlah namanya. Bukannya kucing kami itu tidak ada namanya, sering ia diberi nama olehku—anggota keluarga yang lain tidak hobi memberi nama—tetapi aku selalu lupa siapa namanya, jadilah ia sering berganti nama. Semakin sering berganti nama, semakin aku lupa.
Tokoh utama di cangkir ini adalah kucing kami. Namanya tidak ada, Serip itu bukanlah namanya. Bukannya kucing kami itu tidak ada namanya, sering ia diberi nama olehku—anggota keluarga yang lain tidak hobi memberi nama—tetapi aku selalu lupa siapa namanya, jadilah ia sering berganti nama. Semakin sering berganti nama, semakin aku lupa.
Kombinasi warna bulu kucing kami hanya hitam dan putih, hampir semuanya berbalur warna hitam, hanya bagian moncong saja yang putih, selain itu daerah disekeliling kakinya juga berwarna putih hingga ke jemarinya, jadi dia seperti memakai kaus kaki.
Ada dua kucing, induk dan anaknya. Sebenarnya mereka milik tetangga kami yang sedang merenovasi rumah, karena peraduan mereka terganggu mereka akhirnya tidur di rumah dan hingga saat ini menjadi hak milik kami secara tidak tertulis. Mereka berdua beranak pinak, sungguh bukan pelajaran moral yang baik. Hanya kucinglah—dan setahuku hanya mereka berdua—saja yang boleh beranak pinak antara induk dan anak, incest. Manusia tidak boleh begitu. Beberapa waktu yang lalu aku lihat di televisi, seorang bocah lelaki usia belasan di kota J yang mungkin sedang pada masa puber[1] nya ditangkap polisi atas pengaduan warga karena membuat ibunya beranak. Dia pasrah ditangkap oleh polisi sementara ibunya hanya diam dengan tampang bloon menunggui Si Bayi di rumah sakit. Temanku berpendapat panjang lebar bahwa kebodohan dan kemiskinan memang alat Iblis yang terkutuk, membawa sesat banyak manusia. Sementara era informasi membawa dampak yang “hebat” bagi kaum muda bangsa, mereka bisa melihat adegan “horor” dimana-mana bahkan eksploitasi tubuh wanita sampai pada iklan pompa air sekalipun.
Tetapi dalam hatiku terbersit kata yang sederhana saja, “itu mah Si Emak yang beger[2]. Tangkap juga saja!”
Kembali ketopik utama. Kucing kami. Buah cinta mereka tidak pernah berumur panjang, terakhir kali Si Induk melahirkan empat ekor anak kucing dengan warna senada yang mati satu persatu. Anak kucing yang terakhir jatuh dari ketinggian rak-rak mie instan sehingga buta. Aku membubuhkan Visine tetes mata, dan jadi wafatlah dia. Setelah masa-masa menyedihkan itu, Si Ibu tidak pernah melahirkan lagi.
Reputasi kucing kami soal kegarangan tidak diragukan lagi. Mereka berdua bisa menyerang siapa saja bahkan dimana saja. Rekor terbaik mereka menyerang seorang dokter yang baru saja dinas di daerahku. Ibu dokter ini datang ke rumah karena mempunyai kesamaan dengan papaku dalam hal suku, agama, ras, dan antargolongan. Sekedar perkenalan, sepulang gereja mereka mampir sekalian belanja di toko.
Salah satu dari mereka—aku bahkan tidak bisa membedakan yang mana induk yang mana anak—duduk santai dengan angkuhnya di atas salah satu lemari pajangan kami yang hanya setinggi dada orang dewasa itu. Ibu dokter selesai berbelanja dan pamit pulang. Ibu dokter tidak hanya pamit pada papa dan mama tetapi juga pada kucing kami. Ibu dokter menyapanya seperti menyapa anak balita.
“Pus…puss….” ia memanggil-manggil kucing kami sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendekat ke arah Si Kucing.
“Jangan didekati ito[3]. Ganas itu.” Papaku memperingatkan, namun terlambat. Grawwwwwww!!
Ibu dokter pun pulang dengan hidung sompel dan berleleran betadine. Kali ini tanpa menoleh pada Si Kucing.
* * *
Belakangan ini kinerja kedua kucing itu menurun. Mereka tidak seagresif biasanya, bahkan kecoa melintas di depan hidung mereka dengan leluasa. Mamaku mengeluhkan biaya perawatan mereka dibanding jasa mereka yang tidak setara. Toko kami memang sasaran empuk tikus, itu kenapa kehadiran kucing yang agresif sangat dibutuhkan.
Siang itu, saat aku dan mama bekerja seperti biasa, Si Kucing lewat, berhenti dan menjilati kaki mama. “Dasar Serip!!” bentak mama sambil menendangnya untuk menjauh.
“Siapa Serip, Ma? Salah satu pacar mama dulu?” tanyaku.
“Sembarangan,” mama tertawa. Tawa khas mama. “Serip itu nama kucing Emak[4] dulu. Sama kaya begini, pemalas setengah mati.” Jelas mama.
Sebenarnya Serip itu adalah nama orang. Tepatnya seorang pria yang terkenal dengan kemalasannya. Tubuhnya gemuk, hasil tidur sepanjang hari. Tidak punya pekerjaan dan bergantung pada istri dan belas kasihan orang atau tepatnya kebaikan orang. Dia tidak suka meminta-minta, hanya saja kalau ia lapar dan ingin makan sementara istrinya belum pulang dari ladang atau sawah, ia akan pergi ke rumah orang lain. Karena rumah emakku yang campur pabrik itu terbuka lebar, maka rumah emakku adalah tujuan utama. (Dalam hal ini aku heran, anak emak dan engkongku ada sembilan orang ditambah mereka berdua jadi sebelas, ditambah begitu banyak yang iseng-iseng nebeng makan, berarti harus berapa banyak Wak Oge, penolong di rumah emak masak setiap hari?)
Kucing emak itu pun berbadan tambun dan pemalas. Jadilah ia pada setiap kesempatan dapat komentari, seluruh penghuni rumah akan menyebutnya Serip. Dan lama-kelamaan namanya menjadi Serip.
Kepribadian Serip—manusia—ini mungkin memang tidak menyenangkan. Tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dipertanyakan. Namun ada sesuatu tentang Serip yang diceritakan mamaku dan menjadi sereguk teh yang mengalir dan membekas di pikiranku.
Zaman dulu, sekitar tahun lima puluh hingga enam puluhan—mamaku masih remaja beranjak dewasa—ada banyak tragedi yang mengawali kemerdekaan bangsa kita tercinta ini. Ada Gestapu (Gerakan tiga puluh september yang mengatasnamakan PKI), Permesta, Ratu Adil, dan PRRI. Gerakan PRRI lah yang menyumbangkan luka untuk insan di Lebong, sebenarnya gerakan yang lain seperti PKI juga tetapi kisah Serip ini berhubungan dengan PRRI.
Putera daerah sendiri yang mengatasnamakan diri mereka sebagai PRRI dan melakukan tindak kejahatan terhadap saudaranya sesama warga Lebong sendiri. Mereka mencuri ternak, barang-barang berharga, bahkan anak-anak perawan. Mereka membawa hasil rampasan ke dalam hutan dan bersenang-senang. Setelah pemberontakan ini berhasil digulingkan oleh TNI, anggota PRRI ini dicari dan dibersihkan hingga ke akar-akarnya. Cara pembersihan pun dilakukan dengan cara yang unik. Aku tidak tahu apakah benar cara ini yang dilakukan, tetapi inilah yang disampaikan mulut ke mulut dan turun temurun.
Para “pemberontak” ini dibawa dengan mobil pada malam hari, masing-masing mereka diikat dimasukkan ke dalam karung dan diikat lagi dengan erat. Karung-karung manusia ini akan dibariskan di pinggir jembatan Tunggang yang dibawahnya mengalir sungai Kotok. Aliran sungai Kotok ini akan bergabung dengan aliran sungai putih yang selanjutnya akan bermuara ke laut lepas.
Satu persatu mereka akan ditembak, dan byurrr….tubuh mereka akan ditelan oleh sungai Kotok dan kisah mereka akan lenyap seiring hanyutnya tubuh mereka terbawa arus sungai yang keruh itu. Tragis bagi Serip, salah satu yang ditembak itu adalah puteranya yang tak mampu dia lindungi.
Semua merasa simpati dengan Serip. Ayah yang mungkin kepribadiannya tidak disukai ini berjalan berhari-hari menelusuri arus sungai berharap anaknya bisa dia temukan dan dimakamkan sebagai manusia terhormat. Tetapi nihil.
Aku merasakan kekosongan di hati ayah ini. Sisi manusianya tetap tidak dapat diganggu gugat meski sikapnya tidak menyenangkan.
Kadang aku berkhayal sedikit mendramatisir adegan pencarian Serip di sepanjang sungai itu. Aku membayangkan disuatu senja saat ia menelusuri sungai itu. Langit ungu merah menjelang malam dan orang-orang Bunian[5] dari seluruh penjuru Bukit Barisan keluar dari persembunyian mereka dan menggoda Serip denga membuatnya berhalusinasi melihat puteranya memanggil-manggilnya untuk mengajaknya mandi dan berenang di sungai Kotok seperti yang Serip lakukan dulu sewaktu Si Anak masih kecil. Dengan hati yang separuh hampa Serip akan terjebak dengan khayalan indah itu dan meleburkan dirinya ke sungai. Lalu orang-orang Bunian akan membawa Serip ke negeri mereka dimana di situ telah duduk puteranya menunggu kedatangan Sang Ayah.
Paling tidak aku berharap sekalipun tidak berhasil menemukan anaknya, Serip akan pulang ke rumah dengan perubahan yang luar biasa. Dia akan jadi rajin dan memperbaiki kelakuannya. Lebih menyayangi istri dan keluarganya.
Stop! Ini justru hanya halusinasiku. Aku yang terlalu menginginkan agar Serip berakhir dengan cara yang sedikit heroik untuk menutupi kelemahannya selama ini. Lebih baik aku bertanya.
“Lalu apa Serip bertemu dengan mayat anaknya, Ma?” tanyaku penasaran. Mama menggeleng sambil tetap memperhatikan jarum pada neraca yang ada di hadapannya.
“Lalu apa yang Serip lakukan?” aku tidak puas dengan jawaban mamaku—salah satu kebiasaan mamaku, dia harus dipancing untuk bercerita kadang itu membuatku tidak sabar.
“Ya, pulang ke rumah, dong.”
“Lalu?” aku sedikit kecewa dengan akhir yang seperti itu.
“Malas-malasan lagi.”
Akhirnya aku benar-benar sangat kecewa. Aku menendang kucing yang masih tetap meringkuk di kaki mamaku itu. “Dasar Serip!!”
* * *
[1] Akil balig.
[2] Kegatelan, genit.
[3] Panggilan saudara, antara pria dan wanita dalam adat suku Batak Toba.
[4] Kami memanggil ibu dari mama kami dengan sebutan Emak, alias nenek. Suami emak kami panggil Engkong.
[5] Orang-orang halus. Orang jadi-jadian.
Source :
http://melbakkara.wordpress.com/2008/10/23/mai/
1 comments:
from MELYAN AST BAKKKARA
to taneakjang@gmail.com
date Fri, Dec 26, 2008 at 6:15 PM
subject : Mai
mailed-by gmail.com
hide details 6:15 PM (2 hours ago)
Dear admin, maaf saya hampir saja lupa kalau saya punya wordpress, jarang saya buka. Jadi baru bisa balas comment anda sekarang. jadi email ini saya kirim berdasarkan comment anda yang saya sertakan dibagian bawah.
kisah Mai, Serip-- semua kisah yang ada di blog wordpress saya adalah kisah nyata yang pernah saya dengar dari cerita-cerita ibu saya. Saya adalah percampuran darah cina murni dengan rejang murni. Kakek buyut saya yang cina tulen itu menikah dengan seorang gadis rejang. Desanya Lebong Donok, yang terletak tidak biegitu jauh dari pasar Muara Aman.
Saya senang jika bisa membantu anda melengkapi koleksi di blog anda, karena dari dulu saya sempat beharap ada situs untuk eksploitasi tanah rejang. Jadi khusus untuk artikel Mai, saya mengijinkan anda untuk mempublikasikannya kembali (khusus Mai ya) sudah saya sunting. Tentang cerita-cerita etnis cina di tanah Lebong, sekarang lebih sulit. Dari dulu memang ada keinginan, tetapi orang-orang yang berkapasitas untuk itu kebanyakan sudah berpulang. Beberapa minggu yang lalu, salah satu generasi penghabisan juga sudah berpulang.
satu permintaan saya, agar saya diberitahu manakala tulisan itu sudah di posting. Jika ada tulisan saya yang lain nantinya yang "mungkin" juga bisa di publish, saya harap juga dapat diberitahu terlebih dahulu (atau saya juga akan memberitahukan anda )
kalo boleh tahu (saya sangat ingin tahu sebenarnya) apakah taneakjang ini dikelola oleh banyak orang? atau beberapa orang? maksud saya memang banyak kontributor mungkin, tetapi yang mengelola?
dan kalau boleh tahu, dimana posisi anda sekarang? Bengkulu? atau kkota lain kah? banyak tanya yah
terima kasih, sudah memperhatikan blog saya. Tuhan memberkati.
Post a Comment