“Susu formula bayi usia enam bulan ada, ” tanya seorang pria muda usia tiga puluhan. “Aku mau yang seratus lima puluh gram saja.” Lanjutnya.
“Tidak mau yang tiga ratus gram saja? Kau bisa menghemat harga untuk lima puluh gram loh,” jawab mamaku. “isinya dua kali lipat dan harga yang jatuh lebih murah.”
Pria itu tersenyum. Sebuah senyum yang menjawab semuanya. “uangnya tidak cukup.” Kira-kira begitulah arti senyumnya.
Mamaku tidak lagi bertanya apa-apa. Mama memasukkan susu yang dimaksud ke dalam sebuah kantong plastik hitam dan memasukkan satu kotak roti bayi juga ke dalamnya, “untuk anakmu.” Bisik mama. Pria itu tersenyum malu, membayar susunya lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih yang dalam.
“Permainan hidup itu kadang menyakitkan.” Ujar mamaku, sambil menatap punggung pria itu. Aku masih diam. “Lihat Andreas itu. Jadi kuli. Lusuh, kotor, lebih tua dari pada usianya.” Lanjut mama, aku masih tetap diam. Ada rangkaian ingatan yang terbersit di pikiranku. Tetapi tak terangkai jelas.
“Kau masih ingat Mai?” tanya mama. Ya, aku mengerti sekarang. Aku mengangguk.
* * *
Mama lalu berkisah tentang Mai. Dimulai ketika orang tua Mai ini adalah salah satu figur non-pribumi yang sukses dan berhasil di tanah Lebong.
Sekedar informasi, Lebong ini dulu adalah negeri yang kaya susu dan madunya. Susu dan madu itu warnanya kuning. Kau tahu? Emas. Kejayaan pertambangan emas di Lebong bukan isapan jempol atau mitos saja. Sekarang memang hanya tinggal bukit batu saksi bisu yang bolong berkilo-kilo meter di bawah permukaan tanah, tetapi itu adalah bukti bahwa ada yang orang ambil cari hingga segitu dalamnya menggali.
Pekuburan Belanda yang ada di dekat sana adalah salah satu bukti bahwa kompeni ini sungguh hebat dalam hal eksplorasi dan eksploitasi. Tiga ratus lima puluh tahun mereka menjadi predator, ternyata Lebong yang nun jauh terpencil di ujung peta ini juga tidak lepas dari pandangan matanya. Hingga sampai ada dari mereka yang mati dan terpaksa di kubur di sana. Dari kisah-kisah yang dilantunkan guru-guru produk zaman kuna, kompeni berhasil membawa lebih dari dua ton emas Lebong ke negerinya untuk mengecor laut! Membuat pekarangan mereka semakin luas.
Kekayaan Lebong ini juga mendatangkan banyak perantauan dari negeri asing seperti kakek buyutku, dan juga banyak orang lain yang sebangsa dengannya untuk berjuang di dunia emas Lebong. Mereka hidup dan membentuk sebuah koloni dan akhirnya mati di Lebong tanpa pernah sempat kembali ke negerinya.
Itulah mengapa pada zaman kuna, peradaban Lebong tidak bisa terlepas dari peranan koloni orang-orang Cina ini. Sewaktu aku masih kecil mungkin banyak teman-teman yang menertawai dan mengatai aku Cina kulup[1], mungkin mereka tidak menyadari bahwa nenek atau ibu mereka belajar di sekolah-sekolah yang dibangun dan digembleng oleh orang-orang Cina yang kala itu terkenal keras namun cerdas. Sayangnya, saat mamaku naik ke kelas dua es de para pendidik ini tergusur oleh kebijakan Sekolah Rakjat yang dimiliki oleh pemerintah. Para guru dan pemikir hebat ini kehilangan pekerjaan.
* * *
Aku bercerita panjang lebar tentang peranan Cina di Lebong ini hanya untuk mengatakan padamu bahwa bapaknya Mai ini adalah salah satu penyumbang “peradaban” Lebong. Dia adalah seorang pemimpin Orkestra!
Sungguh hingga saat ini aku sulit untuk memahami bahwa Lebong pernah punya biografi tentang seni musik. Sesuatu yang mustahil jika melihat kehidupan seni di Lebong sekarang.
Kakeknya menguasai berbagai macam alat musik mulai dari yang tiup, petik hingga gesek. Dia memberikan pelajaran musik bagi siapa saja yang ingin belajar musik. Datang ke sanggarnya atau minta dia mengajar privat di rumah. Beliau seorang guru musik yang bertangan lidi alias sedikit salah pecut pakai lidi.
Dalam periode tertentu dia akan mengadakan pertunjukkan di gedung pertemuan yang berada tepat di depan rumahku saat ini. Sedari dulu itu memang gedung multifungsi. Semua anak-anaknya akan bermain musik, termasuk anak-anak perempuan. Ada sesuatu dikatakan mamaku yang membuat aku tidak percaya. Ada seorang perempuan yang sedari ia kecil sering main bersama orkestra itu. Kadang ia bermain gitar, kadang bermain biola. Luar biasa sekali pada zaman itu.
Dialah Mai.
Sesulit-sulitnya aku berpikir bahwa Lebong pernah menjadi hebat soal musik, lebih sulit lagi aku untuk percaya bahwa Mai pernah begitu keren pada zamannya. Semua itu karena aku tidak mengenal seorang Mai yang pemusik. Bukan sebagai orang yang biasa dikagumi. Bukan. Bukan siapa-siapa.
Pamor orkestra yang dipimpin bapaknya dulu tidak lama. PRRI merampas semua peralatan musiknya, dibawa lari masuk hutan. Habis tak berbekas. Setelah kejadian itu bapaknya tampak tak waras. Kadang dia berbicara sendiri, menggerak-gerakkan tangan seolah memimpin orkestra. Sampailah ia mati. Sungguh lebih kejam penjajah dari bangsa sendiri.
Setelah itu kehidupan berubah buat mereka. Tidak ada lagi jalan bagi mereka mengapresiasikan gemuruh sedih, senang, marah, cinta, puas, dan kecewa.
* * *
Aku keheranan melihat empat sosok adik beradik itu. Aku mempunyai impresi yang kuat kalau mereka itu berasal dari dunia lain. Mereka duduk di beranda rumahku, minum es campur. Tidak seperti pembeli lain yang makan, bayar, pergi, ibu mereka ini seperti punya hubungan yang khusus dengan mamaku. Tampak mereka berdua sedang bicara di dalam.
Awalnya aku tak tahu bahwa itu adalah ibu dari anak-anak yang bergerombol makan di berandaku. Malasahnya mereka seperti langit dan bumi.
Sang Ibu seorang wanita putih dan kurus, nyaris kurus kering yang masih menyimpan sisa kecantikan masa mudanya. Sebenarnya belum juga terlalu tua, tetapi tampaknya kehidupan ini telah menderanya sedemikian rupa sehingga ia menjadi sangat lelah berjuang untuk sekedar bertahan—jangankan menang. Wanita ini sepertinya sedang memakai pakaian terbaik yang ia miliki untuk datang ke pasar yang berada di ibukota kecamatan ini. Aku tahu saja bahwa ia memakai pakaian terbaik, pasalnya bajunya masih sangat bagus tetapi mode baju terusan hingga di bawah lutut dengan lengan tujuh perdelapan yang bergelembung itu sudah tidak dipakai lagi oleh wanita zaman ini. Itu mode tahun enam puluhan. Wanita sekarang lebih suka pakaian yang lebih dinamis, yang tidak akan membuat selangkangan terasa dingin saat berjalan.
Namun anak-anaknya hitam-hitam. Legam. Seperti tidak terlahir dari rahim wanita itu. Mereka masing-masing memakai kemeja krem—aku yakin dulu berwarna putih—dengan celana pendek berbahan tebal yang kelihatannya panas sekali, malah si bungsu yang tampaknya seusia denganku itu memakai celana yang kebesaran, mengkerut di pinggang sebelah kiri karena ikat pinggang yang lebih mirip bilah bambu itu memaksa celana itu untuk bergantung di situ. Mereka semua memakai kaus kaki sepak bola yang tinggi hingga lutut, berwarna-warni. Namun dengan sepatu kain hitam dengan sol berwarna merah jambu. Persis, milik Wong Fei Hung. Intinya, satu kata sajalah, udik.
Aku ingin tertawa melihat anak-anak yang berebut makan es campur—bahkan memakan sumbu pada tapai ubinya—dengan senang sekali. Akhirnya aku berlari ke pangkuan mama yang sedang berbicara dengan wanita itu. Aku melompat dan berbisik-bisik—mungkin bukan berbisik karena wanita itu mendengar—di telinga mama.
“Ma, anak-anak di depan itu udik sekali.” Kata ku. Wajah mama memerah. “Husss!.” Gertaknya pelan di telingaku sambil tersenyum pada wanita itu. Wanita itu tertawa lebar.
“Oh, ini si bungsu ya… seusia dengan Eduar,” dia mengelus pelan kepalaku, “sudah besar kau, nak. Lama juga ii [2] tidak melihatmu.” Dia mengajakku duduk di pangkuannya tetapi aku tidak mau. Aku tidak pernah mau dekat dengan orang asing.
Wanita itu tersenyum mengerti.
“Kalau ii sih tidak punya anak perempuan, itu mereka lelaki semua sedang makan es di luar” sambungnya.
Oh, tidak. Berarti tadi aku telah mengatakan hal yang buruk tentang anaknya pada mama. Aku malu.
* * *
Setelah peristiwa itu Mai sering datang ke rumahku. Tidak bersama semua anaknya, kadang sendiri kadang hanya bersama Si Bungsu, Eduar.
Ternyata waktu itu dia datang untuk bernegosiasi dengan mamaku. Dia ingin memasok kayu bakar, jenis kayu kopi. Mama membutuhkan banyak kayu bakar untuk anglo[3] nya yang berukuran besar karena mama merebus mie dalam jumlah yang banyak setiap hari. Tidak tahu mengapa mama menyetujui perjanjian dagang dengan Mai, mungkin karena merasa sebagai saudara sebangsa yang harus tolong menolong. Jika datang ke rumahku Mai tidak pernah datang dengan tangan kosong. Rambutan, semangka atau makanan apa saja pasti dia bawa untukku. Aku menyukai Mai. Bukan karena makanan itu, tetapi keramahan, kelembutan yang terus terpancar di sela-sela kesusahannya.
Tidak hanya sebatas perjanjian dagang saja, Mai juga semakin sering terlihat di gereja hari minggu dan di persekutuan wanita hari selasa. Pernah juga aku ikut dengan mama ke persekutuan wanita yang hari itu digilir di rumah Mai.
Rumahnya jauh. Paling tidak empat puluh lima menit mengendarai mobil. Memang rumahnya—tepat lagi kalau disebut gubuk—itu terletak di pinggir jalan tetapi sekelilingnya itu hutan yang diselingi perkebunan kopi. Ada sungai putih yang mengalir bening di belakang rumahnya. Hingga saat ini, sungai putih di belakang rumahnya itu menjadi tempat favorit bagi orang-orang yang ingin bersantai, berenang dan melepas lelah di daerahku.
* * *
Mai sakit. Lama dia tidak terlihat. Kata mama itu dia sakit paru-paru. Aku merindukannya.
Sampai suatu hari papa tampak bergegas bersiap-siap pergi. Ditangannya ada kain putih yang tampak tebal. Aku dengar mama berkata pada papa, “Cukup kafan selebar itu?”. Mama juga akan pergi, aku tak diajak. Kata mama mungkin di sana banyak bibit penyakit, anak kecil bisa jadi mudah terinfeksi. Mai meninggal.
Demikianlah akhir hidup seorang Mai. Ibu yang kuat dan luar biasa itu kalah oleh penyakitnya, namun menang dalam iman kepada Tuhan yang disembahnya. Aku tahu itu, tahu pasti.
Jika dulu Mai begitu disanjung karena cantiknya, karena kehebatannya bermain musik sekarang dia pun meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Sakit, miskin, dan terbuang dari pergaulan. Terkucil di pinggir hutan.
Sepeninggal Mai, delapan orang anak-anaknya berhamburan terpecah belah, lelaki dan perempuan semua berjalan dengan kepala sendiri. Semua putus sekolah selain Eduar yang justru kala itu belum bersekolah. Seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka benar-benar kehilangan pegangan. Sosok yang tegas dan kuat. Bapak mereka tak mampu gantikan itu.
* * *
Kami menatap kepergian Andreas yang semakin lama semakin menjauh mendaki jalan yang menanjak itu. Sekian belas tahun yang lalu aku melihat Andreas sebagai salah seorang anak kecil yang berebut makan es campur bersama saudara-saudaranya di beranda rumahku. Hari ini aku melihatnya lagi sebagai pria dewasa yang didera kerasnya hidup sama seperti ibunya dulu. Sayang, tak satu pun dari delapan orang itu yang mewarisi keterampilan ibu dan kakeknya. Mungkin mereka cerdas, tetapi tak berkesempatan. Mereka hanya menjadi sisa kejayaan masa lalu yang tak pernah mencicip sepotongpun kesenangan dari kejayaan itu. Lebih lagi jika ku katakan iman dapat diwariskan, maka tak satupun dari mereka yang meniru kesetiaan Mai pada Tuhannya. Tapi masalah iman ini urusan pribadi mereka.
Entah apa yang akan diwarisi pada anak yang dibelikannya susu itu kelak. Mungkinkah suatu hari, suatu waktu nanti terputus juga garis dera itu?
[1] Tidak bersunat.
[2] Tante.
[3] Tungku pembakaran.
Source :http://melbakkara.wordpress.com
1 comments:
from MELYAN AST BAKKKARA
to taneakjang@gmail.com
date Fri, Dec 26, 2008 at 6:15 PM
subject : Mai
mailed-by gmail.com
hide details 6:15 PM (2 hours ago)
Dear admin, maaf saya hampir saja lupa kalau saya punya wordpress, jarang saya buka. Jadi baru bisa balas comment anda sekarang. jadi email ini saya kirim berdasarkan comment anda yang saya sertakan dibagian bawah.
kisah Mai, Serip-- semua kisah yang ada di blog wordpress saya adalah kisah nyata yang pernah saya dengar dari cerita-cerita ibu saya. Saya adalah percampuran darah cina murni dengan rejang murni. Kakek buyut saya yang cina tulen itu menikah dengan seorang gadis rejang. Desanya Lebong Donok, yang terletak tidak biegitu jauh dari pasar Muara Aman.
Saya senang jika bisa membantu anda melengkapi koleksi di blog anda, karena dari dulu saya sempat beharap ada situs untuk eksploitasi tanah rejang. Jadi khusus untuk artikel Mai, saya mengijinkan anda untuk mempublikasikannya kembali (khusus Mai ya) sudah saya sunting. Tentang cerita-cerita etnis cina di tanah Lebong, sekarang lebih sulit. Dari dulu memang ada keinginan, tetapi orang-orang yang berkapasitas untuk itu kebanyakan sudah berpulang. Beberapa minggu yang lalu, salah satu generasi penghabisan juga sudah berpulang.
satu permintaan saya, agar saya diberitahu manakala tulisan itu sudah di posting. Jika ada tulisan saya yang lain nantinya yang "mungkin" juga bisa di publish, saya harap juga dapat diberitahu terlebih dahulu (atau saya juga akan memberitahukan anda )
kalo boleh tahu (saya sangat ingin tahu sebenarnya) apakah taneakjang ini dikelola oleh banyak orang? atau beberapa orang? maksud saya memang banyak kontributor mungkin, tetapi yang mengelola?
dan kalau boleh tahu, dimana posisi anda sekarang? Bengkulu? atau kkota lain kah? banyak tanya yah
terima kasih, sudah memperhatikan blog saya. Tuhan memberkati.
Post a Comment