Oleh Linny Oktovianny
KIRA-KIRA abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 pernah muncul cerita yang dituturkan dengan lagu atau irama tertentu yang cukup populer di kalangan masyarakat Besemah, yaitu guritan. Penuturan cerita atau beguritan dilaksanakan pada saat syukuran saat panen, kenduri pernikahan, atau ketika purnama menerangi jagat Besemah. Ngguritan atau menuturkan cerita guritan biasanya berisi ajaran moral, nasihat, aturan-aturan adat, kepahlawanan dan kerajaan masa lalu serta cerita tentang manusia berikut tingkah lakunya.
Biasanya beguritan atau Penuturan cerita memakan waktu yang cukup lama. Beguritan dilaksanakan seusai salat Maghrib sampai tengah malam.
Biasanya beguritan atau Penuturan cerita memakan waktu yang cukup lama. Beguritan dilaksanakan seusai salat Maghrib sampai tengah malam.
Pada waktu yang lalu guritan diguritkan dengan cara yang unik, yaitu penggurit (penutur guritan) duduk bersila dengan khusyuk, tangannya berlipat di atas sambang, suatu alat khusus dari bambu yang berdiameter 9 cm dan panjang 2 jengkal dan dilubangi pada bagian ujungnya. Sambang digunakan penggurit untuk mengolah vibrasi suaranya. Penggurit memerlukan nafas panjang dan kepekaan terhadap isi cerita serta kelancaran bertutur. Keahlian mengatur nafas, suara dan improvisasi merupakan hal yang penting bagi penggurit ketika guritan akan dituturkan karena umumnya cerita guritan sangat panjang.
Selain itu, sambang juga berfungsi sebagai alat untuk berkosentrasi. Biasanya sambil memejamkan mata penggurit menundukkan kepala yang berfungsi untuk mengingat dan berkosentrasi pada cerita yang sedang dituturkan. Sambang juga memiliki fungsi untuk mengatasi rasa lelah penggurit.
Penghayatan merupakan kekuatan guritan. Guritan yang dituturkan dengan interpretasi penggurit yang baik akan semakin memikat dan nikmat untuk diikuti oleh pendengarnya. Biasanya, pendengar juga larut mendengarkan kisah yang dijalin dalam guritan. Melalui pembacaan guritan dapat dihadirkan suasana magis yang muncul sebagai gema dari masa silam. Guritan mampu menghadirkan kembali kenangan-kenangan masa lampau jagat Besemah yang samar-samar ada dibenak masyarakat. Bagi penontonnya guritan memiliki daya pikat tersendiri lantaran serius mengikuti perkembangan cerita yang dituturkan melalui guritan. Hal tersebut terkadang membuat penonton menangis, gemas, tertawa bahkan menjadi sangat emosional.
Untuk dapat menuturkan guritan dengan tuntas sangat diperlukan penghayatan, kemampuan teknis mencakup vokal, ekspresi, dan intonasi serta ingatan yang tajam. Tidak banyak orang yang dapat menyampaikan guritan dengan baik apalagi sampai mencapai taraf ahli.
Guritan memiliki dua versi yaitu guritan lama dan guritan baru. Guritan lama umumnya berisi kisah-kisah dan pribahasa-pribahasa, sedangkan guritan yang baru materinya mengandung kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa sejarah selama gerilya. Guritan yang baru merupakan gubahan dan berpijak pada format guritan lama.
Sulit untuk mengetahui secara pasti sejak kapan guritan sudah mulai ada di tanah Besemah karena sedikitnya data-data yang mendukung ranah tersebut. Guritan lama sulit dan sudah tidak dapat ditelusuri lagi. Tahu-tahu guritan tersebut sudah ada di tengah-tengah masyarakat Besemah. Bahasa yang digunakan dalam guritan Besemah versi lama menggunakan bahasa lama yang terkadang orang Besemah sendiri banyak kurang paham atau tidak mengerti sama sekali maknanya. Karena bahasa Besemah yang lama sudah jarang digunkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Besemah.
Guritan dulu dituturkan secara monolog oleh seorang pencerita. Kini guritan dapat dituturkan secara bergantian oleh dua orang atau lebih sesuai dengan kebutuhan atau isi cerita yang dituturkan.
Kini tidak banyak lagi orang yang dapat menuturkan guritan dengan pemahaman yang baik terlebih-lebih menuturkan guritan versi lama. Guritan masa kini lebih banyak bercerita mengenai kehidupan manusia seperti karakter manusia beserta kepahlawanannya yang tentu saja masih dapat kita teladani bersama.
Sumber : dodinp.multiply. com
0 comments:
Post a Comment