Written by Fenty Hanifah Firman,
pengajar di SMAN 1 Tebat Karai, Kabupaten Kepahiang,
on 11-05-2008 22:05, 22:05
Situasi kebahasaan di Propinsi Bengkulu ini cukup kompleks. Setidaknya secara umum ada tujuh bahasa asli daerah yang digunakan sebagai alat bahasa berkomunikasi intradaerah, dengan berbagai dialek. Ini belum termasuk dari bahas suku pendatang yang telah bermukim lama di Negeri Bengkulu ini, seperti suku Bugis, Jawa, Padang dan lainnya.
Bahasa dapat menunjukan jatidiri suatu bangsa. Sebaliknya, bila bahasa bangsa sendiri tidak dihargai, ini menunjukan kalau suatu bangsa itu miskin adat dan budayanya. Bagaimanakah dengan rasa harga diri? Tentunya akan terbawa degradasi pula. Dengan bahasa, masyakat akan dapat memahami lebih mendalam makna yang terkandung, dan mengungkap apa yang belum terucap.
Infiltrasi bahasa luar daerah kedalam bahasa daerah di Propinsi Bengkulu merupakan hal yang tidak bisa ditampik lagi, tidak bisa dibendung di Negara Kesatuan Indonesia ini. Namun bila hilangnya bahasa asli disuatu daerah, mungkin inilah yang perlu menjadi kekuatiran dan perlu mendapat perhatian dan antispatif, tentunya hanya pemerintah kota/ kabupaten sajalah yang dapat membendung itu semua, melalui peraturan daerah misalnya.
Sikap primordialisme itu bukan barang haram. Sikap kecintaan pada kedaerahan itu baik dilakukan, selagi tidak mengurangi dan menggangu kepentingan bangsa dan negara yang tercinta ini. Karena itulah, menjaga bahasa daerah yang ada di Propinsi Bengkulu ini sebagai bagian dari kebudayaan Bangsa Indoensia, sangat perlu dilakukan.
Kekuatiran
Hilangnya suatu bahasa yang ada di suatu propinsi sangat mungkin terjadi. Hal itu dapat dilihat dari bahasa masyarakat Betawi di Jakarta yang kian lama kian bergeser. Bahasa masyarakat Lampung yang beralih kebahasa Jawa Cikoneng.
Ada kemungkinan lagi terjadi pencampuran atau pembauran bahasa, seperti terjadi di Negara Malaysia, dimana masyarakatnya membaurkan Bahasa Melayu dengan Bahasa Inggris, atau sering disebut language mixture. Ini juga terjadi di Negara Hongkong, dimana masyarakat disana mengunakan bahasa Cina yang dibaurkan dengan bahasa Ingris, atau sering disebut Cinglish.
Penulis berangapan, ini merupakan salah satu gejala awal melunturnya suatu bahasa disuatu masyarakat yang beradap. Di Propinsi Bengkulu, ini mulai terjadi di Kota Bengkulu yang secara umum mempunyai dua bahasa yaitu, bahasa asli pesisir kota dan suku Lembak. Daerah lainya seperti terjadi di daerah Lebong, dimana Bahasa Rejang terinfiltrasi ke Bahasa Sunda.
Keadaan seperti ini jelas saja membuat gundah para pencinta bahasa daerah atau sebagai putra-putri asli Propinsi Bengkulu. Solusi yang cukup efektif untuk mengatisipasi kekuatiran ini, sebaiknya pemerintah kota/kabupaten bergandengan dengan pihak legislative daerah, untuk melakukan studi banding ke daerah Jawa misalnya, dimana dalam kurikulum sekolahnya mencantumkan pelajaran bahasa daerah. Tentu saja nantinya semua ini akan ditetapkan dalam peraturan daerah kota/ kabupaten masing-masing.
Pro dan kontra akan kurikulum ini, tentunya nanti akan mencuat. Tinggal lagi dalam mensosialisasikannya nanti, berbagai pihak dapat menjelaskan secara arif dan bijaksana tentang penting bahasa bagi kepentingan luas masyarakat setempat, selain identitas jatidiri suku bangsa yang beradap.
http://metrobengkulu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=89&Itemid=48
0 comments:
Post a Comment