Cerita Rakyat Rejang Lembak
Pada suatu hari, hangat udara bukan main. Matahari sedang
tepat berada di atas kepala. Sekalian binatang dan margasatwa
menengkurap di perlindungan masing-masing. Ada yang berlindung
di bawah pokok kayu, ada yang berlindung di bawah semak-semak,
dan di mana saja tempat yang bisa melindungi diri dari
sengatan matahari yang terik itu. Anak-anak tak kelihatan lagi
bermain di halaman. Para petani tidak lagi mengayunkan cangkulnya
di sawah, mereka telah beristirahat sambil menikmati santapan
dan lintingan rokok daun nipahnya.
Demikian juga halnya keadaan dalam negeri Susuhunan Palembang, sepi tak ada orang yang lalu lalang di halaman istana. Para prajurit dan hulubalang sedang beristirahat di kediamannya masing-masing. Tetapi di balik kesepian itu, di tepian mandi raja yang tidak berapa jauh dari istana, Putrì Ayu yang baru berumur sepuluh tahun, mandi-mandi dengan enaknya. Dari jauh seorang pemuda sedang mengawasinya. Pemuda itu bernama Aswanda.
Konon asalnya Aswanda itu adalah budak dari uluan. Kampungnya berada di hulu sungai yaitu dalam Lakitan. Aswanda sudah sepuluh tahun mengabdi kepada raja Sunan Palembang, tepatnya sejak Putri Ayu dilahirkan, Aswanda telah dipungut Sunan.
Ceritanya, Aswanda dan ayahnya datang ke Palembang dengan rakit, yang membawa buah-buahan untuk dijual. Lama perjalanan dari dusunnya, mengikuti arus sungai, kira-kira seminggu. Mereka singgah di tiap dusun sambil menjual isi rakit, dan membeli bahan-bahan yang akan dijual di Palembang. Aswanda yang masih kecil itu, sudah sering dibawa ke Palembang.
Setelah masuk Palembang dan bertepatan berada dekat tangga tepian raja, rakit bapak Aswanda membentur tangga tepian itu, sehingga rusak sedikit. Sunan marah sekali dan bapak Aswanda dipanggil. Akhirnya bapak Aswanda dijatuhi hukuman yaitu Aswanda dijadikan budak raja. Bapak Aswanda disuruh kembali ke dusunnya.
Oleh karena Aswanda sangat rajin dan pandai pula mengambil hati Sunan, lalu pada suatu hari Sunan memanggilnya dan berkata, "Aswanda, kamu sekarang sudah lama bekeija di sini. Umurmu sudah mulai dewasa. Kamu sangat rajin. Oleh sebab itu engkau kuanggap bukan sebagai budak lagi, tetapi sebagai anggota keluarga istana Sunan Palembang ini. Tugasmu sebagai pengawal Putri Ayu, karena Putri Ayu sudah mulai besar. Asuhlah dia, anggaplah ia seperti adikmu sendiri".
Demikianlah Aswanda sudah sepuluh tahun bekerja di istana, Baginda Sunan Palembang. Aswanda sudah menjadi dewasa. Wajahnya tampan, tubuhnya kekar tinggi semampai, lagi pandai bersilat dan membela diri serta paham akan ilmu perang, berkat ketekunannya belajar di istana dengan para prajurit dan hulubalang. Akhirnya dia diberi raja sebilah keris pusaka untuk menjaga putri. Tetapi pada saat Sunan memberikan keris pusaka itu, beliau berkata, "Aswanda, ingatlah olehmu bahwa keris ini adaiah keris pusaka kraton dan keramat pula. Sekali-kali tidak boleh hilang. Kalau hilang, nyawa taruhannya. Engkau harus ingat Aswanda, bukan nyawamu saja, tetapi juga nyawa keluargamu dan orang sedusunmu akan menjadi tumbalnya. Keris ini kuberikan kepadamu untuk menjaga putriku". Gemetar tubuh Aswanda mendengar sabda raja Sunan itu. Mau ditolak tidak mungkin. Lalu keris itu disimpan baik-baik oleh Aswanda, agar jangan hilang.
Pada suatu hari, Aswanda mendapat tugas mengawasi Putri Ayu mandi di tepian raja, tempat sepuluh tahun yang lalu, rakit ayah Aswanda terbentur di situ. Sebenarnya hati Aswanda terasa kurang enak hari itu, tetapi untuk melarang Putri Ayu mandi di sungai yang sedang besar airnya itu sudah tidak mungkin. Lalu Aswanda termenung, teringat akan dusun yang ditinggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Teringat akan ibunya serta adik-adiknya. Mungkin sekarang sudah besar.
Dalam keasyikan lamunannya itu, tiba-tiba ia terkejut mendengar jeritan anak wanita. Tidak salah, itu adalah suara Putri Ayu. Bersamaan dengan itu, terpeciklah air sungai, dan tampak ekor buaya yang langsung menghilang ke dalam air. Induk inang pengasuh sekitar itu ikut terpukau menyaksikan peristiwa itu. Tanpa pikir panjang lagi Aswanda terjun ke dalam air mengejar buaya yang membawa Putri Ayu. Lama sekali Aswanda tidak menampakkan dirinya.
Orang telah ramai sekitar tepian itu. Sunan juga sudah berada di tempat itu. Baginda kelihatan gelisah sekali. Tiba-tiba Aswanda muncul dari permukaan air, dalam keadaan terengah-engah keletihan. Susah sekali ia akan berkata. Lama-lama keluar dari mulutnya satu-persatu mengatakan bahwa Putri Ayu dibawa oleh seekor buaya putih warnanya lagi besar badannya ke dalam sebuah gua di bawah air. Ia tak dapat mengejarnya lagi karena sangat gelap keadaan dalam gua itu. Lalu ia teringat akan keris pusaka raja. Setelah tenaganya sudah pulih kembali, lalu ia berlari ke rumahnya mengambil keris itu. Setelah dapat, terjunlah kembali ia ke dalam air. Air bersimbak dan berbuih. Di dalam air itu, keris tampak menyala dan terang sekah. Dengan mudah Aswanda dapat menemui gua tempat sarang buaya putih yang telah membawa Putri Ayu. Setelah buaya berhadapan dengan keris Aswanda, serta merta buaya lemah tak berdaya. Aswanda berusaha menyeret buaya putih itu ke luar gua dan langsung menyeretnya ke permukaan air.
Setelah berada di permukaan air, buaya itu ditariklah beramai-ramai ke darat. Ternyata buaya itu telah mati. Lalu perut buaya dibelah, dan kelihatanlah Putri Ayu, seolah-olah tertidur tanpa luka sedikit pun di badannya. Putri Ayu dikeluarkan. Jenazah Putri Ayu dengan penuh khidmat dibawa ke Keraton.
Lain halnya dengan Aswanda, setelah buaya putih itu sudah ditarik ke darat, Aswanda meraba-raba pinggangnya. Kiranya keris pusaka itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Keris pusaka itu sudah terlepas ketika ia berusaha menarik buaya itu dari dalam gua.
Setelah Aswanda menyadari akan hai ini, timbul takutnya. Tanpa pikir panjang lagi, sementara perhatian orang banyak tertuju kepada buaya putih tersebut, Aswanda menghilang dari kerumunan orang, lalu melarikan diri. Tujuh hari tujuh malam Aswanda berjalan tergesa-gesa dan terkadang-kadang berlari menuju dusunnya di hulu sungai, sambil menghindari diri apabila bersua dengan orang kampung yang dilaluinya, takut akan ketahuan akan pelariannya itu.
Setibanya di dusunnya, diceritakannya kejadian yang menimpa dirinya dari awal ia bekerja di Susuhunan Palembang sampai kejadian yang terakhir ini. Keluarga Aswanda dalam ketakutan, demikian pula orang sekampungnya, setelah mendengar cerita Aswanda itu. Lalu mereka segera meninggalkan kampung halamannya. Harta dan ternak, rumah dan sawah ladang mereka tinggalkan. Yang dibawa hanya apa yang dapat terbawa saja. Kosonglah dusun Aswanda, berangkat menuju matahari tenggelam, yaitu berlawanan dari arah kerajaan Sunan Palembang yang berada di sebelah matahari timbul. Setiap dusun yang dilalui oleh rombongan Aswanda, turut menjadi ketakutan, dan ikut pula melarikan diri, sehingga tujuh buah dusun menjadi kosong, gara-gara ketakutan dengan serangan prajurit Sunan Palembang.
Memang benar, tiga hari kemudian, setelah Aswanda meninggalkan kerajaan Sunan Palembang, berangkatlah sebuah jung atau perahu besar penuh dengan prajurit kraton, mudik menuju dusun Aswanda untuk mencari Aswanda dan keluarganya, sesuai dengan ucapan baginda Sunan, ketika menyerahkan keris pusaka kepada Aswanda sepuluh tahun yang lalu. Memang benar Sunan akan melaksanakan ucapannya, akan menghukum Aswanda beserta keluarganya, juga orang dusunnya, sebab baginda mengira bahwa Aswanda telah melarikan keris pusaka itu. Pasti baginda mengira Aswanda telah berbuat curang, sengaja mencuri keris itu.
Tetapi di balik itu, seandainya keris itu tidak dicuri Aswanda, atau hilang tidak disengaja, raja tidak sampai berbuat seperti itu. Sebenarnya baginda sangat sayang kepada Aswanda, setelah melihat prilaku Aswanda selama ini. Baginda telah terpikat dengan Aswanda, dan baginda telah merencanakan akan mengangkat Aswanda sebagai menantu beliau. Ucapan raja sepuluh tahun yang lalu itu, bermakna raja Sunan mempercayakan pusakanya yang sangat disayanginya, ialah Putri Ayu.
Tetapi sekarang titipannya itu telah hancur, baik keris pusaka apalagi putri satu-satunya, harapan kerajaan.
Setelah prajurit Sunan sampai di dusun Aswanda, dan mengetahui tujuh buah dusun yang telah kosong, kembalilah tentara itu, lalu lapor kepada Sunan. Kiranya tak perlu lagi Sunan memerintahkan supaya mengejar Aswanda yang telah pergi ke luar daerah itu.
Alkisah ceritanya, Aswanda yang melarikan diri itu, berjalan menyelusuri sungai, menerobos hutan belantara, naik gunung turun gunung. Banyak di antara mereka yang tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, sehingga singgah di tengah jalan dan membuat kampung sendiri. Tidak terhitung yang sakit dan meninggal.
Alhasil tidak kurang dari sebulan lamanya perjalanan mereka itu, yang tersisa hanya puluhan orang saja. Sampailah mereka pada suatu tempat di pinggir laut. Di sini kiranya ada sebuah kerajaan yang tidak seramai kerajaan Sunan Palembang. Penduduknya masih sedikit sekali dan yang memerintah di sini adalah seorang raja kecil keturunan dari Pagarrujung, anak-cucu dari Maharajasakti. Nama kerajaannya adalah Sungai Serut. Lalu menghadaplah Aswanda dan rombongannya kepada baginda, dan diceritakanlah segala hal-ikhwal yang terjadi pada diri Aswanda juga perihal pelarian orang sekampungnya. Mendengar hai ini, baginda merasa kasihan dan berkatalah beliau, "Aswanda, aku terima kamu dan orang-orangmu tinggal di negeri kami ini, negeri Sungai Serut Bendar Bengkulu. Aku terharu sekali mendengar kisah kamu dan tinggallah kamu di sini. Negeri ini masih sepi sekali, orang masih sedikit. Kami khawatir sekali kalau nanti negeri ini diserang dari luar. Kalau diserang dari balik gunung, tidak ada yang mempertahankannya. Nah, Aswanda, bawalah orang-orangmu berdiam di Sungai Hitam di hulu ini. Buatlah dusun yang baru. Tebanglah hutannya, tanamlah buah-buahan. Hiduplah kamu dengan aman dan tenteram. Aku tidak menuntut apa-apa dari kamu dan orang-orangmu. Tetapi satu permintaanku, apabila ada serangan musuh dari balik bukit yang akan menyerang negeri Bendar Bengkulu ini, hadanglah olehmu beserta orang-orangmu".
Demikianlah ceritanya Panglima Aswanda salah seorang pelopor perpindahan orang Lembak ke Bengkulu, sebagai prajurit dan abdi negeri Sunan Palembang. Hingga sekarang orang Lembak di sekitar kota Bengkulu tak tahu lagi bahkan tidak ingin tahu akan asal-usul mereka, karena takut kalau dituntut oleh Sunan Palembang untuk menjalani hukuman waktu nenek-moyangnya dahulu.
Sumber :
- Cerita Rakyat DAERAH BENGKULU Oleh Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, halaman :19-23. Balai Pustaka 1981.
- Informan : Haji Abbas (60 th) ds. Mentiring — Semitul, pekerjaan: tani, Pendidikan SR, Bahasa: Lembak, Bengkulu, Indonesia.
- Alur cerita ini ada kecocokan dan kemiripan dengan yang tertulis di pasal pasal Tambo Bangkahoeloe yang di tulis oleh salah satu pangeran dari Kerajaan Sungai Serut. (admin).
0 comments:
Post a Comment