2. Penan Bagiak Mbago Bagai
[Tempat membagi adat lembaga]
Klik
Kembali ke Bag.1
Di jaman Majapahit, adalah seorang raja yang sudah tua, mempunyai tujuh orang anak. Ketujuh anaknya itu laki laki semuanya. Yang bungsu bernama Raden Cetang.
Suatu ketika, Raja mengumpulkan ketujuh anaknya untuk meninggalkan wasiat. Wasiat raja itu ialah jika ia telah wafat kelak, penggantinya yang memegang pemerintahan adalah anaknya yang bungsu bernama Raden Cetang.
Raden Cetang adalah anak yang luar biasa. Bila di lihat sifatnya, ia adalah seorang yang pemalas. Bentuk badannya buruk, pendek, telinga selebar teleng (penampi beras), pusat selebar gendang. Tiap hari kerjanya selain pelamun, ia itu penidur. Oleh sebab itu saudara saudaranya mengejeknya dengan gelar Ratu Turu. *1.)
Raden Cetang adalah anak yang luar biasa. Bila di lihat sifatnya, ia adalah seorang yang pemalas. Bentuk badannya buruk, pendek, telinga selebar teleng (penampi beras), pusat selebar gendang. Tiap hari kerjanya selain pelamun, ia itu penidur. Oleh sebab itu saudara saudaranya mengejeknya dengan gelar Ratu Turu. *1.)
Saudara-saudaranya yang berenam sangat benci kepadanya. Apalagi setelah mereka tahu bahwa Raden Cetang ini akan menggantikan ayahnya menjadi raja pada kerajaan Majapahit.
Mereka berusaha untuk melenyapkan Raden Cetang dari kerajaan Majapahit. Bahkan mereka pernah merencanakan untuk membunuhnya. Mereka berpendapat bahwa diantara saudara saudaranya yang berenam inilah yang patut menjadi raja.
Raden Cetang, walaupun kelihatannya seperti orang bodoh itu, sebenarnya memiliki watak dan kecerdasan yang luar biasa. Ia dapat memaklumi isi hati saudara saudaranya. Perasaan dengki dan niat jahat saudara saudaranya ini diketahuinya juga.
Ketika saudara saudaranya sedang berkumpul, Raden Cetang meminta izin kepada mereka untuk berdarmawisata keluar kota. Pernyataan ini disambut baik oleh saudara saudaranya, karena dengan bepergian seorang diri ini mungkin Raden Cetang tidak akan kembali lagi.
Dengan menyandang busur lengkap dengan panahnya, berangkatlah ia memudiki sebuah sungai yang bernama sungai Bado. Di kiri kanan sungai itu hutan semak yang tidak terlalu lebat.
Sepanjang perjalanan tak pernah ia menemui burung untuk dijadikan sasaran anak panahnya. Makin ke hulu hutan itu sangat indah. Sejauh mata memandang belukar itu ditumbuhi oleh beraneka macam bunga bungaan. Seolah olah sebuah taman yang dipelihara oleh bidadari dari kahyangan.
Dalam keterlenaan mengagumi taman yang indah itu, ia terkejut mendengar suara yang aneh. Suara itu seperti ada beberapa orang yang sedang memperbincangkan sesuatu. Kadang kadang diselingi dengan tawa riang.
Pada mulanya Raden Cetang meraasa takut. Apakah ia salah dengar. Mungkinkah di dalam hutan ini ada manusia? Ia mulai berjalan dengan mengendap-ngendap. Dicarinya arah dari mana datangnya suara itu. Ia berhenti dengan tiba tiba setelah melihat tidak jauh dari tempat persembunyiannya ada suatu yang terang benderang.
Tidak salah penglihatannya, Di atas sebatang pohon beringin yang tumbuh di antara batu batu besar, beberapa orang dewa dan bidadari sedang duduk pada dahan beringin dan bermusyawarah. Dengan hati-hati Raden Cetang menghampiri tempat itu lebih dekat lagi agar dapat mendengar pembicaraan dewa-dewa itu dengan jelas.
Salah seorang dari dewa-dewa itu (Raja Dewa) berkata : "Tidak salah lagi Raden Cetang itulah yang patut menggantikan raja Majapahit". Dewa yang lain berkata pula, "Bagaimana caranya mengatasi saudara-saudaranya yang berenam itu?:"
Yang lain menjawab pula,"Ada akal. Kita adakan nang-nang (teka-teki). Siapa diantara mereka yang dapat menjawab nang-nang itu, ialah yang akan menjadi raja. Untuk itu marilah kita bersama-sama memikirkan apakah nang-nang yang akan kita berikan itu?".
Jawab Raja Dewa, "Baiklah. Pada malam ke 13 bulan depan kita berkumpul lagi di tempat ini untuk menetapkan nang-nang." Setelah permufakatan selesai, satu per satu dewa dan bidadari itu terbang ke langit. Raden Cetang menarik nafas panjang setelah para dewa itu hilang dari pandangannya.
"Kesempatan yang baik", katanya dalam hati.
Ia melangkah lagi ke depan, ke bawah pohon beringin tempat para dewa bersidang tadi. Betapa ia kaget, melihat di bawah beringin itu terdapat sembilan tumpuk sampah sirih. Tiap tiap tumpuk hampir sebesar bukit. Jadi dewa itu berjumlah sembilan orang. Dan tempat ini telah lama mereka pergunakan untuk tempat bercengkerama dan berunding.
(Dalam serambak *2.)) tempat ini di sebut :
Wingin culo watuDas peak sembilan tambunPenan diwo bedelomokDuwate becelutauNak Padang Gersik Bulan
Artinya *3):
Beringin di atas batuDi atas ampas sirih sembilan tumpukTempat dewa berundingDewata bermufakatDi Padang Gersik Bulan
Ia terus mengitari sekitar taman yang indah itu. Dalam ke heran heranan melihat taman yang indah dan serba teratur, ia berbicara sendiri menanyakan siapa yang mempunyai taman ini dan taman apa namanya.
Tiba tiba seekor burung terbang dan hinggap pada ujung jari kakinya lalu berkata, "Daulat tuanku. Inilah taman Ratu Bermanai, yaitu taman tuan sendiri. Dimana tuan nanti, tuan akan digelari Ratu Bermani.
Setelah mendengar penjelasan burung itu, ia meneruskan perjalanan pulang. Lega hatinya setelah mendapat keterangan dan data data yang seolah olah suatu ilham baginya. Setibanya di rumah, terus masuk kamar dan tidur. Penemuannya itu dirahasiakannya terhadap saudara-saudaranya.
Note :
1.) Hanya bahasa perumpaan saja yang melebih lebihkan Raja Cetang karena buruk rupa. Ratu = Raja. Di daerah Tanah Rejang sekitar, yaitu Bengkulu dan Sumatra barat, Raja sering di sebut Ratu. Jadi disini arti Ratu tidak ada hubungannya dengan kata raja perempuan.
2.) Seraambak = sarembeak, adalah salah satu bentuk sastra lisan rejang yang berisi cerita, kalimatnya dalam bentuk syair syair.
3.) terjemahan bebas menurut saya berdasar kosa katanya :
Beringin tumbu di batu
Di sebelah atas sembilan tumpukan
Tempat dewa bercengkerama
Bidadari berceloteh
Di sebuah padang (lapangan) saat Bulan Purnama
Klik
Menuju Bag. 3
0 comments:
Post a Comment