By H.S.A. Bermani
(Meski cerita ini merupakan pengalaman spiritual yang dialami oleh penulis, namun makna dan pesan yang terkandung dalam cerita ini patut diikuti dan diresapi oleh seluruh anak bangsa Rejang atau mereka yang berasal dari tanah Rejang)
Tahun 1952, di usia baru sepuluh tahun, aku dikhitan sebagai persiapan memasuki masa remaja, setelah melalui masa kanak-kanak yang indah. Aku senang membaca, dan juga senang mendengar cerita. Kisah indah dari dongeng yang disampaikan Datuk dan Angung-ku meresap ke dalam kalbuku. Itu membuat dunia dan hari depan mulai kurasakan sebagai hamparan kemungkinan yang tiada batasnya. Aku memiliki pesona hari depan, dan aku menjadi tawanan obsesi yang berada di dalamnya.
Tahun itu, tersebar berita Datuk dan Andung-ku akan berangkat ke tanah suci, Mekkah, menunaikan ibadah haji. Aku dikabarkan juga akan disekolahkan di kota Bengkulu, dan sehabis itu akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di pulau Jawa. Serangkaian rasa bahagia yang indah memasuki kalbuku, dan hatiku yang berbunga-bunga menjelma menjadi senyuman tulus dan sikap ramah kepada siapa saja. Tapi, dalam lubuk hatiku tersirat rasa khawatir dan was-was.
Perasaan khawatir itu muncul mungkin karena kota Bengkulu dikenal sebagai negerinya orang Melayu, sementara aku adalah anak bangsa Rejang. Apalagi, di dalam mata pelajaran sejarah disebutkan bahwa kota Bengkulu adalah tanah pembuangan yang penuh dengan nyamuk malaria yang senang membunuh manusia. Sedangkan tanah Rejang, aku rasakan sebagai negeri yang indah dan menyejukkan.
Datuk dan Andung-ku yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, mungkin memiliki suasana hati yang sama denganku. Karena itu, pada suatu hari beliau mengajak aku melakukan campaign in the forest, yang dalam institusi kehidupan Rejang masa lalu disebut tarak, yang di dalam bahasa Indonesia disebut bertapa. Atau sejenis bertafakkur seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Muhammad SAW di Gua Hira.
Tarak itu kami lakukan dengan berendam di sungai yang airnya bersinar terang di malam hari. Kawasan dimana kami bertapa itu disebut Imbo Ngew, sebuah kawasan rimba perawan di timur dusun kami, tempat sungai Palik berhulu. Masyarakat Rejang Pesisir sangat mempercayai bahwa kawasan itu sebagai tempat kawanan harimau bermukim. Tapi melalui mantera-mantera, Datuk dapat mengubah sifat buas harimau menjadi jinak dan bersahabat.
Di tengah malam, di sebuah pondok darurat yang terbuat dari ranting kayu beratap daun puea dalam rangkulannya, Datuk membisiki telingaku. Dan, orang-orang percaya bahwa Datuk menyerahkan ilmu nya kepadaku melalui mantera. Bila ditulis kembali dengan pengertian yang tajam kira-kira begini bunyinya :
Sejak masa hidup leluhur sampai giliran kami turun ke dunia, persaudaraan dan persahabatan kami hanya selingkup tanah dan negeri Rejang. Tetapi, tiba pada giliran para cucuku turun ke dunia, tanah airmu adalah Indonesia dan persaudaraanmu meliputi sebangsa Indonesia. Dan, kalian turun ke dunia untuk menghimpun arti dan makna kehidupan yang hakiki, serta menebarkannya menjadi hikmah kebajikan dalam bumi suburnya hidup dan kehidupan. Arti dan makna hakiki itu tersimpan dalam Ridho Allah SWT, seperti emas mulia tersimpan dalam batu yang keras di perut bumi.
Akan datang waktunya kalian jauh meninggalkan kampung halaman dan keluarga serta kerabat. Engkau memulainya cucuku, berarti engkau mengajak. Itu adalah nasib, dan nasib adalah kehendak-Nya. Tetaplah kalian menatap kearah depan, kearah kawasan dimana negeri dan bangsamu bersatu dalam sumpah dan kerja keras perjuangan untuk mewujudkan cita-cita hari depan yang luhur. Melangkahlah ke depan. Maka secara duniawi kalian menjauhi kami dan menjauhi tanah kelahiran. Tetapi simpanlah kami, negeri dan para leluhurmu , dalam tempat yang juga luhur, yaitu dalam rasa kasih dan kangenmu, serta dalam doamu. Walau pun kami sudah menjadi arwah memenuhi panggilan suci sang penciptan rasa kasih dan doa kami para leluhur menyertaimu selalu, baik melalui aliran darah, tarikan nafas dan denyut jantungmu ataupun dalam setiap langkah ikhtiar perjuangan hidupmu.
Dalam menempuh perjalanan jauh dari negeri dan keluarga dimana leluhurmu terkubur, kalian akan menghadapi berbagai tentangan yang didalamnya terkandung derita dan kesengsaraan. Bahkan mungkim kalian akan memasuki bagian dunia dan kehidupan yang gelap. Kalian tidak akan menemukan saudara dan sahabat, walau pu saudara dan sahabat itu diperlukan. Persaudaraan dan persahabatan adalah kekuatan dahsyat, oleh karena Ridho Allah SWT hadir di dalamnya. Kalian harus menciptakan saudara dan sahabat, di manapun dan terhadap siapa pun. Menegakkan persaudaraan dan persahabatan di atas muka bumi adalah tugas luhur setiap insa hamba Allah SWT.
Cucu-ku sayang, engkau pergi jauh, kuresti. Engkau akan menjadi anak bangsa Indonesia, kurestui. Tetapi kumohon kau selalu ingat bahwa akar kehidupanmu adalah Tanah Rejang dimana leluhurmu terkubur".
Bisikan mantera ke dalam jiwaku itu datang dari kakekku : Haji Djalil Khan yang lahir 1880 dan wafat 1960. Beliau adalah Pangeran terakhir Marga Bermani Perbo, Rejang Pesisir, Bengkulu Utara.
(dikutip dari buku Direktori Keluarga Rejang Jakarta & Sekitarnya)
Source :
Sent by Sandy Nafri
http://www.facebook.com/inbox/?tid=1178168305823
Pariwisata Bengkulu
(Meski cerita ini merupakan pengalaman spiritual yang dialami oleh penulis, namun makna dan pesan yang terkandung dalam cerita ini patut diikuti dan diresapi oleh seluruh anak bangsa Rejang atau mereka yang berasal dari tanah Rejang)
Tahun 1952, di usia baru sepuluh tahun, aku dikhitan sebagai persiapan memasuki masa remaja, setelah melalui masa kanak-kanak yang indah. Aku senang membaca, dan juga senang mendengar cerita. Kisah indah dari dongeng yang disampaikan Datuk dan Angung-ku meresap ke dalam kalbuku. Itu membuat dunia dan hari depan mulai kurasakan sebagai hamparan kemungkinan yang tiada batasnya. Aku memiliki pesona hari depan, dan aku menjadi tawanan obsesi yang berada di dalamnya.
Tahun itu, tersebar berita Datuk dan Andung-ku akan berangkat ke tanah suci, Mekkah, menunaikan ibadah haji. Aku dikabarkan juga akan disekolahkan di kota Bengkulu, dan sehabis itu akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di pulau Jawa. Serangkaian rasa bahagia yang indah memasuki kalbuku, dan hatiku yang berbunga-bunga menjelma menjadi senyuman tulus dan sikap ramah kepada siapa saja. Tapi, dalam lubuk hatiku tersirat rasa khawatir dan was-was.
Perasaan khawatir itu muncul mungkin karena kota Bengkulu dikenal sebagai negerinya orang Melayu, sementara aku adalah anak bangsa Rejang. Apalagi, di dalam mata pelajaran sejarah disebutkan bahwa kota Bengkulu adalah tanah pembuangan yang penuh dengan nyamuk malaria yang senang membunuh manusia. Sedangkan tanah Rejang, aku rasakan sebagai negeri yang indah dan menyejukkan.
Datuk dan Andung-ku yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, mungkin memiliki suasana hati yang sama denganku. Karena itu, pada suatu hari beliau mengajak aku melakukan campaign in the forest, yang dalam institusi kehidupan Rejang masa lalu disebut tarak, yang di dalam bahasa Indonesia disebut bertapa. Atau sejenis bertafakkur seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Muhammad SAW di Gua Hira.
Tarak itu kami lakukan dengan berendam di sungai yang airnya bersinar terang di malam hari. Kawasan dimana kami bertapa itu disebut Imbo Ngew, sebuah kawasan rimba perawan di timur dusun kami, tempat sungai Palik berhulu. Masyarakat Rejang Pesisir sangat mempercayai bahwa kawasan itu sebagai tempat kawanan harimau bermukim. Tapi melalui mantera-mantera, Datuk dapat mengubah sifat buas harimau menjadi jinak dan bersahabat.
Di tengah malam, di sebuah pondok darurat yang terbuat dari ranting kayu beratap daun puea dalam rangkulannya, Datuk membisiki telingaku. Dan, orang-orang percaya bahwa Datuk menyerahkan ilmu nya kepadaku melalui mantera. Bila ditulis kembali dengan pengertian yang tajam kira-kira begini bunyinya :
"Tengah malam di bumi dan haribaan leluhur ini kucurahkan isi jiwaku kepadamu, cucuku. Engkau akan pergi jauh ke berbagai penjuru bumi, berarti engkau menjemput janji Allah SWT yang tersurat di keningmu. Engkau kurestui. engkau bukan lagi milik masa lalu dan masa kini, tetapi milik masa depan. Engkau bukan lagi milikku dan milik kami, tetapi akan menjadi milik bangsa dan tanah airmu. Engkau memang anak yang lahir di negeri Rejang, cucuku sayang. Tetapi, itu adalah akar, sedangkan pohon dan dahan, serta ranting yang akan berbuah lezat bagi umat manusia, akan tumbuh berkembang dalam kawasan lebih luas, dinaungi langit yang juga lebih luas. Namanya Tanah Air Nusantara yang menjunjung kehidupan bangsa Indonesia. Tanah airmu sangat luas, ribuan kali lebih luas dari tanah Rejang, tanah kelahiranmu.
Sejak masa hidup leluhur sampai giliran kami turun ke dunia, persaudaraan dan persahabatan kami hanya selingkup tanah dan negeri Rejang. Tetapi, tiba pada giliran para cucuku turun ke dunia, tanah airmu adalah Indonesia dan persaudaraanmu meliputi sebangsa Indonesia. Dan, kalian turun ke dunia untuk menghimpun arti dan makna kehidupan yang hakiki, serta menebarkannya menjadi hikmah kebajikan dalam bumi suburnya hidup dan kehidupan. Arti dan makna hakiki itu tersimpan dalam Ridho Allah SWT, seperti emas mulia tersimpan dalam batu yang keras di perut bumi.
Akan datang waktunya kalian jauh meninggalkan kampung halaman dan keluarga serta kerabat. Engkau memulainya cucuku, berarti engkau mengajak. Itu adalah nasib, dan nasib adalah kehendak-Nya. Tetaplah kalian menatap kearah depan, kearah kawasan dimana negeri dan bangsamu bersatu dalam sumpah dan kerja keras perjuangan untuk mewujudkan cita-cita hari depan yang luhur. Melangkahlah ke depan. Maka secara duniawi kalian menjauhi kami dan menjauhi tanah kelahiran. Tetapi simpanlah kami, negeri dan para leluhurmu , dalam tempat yang juga luhur, yaitu dalam rasa kasih dan kangenmu, serta dalam doamu. Walau pun kami sudah menjadi arwah memenuhi panggilan suci sang penciptan rasa kasih dan doa kami para leluhur menyertaimu selalu, baik melalui aliran darah, tarikan nafas dan denyut jantungmu ataupun dalam setiap langkah ikhtiar perjuangan hidupmu.
Dalam menempuh perjalanan jauh dari negeri dan keluarga dimana leluhurmu terkubur, kalian akan menghadapi berbagai tentangan yang didalamnya terkandung derita dan kesengsaraan. Bahkan mungkim kalian akan memasuki bagian dunia dan kehidupan yang gelap. Kalian tidak akan menemukan saudara dan sahabat, walau pu saudara dan sahabat itu diperlukan. Persaudaraan dan persahabatan adalah kekuatan dahsyat, oleh karena Ridho Allah SWT hadir di dalamnya. Kalian harus menciptakan saudara dan sahabat, di manapun dan terhadap siapa pun. Menegakkan persaudaraan dan persahabatan di atas muka bumi adalah tugas luhur setiap insa hamba Allah SWT.
Cucu-ku sayang, engkau pergi jauh, kuresti. Engkau akan menjadi anak bangsa Indonesia, kurestui. Tetapi kumohon kau selalu ingat bahwa akar kehidupanmu adalah Tanah Rejang dimana leluhurmu terkubur".
Bisikan mantera ke dalam jiwaku itu datang dari kakekku : Haji Djalil Khan yang lahir 1880 dan wafat 1960. Beliau adalah Pangeran terakhir Marga Bermani Perbo, Rejang Pesisir, Bengkulu Utara.
(dikutip dari buku Direktori Keluarga Rejang Jakarta & Sekitarnya)
Source :
Sent by Sandy Nafri
http://www.facebook.com/inbox/?tid=1178168305823
Pariwisata Bengkulu
0 comments:
Post a Comment