Bila suatu waktu nanti, Tuhan berketetapan bahwa kalian harus berada di Lubuklinggau atau Musirawas (entah karena bus kalian yang transit, atau kunjungan khusus, atau memang akan tinggal menetap), maka perlu rasanya dirobohkan sebuah pohon cerita yang sudah sedemikian lama dipelihara oleh masyarakatnya sendiri.
Hanya berjaga-jaga: mungkin saja, kalian akan mendengar sebuah nama atau julukan atau juga olok-olokan yang berbunyi ”Bujang Kurap”. Tentu saja kalian akan membayangkan semacam penyakit kulit menular yang diidap seorang pemuda, seorang bujang. Mungkin juga kalian akan langsung memaklumi bagaimana si pemuda dipanggil ”Bujang” atau belum menikah: siapa yang sudi disunting lanang kurap? Dan sangatlah mungkin bila pikiran kalian pun melukiskan parasnya dengan sangat buruk dan menyeramkan—walaupun sebenarnya belum tentu juga orang yang terkena kurap itu adalah ia yang tak elok rupanya!
Mengapa perlu berjaga-jaga?
”Bujang Kurap” kadang jua dipakai untuk berolok-olok sesama kawan—atau juga terhadap orang lain—dengan berbagai dalih: satu/beberapa orang yang memang kurap—walaupun sedikit saja bercak itu terdapat di bagian tubuh tertentu; atau orang tak disenangi itu jauh dari rupawan wajahnya; atau sekadar mengolok-olok tanpa harus memikirkan tersambung atau tidaknya kata yang mereka gunakan untuk berolok-olok; atau juga ada alasan lain….
Sebenarnya, tak ada yang perlu diluruskan sehingga cerita ini harus dituliskan, apabila ”Bujang Kurap” yang dimaksud itu berada dalam pengertian bahasa Indonesia yang setakzimnya. Perkaranya adalah olok-olokan itu diambil dari sebuah cerita yang melegenda di Bumi Silampari, tentang seorang laki-laki yang berjuluk ”Bujang Kurap”.
Ini bukan perkara bahwa kampung kami tak ingin diturun-derajatkan dengan penggunaan julukan pemuda itu. Artinya, bila pun Bujang Kurap dicerita-legendakan sebagai bujang yang kurap saja, maka tak apa-apalah. Namun, Bujang Kurap kami adalah pemuda yang sifat dan tabiatnya sangatlah bertentangan dengan penilaian orang terhadap parasnya. Bujang Kurap kami adalah pemuda yang elok perangainya. Entah, apakah orang-orang kampung kami yang berolok-olokan tersebut tahu atau tiada mengindahkan cerita si Bujang Kurap, namun disilakanlah kiranya kami merayu, mengajak ikut serta merobohkan batang yang mungkin saja lebih besar dari derum itu.
Mungkin kalian akan mencela, ”Takkah terlebih dahulu, diberi tahu dan diajak dengan bijak, orang-orang kampung ini untuk merobohkan pohon itu?” Alamak jan, ini bukan perkara tak menganggap orang sekampung. Tapi sudah kapalan mulut kami berkisah dan berseru. Tetap saja telinga mereka jangak, pikiran mereka bebal, hati mereka kajat…. Sebagian mereka tak pandai memperlakukan cerita rakyat itu dengan hikmah.
Maka, telah cukupkah kiranya alasan untuk membentang cerita tentang si Bujang Kurap?
Adalah Datuk Saribijaya, laki-laki gagah nan rupawan: satu dari dua depati yang mengawal kepergian sang raja, Datuk Ketemenggungan sekeluarga, dari kerajaannya, Pagarruyung. 1
Setelah sekian lama mengikuti pengembaraan sang raja, singgahlah Datuk Saribijaya di Titiang Dalam, salah satu kampung di Sorulangun Jambi. 2 Di sana, ia menaut hati seorang gadis dari keluarga kerajaan Melayu Bangko. Putri Sari Banilai, demikian hikayat menceritakan namanya. Alahai, siapa yang tak ingin disunting laki-laki gagah serupa Datuk Saribijaya. Ya, walaupun ia tiada jemawa dengan ketinggian derajat yang disandang semasa di Minangkabau, namun kilau air muka, pembawaan, dan tindak-tanduknya tak urung memikat sesiapa, tak terkecuali bagi gadis-gadis Jambi, tak terkecuali bagi seorang Putri Sari Banilai.
Kain panjang dikebat. Perayaan besar pun dihelat. Betangkup dua hati, berjatuhanlah kelapa muda, bernyanyilah murai-murai Batanghari Sembilan…. Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai memadu kasih secara adat dan kepercayaan. Mereka pun beranak pinak.
Keturunan dari Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai ini pun merajut keluarga-keluarga kecil pula. Nah, salah satu keturunan dari keluarga-keluarga dari silsilah itu rupanya dititipkan Tuhan seorang bayi laki-laki yang kelak termasyhur namanya di seantero Musirawas dan sekitarnya.
Entah bagaimana, orangtuanya 3 yakin saja bahwa suatu saat nanti, putranya akan menjadi pemuda yang berhati mulia. Keyakinan itu tiada jua goyah meskipun beberapa tahun setelah itu, lahir seorang bayi perempuan 4 dalam keluarga mereka. Ya, walaupun dalam tumbuh-kembangnya, si sulung kerap mengidap penyakit gatal di sekujur tubuhnya, namun tak pernah mereka berpilih kasih dalam mencurahkan kasih pada kedua buah hatinya. Sang putra tetap diurus sebagaimana anak yang sakit mesti diperhatikan. Bahkan banyak tabib dan orang pintar yang dimintai bantuan untuk mengobatinya, namun tetap, tak kunjung sembuh penyakit anak bujang mereka.
Singkat cerita, putra mereka tumbuh sebagai pemuda kurap, hingga orang-orang menjulukinya ”Bujang Kurap”. Dan… terbuktilah peribahasa lama itu: Tiadalah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkekurangan saja. Ya, sebagaimana dahulu orangtuanya berkeyakinan, Bujang Kurap juga tumbuh sebagai pemuda yang berbudi.
Walaupun orang-orang tahu bahwa Bujang Kurap adalah pemuda yang bersahaja, menghormati orang yang lebih tua, bahkan—ini yang lebih terperhatikan kala itu—tak jarang meringkus perampok yang masuk kampung, namun mereka masih saja menjulukinya seperti itu. Nah inilah yang perlu didudukkan: julukan yang disematkan pada si pemuda, tak lain tak bukan, demi memudahkan penjelasan tentang siapa orang berhati baik yang dimaksud. Ya, tak ada niat untuk berolok-olok dengan julukannya itu.
Dan… itulah mulianya orangtua. Tiadalah mereka merasa malu dengan apa-apa yang mendera anak bujangnya itu. Maka, Bujang Kurap merasa sedih yang tak alang kepalang ketika ibunya meninggal. Tak lama berkelang, Bujang Kurap pamit pada ayahnya untuk merantau, mengembara mencari kesaktian-sebagaimana cara orang-orang dahululah.
Dalam kisah yang sudah dipersingkat, setelah memperoleh kesaktian dari sebuah pertapaan, Bujang Kurap melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah aliran air bernama Sungai Rawas. Aliran itu hulunya bermula dari celah gugusan bukit di sebelah timur Bukit Barisan. Dari sini, mengalir ke arah timur: panjang dan berliku-liku. Akhirnya bermuaralah di daerah yang kini bernama Musi Banyuasin, namun masih berdekatan dengan perbatasan Musirawas. Maka, Bujang Kurap pun melalui dusun-dusun di sepanjang sungai: Kota Tanjung, Napal Licin, Muara Kulam, Muara Kuis, Pulau Kidak, dan banyak lagi, berakhirnya di Dusun Pauh, dan bermuara di daerah dekat Sungai Musi yang bernama Muara Rawas.
Bujang Kurap membantu penduduk dusun-dusun yang dilaluinya. Membantu menaikkan bubungan rumah, mengangkut batu jelapang untuk memirik rempah, membuka ladang, menyadap karet, memanen kopi, dan tentu saja dengan semua kesaktian yang dimiliki, ia mengamankan kampung dari sekawanan penyamun, perampok, dan kelompok pembuat onar lainnya.
Nama Bujang Kurap pun termasyhur di bantaran Sungai Rawas. Orang-orang menaruh hormat padanya. ”Bujang Kurap” bukan lagi julukan yang memerudukkan keburukan seseorang. ”Bujang Kurap” dipakai untuk melukiskan betapa baiknya hati seorang pemuda; betapa rupa bukanlah tiang untuk mengukur tabiat.
Bujang Kurap menghabiskan hayat di sebuah kampung di Lubuklinggau, Ulak Lebar. 5 Di sana, ia mengajarkan silat dan kuntau-bela diri Sumatera, dan ilmu kesaktian yang dimilikinya kepada penduduk setempat dan datangan.
Bujang Kurap dikebumikan di kaki Bukit Sulap, daerah yang dibentuk oleh tiga aliran sungai: Sungai Kasie, Sungai Ketue, dan Sungai Kelingi.
Sebenarnya apa-apa yang baru saja diceritakan dapatlah dikatakan sebagai sebuah ringkasan yang tak sempurna dari sebuah kisah yang utuh. 6
Bujang Kurap juga manusia. Pastilah ada kekurangan, kekhilafan, dan keburukan sifat dan tabiatnya. Namun, tanpa bermaksud mencari alibi, apa-apa yang hitam dalam perjalanan hidupnya tiba-tiba menguap saja, bila disandingkan dengan keelokkan budi pekertinya.
Hingga kini, di tepi Sungai Kelingi, sebelah selatan Benteng Kuto Ulak Lebar, tempat Bujang Kurap tidur berbungkus kain putih murah, masih ada saja orang-orang yang mengadakan reritual demi sesuatu yang sebenarnya mereka sendiri tak sepenuhnya yakin dapat diraih.
Artinya, bila kalian tak hakkul percaya pada cerita yang diringkas ini, setidaknya lihatlah orang-orang yang belum tegak imannya itu. Mereka mungkin tak paham beragama, namun mereka paham sekali bahwa tiadalah akan ”berkah”—menurut mereka—sesembahan yang dijaban, bila arwah yang diharapkan membubung itu bukan orang baik-baik semasa hidupnya.
Oh, malu sebenarnya mengatakan ini:
Bila tak bisa diajak bersekutu orang-orang kampung demi merobohkan batang yang besar itu, maka tak ada salahnya bukan, kami mengait tangan kalian untuk mengabar kebaikan yang tak dimunculkan?
Ya, Bujang Kurap kami bukan serupa Malin Kundang di Minangkabau. Namun, uda-uni di barat Sumatera dapat dengan layak menempatkan cerita anak durhaka itu sebagai pembelajaran akhlak dan budi pekerti. Ini perkara salah bungkus! Kami pun kadang-kadang membersit tanya: Mengapa sampul cerita ini harus bertulis ”Bujang Kurap”. Mengapa tak mengambil judul lain?
O bukan hanya itu, Kawan! Cerita ini tak pernah dibukukan sebagaimana layaknya buku bacaan (jadi, jangan berharap kalian akan menemukan semacam buku cerita rakyat Musirawas-Lubuklinggau di toko-toko buku di kampung kami). Bahkan dicetak sebagai buku cerita ringan—yang disebarkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah daerah kami, juga tidak!
Kantong buah karet sudah meletus. Biji-bijinya berhamburan di tanah yang berselimut daun-daun kering yang berwarna abu. Hanya menghitung hari, semua telah tumbuh. Dan kini, sudah berabad kiranya cerita itu disiram, dipupuk, dan dijaga. Menjadi batang. Semakin besar. Sukar sekali dirobohkan, Kawan!
Jadi, bila suatu waktu nanti, Tuhan berketetapan bahwa kalian harus berada di Lubuklinggau atau Musirawas (entah karena bus kalian yang transit, atau kunjungan khusus, atau memang akan tinggal menetap), kami berharap; kalaupun kalian tak mampu merobohkan pohon itu, paling tidak, janganlah kalian indahkan olok-olokan orang kampung kami yang menjadikan seorang pemuda kurap sebagai senjata olokannya. ***
Lubuklinggau, 13-16 Mei 2009
Catatan:
- 1. Bersama bala tentara dalam jumlah besar, Adityawarman datang ke Pagarruyung. Tentulah maksudnya tiada lain-tiada bukan: menguasai kerajaan yang dipimpin oleh Datuk Ketemenggungan itu. Demi mengetahui bala prajurit yang dimiliki kerajaan tiadalah mungkin menandingi kekuatan yang dibawa oleh Adityawarman, maka bersama dua depatinya (salah satunya Datuk Saribijaya), Datuk Ketemenggungan meninggalkan Istana, pergi ke selatan.
- 2. Dalam sejarah Minangkabau disebutkan bahwa Datuk Ketemenggungan pergi meninggalkan istana Pagarruyung. Ia pergi bersama istrinya, Ratu Masturi, dua orang putrinya yang masih sangat muda bernama Putri Cindai Kusuma dan Putri Megasari, serta dua orang depati sebagai pengikutnya yang setia. Setelah tiba di wilayah perbatasan Pagarruyung dan Melayu, Datuk Ketemenggungan memberi tanda pada sebatang pohon durian besar serupa tekukan pada cabang yang paling tinggi menggunakan pedangnya (maksudnya agar mudah dilihat dari jauh). Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Durian Batakuk Rajo. Dari sini mereka meneruskan perjalanan ke Selatan; melalui negeri Melayu, daerah Rawas, Rupit, dan sampailah di Muara Rawas. Setelah dibuatkan pesanggrahan, istri dan kedua anaknya ditinggalkan di Muara Rawas. Datuk Ketemenggungan meneruskan perjalanannya ke Bukit Siguntang. Di kemudian hari, kedua pengikutnya kembali ke Durian Batakuk Rajo, lalu mengembara masuk hutan, menjadi cikal bakal suku anak dalam.
- 3. Dalam berbagai sumber yang telah diupayakan hingga saat ini, tiadalah didapat kabar (bahkan semacam kabar-kabari sekalipun), siapa nama kedua orangtuanya.
- 4. Sang adik bernama Putri Nilam Sari. Kelak tumbuh sebagai seorang gadis yang berparas elok-sebagaimana Putri Melayu digambarkan. Adik satu-satunya ini kemudian menikah dengan Lemang Batu, putra ketiga dari Ratu Agung, raja dari Kerajaan Sungai Serut, Bengkulu.
- 5. Inilah takdir anak manusia. Ulak Lebar adalah satu-satunya kampung di mana penduduknya mencegah Bujang Kurap untuk mengembara ke tempat lain. Tentulah hal ini membuat Bujang Kurap tersanjung: mereka dapat menerima kehadiran seorang kurap seperti ia, terlebih tak lama kemudian ia diangkat sebagai hulubalang.
- 6. ”Kisah yang utuh” itu terdapat dari naskah-naskah (bakal buku) yang ditulis budayawan Sumsel, Drs Suwandi, sejak 1983.
Credit :
Harian kompas 26072009
Photo : welcome to my life on flickr
0 comments:
Post a Comment