Revitalisasi Sistem Pemerintahan Marga
di Provinsi Bengkulu
di Provinsi Bengkulu
Rois Leonard Arios
Staf peneliti di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang
Pengantar
Secara konseptual pemerintahan tradisional berarti sistem politik atau tata aturan hubungan antara pimpinan dengan yang dipimpin berdasarkan norma dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu suku bangsa. Hal ini berarti setiap suku bangsa di dunia memiliki sistem pemerintahan tersendiri sebelum adanya penyeragaman oleh penguasa yang lebih besar seperti negara.
Suku bangsa Rejang yang mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara, dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Kutai (kuteui/kutei).
Suku bangsa Rejang yang mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara, dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Kutai (kuteui/kutei).
Tahun 1861 sistem pemerintahan marga diterapkan di wilayah Bengkulu.
Hukum yang dipakai ketika itu adalah Undang-Undang Simbur Cahaya yang diadopsi dari Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan. Sistem pemerintahan marga berlaku hingga tahun 1980 setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Semua sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diseragamkan sehingga marga dan pemerintahan terendah lainnya di seluruh Indonesia diganti dengan sistem pemerintahan desa.
Hukum yang dipakai ketika itu adalah Undang-Undang Simbur Cahaya yang diadopsi dari Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan. Sistem pemerintahan marga berlaku hingga tahun 1980 setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Semua sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diseragamkan sehingga marga dan pemerintahan terendah lainnya di seluruh Indonesia diganti dengan sistem pemerintahan desa.
Tahun 1999 keluar UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU no. 32 tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah. Undang-undang ini memberi peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan tradisional mereka dan diakui dalam tata hukum Indonesia.
BMA Kabupaten Rejang Lebong telah membuka wacana dan memberi usul kepada Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong untuk kembali menerapkan sistem pemerintahan marga di wilayah Kabupaten Rejang Lebong.
Marga bukan berasal dari akar budaya rejang, namun karena wacana yang dimunculkan adalah kembali ke sistem marga, maka kita coba diskusikan untung ruginya kalau sistem pemerintahan marga diterapkan termasuk langkah-langkah apa yang harus ditempuh.
Dasar
UUD 1945 amandemen Amandemen tahun 2000 Bab VI Pasal 16 ayat (2) dan Bab I Pasal 2 ayat (9) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya pernyataan ini merupakan kesempatan bagi setiap daerah untuk menggali kembali aspek-aspek lokalitas sebagai identitas daerah tersebut.
Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Konsep Marga
Pemerintahan Marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Marga hidup menurut adat yang berlaku sejak Marga itu mulai dibentuk jauh di waktu yang lampau. Adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat dan pemerintahnya. Selain itu masyarakatnya juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat, yang sejak awalnya telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Hak Otonom). Dilihat dari bentuk pemerintahannya, Marga merupakan komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat yang berfungsi sebagai self governing community, yaitu sebuah kominitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Selain itu pemerintahan Marga juga memiliki ruang lingkup kewenangan, meliputi kewenangan perundangan, kewenangan pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan peradilan dan kewenangan kepolisian. Sehingga sistem pemerintahan Marga ini dapat dipahami sebagai Pertama, Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal; Kedua Marga, berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat; Ketiga, susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi/undang-undang Simbur Tjahaja (peraturan tertulis yang dibuat oleh Kesultanan Palembang Darusalam); Kempat, pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat; dan Kelima, pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturan. Dalam pemerintahan Marga aturan-aturan yang dipakai mengacu pada undang-undang Simbur Cahaya, begitu juga dalam pengaturan pemerintahannya. Pemerintahan Marga dalam undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung. Masing-masing unit sosial ini dipimpin oleh seorang Pasirah, Kerio dan Penggawa. Pembarap ialah kepala dusun (Kerio) dimana seorang pasirah tinggal. Seorang Pembarap mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang Pasirah apabila Pasirah berhalangan hadir dalam suatu acara/kegiatan. Pasirah dan Kerio dibantu oleh Penghulu dan Ketib dalam penanganan urusan religius atau keagamaan. Kemit Marga dan Kemit dusun ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan urusan keamanan.
Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Konsep Marga
Pemerintahan Marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Marga hidup menurut adat yang berlaku sejak Marga itu mulai dibentuk jauh di waktu yang lampau. Adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat dan pemerintahnya. Selain itu masyarakatnya juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat, yang sejak awalnya telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Hak Otonom). Dilihat dari bentuk pemerintahannya, Marga merupakan komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat yang berfungsi sebagai self governing community, yaitu sebuah kominitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Selain itu pemerintahan Marga juga memiliki ruang lingkup kewenangan, meliputi kewenangan perundangan, kewenangan pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan peradilan dan kewenangan kepolisian. Sehingga sistem pemerintahan Marga ini dapat dipahami sebagai Pertama, Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal; Kedua Marga, berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat; Ketiga, susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi/undang-undang Simbur Tjahaja (peraturan tertulis yang dibuat oleh Kesultanan Palembang Darusalam); Kempat, pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat; dan Kelima, pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturan. Dalam pemerintahan Marga aturan-aturan yang dipakai mengacu pada undang-undang Simbur Cahaya, begitu juga dalam pengaturan pemerintahannya. Pemerintahan Marga dalam undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung. Masing-masing unit sosial ini dipimpin oleh seorang Pasirah, Kerio dan Penggawa. Pembarap ialah kepala dusun (Kerio) dimana seorang pasirah tinggal. Seorang Pembarap mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang Pasirah apabila Pasirah berhalangan hadir dalam suatu acara/kegiatan. Pasirah dan Kerio dibantu oleh Penghulu dan Ketib dalam penanganan urusan religius atau keagamaan. Kemit Marga dan Kemit dusun ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan urusan keamanan.
Pemerintahan Marga itu sesungguhnya dipahami sebagai:
- 1) Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal;
- 2) Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat;
- 3) Susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi Simbur Tjahaja;
- 4) Pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat;
- 5) Pemerintah Marga dalam menetapkan sanksi atas peraturan. Dapat dipahami bahwa tugas dan kewenangan Marga meliputi kewenangan peradilan, kewenangan kepolisian, hak ulayat, serta sumber penghasilan Marga
Menurut Abdullah Sidik sistem marga mulai masuk ke Bengkulu pada tahun 1861 yang diterapkan oleh Asisten Residen Belanda, J. Walland yang dipindahkan dari Palembang. Sistem marga ini berasal dari Kesultanan Palembang yang merupakan hasil bentukan Sultan Cindeh Balang (1662 – 1706).
Konsep marga ini diterapkan oleh Belanda untuk mengatur dusun-dusun yang begitu banyak di wilayah suku bangsa Rejang. Untuk pertama kalinya wilayah Lebong dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman. Namun berdasarkan keputusan Residen Bengkulu No. 69 tanggal 18 Februari 1911, Marga Bermani dan Marga Jurukalang disatukan menjadi marga Bermani Jurukalang. Sedangkan wilayah Rejang dibagi dalam 4 marga, yaitu marga merigi, marga selupu, marga bermani, dan marga jurukalang. Berbeda dengan di wilayah Lebong, di wilayah Rejang marga Bermani dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Bermani Ulu, dan Bermani Ilir. Demikian juga dengan Marga Selupu dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Selupu Rejang, dan Marga Selupu Baru. Sedangkan Marga Merigi juga dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Merigi Kelobak, dan Marga Merigi Kelindang. Wilayah Lais dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Merigi, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Jurukalang, dan Marga Semitul .
Pada tahun 1961, ketika wilayah Bengkulu masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, Abdullah Sidik mencatat ada 25 marga di wilayah Bengkulu, yaitu: Marga Suku IX (di wilayah Lebong), marga Suku VIII (di wilayah Lebong), Marga Bermani Jurukalang ( di wilayah Lebong), Marga Selupu Lebong (diwilayah Lebong), Marga Bermani Ulu (di wilayah Lebong), Marga Selupu Rejang (di wilayah Rejang), marga Merigi (di wilayah Rejang), marga Bermani Ilir (di wilayah Rejang), marga Sindang Beliti (di wilayah Rejang), marga Suku Tengah Kepungut (di wilayah Rejang), marga Selupu Baru (di wilayah Pesisir), marga Selupu Lama (di wilayah Pesisir), marga Merigi Kelindang (di wilayah Pesisir), marga Jurukalang (di wilayah pesisir), marga Bang Haji (di wilayah Pesisir), marga Semitul (di wilayah Pesisir), marga Bermani Sungai Hitam (di wilayah Pesisir), marga Bermani Perbo (di wilayah Lais), marga Bermani Palik (di wilayah Lais), marga Air Besi (di wilayah Lais), marga Kerkap (di wilayah Lais), marga Lais (di wilayah Lais), marga Air Padang (di wilayah Lais), marga Bintunan (di wilayah Lais), marga Sebelat (di wilayah Lais).
Sistem pemerintahan marga dinilai sebagai sistem pemerintahan yang mendukung kearifan lokal "Tumbak Berambai Payung Agung" Rajo Nayung Ngen Payung Agung, Ni'ing Ngen Kojoa Berumbai Raja dipayungi dengan payung kebesarannya yang berwarna kuning emas dan diiringi dengan tombak berumbai.(Payung Agung, teine Rajo kaka ite belindoak ngen belindep, kulo kakae menyaghet, dik benea mbeak saben madeak kebeneane, kunyeu nyabei to'oakne.) Payung Agung artinya bahwa Raja adalah tempat rakyat berlindung dan bersandar, jangan takut mengungkapkan sesuatu yang benar, ikhlaskan nyawa sebagai taruhannya.( Kujua berumboi, teine baso Rajo jemagei anak kutei awei o kulo kutei latet kundei mosoak, semlang anak kutei damai, tun dik saleak timo balesne). Tombak berambai, artinya bahwa Raja menjaga rakyatnya. Raja memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya, demikian juga wilayahnya dari ancaman musuh, menciptakan masyarakat damai, orang yang bersalah, terimalah balasan hukuman sebagai ganjarannya.
Konsep marga ini diterapkan oleh Belanda untuk mengatur dusun-dusun yang begitu banyak di wilayah suku bangsa Rejang. Untuk pertama kalinya wilayah Lebong dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman. Namun berdasarkan keputusan Residen Bengkulu No. 69 tanggal 18 Februari 1911, Marga Bermani dan Marga Jurukalang disatukan menjadi marga Bermani Jurukalang. Sedangkan wilayah Rejang dibagi dalam 4 marga, yaitu marga merigi, marga selupu, marga bermani, dan marga jurukalang. Berbeda dengan di wilayah Lebong, di wilayah Rejang marga Bermani dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Bermani Ulu, dan Bermani Ilir. Demikian juga dengan Marga Selupu dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Selupu Rejang, dan Marga Selupu Baru. Sedangkan Marga Merigi juga dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Merigi Kelobak, dan Marga Merigi Kelindang. Wilayah Lais dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Merigi, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Jurukalang, dan Marga Semitul .
Pada tahun 1961, ketika wilayah Bengkulu masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, Abdullah Sidik mencatat ada 25 marga di wilayah Bengkulu, yaitu: Marga Suku IX (di wilayah Lebong), marga Suku VIII (di wilayah Lebong), Marga Bermani Jurukalang ( di wilayah Lebong), Marga Selupu Lebong (diwilayah Lebong), Marga Bermani Ulu (di wilayah Lebong), Marga Selupu Rejang (di wilayah Rejang), marga Merigi (di wilayah Rejang), marga Bermani Ilir (di wilayah Rejang), marga Sindang Beliti (di wilayah Rejang), marga Suku Tengah Kepungut (di wilayah Rejang), marga Selupu Baru (di wilayah Pesisir), marga Selupu Lama (di wilayah Pesisir), marga Merigi Kelindang (di wilayah Pesisir), marga Jurukalang (di wilayah pesisir), marga Bang Haji (di wilayah Pesisir), marga Semitul (di wilayah Pesisir), marga Bermani Sungai Hitam (di wilayah Pesisir), marga Bermani Perbo (di wilayah Lais), marga Bermani Palik (di wilayah Lais), marga Air Besi (di wilayah Lais), marga Kerkap (di wilayah Lais), marga Lais (di wilayah Lais), marga Air Padang (di wilayah Lais), marga Bintunan (di wilayah Lais), marga Sebelat (di wilayah Lais).
Sistem pemerintahan marga dinilai sebagai sistem pemerintahan yang mendukung kearifan lokal "Tumbak Berambai Payung Agung" Rajo Nayung Ngen Payung Agung, Ni'ing Ngen Kojoa Berumbai Raja dipayungi dengan payung kebesarannya yang berwarna kuning emas dan diiringi dengan tombak berumbai.(Payung Agung, teine Rajo kaka ite belindoak ngen belindep, kulo kakae menyaghet, dik benea mbeak saben madeak kebeneane, kunyeu nyabei to'oakne.) Payung Agung artinya bahwa Raja adalah tempat rakyat berlindung dan bersandar, jangan takut mengungkapkan sesuatu yang benar, ikhlaskan nyawa sebagai taruhannya.( Kujua berumboi, teine baso Rajo jemagei anak kutei awei o kulo kutei latet kundei mosoak, semlang anak kutei damai, tun dik saleak timo balesne). Tombak berambai, artinya bahwa Raja menjaga rakyatnya. Raja memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya, demikian juga wilayahnya dari ancaman musuh, menciptakan masyarakat damai, orang yang bersalah, terimalah balasan hukuman sebagai ganjarannya.
Adat Rejang mengajarkan : "Kembin bakoa tuging, bakoa penan melughuk, tuging medik kaleu si ja'ang. Kaleu bepekat kenok tun beilmeu, lot ei dipoa kundei, do'oba tungheu talang. Mbeak megis tun bolon, mbeak kulo kembus barang bik ngembung, kaleu kumu je tetegong adat ca'o yo, keme semerpet. Ayak bepekat minai takot petulung ideu japei magea tun tuwei. ”Bawalah bakul sirih, bakul tempat mengumpulkan hal-hal yang berkenaan dengan adat, diupayakan dirapatkan apabila jarang. Jika sudah sepakat, panggillah orang pintar dari hulu, ilir dan seberang, itulah penghuni dusun. Janganlah menyakiti orang sakit, jangan pula meniup barang yang sudah menggelembung, jikalau kamu berpegang pada adat ini, kami menyertai. Sebelum sepakat mintalah restu kepada para orang tua.
Kembali Ke Pemerintahan Marga: sebuah wacana
Seperti yang telah diusulkan oleh BMA Kabupaten Rejang Lebong untuk kembali ke sistem pemerintahan marga, oleh Pemkab Rejang Lebong belum direspon dalam bentuk aksi sehingga masih sebatas wacana.
Mengacu kepada penjelasan tentang konsep marga dan wacana kembali ke marga, saya justru cendrung mengarahkan bagaimana kalau kembali ke sistem pemerintahan asli rejang dengan beberapa modifikasi tentunya. Karena konsep pemerintahan dan kepemimpinan yang diuraikan tadi merupakan budaya rejang. Bagaimana kalau sistem pemerintahan Kutai (kuteui atau kutei)?
Kutai merupakan sistem kesatuan masyarakat dan juga sistem pemerintahan karena dalam satu kutai terdapat pemimpin beserta perangkatnya dengan sistem hukum yang berlaku di wilayahnya.
Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian marga sejalan dengan pembagian petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan kuteui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kuteui dan bukan Marga . Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, maka marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan di wilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, tidak mengenal istilah marga, melainkan kutei. Artinya dalam struktur yang berkuasa di Rejang dan Lebong bukanlah petulai, tetapi kuteui dengan penguasanya Tuwai Kuteui. Abdullah Sidik menegaskan bahwa jika pada mulanya kuteui adalah satu masyarakat Hukum Adat tunggal dan genealogis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan di bawah pimpinan tuai kuteui, maka sekarang kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat bawahan yang territorial di bawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar pasirah, kepala dusun disebut proatin atau depati atau ginde, dan semuanya takluk kepada kekuasaan pasirah mereka masing-masing. Sebagai pemimpin kuteui dipilih dari penduduk asli kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun, dan diwariskan secara turun temurun.
Pada kesempatan ini, saya serahkan ke forum untuk melihat sistem pemerintahan mana yang bersumber pada budaya rejang. Sistem marga atau kutai sebenarnya bisa dipakai asalkan mengacu pada konsep-konsep budaya rejang. Bila disepakati kutai sebagai satu kesatuan teritorial dan hukum masyarakat rejang yang berdiri sendiri, maka kutai bisa dijadikan sistem pemerintahan terendah di bawah camat. Hal ini terutama dengan telah ditetapkannya pemberlakuan hukum adat dan pembentukan jenang kutai di setiap desa dan kelurahan di Kabupaten Rejang Lebong. Namun bila istilah ini yang dipakai, maka istilah ini hanya berlaku di wilayah Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiyang dan Lebong (bila pemkab sepakat).
Jika dalam rangka penyeragaman di tingkat Provinsi Bengkulu, istilah marga dapat dipakai. Namun sedikit kesulitan mengingat wilayah marga yang pernah ada sudah terbagi dalam beberapa desa dalam satu atau dua kecamatan. Bila beberapa desa/kelurahan tadi dijadikan marga maka wilayah kecamatan menjadi satu marga atau bagaimana desa atau kelurahan yang masuk wilayah kecamatan lain. Saya kira ini penting untuk sama-sama kita diskusikan.
Mengacu kepada penjelasan tentang konsep marga dan wacana kembali ke marga, saya justru cendrung mengarahkan bagaimana kalau kembali ke sistem pemerintahan asli rejang dengan beberapa modifikasi tentunya. Karena konsep pemerintahan dan kepemimpinan yang diuraikan tadi merupakan budaya rejang. Bagaimana kalau sistem pemerintahan Kutai (kuteui atau kutei)?
Kutai merupakan sistem kesatuan masyarakat dan juga sistem pemerintahan karena dalam satu kutai terdapat pemimpin beserta perangkatnya dengan sistem hukum yang berlaku di wilayahnya.
Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian marga sejalan dengan pembagian petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan kuteui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kuteui dan bukan Marga . Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, maka marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan di wilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, tidak mengenal istilah marga, melainkan kutei. Artinya dalam struktur yang berkuasa di Rejang dan Lebong bukanlah petulai, tetapi kuteui dengan penguasanya Tuwai Kuteui. Abdullah Sidik menegaskan bahwa jika pada mulanya kuteui adalah satu masyarakat Hukum Adat tunggal dan genealogis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan di bawah pimpinan tuai kuteui, maka sekarang kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat bawahan yang territorial di bawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar pasirah, kepala dusun disebut proatin atau depati atau ginde, dan semuanya takluk kepada kekuasaan pasirah mereka masing-masing. Sebagai pemimpin kuteui dipilih dari penduduk asli kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun, dan diwariskan secara turun temurun.
Pada kesempatan ini, saya serahkan ke forum untuk melihat sistem pemerintahan mana yang bersumber pada budaya rejang. Sistem marga atau kutai sebenarnya bisa dipakai asalkan mengacu pada konsep-konsep budaya rejang. Bila disepakati kutai sebagai satu kesatuan teritorial dan hukum masyarakat rejang yang berdiri sendiri, maka kutai bisa dijadikan sistem pemerintahan terendah di bawah camat. Hal ini terutama dengan telah ditetapkannya pemberlakuan hukum adat dan pembentukan jenang kutai di setiap desa dan kelurahan di Kabupaten Rejang Lebong. Namun bila istilah ini yang dipakai, maka istilah ini hanya berlaku di wilayah Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiyang dan Lebong (bila pemkab sepakat).
Jika dalam rangka penyeragaman di tingkat Provinsi Bengkulu, istilah marga dapat dipakai. Namun sedikit kesulitan mengingat wilayah marga yang pernah ada sudah terbagi dalam beberapa desa dalam satu atau dua kecamatan. Bila beberapa desa/kelurahan tadi dijadikan marga maka wilayah kecamatan menjadi satu marga atau bagaimana desa atau kelurahan yang masuk wilayah kecamatan lain. Saya kira ini penting untuk sama-sama kita diskusikan.
Upaya ke Depan
Perlu ada kesepakatan antara masyarakat adat, pemerintah kabupaten, dan masyarakat umum tentang wacana kembali ke pemerintahan tradisional (option: marga atau kutai).
Terlepas dari istilah apa yang dipilih, diperlukan regenerasi, kaderisasi, dan kepemimpinan sebagai jaminan keberlanjutan institusi adat. Penghapusan sistem kutai tahun 1861, penerapan dan penghapusan marga pada tahun 1980 telah memutus regenerasi yang paham tentang kutai dan marga sehingga harus ditangani oleh para pengurus adat dan perlu menumbuhkan dan mentransformasikan kesadaran lokalitas di kalangan generasi muda berkaitan pergantian kepemimpinan ke depan. Terbangunnya sistem kepemimpinan kuat dan demokratis, dalam konteks pemerintahan tradisional ditandai oleh adanya kepercayaan (trust) dan pengakuan (legitimate) oleh warga masyarakat. Jikalau selama ini kepemimpinan hanya bertradisi kharismatik-tradisional, perlu pula dilengkapi kemampuan manajerial-rasional bersendikan demokrasi komunitas adat. Proses pergantiannya pun dilakukan secara terbuka, sebagaimana tradisi pemilihan pemimpin tradisional.
Dibutuhkan kemampuan organisasi sosial adat untuk mengelola sumber daya ekonomi secara otonom. Terutama berkaitan penyediaan material guna membiayai dan mendanai institusi adat menuju kesejahteraan warganya. Mulai dari kepemilikan kekayaan sumber daya alam berupa tanah, hutan, ladang, perairan, jaringan ekonomi, atau lainnya.
Adanya kapasitas manajemen konflik untuk menjaga dinamika hubungan sosial di lingkungan adat. Organisasi adat (melalui pemangku adat atau warganya) memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik untuk mengantisipasi sejumlah kecenderungan sengketa yang terjadi di komunitas adat. Mengingat, potensi konflik di masyarakat adat sangat besar jikalau dikaitkan dengan konteks perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kian tersegregasi. Baik internal antarwarga masyarakat, antarapenguasa adat dan warganya, atau antaradat satu dengan yang lainnya.
Terciptanya jaringan antaradat menuju kerjasama di tingkat lokal. Jaringan diharapkan akan bermanfaat bagi terbangunnya kerjasama antarkomunitas ketika berinteraksi, sehingga proses ini dapat menghasilkan keuntungan bagi masing-masing adat, terutama mewujudkan kesejahteraan warganya.
Perlunya perencanaan program oleh organisasi adat. Dengan dilakukan secara partisipatif, program-program itu sebagai penopang menjaga keberlanjutan organisasi adat, yang nantinya dimanfaatkan warganya. Kendatipun dalam bentuk yang sederhana, proses ini akan mendidik pemangku dan warga adat agar bisa mandiri dan kuat dalam institusi yang dimilikinya.
Terlepas dari istilah apa yang dipilih, diperlukan regenerasi, kaderisasi, dan kepemimpinan sebagai jaminan keberlanjutan institusi adat. Penghapusan sistem kutai tahun 1861, penerapan dan penghapusan marga pada tahun 1980 telah memutus regenerasi yang paham tentang kutai dan marga sehingga harus ditangani oleh para pengurus adat dan perlu menumbuhkan dan mentransformasikan kesadaran lokalitas di kalangan generasi muda berkaitan pergantian kepemimpinan ke depan. Terbangunnya sistem kepemimpinan kuat dan demokratis, dalam konteks pemerintahan tradisional ditandai oleh adanya kepercayaan (trust) dan pengakuan (legitimate) oleh warga masyarakat. Jikalau selama ini kepemimpinan hanya bertradisi kharismatik-tradisional, perlu pula dilengkapi kemampuan manajerial-rasional bersendikan demokrasi komunitas adat. Proses pergantiannya pun dilakukan secara terbuka, sebagaimana tradisi pemilihan pemimpin tradisional.
Dibutuhkan kemampuan organisasi sosial adat untuk mengelola sumber daya ekonomi secara otonom. Terutama berkaitan penyediaan material guna membiayai dan mendanai institusi adat menuju kesejahteraan warganya. Mulai dari kepemilikan kekayaan sumber daya alam berupa tanah, hutan, ladang, perairan, jaringan ekonomi, atau lainnya.
Adanya kapasitas manajemen konflik untuk menjaga dinamika hubungan sosial di lingkungan adat. Organisasi adat (melalui pemangku adat atau warganya) memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik untuk mengantisipasi sejumlah kecenderungan sengketa yang terjadi di komunitas adat. Mengingat, potensi konflik di masyarakat adat sangat besar jikalau dikaitkan dengan konteks perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kian tersegregasi. Baik internal antarwarga masyarakat, antarapenguasa adat dan warganya, atau antaradat satu dengan yang lainnya.
Terciptanya jaringan antaradat menuju kerjasama di tingkat lokal. Jaringan diharapkan akan bermanfaat bagi terbangunnya kerjasama antarkomunitas ketika berinteraksi, sehingga proses ini dapat menghasilkan keuntungan bagi masing-masing adat, terutama mewujudkan kesejahteraan warganya.
Perlunya perencanaan program oleh organisasi adat. Dengan dilakukan secara partisipatif, program-program itu sebagai penopang menjaga keberlanjutan organisasi adat, yang nantinya dimanfaatkan warganya. Kendatipun dalam bentuk yang sederhana, proses ini akan mendidik pemangku dan warga adat agar bisa mandiri dan kuat dalam institusi yang dimilikinya.
Penutup
Sistem pemerintahan adalah sarana untuk me-manage masyarakat. Sistem pemerintahan yang berakar dari budaya masyarakatnya merupakan satu kesatuan kuat.
Wacana kembali ke sistem pemerintahan tradisional harus dipelajari dengan hati-hati karena sistem politik, lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat tidak sama seperti sistem pemerintahan tradisional tersebut diterapkan sehingga harus ada modifikasi. Sehingga Apa yang dikatakan revitalisasi sistem pemerintahan tradisional dapat tercapai.
Tulisan ini sekedar pengantar diskusi, kesepakatan di forum ini merupakan acuan untuk langkah selanjutnya.
Terima kasih.
Wacana kembali ke sistem pemerintahan tradisional harus dipelajari dengan hati-hati karena sistem politik, lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat tidak sama seperti sistem pemerintahan tradisional tersebut diterapkan sehingga harus ada modifikasi. Sehingga Apa yang dikatakan revitalisasi sistem pemerintahan tradisional dapat tercapai.
Tulisan ini sekedar pengantar diskusi, kesepakatan di forum ini merupakan acuan untuk langkah selanjutnya.
Terima kasih.
Daftar Rujukan
- Aniwijaya, Lahmudin. 2004. “Kearifan Tradisional Lembaga Kutei di Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Makalah pada kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya Daerah Kabupaten Rejang Lebong, yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang di Curup 15 – 16 September 2004.
- Arios, Rois Leonard. 2008. Kutai : Konsep dan Eksistensinya Pada Masyarakat Rejang. Jakarta : Depbudpar
- Benardie, Hakim. 2004. ”Bengkulu dalam Lintasan Sejarah Phamnaläyu”, dalam Sarwit Sarwono, dkk. (ed). 2004. Bunga Rampai Melayu Bengkulu. Bengkulu: Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu. Hal. 322 – 365.
- BMA Kabupaten Rejang Lebong. 2005. “Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutai Jang Kabupaten Rejang Lebong”. Belum diterbitkan
- Delais, H. dan J. Hassan. 1933. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum: Balai Pustaka
- Hoesein, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit.
- Hoesin, Kiagoes. 1938. Koempoeloan Oendang-Oendang Adat Lembaga Dari Sembilan Onderafdeelingen Dalam Gewest Bengkoelen. Bengkoelen: Drukkerij “Tjan”.
- Hoesin, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit
- Kadirman. 2004. Ireak Ca’o Kutei Jang. Jakarta: Balai Pustaka.
- Setyanto, Agus. 2001. Elite Pribumi Bengkulu : Perspektif Sejarah Abad Ke-19. Jakarta : Balai Pustaka.
- Sidik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.
0 comments:
Post a Comment