Udara dalam Museum Balaputra Dewa di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (28/9) siang, cukup gerah. Asap dari kebakaran lahan dan hutan yang menyerbu Palembang dua hari ini ikut masuk ke ruang pamer koleksi. Suasana makin menyesakkan napas karena debu dari bangunan museum yang tengah direhabilitasi juga beterbangan dan menyelinap masuk museum.
"Ini dua gelumpai, naskah beraksara ulu atau kaganga yang ditorehkan di atas bilah-bilah bambu. Museum punya tujuh naskah lagi, dua di antaranya ditulis di atas kulit kayu yang disebut kahas," kata Kepala Tata Usaha Museum Balaputra Dewa, M Taufik, yang tampak terganggu dengan asap dan debu yang menyerbu ruang pameran itu.
Dua naskah yang sudah diterjemahkan Pamong Budaya Ahli Museum Balaputra Dewa, Rafanie Igama, itu tersimpan baik dalam ruang berdinding kaca. Salah satu naskah yang telah diterjemahkan berbentuk huruf-huruf yang miring kanan atas dan patah-patah, yang ditorehkan di atas 14 bilah bambu. Naskah berasal dari Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumsel.
Naskah itu menceritakan sosok Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Meski beraksara ulu, teks menggunakan bahasa Jawa dari masa Kesultanan Palembang Darussalam abad ke-17-19 Masehi. "Itu salah satu dari naskah yang sudah diterjemahkan. Masih banyak yang belum dikaji dan masih banyak lagi yang disimpan masyarakat," kata Rafanie.
Aksara ulu atau kaganga menjadi kekayaan budaya masyarakat tepian sungai di Sumatera bagian selatan, yang antara lain mencakup Sumsel, Bengkulu, dan Lampung. Diperkirakan, aksara itu tumbuh sejak abad ke-12 Masehi dan berkembang pesat pada abad ke-17-19 Masehi. Tulisan itu banyak digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, ilmu kedokteran, petuah, dan kearifan lokal lain.
Keberadaan aksara itu menunjukkan, budaya tepian sungai memiliki tradisi intelektualisme cukup tinggi. Lebih unik lagi, aksara kaganga masih digunakan sebagian warga di Bengkulu, seperti di Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, Kaur, Lebong, dan Kabupaten Rejang Lebong.
Aksara itu disebut ulu karena banyak berkembang dalam masyarakat yang tinggal di hulu sungai di pedalaman. Para peneliti asing kerap menyebutnya kaganga karena pedoman aksaranya menggunakan huruf ka, ga, nga, dan seterusnya. Aksara ini memiliki 19 huruf tunggal dan delapan huruf pasangan. Huruf-huruf ditulis dengan ditarik ke kanan atas sampai sekitar 45 derajat.
Menurut peneliti ahli Museum Negeri Bengkulu, Sarwit Sarwono, aksara kaganga dikembangkan setelah aksara palawa. Kaganga banyak digunakan masyarakat kelas menengah, seperti keluarga pesirah, dukun, kaum intelektual, dan kaum agama. Di Museum Negeri Bengkulu saat ini terdapat 124 naskah kaganga.(ilham khoiri)
Lampung Post 29 September 2009
0 comments:
Post a Comment