weblogUpdates.ping Taneak Jang, Rejang Land, Tanah Rejang http://rejang-lebong.blogspot.com Taneak Jang, Rejang land, Tanah Rejang: Warisan Melayu Bengkulu - Sekilas Catatan Kesejarahan

Warisan Melayu Bengkulu - Sekilas Catatan Kesejarahan

·

Oleh : Agus Setiyanto


Belum diketahui secara pasti sejak kapan masuknya orang-orang Melayu ke Bengkulu. Namun meski tak banyak, ada beberapa sumber sejarah yang bisa dipakai untuk melacak keberadaan orang-orang Melayu di Bengkulu. Diantara beberapa arsip yang menyebut tentang keberadaan orang-orang Melayu Bengkulu antara lain :

1. Aantekeningen Gedurende de Reis te Benkoelen door Perez, met bijlagen Maleisch Brieven en Stukken Over Maleisch Hoofden, 1835, berisi surat-surat dari para kepala pribumi Bengkulu, termasuk laporan mengenai peristiwa terbunuhnya gezaghebber di Seluma pada tahun 1835.

2. Rapport van Nahuijs over het Engelsch Etablissement Benkoelen, 1823, berupa laporan perjalanan Nahuijs ke Bengkulu pada tahun 1823, yang memuat keadaan umum masyarakat Bengkulu saat itu.

3. Relaas van de Anachodas Daing Soepoe en Boegis. Wegens de Staat en Gelegenheid van Bancahoeloe Gegeven te Batavia, 1783, yang berisi tentang keadaan Benteng Marlborough, para kepala pribumi Bengkulu, serta para anak keturunan Raden Tumenggung Wiriodiningrat.

4. Memorie Betrekkelijk de Bezitting Benkoelen om te Dienen tot Leiding van de Ambtenaar, Welke nu af en de Vervolge met het Gezag aldaar zal Worden Belast, 1826, yang berisi seluk beluk kehidupan para Pangeran pribumi Bengkulu, dan Daeng Mabella, terutama dalam kaitannya dengan pergantian jabatan serta gaji yang diterima dari pemerintah Belanda.

5. Extract Uit het Register der Besluiten van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie, Batavia, den 7 Februarij 1839, berisi tentang pengangkatan Raden Muhamad Zein sebagai kepala orang asing, dan juga pengangkatan Sultan Muko-Muko, serta pengaturan gajinya.

6. Extract uit he Register der Resolutien van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie, in Rade, Buitenzorg, den 25 October 1834, yang memuat laporan tentang permohonan Sultan Indrapura yang ingin menggabungkan kembali wilayah Muko-Muko dengan wilayahnya, serta keputusan untuk tidak mengabulkan permintaan Sultan Indrapura itu.

7. Nota over Benkoelen Geschreven te Padang 18 Februari 1840, door Resident van Ajer Bangis, de Perez, memuat laporan tentang pemilihan Sultan Muko-Muko.

8. Geslachtslijsten van Orang Baleij Banto, merupakan silsilah elite pribumi Sungai Lemau yang dimulai dari Baginda Raja Sakti.

9. Papieren Omtrent eene te doene Ondernemingen tegen Bezittingen der Engelsche ten Bencoelen op Sumatra Westkust, 1766, yang berisi Undang-Undang Adat di wilayah Sillebar mengenai Kerbau Jalang, dan surat perjanjian antara Pangeran Sillebar dengan Edward Coles Moeda,

10. Acte van Aanstelling, 1750, memuat tentang Undang-Undang Adat dari Sultan Banten untuk wilayah Sillebar yang ditulis pada tahun 1079 Hijriah (1688 Masehi).

11. Stukken over de Eigendom Bewijze van ’s Gouvernements, specerij perken te Benkoelen, 1804, Afschrijft, Maleisch Schrift, (Arsip Nasional B: 5/7), yang memuat surat perjanjian antara Pangeran Sillebar dengan Walter Ewer tertanggal 1 Maret 1804.

12. Papieren Omtrent eene te doene Ondernemingen tegen Bezettingen der Engelsche te Bencoelen op. S.W.K. 1783, met Kaart. 1 deel, Bahasa Melayu, (Arsip Nasional B: 5/6),yang berisi urat perjanjian antara Daeng Mabella dengan Pangeran Sillebar dan anak Marga Pagar Agung Pada tanggal 1 Juni 1820, berisi tentang pengaturan wilayah kekuasaan Pangeran Sillebar oleh Daeng Mabella, serta pengaturan mengenai sistem tanam lada, pala, kopi, dan cengkeh.

13. Stukken over de Eigendom Bewijze van ’sGouverments Specerij Perken te Benkoelen, 1804, Afschrijft, 1 deel, nb. Bahasa Melayu, (Arsip Nasional B: 5/7), yaitu surat pernyataan Raffles tentang pemberian tunjangan kepada Pangeran Nata Di Raja dari Sillebar pada Tanggal 1 Juni 1820, yang berisi penaikan tunjangan sebesar 100 rupiah per bulan, sehingga naik menjadi 150 Rupiah per bulan.

14. Stukken over de Eigendom Bewijze van ’s Gouverments Specerij Perken te Benkoelen, 1825, afschrijft, 1 deel, nb. Bahasa Inggris dan Melayu (Arsip Nasional B: 5/7), yaitu: Surat Persumpahan Pangeran Nata Di Raja kepada Residen Belanda Verploegh pada bulan Juli tahun 1825, yang berisi pernyataan setia Pangeran Nata Di Raja kepada pemerintah Belanda.

15. Surat protes para kepala pribumi Bengkulu kepada Residen Belanda, Verploegh tertanggal 15 September 1826, (Arsip Nasional B: 5/4), yang berisi protes atas pemberangkatan kapal Inggris yang akan membawa istri-istri dan anak-anak pribumi Bengkulu ke luar pulau, karena bertentangan dengan hukum adat mereka.

16. Rekest van Radja Bangsawan (Arsip Nasional B: 5/7), berisi permohonan tunjangan untuk Pangeran Sillebar yang sejak tahun 1825 hingga tahun 1828 belum diberikan oleh pemerintah Belanda.

17. Surat Depattie Tjinta Mandie kepada Depattie Tandjong Erang Tertanggal 26 Juni 1835, (Arsip Nasional B: 7), yang berisi saran agar tidak bekerja-sama dengan pihak pemerintah Belanda.

18. Brieven aan den Ass. Resident Benkoelen P. de Perez, 1835, (Arsip Nasional B: 7), yang memuat laporan tentang terbunuhnya gezaghebber Seluma pada tanggal 28 Juni 1835.

19. Brieven aan en Ass Resident Benkoelen P. de Perez, 1835, disalin dari huruf Jawi Melayu (Arsip Nasional B:/7), yang berisi Laporan para Kepala Pribumi Selumah tentang Kejahatan Orang-Orang Pasyemah, yang terisi tentang kejahatan orang Pasyemah di wilayah Selumah yang telah merusak pasar dan membunuh Boss (Gezaghebber) di Selumah.

20. Aanteekeningen van N. Hewtson, Kontroleur van Manna, Betreffende het Landschap Pasemah Oeloe Mnna, d.d. 27 September 1850, yang memuat tentang kelakuan orang-orang Pasemah baik pada zaman Inggris maupun pada zaman Belanda .

21. Oendang-Oendang Peratoeran Bimbang Radja-Radja dan Raden-Raden Jang Terpakei Dalem Residensi Benkoelen, yang berisi peraturan mengenai pelaksanaan bimbang (pesta) untuk golongan bangsawan dan golongan rakyat biasa.

22. Oendang-Oendang Adat Lembaga Melayoe Jang Dipakei Oleh Radja Dengan Penghoeloe Dalem Negri Bangkahoeloe Soedah Diserapatkan Dengan Henry Robert Lewis Eskuwir yang Djadi Madjesteriat Ketika Itoe, yang berisi pengaturan mengenai hukum adat pribumi Bengkulu yang ditulis dalam huruf Arab berbahasa Melayu.

23. Eenige Archiefstukken Betreffende de Vestiging van de Engelsche Factorij te Benkoelen in 1685, berisi surat menyurat antara pejabat Inggris di Bengkulu dengan para pejabat Inggris di Madras, Indrapura, maupun dengan wakil Sultan Banten di Sillebar.

24. Oude Brieven uit een Benkoeloesch Archief (1847-1874), antara lain memuat peraturan tentang larangan berpayung bagi para Kepala Pribumi yang tidak sesuai dengan jabatannya.

25. Iets Over het Ontstaan van Eenige Regent Schappen in de Adsistent Residentie Benkoelen, door J.A.W. van Ophuijsen, memuat tentang silsilah keturunan Pangeran Sungai Lemau, pangeran Sungai Itam, dan Pangeran Sillebar.

26. Brief dd. 7 September 1824 van Resident Prince aan Goerge Swinton te Calcutta, yang melaporkan kegemparan di kalangan para kepala pribumi Bengkulu yang memprotes terhadap kebijaksanaan Inggris yang akan menyerahkan wilayah Bengkulu kepada pihak Belanda.

27. Lijst van te Benkoelen Aanwezige Engelsche Grafschriften Opgemaakt Door W, Bakker, berisi tentang daftar orang-orang Inggris yang meninggal di Bengkulu yang ditulis pada batu nisan.

28. De Familie Daing Mabella, volgens een Maleisch Handschrift, memuat petualangan anak keturunan Daeng Mabella ke Bengkulu pada zaman Inggris hingga akhir hayatnya.

29. Bahoewa Inilah Asal-Oesoel, merupakan tulisan para raja-raja Sungai Lemau hingga Pangeran Muhammad Syah, yang berisi berbagai kegiatan pemerintahan adat pribumi Bengkulu yang disusun menjadi 44 patsal.

Di samping itu, masih ada beberapa karya yang dapat di kategorikan sebagai sumber primer atau cukup dekat dengan sumber primiernya. Karya-karya itu antara lain, meliputi : (1) The History of Sumatra, karya Willian Marsden, yang pernah menjabat sebagai sekretaris pada pemerintah Inggris di Bengkulu tahun 1776. Karya besar ini banyak memuat laporan mengenai hukum adat penduduk pribumi Bengkulu, termasuk juga kehidupan para kepala pribumi Bengkulu pada abad XVIII. (2) Brieven Over Benkoelen, Padang, het rijk van Menangkabouw, Rhiouw, Singapoera, en Poelo Pinang, juga merupakan karya memoar yang ditulis oleh pelaku sejarah, yaitu Nahuijs yang pernah mengunjungi Bengkulu pada tahun 1823. Karya yang diterbitkan pada tahun 1828 ini juga memuat laporan mengenai keadaan umum masyarakat Bengkulu dan orang-orang Melayu pada saat itu. (3) Moko -Moko, adalah karya Rutte yang diterbitkan pada tahun 1870. Karya ini memuat laporan tentang keadaan umum masyarakat di wilayah Muko-muko sektiar tahun 1858. (4) Benkoelen Zoo als het is, en de Benkoelezen zoo als zij zijn in 1843, merupakan karya faktual yang diterbitkan pada tahun yang sama (1843) yang ditulis oleh L. van der Vinne. Karya ini selain memuat laporan tentang lapisan masyarakat Bengkulu pada tahun 1843, juga menjelaskan karakter masyarakat Bengkulu termasuk gaya hidup para kepala pribuminya serta orang-orang Melayu. (5) Verkiezing van een Toeankoe van Mokko-Mokko in 1822, adalah karya Wellan, seorang arsiparis khusus untuk wilayah Sumatra. Karya ini ditulis berdasarkan hasil laporan Jack ketika ke Muko-Muko pada tahun 1822.

Menurut laporan Kolonel Nahuijs yang pernah berkunjung ke Bengkulu pada tahun 1823, menyebutkan bahwa orang-orang Melayu tinggal di tepi-tepi pantai, yang kemudian di kenal dengan sebutan Kampung Melayu (Nahuijs, 1823: 28).

Dua puluh tahun kemudian, Van der Vinne mengelompokkan orang Melayu sebagai lapisan masyarakat di Bengkulu yang jumlahnya paling besar. Mereka datang dari berbagai dusun sebagai perajin dan usaha kecil-kecilan. Mereka berasal dari wilayah Tiga Belas, dan dari dataran tinggi di daerah pegunungan Sumatera Barat (Padang). Pada awalnya mereka datang dalam kondisi yang miskin, bahkan hidup hanya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi kemudian banyak yang menjadi kaya karena telah berhasil dalam dunia perdagangan (L. van der Vinne, 1843 : hlm. 558-564).

Dalam perspektif kebudayaan, tercatat ada tiga corak (kalau boleh dibilang : mainstream) kebudayaan atau baca : tradisi yang dianggap baku (dibakukan) dalam tata kehidupan masyarakat Bengkulu pada zamannya — yaitu tradisi Malim, tradisi Ulu, dan tradisi Melayu. Ketiga tradisi tersebut tercatat dalam sebuah “Adatrechtbundel” yang diberi label “Adat Lembaga in Bengkoelen 1910 – 1911 (Adatrechtbundel deel: XI, -s’Gravenhage : 1915).

Demikian juga dengan produk tradisi Melayu, diantaranya nampak jelas melalui tulisan-tulisan yang beraksara Melayu (Melayu schrift atau Latijn-schrift).

Tidak sekedar itu saja — masih cukup banyak yang bisa dicermati, terutama dalam prosesi ritual —- pesta adat yang lebih dikenal dengan sebutan “bimbang”. Kata “bimbang” ini sebetulnya tidak saja mengacu pada prosesi adat perkawinan, tetapi juga mengacu pada prosesi pengangkatan kepala suku, prosesi adat memanen hasil pertanian (yang sering disebut dengan istilah “mendundang benih”), upacara adat sunatan, upacara adat melubangi telinga (menindik), upacara adat penyambutan tamu kehormatan, dan lain-lain yang termasuk acara-acara yang dianggap monumental ( Adatrechtbundel: XI, 1915:350-351).

Mengenai bimbang, William Marsden dalam karyanya The History of Sumatra menyebutkan, bahwa bimbang merupakan pesta rakyat dimana orang-orang muda dapat saling bertemu dan bercakap-cakap di atas sebuah arena balai atau panggung. Di samping itu, bimbang juga diselenggarakan dalam rangka pengangkatan kepala suku (William Marsden, 1966: 266).

Pesta adat tersebut tampaknya ada kemiripan polanya dengan tradisi – adat Jawa. Dalam tradisi Jawa, juga dikenal upacara selamatan yang disertai pesta seperti: puputan (hari kelahiran), potong rambut pertama, tedhak bhumi (anak mulai menginjakkan tanah), sunatan, perkawinan, sedekah bhumi, potong padi, dan lain-lain (Koentjoroningrat, 1980: 341).

Menurut adat lembaga over huwelijks en erfrecht in Benkoelen 1910-1911, yaitu adat lembaga yang mengatur tentang hukum perkawinan dan hukum waris, bimbang merupakan salah satu rangkaian upacara dalam proses perkawinan pada masyarakat Bengkulu. Sebelum pelaksanaan upacara perkawinan, ada proses upacara yang mendahuluinya, yaitu upacara memadu rasan (pertunangan). Pengertian bimbang itu sendiri telah diatur dalam adat lembaga yang isinya sebagai berikut:

Adapoen jang dinamai bimbang jaitoe keramaian jang diperboeat akan kehormatan kawin (Adatrechtbundel: XI, 1915:310).

Bimbang juga digolongkan menjadi dua, yaitu bimbang gedang (pesta adat perkawinan yang biasanya dilakukan oleh lapisan masyarakat atas atau golongan elite pribumi), dan bimbang kecil, yaitu pesta adat perkawinan rakyat kebanyakan (St. Kdeir, 1870: II).

Bimbang adat Melayu ini pada umumnya berkembang di wilayah atau tempat-tempat yang terbuka sebagai jalur perdagangan — terutama pasar —-yang memudahkan masuknya para pedagang Melayu yang berniaga di pasar-pasar tersebut, yang kemudian terjadi proses asimilasi, akulturasi budaya, kolonisasi, dan pada akhirnya masuklah pengaruh tradisi budaya Melayu (Abdullah Siddik, 1980:269).

Pengaruh budaya Melayu pada masyarakat Bengkulu barangkali juga dapat dilacak melalui laporan Wink yang pernah menjabat sebagai kontrolir untuk binenlands-bestuur di Lais (Bengkulu Utara) pada tahun 1922-1924, mengenai silsilah Tuanku Sultan Mardu Alam Syah dari kerajaan Indrapura (Pagaruyung/Minangkabau). Dalam silsilah tersebut diterangkan, bahwa Tuanku Sultan Mardu Alam Syah mempunyai seorang anak bernama Sutan Mohammad Jasin yang bergelar Raja Mahkota Alam pergi ke daerah Lebong (Rejang-Lebong), dan mendirikan sebuah dusun yang diberi nama Kota Rukam. Sutan Mohammad Jasin kemudian menikah dengan Putri Cindar Diwi, anak perempuannya kepala suku Rejang yaitu Raja Imbang Jaya (P. Wink, 1926:11-12).

Berdasarkan sumber tersebut, paling tidak dapat diketahui adanya hubungan kekerabatan antara kerajaan Indrapura (Paguruyung/Minangkabau) dengan latar belakang budaya Melayu dengan masyarakat Rejang (Bengkulu). Melalui hubungan kekerabatan yang diperkuat dengan sistem perkawinan itu maka terjadilah penyerapan budaya Melayu pada masyarakat suku-bangsa Rejang. Di samping melalui sistem perkawinan, juga diperkuat melalui sistem kolonisasi orang-orang Melayu, terutama kaum pedagang yang kemudian mendukung berdirinya sebuah pasar.

Perkembangan selanjutnya, pasar tidak sekedar sebagai pusat pertukaran atau jual-beli barang-barang, tetapi juga mengembang sebagai pusat komunitas. Bahkan dari kaca mata Max Weber, pasar tidak saja merupakan pusat aktivitas ekonomi, tapi juga menjadi merupakan bagian dari kehidupan sistem politik (Sartono, 1977: 11-13).

Oleh karenanya pada setiap pasar muncul elite politik sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk mengaturnya. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat tradisional, terutama pada setiap distrik di wilayah Bengkulu. Setiap pasar dikepalai oleh seorang datuk (kepala pasar) yang juga membawahi dusun-dusun disekitarnya. Setiap dusun di sekitar pasar pada umumnya dikepalai oleh seorang pemangku. Dengan demikian, kedudukan pemangku berada di bawah struktur kekuasaan seorang datuk. Oleh karena itu, setiap ada kegiatan bimbang (pesta perkawinan adat), khususnya bimbang adat Melayu tidak cukup melalui izin seorang pemangku, tetapi juga harus mendapat legitimasi dari seorang datuk.

Sekilas Tradisi Bimbang Melayu

Menurut tradisinya, bimbang adat Melayu terbagi dalam lima rangkaian aktivitas,

dan setiap aktivitas digunakan ukuran hari. Hari yang pertama disebut dengan istilah hari mufakat adik-sanak, yaitu aktivitas dari tuan rumah mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan sanak famili termasuk nenek-mamak, besar-kecil, tua-muda, untuk memberitahukan dan sekaligus meminta kesepakatan segenap sanak-familinya mengenai rencana menyelenggarakan acara bimbang. Mufakat adik-sanak ( pertemuan keluarga) ini merupakan manifestasi konkrit dari semangat ikatan kekerabatan yang kuat. Oleh karenanya pertemuan keluarga itu tidak sekedar pemberitahuan, tetapi juga menuntut partisipasi aktif setiap anggota keluarga baik dalam wujud sumbangan pemikiran maupun sumbangan material yang berkaitan dengan acara gawe bimbang (penyelenggaraan pesta perkawinan).

Hari kedua disebut hari mufakat raja - penghulu, yaitu aktivitas adik-sanak atas nama tuan rumah mengundang datuk (kepala pasar), pemangku (kepala dusun), penghulu muda (kepala urusan perkawinan), punggawa (pamong dusun), imam (kepala masjid), chatib (juru khotbah), bilal (juru adzan), maupun garim (penjaga masjid/ surau) untuk mengusulkan mengenai rencana mengadakan acara bimbang. Biasanya setelah diteliti segala macam persyaratan dan perlengkapannya, maka mereka memberikan kata sepakat.

Hari ketiga disebut hari memecah nasi, yaitu mengumpulkan kembali adik- sanak, raja-penghulu, serta orang-orang yang di sekelilingnya untuk mematangkan rencana gawe bimbang. Disebut hari memecah nasi karena pada hari itu diadakan jamuan makan bersama oleh tuan rumah. Akan tetapi acara intinya adalah pembentukan acara kerja bimbang (panitia pelaksana bimbang) yang dipimpin oleh tua kerja (ketua panitia). Biasanya susunan panitianya terdiri dari : tua kerja, tua jenang, jenang luar dan jenang dalam, tua gulai, tua juadah, tukang sirih dan rokok, induk inang, juru bilik, dan pengapit.

Istilah Tua kerja dalam hal ini adalah orang yang dipercayai untuk mengepalai pelaksanaan acara bimbang (ketua panitia), yang terdiri dari dua orang yaitu satu orang laki-laki (Tua kerja laki-laki) , dan satu orang lagi perempuan (tua kerja perempuan). Tua kerja laki-laki membagi-bagikan tugas khusus kepada kaum laki-laki untuk melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pelaksanaan pesta bimbang, seperti menegak pengoedjoeng (mendirikan tarub), menyebarkan undangan khsusus kaum laki-laki, mengundang tukang musik, dan lain sebagainya, sedangkan tua kerja perempuan memberikan tugas khusus bagi perempuan seperti menyebarkan undangan khusus untuk kaum perempuan, memasak, merias pengantin, mengapit pengantin, dan lain sebagainya. Sebagai ketua panitia, mereka memiliki tanggungjawab penuh terhadap kelancaran pelaksanaan pesta bimbang.

Yang dimaksud dengan Tua jenang, yaitu orang yang diberi tugas untuk menentukan siapa saja dan berapa banyak tamu yang diundang. Seperti halnya dengan tua kerja, Tua jenang inipun terdiri dari dua orang, yaitu satu orang laki-laki yang disebut tua jenang laki-laki dan satu orang perempuan yang disebut tua jenang perempuan.

Jenang luar adalah orang yang diberi tugas untuk menyebarkan undangan, sedangkan jenang dalam bertugas sebagai penanggungjawab terhadap tamu undangan (penerima tamu undangan), yang biasanya juga dibantu oleh Jenang luar setelah selesai tugasnya sebagai penyebar undangan.

Tua gulai adalah orang yang dipercaya sebagai penanggung jawab soal masak-memasak, yang biasanya dipilih paling sedikit tiga orang perempuan yang tua dan yang sudah berpengalaman dalam hal memasak. Disebut tua gulai barangkali menu yang disajikan pada umumnya memang ada kuahnya (gulainya). Menurut bahasa tradisi mereka, gulai diartikan sebagai sayuran yang berkuah.

Tua Juadah adalah orang yang dipercaya untuk membuat juadah (kue-kue) sebagai pelengkap perjamuan, yang biasanya dipilih sedikitnya tiga orang prempuan yang sudah berpengalaman dalam hal membuat dan menyajikan makanan ringan.

Sementara itu tukang sirih dan rokok bertugas untuk menyajikan dan melayani para tamu undangan yang akan menikmati sirih maupun rokok. Menyediakan sirih dan rokok merupakan kebiasaan bagi tuan rumah yang melaksanakan acara bimbang (pesta perkawinan). Pada zaman dahulu kebiasaan mengunyak sirih dan merokok memang sudah menjadi tradisi bagi kaum laki-laki pada masyarakat Bengkulu khususnya masyarakat Rejang hingga pada awal abad ke 20.

Induk inang adalah orang yang bertugas untuk menata (merias) pengantin, yang cukup dilakukan oleh dua atau tiga orang perempuan yang sudah mempunyai pengalaman dalam hal tata rias pengantin. Biasanya mereka sudah menyediakan peralatan dan perlengkapan seperti pakaian, atribut-atribut, asesori, dan dekorasi pengantin.

Untuk keperluan pesta perkawinan, tuan rumah (penyelenggara pesta) biasanya memerlukan pinjaman barang-barang seperti barang pecah-belah (piring, gelas/cangkir, tempat memasak, dan lain-lain), kayu, tikar, meja, kursi, dan lan-lain. Di samping itu, juga ada kebiasaan para sanak famili, tetangga, serta para tamu undangan memberikan sumbangan dalam berbagai macam bentuk barang baik yang masih mentah maupun yang sudah jadi (masak) untuk keperluan pesta, seperti kelapa, beras, ayam, juadah (kue-kue), dan lain sebagainya. Untuk menangani urusan keluar masuknya barang-barang itu, maka diangkatlah beberapa orang (sedikitnya dua orang laki-laki dan dua orang perempuan) sebagai juru bilik.

Tugas lain yang berhubungan dengan pelaksanaan acara pesta pernikahan adalah pengapit, yaitu orang yang mendapat tugas untuk mengapit (menjaga) pengantin. Pengapit ini biasanya diserahkan kepada dua orang gadis belia yang akan menemani kedua mempelai. Untuk keperluan tugasnya, biasanya mereka membawa masing-masing sebuah kipas guna mengipasi kedua mempelai terutama bila sedang bersanding (duduk dipelaminan).

Hari keempat disebut hari maulud nabi. Hari ini merupakan hari puncaknya acara bimbang, yaitu hari bertemunya kedua mempelai dan sekaligus sebagai hari akad nikahnya. Biasanya mempelai laki-laki beserta rombongannya datang ke rumah mempelai perempuan sekitar pukul 10.00 siang hari untuk melangsungkan akad nikah di hadapan penghulu muda, imam, chatib, bilal, garim, serta disaksikan para kepala adat seperti datuk, pemangku, punggawa, adik-sanak, dan segenap tamu undangan. Meskipun imam dan chatib tugas rutinnya adalah sebagai pemimpin masjid dan juru kotbah, tetapi dalam acara pernikahan mereka berperan sebagai wali nikah pihak mempelai perempuan. Selesai acara akad nikah, kedua mempelai kemudian disambut oleh para tamu dan diarak keliling dusun.

Hari kelima disebut pengantin mandi-mandi, yang berlangsung pada sore harinya setelah pengantin akad nikah. Kedua mempelai mulai bersanding (duduk berdekatan), dan setelah saling menyiram air setimba, mereka dimandikan air yang telah dicampur dengan kembang (bunga) tujuh warna oleh ibu pengantin perempuan. Acara mandi-mandi ini diiringi musik serunai (sejenis terompet). Selanjutnya pada malam harinya diadakan pesta besar yang disebut bimbang gedang. Di samping acara perjamuan, juga ada acara joget dan tari tepuk tangan, dan nyanyi, diiringi oleh seperangkat alat musik tradisional seperti: gong, kelintang, serunai (sejenis terompet yang terbuat dari batang pohon yang dilubangi di tengahnya), gendang, biola, dan rebana.

Perkembangan selanjutnya, pelaksanaan adat bimbang Melayu yang berkembang di Bengkulu hingga awal abad XX telah mendapat tantangan yang cukup serius dari kaum pembaharuan Islam baik yang tergabung dalam Jamiyat Khair atau Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) asal Minangkabau, maupun kelompok reformis Islam (Muhammadiyah) asal Yogyakarta yang telah masuk ke Bengkulu pada perempatan abad ke 20. Menurut penilaian kedua kaum pembaharuan Islam tersebut, bahwa pelaksanaan adat bimbang di Bengkulu di samping membutuhkan prosedural yang rumit dan memakan waktu berhari-hari, juga terkesan pemborosan material yang berlebihan (G.F. Pijper, 1990: 246).



0 comments:

Rejang Land Pal

Support by

Add to Technorati Favorites blog-indonesia.com