Oleh : Agus Setiyanto
Secara historis awal migrasinya orang-orang Bugis ke Bengkulu berkaitan erat dengan kebijakan “The Right Honourable English East India Company” (sebutan untuk kompeni Inggris di wilayah India Timur) yang telah bercokol di Bengkulu sejak akhir abad XVII, tepatnya pada tahun 1685 (P.Wink, 1924: 464).
Berdasarkan sumber tradisional yang disebut “Maleisch-Handschrift (Babad Melayu) yang berhasil dihimpun oleh Winter tahun 1874, diketahui sebagai berikut:
In het door Boeginese bewoonde gedeelte van Celebes, in het district Toeadjo, voerde de vorst van het dorp Benteng oorlog met den vorst van Tasoeso eveneens in het district Toeadjo, en hoezeer de strijd geruimen tij geduur had, kon hij Tasoero niet overwinnen.
Hij had een jongeren broeder, Daing Maroepa, ook hoofd in het dorp, een stoutmoedig man. Deze stelde voor, om Tasoero met een krijgsbende te overvallen en op dood en leven te kampen; maar de vorst van Benteng wilde hiertoe zijn toestemming niet geven. Daardoor gebelgd, verliet Daing Maroepa Benteng met zijn vrouw en gezin, en stak in een vaartuig naar Java over, met het voornemen zich daar te vestigen.
Op zee veranderde bij van voornemen en wendde den steven naar Benkoelen,. In de nabijheid van deze plaats werd hij door een hevigen storm overvallen en naar Indrapoera afgedreven…(Winter, 1874:116-117).
Berdasarkan sumber di atas, dapat diketahui, bahwa di wilayah Sulawesi yang dihuni oleh suku Bugis, di distrik Toeadjo (Wajo), terjadi peperangan antara penguasa desa Benteng dengan raja Tasuro yang berlangsung lama. Oleh karena tak dapat mengalahkan raja Tasuro, Daing Marupa, saudara muda penguasa desa Benteng yang juga sebagai kepala desa yang terkenal pemberani itu, mengusulkan lagi dengan pasukan tempur untuk menangkap raja Tasuro hidup atau mati. Usul Daing Marupa ternyata tidak direspon oleh saudara tuanya. Karena kecewa, Daing Marupa beserta isteri dan keluarganya meninggalkan desa Benteng, pergi berlayar ke Jawa untuk menetap di sana. Di tengah laut, tujuannya berubah, dan mengarahkan perhatiannya ke Bengkulu. Akan tetapi dilanda badai hebat hingga terdampar di wilayah Indrapura.
Menurut catatan Helfrich, Daing Marupa yang juga bernama Lampu Lana, dalam pelayarannya, perahunya mengalami rusak berat. Bahkan pengikutnya banyak yang tenggelam di tengah lautan, hingga perahunya kandas di wilayah Indrapura. Akibatnya, perahu dan segala isinya dirampas. Daing Marupa dan manchappen (anak-buah) nya ditangkap dan dibawa kepada Tuanku Sultan Indrapura.
Setelah Daing Marupa menceritakan asal-usul dan kejadiannya, Tuanku Sultan Indrapura kemudian kemudian mengembalikan barang-barangnya yang telah dirampas, dan memberikan tempat perlindungan di istananya.
Kisah petualangan Daing Marupa selanjutnya dicatat oleh Helfrich sebagai berikut:
Nadat Daing Maroepa reeds geruimen tijd aan het hof van den Toewankoe van Indrapoera was verbonden, was de Vorst zeer begaan met hem. Hij riep daarom al zijn mantries en verwanten bijeen, won hun advies in omtrent zijn voornemen om Daing Maroepa als kind aan hem met ‘s Vorsten zuster te doen huwen. De geheel vergadering juichte dit plan toe en zoo geschiedde het. Uit dat huwelijk ontsproot nu, zooals reeds vermeld is,. Soelthan Selan gelar Daing Mabela (Ibid.).
(Setelah Daing Marupa tinggal cukup lama di istana, Tuanku Indrapura pun sangat simpati kepadanya. Dalam sidang kerapatan para mantri dan pembesar kerajaan, telah diusulkan untuk mengadopsi Daing Marupa sebagai anak raja, serta dikawinkan dengan adik perempuan Sultan. Dari hasil perkawinan tersebut, lahirlah Sultan Selan yang bergelar Daing Mabela.
Kisah selanjutnya dicatat oleh Helfrich sebagai berikut:
, dat de waardigheid van Toewankoe door beide zoude bekled worden. Het verhaa; wil nu, dat onder de regeering van deze beide Vorst Indrapoera een ongekenden bloei genoot en dat eerlijkheid en wijsheid alom ge[rezen werden (O.L. Helfrich, 1923:317).
( Tak lama kemudian, Tuanku Indrapura yang sudah tua itupun meninggal dunia, dan anaknya laki-laki tertualah yang harus menggantikannya. Akan tetapi karena dia tumbuh menjadi besar bersama dengan daing Marupa, maka diputuskan, keduanyauntuk menduduki jabatan sebagai Tuanku. Kerajaan Indrapura di bawah pemerintahan kedua raja ini, telah berkembang pesat, kejujuran dan kebijaksanannya terpuji di mana-mana).
Dari Indrapura Hingga Bengkulu
Menurut laporan Sumatra Factory Record 2, 9 Jan 1688, pada awal tahun 1688, pemerintah kompeni Inggris bermaksud mengundang Orumkey Lilla (Orangkaya Lela) dari Indrapura, untuk membantu keamanan di wilayah Bengkulu. Akan tetapi ternyata yang datang adalah Daing Marupa bersama-sama dengan para saudagar Bugis dan pasukan Ambon (J. kathirithamby-Wells, 1973: 248). Besar kemungkinan, Orang kaya Lela tidak bersedia datang ke Bengkulu karena pernah terlibat kasus hutang dengan pihak kompeni Inggris tahun 1685. Berdasarkan isi surat dari pihak pimpinan kompeni Inggris di bawah Benyamin Bloome pada bulan Januari 1686 kepada Karia Suttra Gistra (utusan Sultan Banten), disebutkan bahwa hutang Orangkaya Lela tercatat sebesar 4.000 dollar (P. Wink, 1924:495).
Sejak tahun 1686 itulah keluarga Bugis di bawah pimpinan Daing Marupa mulai berpengaruh di wilayah Bengkulu sebagai pasukan keamanan di bawah koordinasi kompeni Inggris. Dua tahun kemudian (1688) anak keturunan Daing Marupa, yaitu Sutan Endey (saudara Daing Mabela) diangkat oleh pemerintah Inggris sebagai Chief Captain (Kapten Kepala), yang tergabung dalam kesatuan khusus Bugis (Bugis Corps). Korps militer Bugis ini diberi tugas secara khusus untuk membantu meredam perang saudara di wilayah Anak Sungai (J. Kathirithamby-Wells, 1973:248), yaitu wilayah Bengkulu paling Utara, antara Manjuto dan Ketaun, yang terdiri atas Muko-Muko, Bantal, Seblat, dan Ketaun (Rusli Amran, 1981:278). Sementara itu, Daing Marupa sendiri diberitakan telah pulang ke tanah Bugis (O.L. Helfrich, 1923:317).
Dalam perkembangan selanjutnya, diberitakan bahwa pada tahun 1695, hubungan antara Sutan endey dengan pihak kompeni Inggris telah putus, gara-gara pihak kompeni Inggris tidak bersedia menyertakan Sutan endey dalam hal monopoli perdagangan mrica di wilayah Bengkulu. Akibatnya, pihak kompeni Inggris mencari penggantinya, yaitu Daing Mabela. Sejak tahun itulah Daing Mabela menduduki posisi strategis sebagai Kapten Kepala dalam korps militer Bugis (J. Kathirithamby-Wells, 1973:249).
Mengenai proses kedatangan Daing Mabela ke Bengkulu, dilaporkan oleh O.L. Helfrich sebagai berikut:
Omstreeks dien tijd of iets daarvoor had de Engelsche Compagnie zich te Benkoelen gevestigd. Vele binnenlandsche onlusten maakten het haar lastig om handel te drijven. De bewoners van Benkoelen voerden strijd met Soengaj Itam, Soengaj Lemaw had last van voortdurende invallen van redjangers, kort om de toestand was van dien aard, dat men besloot de hulp in te roepen van een intelligent man, die de partijen gemakkelijk zoude kunnen verzoenen. Het oog viel toen op Daing Mabela, de mede-regeerder van Indrapoera. De grootwaardigheid-bekleeders, de brieven van de Engelsche Compagnie lezende, stemden erin toe, dat Daing Mabela zich naar Benkoelen begaf echter onder voorwaarde, dat hij spoedigst zon terugkeeren. Zoo kwam dan Daing Mabela, vergezeld van vele hoeloebalangs en mantris, te Benkoelen (O.L. helfrich, 1923:317-318).
Dari isi petikan tersebut di atas, dapatlah dijelaskan, bahwa semenjak berdirinya kompeni Inggris di Bengkulu, pemerintah Inggris mengalami kesulitan dalam melakukan perdagangan, karena sering terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh penduduk Sungai Itam yang terdiri atas orang-orang Rejang terhadap penduduk Sungai Lemau. Oleh karena situasi keamanan cukup rawan, maka pemerintah kompeni Inggris memutuskan untuk meminta bantuan kepada Daing Mabela yang saat itu telah menjadi pemimpin pribumi di wilayah Indrapura. Atas kesepakatan para pembesar kerajaan Indrapura, maka berangkatlah Daing Mabela dengan disertai para Hulubalang dan para Mantri menuju Bengkulu.
Perkembangan selanjutnya, Daing Mabela memperoleh posisi yang strategis di wilayah ibukota Bengkulu, yaitu selain diangkat sebagai Kapten Bugis, juga diangkat sebagai Hoofd van de Vreemdelingen (Kepala Orang Asing) non Eropa. Daing Mabela juga diminta untuk membawa orang-orang Bugis yang ada di Sulawesi untuk direkrut menjadi serdadu Bugis memperkuat barisan keamanan di bawah koordinasi pemerintah kompeni Inggris. Peristiwa migrasinya orang-orang Bugis secara besar-besaran di bawah komando Daing Mabela diperkirakan sejak retaknya hubungan antara Sutan Endey dengan kompeni Inggris tahun 1695.
Sementara itu, sumber naskah Melayu lokal Bengkulu yang berjudul Bahoewa Inilah Asal Oesoel , pada patsal. 31, maupun dalam Tambo Bangkahoeloe, tidak saja menceritakan tentang awal kedatangan orang Bugis (Daing Mabela) ke Bengkulu, tetapi juga menyinggung tentang jalinan kekerabatan dengan kepala pribumi Sungai Lemau hingga memperoleh posisi yang strategis. Patsal yang ke 31 itu tertulis sebagai berikut :
Koetika zaman toeankoe Pangeran Mangkoe radja ialah datang satoe orang dari Indrapoera gelarnja kata orang Indrapoera Soetan Balinam tetapi asal dahoeloe beliauw itoe orang Boegis negri wadjok gelarnja tjara Boegis Daeng Mabela tinggal di Bangkahoeloe beristri mengambil anak tjoetjoeng Datoe 4 di pasjar Bangkahoeloe beranak laki-laki bergelar Daeng Makoeli. Daeng Makoeli kawin dengan anak Pangeran Mangkoe Radja gelar datoe Njai, Kemoedian ialah Daeng Makoeli itoe diangkat mendjadi Datoe dagang, maka dikoerniai oleh Pangeran pegangan Datoe dagang itoe, dari tanah Merah pendakian dari pantai pasjar Bangkahoeloe laloe dirawang belakang kampoeng Bangkahoeloe sampai dirawang Soeka Marindoe, laloe belah selatan dari djambatan Niboeng, laloe dirawang Goentoeng sampai di tanah Merah, maka Pangeran Mangkoe Radja menjoeroeh merambah dan membersihkan segala hoetan hoetan lingkaran itoe, koetika itoelah mendjadi Padang semoeanja bernamalah Tenga Padang (Pangeran Mohamad Sah, 1859:48-49; H. Delais dan J. Hassan, 1930: 60-61).
Dari isi petikan naskah Melayu tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa Daing Mabela datang ke Bengkulu pada zaman Pangeran Mangku Raja memegang kendali pemerintahan pribumi di wilayah Sungai Lemau. Juga diketahui, bahwa nama lain dari Daing Mabela adalah Sultan Balinam, yang dalam catatan J. Kathiritahmby-Wells disebut Sultan Selan.
Menurut salah satu sumber, Daeng (Daing) adalah gelar untuk bangsawan menengah, sedangkan Mabela bahasa Bugisnya berarti jauh (Shelly Errington, dalam Lorraine Gesick, 1989: 108, 131). Besar kemungkinan nama gelar itu sengaja dipakai karena Daeng Mabela memang menetap di tanah rantau. Daing Mabela kemudian menikah dengan anak keturunan dari Datuk Empat Pasar Bangkahulu, dan dari hasil perkawinannya, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Daeng Makulle (Daing Makoleh).
Selanjutnya diceritakan, bahwa Daeng Makulle kawin dengan Datuk Nyai, anak Pangeran Mangku Raja (kepala pribumi Sungai Lemau). Tampaknya keluarga keturunan Bugis tidak saja berpengaruh besar di wilayah kerajaan Indrapura, tetapi juga di Bengkulu. Terbukti, Daeng Makulle, anak keturunan Daeng Mabela (cucu dari Daeng Marupa) tidak saja berhasil menjalin hubungan kekerabatan dengan kepala pribumi Sungai Lemau, tetapi juga memperoleh posisi strategis, yaitu mendapat jabatan sebagai Datuk Dagang. Bahkan oleh Pangeran Mangku Raja, telah diberi sebidang tanah untuk mendirikan perkampungan baru (kolonisasi) bagi keluarganya. Sebidang tanah yang masih belukar itu kemudian dibuka, dan akhirnya menjadi sebuah kampung yang diberi nama kampung Tengah Padang (sekarang menjadi Kelurahan Tengah Padang, Kecamatan Teluk Segara, Kotamadia Bengkulu). Bila dicermati sesuai dengan isi petikan tersebut di atas, maka diperkirakan, bahwa kampung Tengah Padang itu semula wilayahnya paling tidak meliputi kelurahan Pintu Batu, Kebun Ros, Bajak, Pasar Bengkulu, Sukamerindu, Pengantungan, Kebundahri, dan kelurahan Tengah Padang itu sendiri.
Menurut laporan Wells, setelah Daeng Makulle kawin dengan anak perempuan Pangeran Sungai Lemau, Daeng Makulle diberi wilayah kekuasaan di Tapp Tuda, yaitu sebuah wilayah yang terbentang dari Pasar Bengkulu hingga perbatasan utara Sillebar. Untuk lebih jelasnya, berikut isi laporannya di bawah ini :
The latter married a doughter of the Pangeran of Sungai Lemau who ceded to him Tappa Tudda, the area stretching from Pasar Benkoelen to the northern border of Silebar (Wells, 1977:99).
DAFTAR REFERENSI
Amran, Rusli. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta. Sinar Harapan, 1981.
Bahoewa Inilah Asal-oesoel. Bataviaasch Genootschap, ML, 143,Latijn-schrift, ML. 148, Arab Maleisch-schrift, gedat: 1859.
Delais H, J. Hassan J. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1933.
Errington, Shelly. Tempat Benda-Benda Pusaka di Luwu. dalam Lorraine Gesick, Pusat, Simbol, dan Hirarki Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Helfrich, O.L. De Adel van Benkoelen en Djambi (1892-1901). AB. Deel.XXII, Gemengd. ‘s-Gravenhage: Martinus-Nijhoff., 1923.
Kathirithamby-Wells. A Survey of the Effects of British Influence on Indigenous Authority in Southwest Sumatra (1685-1824). BKI, deel. 129. ‘s-Gravenhage:Martinus-Nijhoff, 1973.
_____________. The British West Sumatran Presidency (1760-;85) Problems of Early Colonial Enterprise. Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 1977.
Wink, P. Eenige Archiefstukken Betreffende de Vestiging van de Englesche Factoyij te Benkoelen in 1685. Batavia-Den Haag: Albrecht & Co- Martinus-Nijhoff, 1924.
Winter. De Familie Daing Mabella, Volgens een Maleisch-Handschrift. TNI, 3e Jaargang, 2e deel. Te Zalt-Boome bij John Noman en Zoon, 1874.
- Cuplikan hasil penelitian Dirjen Dikti 1998/1999. Diseminarkan di Gedung Fisipol UNIB, 7 Desember 1999; Dipublikasikan di Warta UNIB, No. 06 Edisi, September 2000.
0 comments:
Post a Comment