Oleh : Dr.Lindayanti.M.Hum
Retype by : Adi Marhaen
Dari hasil penelitian A.M.P.A. Scheltema [1] disebutkan bahwa 48% dari kuli yang diberangkatkan pada tahun 1928 berasal dari daerah-daerah Banyumas Barat, daerah Bagelen, yaitu Purworejo, Kutoarjo, dan Kebumen, dan Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk, Jombang, dan Malang. [2] Mereka berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas, Purbolinggo, Purworejo, Kebumen, dan beberapa daerah di Vorstenlanden.[3]
Para kuli kontrak bekerja di perusahaan-perusahaan yang berada di Luar Pulau Jawa, salah satunya adalah di Bengkulu. Sehabis kontrak sebagian dari kuli kontrak tidak kembali ke daerah asal tetapi menetap di Bengkulu. Kehidupan bekas kuli kontrak setelah menetap di Bengkulu akan dibahas dalam bab ini, dari terbentuknya desa migran kuli di sekitar lahan milik perusahaan, bekas kuli kontrak yang mengikuti prgram kolonisasi, dan kuli kontrak yang terjebak di lahan milik perusahaan akibat terjadi kemelut politik tahun 1942.
A. Desa-desa pionir di Rejang dan Lebong
Orang dari Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak direkrut dengan berbagai cara. Sebagian dari mereka ada yang mendaftar langsung pada agen tenaga kerja di kota, mendaftar kerja melalui werek, mengikuti jejak saudara atau teman sedesa yang telah lebih dahulu menjadi kuli kontrak. Sebagian lain terpaksa menjadi kuli karena diculik, dibohongi oleh werek ataupun dijual oleh keluarganya.
Selanjutnya, calon kuli dibawa ke agen besar, misalnya Deli Planters Vereeniging ( D.P.V.) atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (A.V.R.O.S). Setelah calon kuli didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya oleh dokter perusahaan maka kuli kontrak diberangkatkan ke berbagai perkebunan di Sumatera. Menurut pengalaman beberapa orang kuli, saat mereka mendaftar, mereka hanya mengetahui akan dipekerjakan di perkebunan Deli-Sumatera. Sampai mereka diberangkatkan kuli kontrak tidak mengetahui, dimana mereka akan ditempatkan.
Para kuli ini bekerja berdasarkan kontrak yang dilengkapi peraturan poenale sanctie. Setelah habis kontrak, sebagian besar kuli kembali ke daerah asal dan sebagian lain menetap di Bengkulu. Para bekas kuli kontrak yang kembali ke Jawa sebagian mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga kerja. Selanjutnya, mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke perusahaan perkebunan ataupun pertambangan lain.
Untuk mendapat gambaran mengenai jumlah kuli yang menetap di Bengkulu dapat dilihat dari perbandingan jumlah kuli yang masuk dan keluar. Misalnya, pada tahun 1917 kuli masuk ke Bengkulu berjumlah 718 orang, sedangkan kuli keluar hanya berjumlah 365 orang. (Gambar 6.1) Perbedaan jumlah kuli ini dapat disebabkan kuli meninggal dunia, memperpanjang
1) menetap di desa penduduk asli orang Rejang dan menikah dengan seorang wanita Rejang
2) membuka sebuah perkampungan baru di lahan milik perusahaan ataupun di tanah milik marga setempat
3) menetap di desa kolonisasi yang dibuka oleh pemerintah.
Sebagian dari bekas kuli memilih bertempat tinggal di luar tanah konsesi perusahaan, sebagian lain menetap dan mendirikan pemukiman baru di tanah konsesi perusahaan. Menurut laporan aspirant kontrolir Lebong pada tahun 1905, banyak bekas kuli kontrak bertempat tinggal di desa-desa orang Rejang dan migran menikah dengan seorang wanita Rejang. [4]
Bekas kuli kontrak yang menetap di tanah konsesi perusahaan berkaitan dengan kebijakan perusahaan untuk mengatasi kekurangan kuli. Perusahaan mengalami kekurangan tenaga kerja karena sebagian besar kuli setelah habis kontrak tidak memperpanjang kontrak, kuli meninggal dunia ataupun kuli sakit. Biaya mendatangkan kuli, baik dari Singapura maupun dari Jawa, sangat mahal,[5] sedangkan usaha perusahaan mengambil kuli dari
kebijakan menyediakan lahan bagi kuli yang bersedia tetap bekerja di perusahaan. Bagi kuli yang telah berkeluarga dan kadangkala membawa serta anak dan isterinya, perusahaan menyediakan pondok dan makan bagi anak dan isteri kuli.
Sebagian bekas kuli kontrak berminat dengan tawaran perusahaan, mereka mendirikan pemukiman di tanah konsesi milik perusahaan. Misalnya, pada tahun 1905 pada tanah konsesi milik Perusahaan Tambang di Lebong Donok terdapat kampung migran kuli bernama Kampung Jawa dan dihuni 40 orang Sunda dan orang Jawa bekas kuli kontrak. Pada tahun 1907 jumlah penduduk di Kampung Jawa meningkat menjadi 80 orang seiring dengan semakin banyaknya bekas kuli kontrak yang menetap.[7]
Pemukiman kuli lainnya adalah Ladang Palembang,[8] tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang telah dibuka menjadi perladangan oleh orang-orang Palembang. Semula Ladang Palembang dijadikan tempat tinggal bagi kuli yang tidak dapat bekerja lagi, karena sakit ataupun sudah tua. Dalam perkembangan selanjutnya, Ladang Palembang menjadi tempat tinggal bekas kuli kontrak yang masih muda dan sehat. Mereka membuka ladang, disamping tetap bekerja sebagai kuli lepas di perusahaan tambang.
Pemukiman orang-orang dari Jawa dipimpin oleh seorang kepala kampung pribumi, terlepas dari kekuasaan Datuk Pasar Muara Aman. Akan tetapi kampung berada dalam pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang pasirah. Para bekas kuli kontrak ini disamakan kedudukannya dengan penduduk marga setempat, yaitu Marga Suku IX. Oleh sebab itu mereka diwajibkan mengikuti kerja wajib marga dan membayar pajak sebesar f. 8/tahun.
Selain di Lebong, pemukiman bekas kuli kontrak terdapat di sekitar perkebunan di Rejang. Misalnya, Kampung Jawa, yaitu sebuah perkampungan bekas kuli kontrak yang berada di dekat dusun Curup. Pada tahun 1903, Kampung Jawa dihuni oleh sekitar 86 orang bekas kuli kontrak perkebunan. Selanjutnya, di sekitar Perkebunan Soeban Ajam terdapat beberapa perkampungan bekas kuli, pada tahun 1907 penduduk di kampung-kampung tersebut berjumlah antara 300 sampai 400 orang dan beberapa orang dari mereka menikah dengan seorang wanita dari suku Rejang.[9] Selanjutnya, di Kepahiang terdapat pemukiman bekas kuli kontrak bernama Kampung Pensiunan. Pada tahun 1903 Kampung Pensiunan (Kepahiang) berpenduduk 86 orang dan bertambah menjadi 118 orang pada tahun 1907.
Para bekas kuli ini menetap atas kemauan sendiri, tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka membuka lahan persawahan dan kebun di tanah marga, sebagian dari mereka masih tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan perkebunan. Sebagian bekas kuli hanya bekerja di ladang dan berkebun. Mereka menanami kebun dengan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dan hasilnya dijual ke Curup, atau Kepahiang. Perkampungan bekas kuli kontrak di Rejang maupun di Lebong memiliki seorang kepala kampung dari Jawa. Meskipun demikian kampung tetap berada di dalam pemerintahan marga.[10] Pertumbuhan pemukiman-pemukiman bekas kuli kontrak di sekitar perkebunan telah mengubah Curup, dari sebuah dusun kecil menjadi pusat perekonomian daerah Rejang. Status Dusun Curup meningkat menjadi Pasar Curup dan dipimpin oleh seorang datuk.
B. Kuli dan Kolonisasi
B.1. Kolonisasi Kuli di Lebong
Sebelum pemerintah melaksanakan program kolonisasi, perusahaan-perusahaan tambang telah memberikan sebagian tanah konsesi bagi kuli yang bersedia menetap. Oleh sebab itu saat pemerintah membuka daerah kolonisasi di Lebong maka tujuan kolonisasi bukan hanya untuk membuka lahan pertanian tetapi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang. Di Lebong terdapat dua macam desa migran kuli, yaitu desa migran kuli yang berdiri dengan bantuan pemerintah dan tanpa bantuan pemerintah. Desa migran kuli yang dibantu pemerintah, misalnya Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur, sedangkan desa migran kuli tanpa bantuan pemerintah, antara lain Ladang Palembang, Kampung Jawa Baru, Ajer Dingin, Lebong Supit.
Pemerintah melakukan pencarian penduduk baru ke Pulau Jawa untuk menambah penduduk di desa kolonisasi kuli. Misalnya, pada bulan Mei tahun 1911 pemerintah mengutus orang Banten ke Pandeglang untuk mencari orang-orang yang bersedia pindah ke Lebong. Penduduk baru yang berhasil dibawa berjumlah 77 orang dan ditempatkan di tiga desa migran kuli, Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur. Kedatangan mereka menambah penduduk Desa Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur sehingga penduduk di ketiga desa tersebut berjumlah 268 orang pada tahun 1912. (Gambar. 2)
Di luar desa migran kolonisasi, menurut laporan kontrolir Rejang Lebong, pada tahun 1912 di Lebong terdapat sekitar 257 orang bekas kuli kontrak yang menetap. Mereka berada di perkampungan yang terletak di tanah milik perusahaan tambang, misalnya Ladang Palembang, Kampung Jawa Baru, Ajer Dingin, Lebong Supit, dan Ajer Pulang. Sebagian lain, yaitu sekitar 20 orang bertempat tinggal di kampung-kampung orang Lebong.[11] Para bekas kuli kontrak yang menetap selain bekerja di perusahaan tambang, juga berladang dan menjual berbagai produk pertanian, dan hasil hutan, antara lain kayu ke perusahaan.
Ketiga desa kolonisasi kuli yang mendapat bantuan pemerintah, yaitu Sukaraja, Kotamanjur, dan Sukabumi berada dekat dengan perusahaan dan pusat pemerintahan di Muara Aman.[12] Desa dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda bekas kuli kontrak dan peserta kolonisasi yang didatangkan langsung dari Jawa. Perkampungan terletak di dataran cocok untuk persawahan, sehingga mereka selain bekerja sebagai kuli dapat bertani. Diantara ketiga desa tersebut, lahan sawah beririgasi hanya terdapat di Kotamanjur, sedangkan lahan di Sukabumi dan Sukaraja adalah sawah tadah hujan. Kebanyakan dari mereka mencari tambahan penghasilan dengan bekerja di perusahaan, menjual kayu bakar, ataupun hasil padi mereka.
Jumlah penduduk di ketiga desa migran kolonisasi kuli dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dari sekitar 282 orang pada tahun 1914 menjadi 496 orang pada tahun 1918. (Gambar. 6.3)
Akan tetapi desa-desa migran ini mengalami permasalahan kekurangan penduduk wanita. Misalnya, pada tahun 1918 jumlah penduduk wanita dewasa hanya 113 orang, sedangkan penduduk laki-laki dewasa berjumlah 245 orang. (Gambar. 6.4) Hal ini menyebabkan angka kelahiran anak pun rendah. Ketimpangan komposisi penduduk bertambah karena banyak migran laki-laki yang masih lajang menikah dengan wanita Lebong. Laki-laki migran setelah menikah meninggalkan desa kolonisasi dan menetap di desa isteri. Oleh sebab itu pemerintah di Bengkulu
mengeluarkan kebijakan mengutamakan perekrutan wanita lajang untuk ditempatkan di desa-desa kolonisasi di Lebong.
Pada tahun 1919 pemerintah membuka desa kolonisasi baru, yaitu Desa Magelang Baru. Penduduk di Desa Magelang Baru berasal dari regentschap Magelang. Dilaporkan bahwa pada tahun 1924 penduduk di Magelang Baru berjumlah 147 orang dengan perincian: 64 orang laki-laki, 43 orang wanita, dan 40 anak.[13] Setelah ini pemerintah Bengkulu tidak menambah penduduk desa kolonisasi dengan cara mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa, tetapi pemerintah mengutamakan program kolonisasi bekas kuli kontrak yang sudah berkeluarga. Misalnya, pada tahun 1924 pemerintah merekrut bekas kuli dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong sebanyak 18 orang dan 12 migran spontan yang datang atas biaya sendiri, [14] untuk ditempatkan di Desa Magelang Baru. Meskipun demikian, pada tahun 1925 penduduk Desa Magelang Baru berkurang menjadi 136 orang, dengan perincian: 59 orang laki-laki, 36 orang wanita, dan 41 anak..[15] Hal ini disebabkan penduduk meninggal dunia ataupun mereka meninggalkan desa kolonisasi.
Penduduk hidup dari bertanam padi dan palawija, memelihara ternak: ayam dan bebek. Di samping sebagai petani, mereka memiliki pilihan kerja lain, misalnya bekerja sebagai kuli di Dinas Pekerjaan Umum ataupun bekerja pada perusahaan tambang emas perak milik pemerintah di Tambang Sawah dan Lebong Simpang.
B.2 Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di Tanah Konsesi Milik
Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
Di bekas tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, sampai saat penelitian berlangsung (tahun 2005), dihuni oleh bekas kuli dan keturunan kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Mereka adalah keturunan kuli kontrak dan lahir di Bengkulu. Kebanyakan mereka pun bekerja sebagai kuli tambang, akan tetapi hanya sebagian kecil bekas kuli perusahaan tambang yang masih hidup, misalnya Sukarjo dan Jumat. Para keturunan kuli kontrak ini memberi nama dusun dan desa mereka sesuai dengan nama tempat di perusahaan tambang. Misalnya, mereka yang tinggal di bekas lokasi rumah sakit perusahaan menamai dusun mereka Dusun Rumah Sakit, sedangkan mereka yang menempati bekas lokasi pemondokan kuli orang Cina menamai dusun mereka Dusun Pondok Cina. Selain dusun-dusun di bekas kompleks perusahaan tambang, keturunan kuli kontrak juga bertempat tinggal di dusun yang telah lama dibuka di tanah milik perusahaan, misalnya Dusun Ladang Palembang.
Di Dusun Ladang Palembang terdapat satu keluarga keturunan kuli kontrak yang dapat memberi keterangan tentang orangtua mereka, yaitu keluarga Sofyan. Ayah Sofyan bernama Suwanda, seorang kuli kontrak berasal dari Cirebon.[16] Suwanda berangkat menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar langsung ke agen tenaga kerja. Pada sekitar tahun 1930-an dia berangkat sebagai kuli kontrak untuk Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah habis kontrak, Suwanda dan beberapa kawannya tidak pulang ke Jawa, melainkan mendirikan pemukiman di lahan konsesi tambang milik Perusahaan Redjang-Lebong, yaitu di Ladang Palembang. Ladang Palembang saat itu masih berupa hutan dan berpenduduk sedikit. Mereka membuka ladang sambil tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan tambang. Kemudian Suwanda menikah dengan Hindun, seorang kuli kontrak wanita dan memiliki 12 orang anak, salah satunya bernama Sofyan. (Gambar. 6.5)
Setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940, Suwanda bekerja sendiri sebagai penambang tradisional di bekas lahan tambang milik perusahaan.[17] Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas penambangan, misalnya Lebong Simpang, Lebong Sulit[18] bahkan sampai ke Lebong Tandai. Hal ini disebabkan kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan bekas penambangan lainnya. Mereka bekerja kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.
Sofyan hanya sempat sekolah sampai kelas lima Sekolah Rakyat yang letaknya di desa Lebong Tambang.[19] Setelah itu Sofyan mengikuti ayahnya bekerja sebagai penambang tradisonal. Kemudian Sofyan menikah dengan Aisyah, cucu dari seorang kuli kontrak yang bernama Rodiah dari Bogor. [20] Dari hasil
Selain itu, di lokasi bekas kompleks perusahaan tambang masih dapat ditemui beberapa orang keturunan kuli kontrak yang pernah bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan, misalnya Sukarjo dan Jumat. (Gambar. 6.6) Jumat adalah anak dari kuli kontrak
Sebagai anak kuli tambang, Jumat bersekolah hanya sampai kelas 3 di sekolah desa. Pada saat itu anak-anak kuli tambang masih sedikit yang bersekolah, satu kelas hanya berisi 20 anak laki-laki, dan lima orang murid wanita.[24] Setelah dewasa Jumat mengikuti jejak ayahnya menjadi kuli tambang dan setelah Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup Jumat bersama kawan-kawannya melanjutkan bekerja sebagai penambang tradisional. Dari hasil pernikahannya Jumat memiliki 6 orang anak. Keenam anaknya bertempat tinggal menyebar di berbagai daerah dan tidak satupun yang menjadi penambang.
Sebelum tentara Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah berhenti beroperasi dan sebagian kuli pindah kerja ke Tanjung Enim dan Perusahaan Tambang Simau di Lebong Tandai, sedangkan sebagian kuli lain tetap tinggal di area penambangan milik perusahaan. Mereka bekerja bersawah, berkebun, dan melakukan penambangan di bekas area penambangan. Pada saat tentara Jepang masuk ke Bengkulu perusahaan tambang diduduki oleh tentara Jepang. Tentara mengangkut besi-besi, mesin perusahaan dengan bantuan para kuli yang masih berada di sekitar perusahaan.[25] Bekas kuli perusahaan diwajibkan bertanam padi (Oryza sativa L.) dan jagung (Zea mays L.), hasilnya diserahkan pada tentara Jepang.
Selanjutnya, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia (tahun1945-1950) tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong diduduki oleh tentara Indonesia. Untuk membiayai perjuangan mereka, para tentara menjual atap seng bekas pondok kuli perusahaan kepada penduduk yang mampu. Saat terjadi nasionalisasi perusahaan tahun 1950-an, tanah bekas Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang berada di marga Suku IX secara resmi diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Para bekas kuli yang bertempat tinggal di bekas penambangan diberi kesempatan membeli tanah dengan harga murah. Pembelian itu dimulai dari pengukuran tanah pekarangan dan sawah dan selanjutnya untuk menebus surat tanah itu, mereka membayar dengan dua setengah gram emas. Penggantian itu tidak memberatkan karena para kuli dengan mudah bisa memperoleh emas tersebut dengan cara menggali di bekas penambangan. Oleh karena itu, setelah nasionalisasi perusahaan tambang ini, di sekitar bekas penambangan milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah berdiri desa-desa migran bekas kuli.
Bekas kuli dan keturunannya yang tinggal di sekitar penambangan selain hidup dengan bersawah, mereka juga masih melakukan penggalian tambang di bekas lahan penambangan, misalnya di Lebong Tambang dan Lebong Sulit. Bekas-bekas kuli tambang, misalnya Sukarjo, Jumat, dan Sofyan masih tetap bekerja menambang emas di bekas lahan penambangan di Lebong Tambang, Lebong Sulit di bekas konsesi tambang Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, bahkan di Lebong Tandai yang terletak di Bengkulu Utara.
B.3. Kolonisasi Kuli di Rejang
Sejak awal program kolonisasi dilaksanakan pengusaha swasta Barat di Rejang tidak keberatan dengan kolonisasi yang
Migran kolonisasi yang ditempatkan di dekat perkebunan sejak tanggal 3 Maret 1908 sudah harus bekerja membersihkan lahan belukar muda yang dipenuhi alang-alang (Imperata cylindrica L.) untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau. Setelah itu, lahan ditanami tembakau (Nicotania tabacum L.), tetapi penanaman pertama ini mengalami kegagalan karena tanah yang belum cukup asam sehingga belum siap untuk ditanami. Di samping berkebun tembakau, mereka juga harus mempersiapkan lahan untuk membangun rumah dan memotong batang pohon untuk dijadikan kayu bakar dan dijual pada penduduk asli, sehingga mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sebesar 50 sen/hari.
Pada bulan pertama kedatangannya, migran mendapatkan jatah makanan, misalnya beras, teh, garam, ikan, sabun, dan minyak. Di samping itu mereka mendapat uang sebesar 25 sen/ minggu/kepala keluarga. Bulan berikutnya mereka hanya mendapat jatah beras dan ikan karena keperluan lain sudah dapat dibeli sendiri dari hasil menjual kayu ataupun bekerja di perusahaan. Setelah empat setengah bulan kebun tembakau sudah dapat dipanen. Mereka menyetorkan daun tembakau (Nicotania tabacum L.) ke perusahaan dan sebagai gantinya mereka mendapatkan surat bukti yang dapat ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup melalui Kontrolir. Pemerintah sengaja mengatur agar administratur perkebunan tidak memberikan bayaran uang bagi daun tembakau dari para migran karena dikhawatirkan mereka akan membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang yang tidak perlu. Uang kontan hanya dapat mereka terima apabila mereka bekerja di perkebunan tembakau.
Saat kaum lelaki mengurus kebun tembakau dan membuka lahan untuk berladang, kaum wanita dan anak-anak bekerja di gudang perusahaan. Akan tetapi, dalam praktiknya perusahaan kebun tetap mengalami kesulitan mendapatkan kuli karena migran kolonisasi lebih suka berladang daripada kerja di perusahaan. Misalnya, setelah lima bulan kedatangannya, migran orang Sunda yang mau bekerja di gudang hanya tiga orang dan itu pun hanya untuk beberapa hari.
Kelangkaan kuli terutama terjadi pada bulan Agustus ketika mereka sibuk membersihkan ladang untuk menanam padi. Pada saat itu tidak ada migran kolonisasi yang bekerja di gudang, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Setelah masa tanam, biasanya para wanita dan anak-anak yang berusian sembilan sampai 14 tahun kembali bekerja di gudang. Dalam satu minggu pekerja wanita dan anak bisa mendapatkan penghasilan sebesar f. 6,90. Biasanya migran laki-laki hanya bekerja di perusahaan selama dua hari dengan upah sebesar f. 1, setelah itu mereka kembali bekerja di ladang.
Enam bulan setelah kedatangan migran di Dusun Air Sempiang telah berdiri 15 rumah migran kolonisasi dan lahan seluas sepertiga bau sudah ditanami padi ladang.[29] Mereka telah memiliki uang sendiri untuk membeli padi seharga f. 2,50/pikul. Untuk membuka persawahan, mereka harus membangun saluran irigasi terlebih dahulu. Selain bertanam padi, migran menanami pekarangannya dengan sayuran. Hasil sayur mereka jual ke Pasar Kepahiang.
Berdasarkan pengalaman keberhasilan menggabungkan kolonisasi kuli dan pertanian itu maka pemerintah Bengkulu lebih memilih merekrut bekas kuli kontrak daripada mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa. Kolonisasi model ini adalah salah satu cara untuk mengatasi kekurangan kuli di perusahaan-perusahaan swasta Barat di Bengkulu. Dalam rangka menjalankan program kolonisasi bagi bekas kuli kontrak, pemerintah memberikan pinjaman uang sebesar f. 15/kepala keluarga bagi bekas kuli yang bersedia menetap.
Program kolonisasi kuli yang dilaksanakan pada tahun 1920 diikuti 19 orang bekas kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perkebunan Kopi Soeban Ajam. Mereka ditempatkan di desa-desa migran kolonisasi yang telah ada di daerah Rejang dan Lebong. Selanjutnya, pada tahun 1921 sejumlah orang bekas kuli kontrak dari perkebunan tembakau Nederlandsch-Indie Landbouw Syndicaat (N.I.L.S.), dan Perkebunan Ajer Sempiang yang mengikuti kolonisasi ditempatkan di areal persawahan Lubuk Blimbing (Marga Suku Tengah Kepungut-Rejang). [30] Desa migran Lubuk Belimbing terletak di tanah beririgasi yang disiapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga migran tidak mengalami kesulitan menggarap lahan. Tujuan pembukaan desa kolonisasi ini adalah para migran dari Jawa dapat memberi contoh bagi penduduk pribumi dalam menggarap sawah.[31]
Pembukaan desa kolonisasi bekas kuli Lubuk Belimbing menelan biaya f. 16.000 untuk membangun saluran irigasi. Akan tetapi, program ini gagal karena saluran irigasi tidak dapat berfungsi baik. Akibat kesulitan hidup di desa kolonisasi Lubuk Belimbing, pada tahun 1923 banyak penduduk meninggalkan desa. Sampai dengan tahun 1928 areal persawahan yang dibuka tahun 1923 belum menghasilkan padi yang mencukupi untuk hidup sehingga mereka masih harus berladang. Di samping itu, mereka hidup dari
hasil kebun kopinya.[32] Oleh sebab itu, jumlah penduduk pada tahun 1928 makin berkurang, yaitu tahun 1921 Desa Lubuk Blimbing berpenduduk sebanyak 94 orang, pada tahun 1928 desa hanya dihuni 60 orang karena sebagian penduduk pindah ke desa kolonisasi lain.[33]
Selain itu, masih banyak bekas kuli kontrak yang menetap dan membuka pemukiman baru tanpa bantuan pemerintah. Misalnya, Desa Suro Muncar (Pulau Geto), Desa Pekalongan (Merigi Kelubak). Desa Pekalongan adalah desa-desa yang didirikan atas inisiatif bekas kuli kontrak dan migran spontan dari Pulau Jawa dengan cara meminta izin untuk mendapatkan tanah pada kepala marga setempat. Oleh karena mereka penduduk pendatang, maka diwajibkan membayar uang yang disebut “Sawah Bukit” ke kas marga [34] dan dengan sendirinya desa ini tergabung dalam ikatan marga dan mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penduduk asli. Menurut laporan kontrolir Rejang, pada tahun 1928 di Rejang terdapat sekitar 29 desa yang dibuka atas inisiatif para bekas kuli kontrak. Desa-desa ini terdapat di Marga Merigi, Desa Pekalongan di dekat Desa Suro Muncar dan Pulau Geto, Desa Karanganyar yang terletak di dekat Kepahiang, dan Kampung Jawa di Curup.[35]
B.4 Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di Perkebunan Soeban Ajam
Bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2005) dihuni oleh orang-orang Jawa, Rejang, dan suku lainnya. Komposisi penduduk Desa Suban Ayam tahun 2005 adalah 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. [36] Orang Jawa di Desa Suban Ayam pun tidak semua merupakan keturunan kuli kontrak perkebunan, karena pada tahun 1960an desa menerima transmigrasi pindahan dari Pekik Nyaring (Bengkulu Utara), dan transmigrasi swakarsa dari Bengkulu Utara.[37] Keturunan kuli kontrak perkebunan dan pernah bekerja di perkebunan, hanya bersisa sekitar 4 orang, antara lain Rohid dan Husen.
Rohid, adalah anak seorang kuli kontrak asal Subang yang bernama Ampai. Ampai sebelum bekerja dan menetap di Suban Ayam, selalu berpindah-pindah kerja dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Dimulai dari Jawa, Ampai berangkat kerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek.[38] Pada mulanya Ampai menjadi kuli kontrak karena bujukan seorang werek. Werek menawarkan upah sekitar f.1/hari untuk bekerja di perkebunan Sumatera. Hal ini menarik bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Akhirnya Ampai mendaftar menjadi kuli kontrak dan dipekerjakan di sebuah perkebunan di Aceh.
Selama Ampai bekerja sebagai kuli kontrak tidak pernah mengalami kekerasan fisik meskipun upah tidak sebesar yang dikatakan oleh werek. Setelah habis masa kerja Ampai tidak memperpanjang kontrak, dia pulang ke Jawa. Sesampai di Jawa Ampai mendaftar ke agen tenaga kerja dan diberangkatkan sebagai kuli kontrak untuk perkebunan di Deli. Akhirnya, pada tahun 1925 Ampai bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Soeban Ajam. Selanjutnya, dia menikah dengan seorang kuli kontrak wanita perkebunan Suban Ajam. dan memiliki anak bernama Rohid.[39] Oleh karena kedua orangtuanya bekerja sebagai kuli, Rohid bersama anak-anak lain diasuh oleh seorang babu yang disediakan perusahaan. Saat berumur kurang lebih 12 tahun Rohid mulai bekerja di perkebunan.
Rohid bersama beberapa anak bekas kuli kontrak yang menetap di sekitar perkebunan, bekerja menjadi penyadap karet. Upah yang diterima tergantung dari hasil getah yang didapat setiap harinya. Para penyadap karet mulai pukul 04.00 sampai pukul 09.00 menyadap karet, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk makan.[40] Baru pada pukul 12.00 mereka kembali ke kebun untuk mengambil getah hasil sadapan. Berbeda dari para kuli kontrak, kuli-kuli harian tidak mendapatkan santunan dari perusahaan. Sebagai kuli bebas, tentu saja Rohid tidak memperoleh fasilitas dari perkebunan, misalnya pemondokan, perawatan rumah sakit, atau memperoleh pensiun dari perusahaan. Dalam sehari, seorang kuli bisa mendapatkan kurang lebih 15 liter getah dan mendapatkan upah sebesar 45 sen.[41]
Setelah dewasa, Rohid menikah dengan Painah dari Desa Tangsi Baru di Perkebunan Kaba Wetan. Painah juga anak seorang kuli kontrak. Ayah Painah bekerja di Perkebunan Kaba Wetan yang kemudian setelah habis masa kontraknya menetap di lokasi perkebunan dan menjadi kuli bebas, sedangkan isterinya berhenti menjadi kuli kontrak dan bekerja sebagai penjual makanan di lokasi perusahaan. [42] Demikian halnya dengan Rohid dan Painah, setelah menikah Rohid tetap bekerja di perkebunan dan isterinya menjadi penjual makanan di lokasi Perkebunan Soeban Ajam, seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Bekas kuli kontrak lain yang menetap di lahan milik
Pada tahun 1941 Perkebunan Soeban Ajam tutup, kebanyakan kuli perkebunan pindah kerja ke Perkebunan Kaba Wetan, termasuk Anirang. Di perkebunan Kaba Wetan Anirang menjadi mekanik pabrik, dan menjadi mandor pada pembangunan jalan perkebunan. Sekitar setahun bekerja, Anirang meninggalkan perkebunan, selanjutnya dia menetap di desa migran Permu. Pada tahun 1943,
Pada saat itu kebun-kebun kopi dibongkar dan diganti tanaman jagung (Zea mays L.) dan jarak (Ricinus communis L.). Para bekas kuli perkebunan dipekerjakan oleh Jepang untuk menanam jagung dan rami (Boehmeria nivea L.). Perkebunan dibagi menjadi dua, yaitu separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Pondok Seng (Sambirejo) ditanami jarak, jagung, dan rami, sedangkan separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Kali Padang hanya ditanami jagung. Apabila seorang kuli dapat menyetor jagung 3 ton/sekali panen, maka akan dibebaskan dari kerja paksa, sedangkan mereka yang tidak sanggup akan dibawa Jepang untuk ikut kerja paksa.[44]
Setelah Indonesia merdeka, perkebunan diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia, dan pemerintah membagikan tanah perkebunan kepada bekas kuli perkebunan dengan pembayaran ganti rugi yang murah.[45] Desa-desa pun terbentuk, misalnya Desa Kali Padang, Air Duku, dan Suban Ayam. Masing-masing desa memiliki kepala desa sendiri, dan Anirang diangkat menjadi kepala desa pertama Desa Suban Ayam.[46] Selanjutnya, pada tahun 1946 diadakan pemilihan kepala desa, Paimun, seorang bekas kuli kontrak yang menetap di perkebunan Soeban Ajam terpilih sebagai kepala desa. Sampai tahun 2005 desa Suban Ayam telah memiliki 10 orang kepala desa, kebanyakan orang Jawa. [47]
C. Perubahan Politik dan Nasib Kuli di Perkebunan Kaba Wetan
Nasib bekas kuli bekerja di Perkebunan Kaba Wetan berbeda dengan mereka di Suban Ayam maupun di Lebong Donok. Mereka dapat menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar ganti rugi yang murah karena setelah Indonesia merdeka perusahaan tidak dioperasikan lagi. Akan tetapi bekas kuli Perkebunan Kaba Wetan mengalami sengketa tanah setelah berhasil mengambil alih lahan perusahaan. Hal ini disebabkan setelah Indonesia merdeka perusahaan dioperasikan kembali, sehingga pemerintah mengambil kembali lahan perusahaan yang telah diduduki oleh para bekas kuli. Di lahan bekas perkebunan berdiri desa-desa yang dihuni oleh keturunan kuli perkebunan, antara lain Kolonisasi Air Sempiang yang sekarang bernama Kampung Bogor dan perluasan dari Kampung Bogor diberi nama Kampung Babakan Bogor, Air Sempiang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lambou, Barat Wetan, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren. Diantara keturunan kuli kontrak tersebut masih terdapat beberapa orang bekas kuli perkebunan, misalnya Jamal dan Maeran.
Jamal, (Gambar. 6.8) adalah salah satu kuli kontrak periode
Bengkulu. Sampai di Pelabuhan Bengkulu mereka dijemput truk milik perusahaan perkebunan dan dibawa ke Perkebunan Kaba Wetan di Kepahiang
Jamal menandatangi kontrak kerja untuk masa 3 tahun dengan bayaran 3000 rupiah uang putih (f. 30)[49] dan mendapatkan
upah harian sebesar 30 sen.[50] Akan tetapi, upahnya setiap hari
dipotong sebanyak satu sen untuk biaya makan. Setiap bulan perusahaan memberikan bahan makanan berupa beras, minyak, gula dan lain-lain. Selain upah, perusahaan juga memberi fasilitas berupa pemondokan kuli; alat kerja untuk berladang, misalnya pacul dan parang; penanganan kesehatan gratis di rumah sakit perusahaan.[51] Saat bekerja menjadi kuli, Jamal mendapatkan peningkatan status menjadi mandor kecil dan kemudian meningkat lagi menjadi mandor besar.
Penghapusan poenale sanctie, bukan berarti tidak terjadi lagi kekerasan terhadap kuli. Misalnya, menurut cerita yang berkembang pada kalangan kuli di Perkebunan Suban Ayam, di afdeeling Kali Padang (Suban Ayam) pernah ada kuli digantung sampai mati oleh mandor besar Musa (orang Banten). [52]Di samping itu, hukuman ringan pada kuli yang mangkir kerja oleh mandor masih sering terjadi. Pengalaman menjadi kuli kontrak ini tidak berlangsung lama. Oleh karena nasib Jamal dan para kuli kontrak lainnya di Perkebunan Kaba Wetan berubah saat tentara Jepang mengambil alih perkebunan.
Pada tanggal 23 Februari 1943 Keresidenan Bengkulu secara resmi jatuh ke tangan Jepang dan dengan gerak cepat tentara Jepang menuju ke dataran tinggi Rejang dan Lebong.[53] Rejang Lebong memiliki posisi strategis bagi Jepang, sebagai daerah lumbung beras dan pusat perusahaan perkebunan dan pertambangan. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha swasta Barat diambilalih. Nasib perusahaan beserta kuli yang ditinggalkan Belanda tidak sama satu dengan yang lain. Perkebunan yang tidak menguntungkan dirombak menjadi kebun tanaman pangan, sedangkan perkebunan yang menguntungkan tetap dipertahankan. Misalnya, pada pertengahan April 1943 Perkebunan teh Kaba Wetan dibongkar karena hasil teh tidak dapat diekspor ke luar negeri.[54] Selanjutnya, para bekas kuli dikerahkan untuk mengganti dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang (Arachis hypogeae L.), dan umbi-umbian.
Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan perkebunan terhenti. Para bekas kuli dibiarkan mengambil alih tanah perkebunan. Jamal mendapatkan kesempatan memperoleh tanah dan dia mendirikan rumah dan membuka ladang di lahan perkebunan.[55] Sejak itu, para bekas kuli memiliki tanah pekarangan dan lahan pertanian. Di bekas lahan perkebunan itu para bekas kuli mendirikan rumah yang di sekitarnya ditanami jagung dan sayuran. Kehidupan menjadi sulit karena mereka tidak mendapatkan upah kerja lagi. Mereka hidup hanya dari hasil pertanian yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kehidupan semacam ini berjalan terus sampai Indonesia merdeka.
Pada tahun 1949 dilaksanakan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang berisi antara lain bahwa perkebunan swasta asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sedangkan perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk perusahaan milik swasta asing yang sudah tidak beroperasi.[56] Perkebunan Kaba Wetan sejak tahun 1950, diputuskan menjadi milik pemerintah Indonesia, dan pelaksanaannya diserahkan kepada daerah masing-masing. Oleh karena setelah merdeka Bengkulu dimasukkan dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, maka pengelola perkebunan adalah pemerintah daerah di Palembang. Selanjutnya, Perkebunan Kaba Wetan dikelola oleh perusahaan swasta N.V. Kenawen Palembang,[57] Saat itu keadaan tanaman teh (Camellia sinensis L.) di perkebunan sudah rusak. Sebagian lahan perkebunan telah menjadi lahan pertanian dan terdapat rumah-rumah yang dihuni oleh bekas kuli perkebunan.
Sebelum perkebunan dapat berfungsi dengan baik pada tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu pada pertengahan bulan Agustus 1957 Mayor Nawawi beserta pasukannya yang menjadi pendukung gerakan PRRI di Sumatera Barat dan melakukan desersi ke Bengkulu. Pada saat pasukan melewati areal perkebunan, mereka melakukan pembakaran pabrik dan kebun, dan membunuh sekitar 11 orang di Kaba Wetan. Setelah peristiwa PRRI ini seluruh aktivitas perkebunan teh terhenti. Dalam masa vakum ini lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk setempat dengan status hak pakai yang artinya penduduk hanya memiliki hak untuk menggunakan lahan, tidak dapat memilikinya, ataupun menjualnya.
Selanjutnya, pada tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979) berencana membuka kembali perkebunan Kaba Wetan. Saat perkebunan didata ulang hanya lahan seluas 1.900 ha dapat digunakan karena selebihnya adalah dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha diserahkan kepada P.T. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan. Dari lahan seluas 1.000 ha, kurang lebih 250 ha. terdapat lahan milik empat desa, yaitu Desa Tangsi Baru, Desa Tangsi Duren, Desa Barat Wetan, dan Desa Aer Sempiang, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan, sehingga kegiatan pertama dari perusahaan adalah memberi ganti rugi untuk tanaman penduduk.
Pada masa peralihan ini terjadi ketegangan antara penduduk dan perusahaan, karena masalah ganti rugi yang dirasa terlalu kecil. Akhirnya pada pertengahan tahun 1989 warga mulai pindah ke dalam batas-batas desa, dan pada sekitar tahun 1990-an perusahaan perkebunan mulai beroperasi. Di bekas lahan Perkebunan Kaba Wetan ini sejak tahun 1990-an terdapat dua perkebunan teh : Perkebunan Teh Trisula milik pengusaha Taiwan dan Perkebunan Teh Sarana Mandiri Mukti milik Pemerintah Daerah Bengkulu. Kedua perkebunan ini lebih suka mempekerjakan orang dari Jawa dibandingkan dengan pekerja orang Rejang, karena pekerja orang Jawa dan orang Sunda dianggap lebih tekun bekerja.[58]
Orang-orang dari Jawa yang bermukim di Barat Wetan dan Babakan Bogor kebanyakan bekerja di Perkebunan Trisula, sedangkan orang-orang dari Jawa yang berada di desa Air Sempiang, yang lebih dikenal dengan sebutan desa Lambou, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren bekerja di Perkebunan Sarana Mukti Mandiri .[59]
Para bekas kuli dan keturunannya yang menetap di Bengkulu, memiliki kehidupan baru yang berbeda-beda. Misalnya, desa-desa migran kuli di bekas penambangan Lebong Donok merupakan pemukiman homogen yang hanya dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda keturunan kuli tambang. Kebanyakan dari keturunan kuli tambang masih bekerja sebagai penambang.
Desa migran Suban Ayam, yang berada di bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, merupakan pemukiman yang dihuni oleh bermacam-macam suku, selain keturunan kuli perkebunan. Hal ini dapat terjadi karena letak desa yang berdekatan dengan desa penduduk asli Rejang dan berada di sepanjang jalan propinsi. Kebanyakan keturunan kuli perkebunan bekerja sebagai petani, baik bertanam padi maupun sayuran.
Desa-desa migran kuli yang berada di Perbukitan Kaba, sangat berbeda dari desa migran dari Jawa lainnya. Desa-desa mereka terletak di perbukitan dan terpisah jauh dari desa-desa penduduk asli, sehingga kehidupan desa migran kuli ini terkesan eksklusif. Pada saat perkebunan Kaba Wetan berhenti berproduksi, terjadi peralihan status dari kuli kontrak menjadi petani bebas. Setelah bertahun-tahun mereka dan keturunannya hidup bertani dan berkebun, tetapi saat perkebunan teh pada tahun 1990-an diaktifkan kembali, banyak dari keturunan kuli yang menjadi pekerja perkebunan. Karena hidup bertani dan bekerja sebagai pekerja upahan di perkebunan lebih baik daripada hanya bekerja sebagai petani.
( Dikutip dari dan seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VI) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007) Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”
[1]A.M.P.A. Scheltema, “Eenige gegevens betreffende den economischen toestand in de regentscahppen, van waar in 1928 de meeste contractkoelies vertrokken” dalam Koloniale Studien, dertiende jrg. (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1929), hlm. 411-429
[2] Ibid., hlm. 412
[3] Berdasarkan data dari Kantor Pusat Statistik bekerja sama dengan Kantor Perburuhan (Kantoor van Arbeid) dan dari Kontrolir ketenagakerjaan ( Wervingscontroleurs), tahun 1928 dalam Indisch Verslag, 1930, hlm. 53
[4] Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476 afs. No: 1486/20. Adanya perkawinan antara laki-laki dari Jawa dengan perempuan Rejang maka hak dan kewajiban laki-laki dari Jawa itu akan sama dengan warga Rejang asli.
[5] Disebutkan bahwa ongkos mendatangkan kuli setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengolah 1 ton batuan tambang, Verslag van de Directie der Mijnbouwmaatschappij Ketahoen, 1905.
[6] Menurut laporan kontrolir onderafdeeling Rejang W.A. de Laat de Kantoor, orang Rejang belum terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dengan kerja upahan. Mereka beranggapan pekerjaan semacam ini memalukan dan tidak terhormat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku, apabila mereka bekerja di perkebunan milik orang pribumi yang dibayar dengan cara bagi hasil. Mvo. Onderafdeeling Redjang, KIT. 946, hlm. 44
[8] Ladang Palembang sampai sekarang dihuni oleh orang Sunda keturunan dari kuli kontrak yang dahulu bekerja di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
[9] Mgs. 17 Juni 1911, loc cit.
[11] J. van Breda de Haan, “Kolonisatie op de Buitenbezittingen” dalam Teysmania, (Batavia: G. Kolff & Co., 1915), hlm. 415
[12] Kotamanjur, letaknya 3 ½ pal (5,25 km) dari Muara Aman, Sukabumi letaknya 5 pal (7,5 km) dari Muara Aman, dan Sukaraja yang berpenduduk orang Sunda letaknya hanya 1 ½ pal ( 3 km) dari Muara Aman
[15] Koloniaal Verslag 1926
[16] Wawancara dengan Sofyan, anak Suwanda kuli kontrak Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang, tanggal 9 April 2005
[17] Wawancara dengan Sofyan, anak Suwanda kuli kontrak Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang, tanggal 9 April 2005
[18] Dari Desa Ladang Palembang menuju penambangan Lebong Sulit hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama satu malam perjalanan
[20] Rodiah , pada tahun 2005 telah berumur sekitar 95 tahun dan masih hidup, akan tetapi sudah tidak dapat melihat dan mendengar. Menurut cucunya, Aisyah, Rodiah mulai bekerja menjadi kuli kontrak wanita di Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada sekitar tahun 1925. Rodiah menikah dengan seorang kuli kontrak dan menetap di desa Ladang Palembang.
[21] Pada tahun 2000 salah seorang anak Sofyan meninggal dunia karena kecelakaan kerja sewaktu menambang emas di Gunung Pongkor (Bogor).
[22] Wawancara dengan Jumat, Pondok Cina-Muara Aman, tanggal 10 April 2005
[23] Marni berasal dari Purworejo (jawa Tengah). Marni menjadi kuli kontrak karena diajak adik perempuannya yang juga bekerja di perusahaan tambang dan suami adiknya adalah jurutulis di kantor lobang.
[25] Wawancara dengan Sukarjo, Lebong Tambang (Muara Aman), tanggal 9 April 2005
[26] Hal ini berlainan dengan asumsi umum bahwa para pemilik perkebunan tidak setuju dengan kolonisasi karena dianggap dapat menyebabkan kesulitan dalam perekrutan buruh dan akan menghabiskan tenaga kerja orang dari Jawa. Patrice Levang, op cit, hlm.36
[27] Percobaan kolonisasi di Kepahiang disetujui oleh Menteri Jajahan Idenburg dan merupakan perkecualian dengan alasan karena tanah yang akan digunakan sebagai percobaan kolonisasi sangat subur maka Menteri tidak keberatan asal dalam pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan program emigrasi, Bijlagen 4 Januari 1909 no. 23/9 dalam BT 25 Januari 1909 no. 17
[28] Afs. No 158/20 10 September 1908
[31] Ibid., hlm. 2.
[36] Wawancara dengan Achmad Cholil, kepala desa Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
[38] Wawancara dengan Rohid, anak dari Ampai dan bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam, di desa Suban Ayam tanggal 3 April 2005
[39] Wawancara dengan Rohid, bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di desa Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
[40] Wawancara dengan Paimin, bekas kuli harian Perkebunan Soeban Ajam, Tritunggal Curup, tanggal 5 April 2005
[41] Wawancara dengan Rohid, ibid.
[42] Wawancara dengan Painah, bekas kuli kontrak wanita dari Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di Desa Suban Ayam, tanggal 3 April 2005
[44] Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
[45] Sejak tahun 1968 lahan perkebunan Soeban Ajam telah disertifikatkan menjadi hak milik penduduk.
[47] Penduduk Suban Ayam tahun 2005 adalah: 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. Wawancara dengan kepala desa Suban Ayam Achmad Cholil, tanggal 5 April 2005
[48] Wawancara dengan Jamal, bekas mandor perkebunan Kaba Wetan sehingga menetap di Air Sempiang-Kepahiang, tanggal 1 April 2005
[49] Wawancara dengan Maeran, bekas kuli kontrak Perkebunan Kaba Wetan, Desa Barat Wetan, tanggal 3 April 2005
[50] Upah seorang kuli kontrak wanita sebesar 25 sen/hari dan dipotong sebanyak 1 sen untuk biaya makan, Wawancara dengan Jamal, bekas kuli kontrak Perkebunan Kaba Wetan, Desa Air Sempiang, tanggal 3 April 2005
[51] Rumah sakit perusahaan untuk penyakit ringan terletak di afdeeling Tngsi Baru, sedangkan kuli yang menderita penyakit berat dikirim ke Rumah Sakit Pusat Waringin Tiga.
[52] Wawancara dengan Rohid, anak kuli kontrak Perkebunan Soeban Ajam, Desa Suban Ayam, tanggal 7 April 2005
[53] Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatera Selatan, 1955, hlm. 168
[54] Perjuangan Rakyat Tanah Rejang, Sebuah Fragmen Perjuangan Fisik Rakyat di Kota Curup dan Sekitarnya, (Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, 2000), hlm. 22
[55] Pada tahun 1953 desa Air Sempiang diakui secara resmi oleh pemerintah dan jamal dipilih sebagai kepala desa yang pertama di desa Air Sempiang. Kepala desa Air Sempiang baru diganti pada tahun 1993 dan penggantinya adalah anak dari Jamal.
0 comments:
Post a Comment