Oleh : Dr.Lindayanti.M.Hum
Retype by : Adi Marhaen
Rencana pembukaan kolonisasi di Bengkulu semula terhambat oleh sikap para kepala marga di Rejang-Lebong yang berkeberatan dengan berdirinya ‘koloni asing’ di daerahnya. Akhirnya, setelah kontrolir Rejang melakukan perundingan dengan para kepala marga Rejang maka mereka dapat menerima program pemerintah kolonisasi orang dari Jawa ke Rejang-Lebong. Pemilihan daerah Rejang-Lebong berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu kebutuhan tenaga kerja perkebunan dan pertambangan dan pembukaan lahan pertanian. Pada tahun 1908 kolonisasi dimulai dengan mendatangkan orang-orang Sunda yang berasal dari Bogor ke daerah Rejang.
Pada program kolonisasi setelah tahun 1930, daerah Rejang masih menjadi tujuan pengiriman penduduk di samping kolonisasi baru di Lais (Bengkulu Utara). Persiapan pemerintah dimulai dari propaganda pada penduduk di pedesaan Pulau Jawa, persiapan lahan kolonisasi, pengiriman kolonis mulai dari desa asal sampai daerah tujuan, penanganan kesehatan, penyuluhan pertanian, dan pembentukan pemerintahan desa di daerah baru. Pada bab ini akan disajikan gambaran perjalanan migran kolonisasi dari Pulau Jawa menuju ke ‘Tanah Harapan’, persiapan lahan untuk kolonisasi, bentuk pemerintahan desa kolonisasi di Bengkulu, dan peranan pemerintah untuk keberhasilan kolonisasi orang Jawa di Bengkulu antara lain di bidang kesehatan, pendidikan anak, dan penyuluhan pertanian.
A. Pembukaan Daerah Kolonisasi di Bengkulu
Sebelum pemerintah membuka daerah kolonisasi untuk orang dari Jawa di Bengkulu, disana telah ada orang-orang dari Jawa yang membuka pemukiman di sekitar perusahaan perkebunan maupun pertambangan. Mereka menetap atas kemauan sendiri dan tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Beberapa kampung Jawa yang telah terbentuk, seperti di sekitar perkebunan Kepahiang, terdapat Kampung Pensiunan, Kampung Jawa di dekat Perkebunan Soeban Ajam, dan Kampung Jawa di Lebong Donok. [1] Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk menyelenggarakan percobaan kolonisasi di Bengkulu, khususnya di daerah Rejang-Lebong. Pertimbangan lain, di Lebong Donok tersedia lahan hutan belukar muda bekas ladang penduduk asli seluas 3.000 bau.
Persiapan pembukaan kolonisasi ini dimulai dengan perundingan antara Aspirant-contoleur Lebong dengan kepala marga di Rejang Lebong mengenai rencana pembukaan kolonisasi orang dari Jawa di Rejang-Lebong. Akan tetapi tidak semua kepala marga dan penduduknya bersedia menerima kedatangan penduduk dari luar dan memiliki pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh orang dari Jawa sendiri. Para kepala marga dan penduduk setempat hanya dapat memberikan lahan berpengairan dan memperbolehkan penduduk pendatang hidup sesuai dengan kebiasaan. Para kepala marga tidak mau kedudukannya disejajarkan dengan pimpinan tertinggi orang dari Jawa. Mereka meminta agar desa migran yang akan dibentuk bergabung dalam pemerintahan marga setempat. Hal itu menyebabkan rencana kolonisasi terhambat.
Rencana kolonisasi tidak terhenti begitu saja karena Kontrolir D.G. Hooyer (Rejang) mencoba membicarakan lagi masalah rencana kolonisasi orang dari Jawa dengan para kepala marga di Rejang. Selain membicarakan masalah rencana kolonisasi, kontrolir menawarkan program peningkatan pendapatan penduduk Rejang. Para kepala marga menyatakan bahwa, pada prinsipnya mereka tidak berkeberatan memberikan sebidang tanah untuk penduduk pendatang dari Jawa, dengan syarat penduduk pendatang dari Jawa tidak membentuk koloni tersendiri. Para kepala marga meminta desa migran dari Jawa nantinya dimasukkan kedalam pemerintahan marga. Sebagai gantinya, para kepala marga berjanji akan memberikan hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli.[2]
Selanjutnya, dilakukan pembicaraan mengenai rencana peningkatan pendapatan bagi penduduk Rejang yang dilaksanakan melalui pengenalan padi (Oryza sativa L.) sawah dan budidaya ikan emas (Carassius auratus L.). Kontrolir menjelaskan bahwa untuk melaksanakan program ini, para kepala marga perlu mendatangkan orang Sunda yang terkenal kemampuannya mencetak sawah dan beternak ikan emas. Dengan demikian, para petani orang Sunda dapat mengajarkan pada petani Rejang cara bersawah dan beternak ikan emas. Dalam hal ini, para kepala marga hanya menyetujui percobaan budidaya ikan emas dengan cara mendatangkan bibit ikan dan petani Rejang yang akan mengembangkannya.
Dari hasil pembicaraan ini, program peningkatan pendapatan penduduk Rejang dimulai dengan mendatangkan bibit ikan emas dari Priangan. Atas bantuan kontrolir dari Cicuruk (Priangan) ratusan bibit ikan emas berhasil dikumpulkan dan dibawa ke Rejang.[3] Dalam perjalanan menuju Bengkulu banyak bibit ikan emas mati sehingga sampai di Rejang bibit ikan emas hanya tinggal puluhan ekor. Selanjutnya, bibit ikan emas yang masih hidup diberikan kepada pasirah (kepala marga) untuk dibagikan kepada penduduk di Rejang. Sayangnya, percobaan budidaya ikan emas ini mengalami kegagalan karena penduduk tidak mengetahui cara memeliharanya.
Setelah kegagalan ini, kontrolir melontarkan kembali ide mendatangkan orang Sunda untuk membantu penduduk Rejang beternak ikan emas, dan mengajarkan cara menggarap sawah. [4] Akhirnya, kontrolir dapat meyakinkan para kepala marga sehingga mereka setuju mendatangkan orang Sunda dan sekaligus menanggung biaya mendatangkan orang-orang Sunda. Setelah terjadi kesepakatan, pada tahun 1907 di Rejang percobaan kolonisasi dimulai dan biaya mendatangkan orang Sunda ditanggung oleh marga. Pencarian peserta kolonisasi dimulai dengan mengirim Atmo[5] ke Priangan untuk mencari petani yang berminat pindah ke Bengkulu sekaligus untuk mencari bibit ikan dan bibit padi. Atas bantuan Kontrolir V. Lafontaine dari Cicuruk, pada tanggal 8 Juli 1907 Atmo berhasil membawa enam kepala keluarga dan 15 anak-anak ke Kepahiang.[6] Orang-orang Sunda ini ditempatkan di Marga-marga Bermani Ulu, Bermani Ilir, dan Selupu Rejang. Masing-masing marga mendapatkan dua kepala keluarga orang Sunda. Mereka diberi tugas untuk mengajarkan cara bersawah, dan beternak ikan emas kepada para petani.
Program percobaan ini berhasil memuaskan hati para pasirah dan petani, sehingga diputuskan untuk mendatangkan lagi orang-orang Sunda dengan ongkos ditanggung oleh masing-masing marga. Oleh karena kolonisasi ini akan berguna bagi penduduk asli, yaitu penduduk asli dapat belajar bersawah dan beternak ikan dari pendatang dari Jawa. Dengan demikian, di Bengkulu program percobaan kolonisasi dapat berlanjut dengan mendatangkan lebih banyak peserta kolonisasi. Pada tahun 1908, orang Sunda sebagai peserta kolonisasi yang berjumlah 122 orang, terdiri atas 66 orang dewasa dan 56 anak-anak, datang di Rejang. [7]
Pelaksanaan program kolonisasi tahap pertama, antara tahun 1908 sampai tahun 1919 dipusatkan di daerah Rejang Lebong. Di daerah Rejang terdapat dua desa kolonisasi pertanian, yaitu Permu, dan Talang Benih, dan satu desa kolonisasi tipe campuran antara pertanian dan tenaga kerja, yaitu Air Sempiang. Di daerah Lebong desa kolonisasi dari Jawa memiliki tipe campuran antara pertanian dan tenaga kerja, yaitu Sukaraja, Kotamanjur, Sukabumi, dan Magelang Baru. Akan tetapi, program kolonisasi mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa hanya berlangsung dari tahun 1908 sampai tahun 1919. Setelah tahun 1919 program kolonisasi lebih dititikkberatkan pada perekrutan bekas kuli kontrak. Hasilnya, sejak tahun 1924 sampai sekitar tahun 1928 banyak berdiri desa kolonisasi kuli di daerah Rejang dan Lebong, misalnya Suro Muncar dan Lubuk Belimbing. Sampai dengan tahun 1930 di daerah Rejang orang Jawa berjumlah 13.674 orang (22,70%) dan orang Jawa berjumlah 2.372 orang (3,94%). (Gambar. 7.1)
Keberhasilan program kolonisasi tahap pertama ini menjadi salah satu bahan pertimbangan ‘mengapa Bengkulu dipilih menjadi salah satu daerah tujuan kolonisasi’ pada pelaksanaan program kolonisasi setelah tahun 1930. Meskipun sebenarnya menurut penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pusat untuk Kolonisasi dan Emigrasi Penduduk Pribumi, Keresidenan Bengkulu kurang cocok untuk kolonisasi dalam skala luas karena keadaan tanah yang bergelombang dan terpisahkan oleh jurang-jurang. [8] Lahan yang cocok hanya terdapat di beberapa tempat dan itu pun hanya dataran sempit di areal perbukitan. Karena keadaan tersebut, desa-desa kolonsasi di Bengkulu tidak dapat berkembang menjadi kompleks desa kolonisasi yang besar dan padat penduduknya seperti di Lampung.
Salah satu daerah untuk kolonisasi yang ditawarkan adalah bekas perladangan di Lubuk Blimbing dan di Bloemai, yaitu lahan subur bekas persawahan beririgasi yang telah lama terlantar. Dengan demikian, kolonis tidak sulit menggarapnya dan pemerintah tidak memerlukan biaya tinggi untuk membuka daerah kolonisasi. Pilihan selanjutnya adalah daerah Lais yang berjarak 35 km dari kota Bengkulu. Menurut hasil penelitian Komite Kolonisasi, di Lais terdapat 38 daerah berpengairan yang dapat digunakan untuk kolonisasi inti. Daerah ini adalah bekas ladang penduduk yang telah ditinggalkan dan letaknya di dataran tinggi Marga Perbo dan Marga Palik.
Berdasarkan pertimbangan keberhasilan pelaksanaan kolonisasi sebelumnya, respon yang baik dari penduduk asli (orang Rejang), dan tersedia lahan, maka Karesidenan Bengkulu ditetapkan menjadi salah satu daerah tujuan pembukaan kolonisasi baru.[9] Kolonisasi baru dibuka di Lais (Bengkulu Utara). Hal ini disebabkan pembukaan kolonisasi baru di Rejang terbentur masalah keterbatasan lahan. Keterbatasan lahan disebabkan karena banyak penduduk Rejang kembali berladang pindah, dan banyak hutan beralih menjadi perkebunan dan daerah kolonisasi .[10]
Peserta kolonisasi antara tahun 1908 sampai tahun 1919 kebanyakan berasal dari daerah Jawa Barat dibandingkan dari daerah Jawa Tengah, (Gambar. 7.2) sedangkan perekrutan penduduk dari daerah Jawa Timur belum dilakukan. Pada pelaksanaan kolonisasi setelah tahun 1930 peserta hanya berasal dari tiga daerah, yaitu Jawa Tengah[11], Yogyakarta dan Jawa Timur.[12]
Peserta kolonisasi yang datang ke Bengkulu antara lain terdiri dari:
- penduduk dari Jawa yang mengalami berbagai masalah, bencana alam, dan penduduk yang tanahnya digusur oleh
pemerintah; [13]
- para kuli yang terkena pemutusan hubungan kerja, baik kuli yang bekerja di Bengkulu maupun kuli yang bekerja di tempat lain;
- petani dari Jawa untuk membuka lahan pertanian baru di Bengkulu.[14]
Pada penyelenggaraan kolonisasi setelah tahun 1930, Bengkulu mendapat tambahan penduduk lebih banyak, yaitu sekitar 2.438 orang[15] dibandingkan dengan penyelenggaraan kolonisasi
sebelumnya, yaitu sekitar 818 orang.[16] Sebagian besar peserta
kolonisasi ditempatkan di kolonisasi pertanian yang baru dibuka, yaitu Kolonisasi Perbo dan Kolonisasi Kemumu dibandingkan dengan daerah kolonisasi terdahulu Rejang Lebong.
B. Peraturan Tanah untuk Kolonisasi, Hak dan Kewajiban
Bagi Penduduk Pendatang yang Menetap di Tanah Milik
Marga
B.1 Peraturan Tanah untuk Kolonisasi
Peraturan Agraria untuk Sumatera Bagian Selatan Staatsblad 1927 no. 193, [17] dibuat untuk memudahkan pemerintah mengatur penggunaan tanah. Menurut peraturan ini, status tanah dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) tanah untuk dipakai dalam waktu yang lama oleh penduduk pribumi. Penggunaan tanah jenis ini ditetapkan berdasarkan peraturan adat yang berlaku setempat;
2) tanah garapan untuk dipakai dalam waktu lama, yang penggunaannya harus mendapat izin penguasa yang berwenang.
Tanah yang dimaksud adalah tanah yang sudah lama tidak digarap oleh pemiliknya sehingga beralih status sebagai tanah telantar. Seseorang dapat menggunakan tanah tersebut dengan meminta izin kepada penguasa setempat. Pejabat yang berwenang mengatur masalah penggunaan tanah ini adalah Residen berdasarkan pada petunjuk Direktur Pemerintahan Dalam Negeri. [18]
Peraturan ini kemudian dituangkan dalam Keputusan Residen 11 Juli 1928 no. 398 yang antara lain mengatur:
- penggunaan tanah di Keresidenan Bengkulu (kecuali kota Bengkulu dan Pulau-pulau Enggano)
- pembentukan marga-marga dan pasar mandiri
- penguasaan tanah oleh Pemerintahan Pribumi (Inlandsche Gemeenten)
- kewenangan pemberian izin dan izin perpanjangan tanah yang akan digunakan oleh penduduk pribumi.
Dalam Keputusan Residen itu disebutkan bahwa pemerintah setempat berwenang mengatur penggunaan hutan, yaitu lahan yang akan dijadikan hutan reservasi,[19] tanah persil untuk konsesi tambang, dan konsesi penebangan hutan untuk keperluan perusahaan tambang.
Menurut peraturan sebelumnya, masing-masing marga bebas mengatur penggunaan dan penyewaan hutan. Setelah peraturan diundangkan, dengan sendirinya hak pemerintahan marga menjadi terbatas dan sebagai kompensasi pemerintah memberikan hak kepada marga untuk memungut retribusi hasil hutan.[20] Berdasarkan Keputusan Residen tersebut maka semua tanah yang berada di luar kewenangan Pemerintahan Pribumi (Inlandsche Gemeenten), dan lahan telantar dinyatakan sebagai tanah persil (erfpachtsperceelen). Tanah-tanah persil ini dapat digunakan oleh pemerintah untuk tujuan pembukaan kolonisasi dan transmigrasi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus tanah erfpacht di onderafdeeling Rejang yaitu, tanah erpah Kembang, Bermani Barat, dan Bermani Timur berdasarkan Keputusan Residen Bengkulu tanggal 2 Maret 1935 no. 91 ditetapkan sebagai lahan untuk keperluan kolonisasi atau transmigrasi, kecuali hutan yang telah ditetapkan untuk reservasi.[21]
Penggunaan tanah persil (erfpachtsperceel) yang telantar untuk kolonisasi ataupun transmigrasi lebih lanjut diatur berdasarkan Surat Edaran 7 Oktober 1937 no. 16. Akan tetapi, dalam praktiknya banyak tanah persil yang tidak dapat digunakan untuk kolonisasi sehingga dikembalikan kepada marga yang bersangkutan, misalnya tanah erpah Helvetia Estate dan Helvetia Estate II yang diserahkan kembali kepada Marga Proatin XII (onderafdeeling Benkoelen-Seloema).[22]
Dengan demikian, penggunaan tanah marga bagi kepentingan pembukaan kolonisasi tetap harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Dewan Marga. Hal ini juga terjadi pada persiapan lahan untuk kolonisasi tahun 1941 di Marga Palik ( Lais). Penentuan lahan kolonisasi dilakukan melalui rapat Dewan Marga Palik. Rapat Dewan Marga dilaksanakan pada tanggal 16 September 1940 di dusun Aur Gading, dan berdasarkan keputusan rapat, Dewan Marga Palik mengeluarkan Surat Keputusan Dewan Marga Palik no. 9/1940 yang berisi sebagai berikut:
“Menimbang bahasa sebidang tanah kosong diwatas tanah perladangan dari orang-orang doesoen Padang Bendar dengan kolonisatie Batoelajang, jaitoe kira-kira 50 M djaraknja disebelah oetara dari sawah hadji Mohd. Joesoef doesoen Padang Bendar (sebagai ternjata pada gambar jang terlampir), tanah mana ada mempoenjai dataran jang tjoekoek boeat seboeah doesoen atau kampoeng, apalagi itoe tanah ada berdekatan dengan air tik Ketenong boeat tepian mandi dan disebelah moeka berdekatan poela dengan air siring dari Batoelajang, dari itoe Raad marga menimbang patoet tanah terseboet disediakan oentoek kolonisatie jang akan datang (1941).
Menimbang lagi oentoek mencegah perselisihan perkara tanah antara orang-orang doesoen Padang Bendar dengan kolonisatie jang akan datang itoe, maka Raad marga telah bermoefakat dengan kepala doesoen dan orang toea-toea doesoen Padang Bendar, maka pihak orang-orang doesoen terseboet telah menjatakan bahasa mereka tiada keberatan atas tanah terseboet diberikan kepada orang kolonisatie, sebagai ternjata pada soerat keterangan jang telah ditanda tangani oleh kepala doesoen dan orang toea-toea doesoen Padang Bendar keterangan mana ada dilampirkan bersama ini.
Menetapkan:
Ditoenjoekan sebidang tanah oentoek kolonisatie jang akan datang tahoen dimoeka (1941), tanah mana terletak diperwatasan tanah perladangan orang-orang doesoen padang Bendar dengan tanah perladangan kolonisatie Batoelajang, jaitoe lebih koerang 50 M djaraknya kesebelah Oetara dari tanah sawah Hadji Mohd. Joesoef doesoen Padang Bendar disebelah kanan djalan ke Batoelajang (sebagai ternjata pada gambar jang terlampir disini)”.[23]
Pembicaraan yang dilakukan antara pemerintah dengan para kepala marga sebelum dilakukan pembukaan daerah kolonisasi, selanjutnya akan mempermudah interaksi antara pendatang dan penduduk asli. Dengan demikian, migran dari Pulau Jawa dapat menjadi penduduk marga sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti penduduk asli. Para penduduk pendatang dari Jawa biasanya memperoleh lahan pertanian berupa bekas ladang milik orang Rejang yang sudah lama tidak digarap.
B. 2 Hak dan Kewajiban Bagi Penduduk Pendatang yang
Menetap di Tanah Milik Marga
Setiap kepala keluarga migran kolonisasi dari Pulau Jawa mendapat lahan persawahan seluas 40 x 40 meter dan sebidang lahan kering untuk tanaman keras. Dalam waktu lima tahun, migran tidak boleh menjual, menggadaikan, ataupun menyewakan tanah tersebut. Apabila migran kolonisasi melanggar perjanjian, maka hak pengolahan tanah itu akan diambil kembali oleh marga.
Setelah lima tahun tanah itu digarap, migran kolonisasi dapat menyewakan ataupun menggadaikan tanah tersebut kepada penduduk dalam satu marga, tetapi tidak kepada penduduk marga lain. Tanah tersebut dapat diwariskan kepada anak-anaknya apabila migran pemilik tanah meninggal dunia.
Para pendatang dari Jawa selain mendapatkan tanah pertanian, mereka juga mendapatkan hak mengambil hasil hutan marga. Mereka dapat mengambil hasil hutan tanpa dipungut bayaran. apabila hasil hutan itu akan digunakan untuk keperluan sendiri. Akan tetapi, jika pengumpulan hasil hutan untuk diperdagangkan, mereka dikenai pajak (bunga kayu) sebesar 10% dari nilai jual produk hutan yang diambil dan menyetorkan uang tersebut ke kas marga.[24]
Selain memiliki hak, para migran kolonisasi dari Jawa juga memiliki kewajiban kepada marga yang sama dengan orang Rejang. Mereka dikenakan wajib kerja untuk kepentingan marga dan membayar pajak marga. Pada tahun-tahun pertama kedatangan, migran kolonisasi dibebaskan dari segala kewajiban, tetapi pada tahun ketiga, mereka telah diwajibkan membayar pajak pendapatan dan mengikuti kerja wajib yang dilaksanakan oleh marga,[25] dan wajib membayar pajak (hoofdelijke belasting) pada pemerintah.[26]
Penduduk pendatang yang ingin mendapatkan hak menggarap tanah di suatu marga harus meminta izin kepada pasirah (kepala marga). Dalam hal ini, pasirah (kepala marga) yang atas nama marga diberi hak mengurus penggunaan tanah marga dan mempunyai hak menyetujui ataupun menolak memberikan izin kepada seseorang yang akan menggarap tanah marga. Setelah mendapat izin pasirah, penggarap yang bersangkutan harus membayar uang sewa bumi kepada marga. Nilai sewa tanah bergantung pada nilai tanah yang akan digarap. Misalnya, pada tahun 1930-an, tanah ladang seluas 40 depa dihargai sebesar f. 1/tahun.[27] Penduduk pendatang yang menyewa tanah marga ini tidak memiliki hak seperti yang dimiliki oleh penduduk anggota marga. Oleh karena itu, apabila penyewa tanah meninggal dunia, maka anaknya hanya akan mendapatkan hak waris menggarap tanah itu sebatas waktu sewa yang telah ditentukan.
Peraturan ini berlaku juga bagi penduduk pendatang yang bermukim di pasar mandiri (zelfstandige passar),[28] yaitu Pasar Curup dan Pasar Muara Aman. Penduduk pendatang yang tinggal di pasar terdiri atas berbagai bangsa yang memiliki pekerjaan berbeda-beda. Misalnya, orang Eropa yang kebanyakan bekerja di kantor pemerintah, orang Cina, orang Palembang, dan orang Minangkabau yang kebanyakan bekerja sebagai pedagang, dan orang dari Jawa yang bekerja sebagai kuli bebas. Mereka hanya memiliki hak atas tanah di sekitar tempat tinggal mereka. Apabila mereka akan menggunakan tanah di luar pasar, misalnya mengambil hasil hutan, maka mereka harus membayar uang retribusi kepada kepala marga setempat.[29] Sebuah pasar dikepalai oleh seorang kepala kampung, tetapi kepala kampung itu tidak memiliki kekuasaan secara hukum atas pasar tersebut karena wilayahnya berada langsung di bawah kekuasaan kepala onderafdeeling.
C. Migran dari Jawa Menuju Tanah Kolonisasi Bengkulu
Di Bengkulu pelaksanaan Kolonisasi dengan merekrut penduduk langsung dari Jawa dapat dibedakan menjadi dua fase, yaitu fase percobaan kolonisasi dan fase kolonisasi. Fase percobaan kolonisasi berlangsung dari tahun 1908 sampai dengan tahun
1919[30] dan fase kolonisasi berlangsung dari tahun 1930 sampai tahun 1940. Pada fase percobaan kolonisasi pemerintah Bengkulu mencari sendiri peserta kolonisasi ke daerah-daerah Tasikmalaya, Bogor, Sukabumi, dan Kutoarjo. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan kolonisasi setelah tahun 1930, daerah perekrutan lebih luas, meliputi beberapa karesidenan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pemerintah pusat di Batavia melalui Komisi Pusat Emigrasi dan Kolonisasi Penduduk Pribumi ( Centrale Commissie van Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen) memegang peran sentral. Dari mulai persiapan lahan kolonisasi, pencarian dan seleksi calon peserta kolonisasi, keberangkatan kolonis ke Bengkulu, sampai dengan penanganan di daerah baru. Peserta kolonisasi yang datang antara tahun 1930 sampai tahun 1940 berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan peserta kolonisasi yang datang pada tahun 1908 sampai tahun 1919. (Gambar. 7.3 )
Selanjutnya dari laporan yang dibuat Komisi Pusat Emigrasi dan Kolonisasi Penduduk Pribumi ( Centrale Commissie van Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen) dapat diperoleh gambaran perjalanan migran dari Jawa menuju Tanah Sabrang. Proses dimulai dari propaganda yang dilakukan oleh seorang juru penerang terhadap penduduk di pedesaan Jawa. Propaganda ditekankan pada masalah pemberian tanah yang luas. Peserta kolonisasi dijanjikan akan diberi tanah pekarangan 0,25 bau. [31] dan tanah persawahan seluas 1 bau. Selain itu, mereka bisa memperoleh tambahan tanah jika mampu mengolah tanah tersebut.
Propaganda biasanya dilakukan pada masa paceklik. Setelah seorang calon kolonis menyatakan kesediaan untuk berangkat, maka petugas kolonisasi segera mengatur keberangkatan mereka. Waktu keberangkatan diatur sesingkat mungkin, yaitu ketika calon kolonis memutuskan berangkat, maka segera mungkin keberangkatannya dilaksanakan. Pengaturan ini dilakukan agar calon kolonis tidak mengubah niat untuk merantau karena banyak calon kolonis yang batal berangkat pada saat musim tanam padi telah dimulai.
Seseorang yang mengikuti program kolonisasi harus melalui tahap seleksi kesehatan dan pembuktian kalau mereka adalah petani. Salah satu cara untuk mengetahui bahwa orang yang bersangkutan benar-benar petani adalah melalui pemeriksaan telapak tangan karena seorang petani memiliki telapak tangan yang kasar.[32]
Menjelang peserta kolonisasi diberangkatkan ke daerah kolonisasi, mereka diberi suntikan kombinasi untuk mencegah penyakit cholera, typhus, dan disentri. Bersamaan dengan keberangkatan peserta kolonisasi, diikutsertakan pula seorang mantri untuk mengurus kesehatan para peserta kolonisasi. Di samping itu, pemerintah melalui petugas kesehatan membagikan pil kina kepada peserta kolonisasi untuk pencegahan terhadap penyakit malaria. Selanjutnya peserta kolonisasi siap diberangkatkan. Waktu pengiriman kolonis bergantung pada masa panen padi dan waktu membuka hutan. Misalnya, kolonis yang akan ditempatkan di Lampung dan Palembang berangkat di antara bulan Februari sampai Maret, sedangkan kolonis yang akan ditempatkan di Bengkulu berangkat pada bulan November.[33]
Pada hari keberangkatan para calon kolonis dikumpulkan di suatu tempat untuk menunggu calon kolonis lain. Selanjutnya, setelah terkumpul beberapa keluarga, mereka siap diberangkatkan. Para calon kolonis diangkut dengan truk menuju kantor bupati dan mereka bergabung dengan peserta dari berbagai desa. Kemudian, mereka dibawa ke setasiun kereta api terdekat untuk diberangkatkan dengan kereta api (Gambar. 7.4 ) menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Setelah sampai di pelabuhan para kolonis dapat menyaksikan pemandangan yang serba baru, kapal api yang besar, kraan (alat pengangkat barang berat) yang besar,
dan suasana hiruk- pikuk yang memusingkan. Di tengah keramaian itu, mereka pun harus tetap memperhatikan barang-barang bawaan, anak-anak, dan ayam yang mereka bawa dari kampung. Sebelum masuk kapal, para wanita menaburkan beras kuning ke laut. Hal ini dimaksudkan untuk menangkal bahaya diperjalanan. [34]
Setelah masuk kapal, mereka berkumpul dengan sesama kawan sedesa atau bersama orang yang telah dikenal. Selama perjalanan mereka mendapatkan makan yang disediakan oleh penyelenggara kolonisasi. (Gambar. 7.5) Mereka tidur
berdesak-desakan di dek kapal (Gambar. 7.6 ) semalaman, karena kapal baru akan sampai esok hari Setelah awak kapal memberikan pengumuman bahwa kapal akan segera tiba di pelabuhan, maka
mereka sibuk menggulung tikar, mengumpulkan keranjang dan bakul, dan perkakas rumah tangga.
Setelah turun dari kapal, pertama mereka didaftar dan pada saat itu mereka baru mengetahui di daerah mana ditempatkan. Penempatan kolonis biasanya sesuai dengan daerah asal masing-masing. Misalnya, kelompok peserta kolonisasi yang berasal dari Karesidenan Banyumas (tahun 1930) yang dikirim ke kolonisasi Perbo ditempatkan pada lahan baru yang kemudian dikenal dengan nama Banyumas Baru. Selanjutnya, dari pelabuhan masing-masing kelompok migran naik autobis diantar sampai ke daerah penempatan masing-masing. (Gambar. 7.7)
D. Pemukiman Migran dari Jawa di Bengkulu
Di Rejang desa-desa migran kolonisasi yang pertama beridiri tahun 1908, Permu ( marga Bermani Ilir) dan Air Sempiang (marga Merigi) didiami oleh orang Sunda. Selanjutnya, pada tahun 1911 desa migran kolonisasi Talang Benih (Curup-marga Selupu Rejang) didiami oleh orang Jawa yang berasal dari Kutoarjo terbentuk. Letak ketiga desa migran kolonisasi tersebut saling berjauhan. Desa migran kolonisasi Permu dan Talang Benih berdiri di hutan milik marga, berdekatan dengan desa-desa orang Rejang, sedangkan Desa Air Sempiang berada di lahan perkebunan, jauh dari pemukiman penduduk asli.
Para pendatang dari Jawa bebas melakukan penataan pemukiman. Oleh karena itu bentuk pemukiman antar desa migran satu dengan lainnya berbeda. Misalnya, rumah-rumah di Air Sempiang dan Permu dibangun tidak berderet dalam satu kelompok, tetapi rumah mereka tersebar di antara persawahan. [35] Penataan pemukiman migran di Talang Benih berbeda, letak rumah lebih teratur berderet di sebelah kanan dan kiri jalan. Mereka juga membuat jalan menuju persawahan mereka. Rumah mereka kecil, beratap alang-alang, dan berdinding pelupuh yang ditutup kertas Cina sebagai penahan masuk udara malam yang dingin.[36] Di sekeliling pekarangan rumah dipasang pembatas tanaman, sebagai tanda tanah milik mereka. Di pekarangan rumah mereka ditanami pohon pisang (Musa paradisica L.), kelapa (Cocos nucifera L.), kopi robusta (Coffea canephora L.), dan sayuran, sedangkan di lahan kering yang letaknya dekat desa migran biasanya ditanami kopi robusta ataupun tanaman teh (Camellia sinensis L.).[37] (Gambar. 7.8 )
Hal ini berbeda dengan migran dari Jawa yang datang setelah tahun 1930, mereka ditempatkan berdasar daerah masing-masing.
Misalnya, 349 orang migran asal daerah Blitar yang datang tahun 1933 ditempatkan di Kolonisasi Perbo vak III di aliran air Nokai, yaitu di Baturaja Mudik, Baturaja Ilir, dan Tabah Padang. Migran korban letusan Gunung Merapi asal daerah Magelang dan Yogyakarta yang datang tahun 1933, di tempatkan di Kolonisasi Perbo vak Ia. di aliran Sungai Palik. Mereka mendirikan pemukiman baru, yaitu Salamarjo, Kedu Baru, Magelang Baru, dan Djokjabaru. Di setiap desa migran terdapat penghulu yang bertugas sebagai mandor. Penghulu mendapatkan gaji dari pemerintah sebesar f. 15/bulan.[38]
Oleh karena desa-desa migran berada di tanah marga maka semua desa migran kolonisasi ini bergabung dalam pemerintahan marga setempat. Selama tiga tahun setelah kedatangan, desa-desa migran kolonisasi dibebaskan dari penarikan pajak dan kerja wajib pada marga setempat.[39] Selanjutnya, mereka sebagai penduduk marga setempat memiliki kewajiban membayar pajak dan bekerja untuk marga.
Setelah mereka menetap di kolonisasi maka migran dapat mendatangkan teman atau kerabat dari Jawa dengan mudah karena di kolonisasi tanah yang belum digarap masih luas. Mereka cukup melapor kepada petugas kolonisasi setempat. Selanjutnya petugas kolonisasi akan menghubungi petugas kolonisasi di Jawa dengan disertai sepucuk surat dari migran yang ingin mendatangkan kawan atau keluarganya dari Jawa. Di Jawa petugas kolonisasi dengan pamong setempat akan mendatangi alamat yang tercantum di surat. Proses pemberangkatan migran tidak memakan waktu lama, sedangkan biaya perjalanan untuk sementara ditanggung oleh pemerintah. Migran dapat mengembalikan uang pinjaman tersebut dengan angsuran yang dibayarkan pada setiap musim panen.[40]
E. Pemerintahan di Desa Migran dari Pulau Jawa
Pelaksanaan kolonisasi tahap pertama memiliki peraturan tersendiri yang berbeda dengan pelaksanaan kolonisasi di daerah lain. Kolonisasi dilaksanakan berdasar kesepakatan dengan para kepala marga Rejang Lebong, hasilnya desa migran kolonisasi tidak berdiri sendiri, tetapi bergabung dalam pemerintahan marga. Misalnya, desa migran kolonisasi Permu (Desa Imigrasi Permu) dipimpin oleh seorang ginde (kepala dusun), diatasnya terdapat penggawa (kepala lingkungan). Para kepala dusun ini berada dalam satu pemerintahan marga, yaitu marga Bermani Ilir. Di samping desa migran kolonisasi yang disponsori oleh pemerintah, desa-desa yang didirikan oleh para bekas kuli dan berada di tanah milik marga secara otomatis berada dalam pemerintahan marga setempat.
Di samping itu terdapat desa migran orang dari Jawa yang tidak bergabung dalam pemerintahan marga. Hal ini berlaku pada desa migran yang berada di lahan milik perusahaan perkebunan ataupun pertambangan, karena desa tidak didirikan di tanah milik marga. Contohnya, sampai dengan tahun 1930, di Rejang penduduk pendatang dari Pulau Jawa yang bergabung dalam pemerintahan marga hanya 45% (2.468 orang), sedangkan 55% (3.029 orang) lainnya bertempat tinggal di desa yang berada di luar pemerintahan marga. (Gambar. 7.9) Pada kasus desa-desa migran kolonisasi yang berdiri setelah tahun 1930, semua berada dalam pemerintahan marga.
Kedua tipe desa migran ini memiliki persamaan, yaitu dipimpin oleh kepala desa yang dipilih di antara penduduk desa migran. Kepala desa biasanya diambil dari pimpinan rombongan dan mempunyai tugas untuk mengurus desa. Dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, seorang kepala desa dibantu oleh beberapa perangkat desa, misalnya kamitua, kebayan, dan carik.
Permasalahan yang dihadapi pemerintahan desa akan dibicarakan dalam rapat desa. Rapat desa biasanya diikuti oleh para perangkat desa dan penduduk laki-laki, baik yang sudah maupun yang belum berkeluarga. Kaum wanita hampir dapat dikatakan tidak pernah menghadiri rapat-rapat. Jika hadir pun, mereka hanya sebagai penonton.
Di desa migran kolonisasi yang berada dalam pemerintahan marga, kepala desa dipilih oleh penduduk desa, biasanya berdasarkan keturunan. Misalnya, di Desa Imigrasi Permu, sejak tahun 1908 sampai tahun 1958, kepala desa diangkat secara turun temurun dan tidak ada campur tangan dari kepala daerah setempat. Kepala desa pertama adalah Marii (kakek Supandi) seorang kepala rombongan migran yang datang pada tahun 1908. Kedudukan kepala desa sejak tahun 1908 sampai tahun 1950-an tetap dipegang oleh keluarga Marii. Baru pada tahun 1958 di Desa
Imigrasi Permu dilangsungkan pemilihan kepala desa.[41]
Hal ini berbeda pada kasus desa migran yang berdiri setelah tahun 1930, meskipun para kepala desa dipilih oleh penduduk, tetapi mereka diangkat secara resmi oleh kepala pemerintahan setempat. Apabila seorang kepala desa melakukan perbuatan tercela atau dianggap tidak cakap bekerja, maka pemerintah setempat pula yang akan melakukan pemecatan. Hal ini dapat dilihat pada kasus pengangkatan depati[42] pada desa migran di daerah Lais: Soemodimedjo (Dusun Magelang Baru), Sakiran (Dusun Tulung Agung), dan Ahmad (Dusun Tanjung Putus) dari marga Palik diangkat menjadi depati untuk masing-masing desa yang bersangkutan berdasarkan surat keputusan Pemerintahan Setempat Lais tanggal 30 Juli 1940 .[43]
Kepala desa dapat diberhentikan karena berbagai alasan, misalnya berhenti atas kemauan sendiri, contohnya Tarmin (Kepala Kampung Magelang Baru, Marga Suku VIII), dan Misdar, Depati Dusun Sidomulyo (Marga Lais). [44] Pemecatan juga dapat dilakukan karena seorang kepala desa tertangkap tangan bermain judi, misalnya yang terjadi pada Nitiredjo, Depati Dusun Salamharjo (Marga Bermani Perbo), dan Wongsokarto,
Depati Dusun Magelang Baru (Marga Palik).[45]
Setiap kepala desa mendapatkan tanah garapan. Luas tanah garapan tersebut antara satu desa migran dengan desa migran yang lain berbeda. Hal itu bergantung pada jumlah kepala keluarga dalam satu kampung dan berdasarkan produktivitas tanahnya. Di Kolonisasi Perbo yang memiliki delapan orang kepala desa, masing-masing kepala desa mendapatkan tanah sekitar dua sampai tiga bau, sedangkan Kolonisasi Kemumu yang mempunyai dua orang kepala desa, maka masing-masing kepala desa mendapatkan tanah sekitar tujuh sampai 10 bau.[46] Peraturan ini tidak ditemukan pada desa-desa migran kolonisasi yang berdiri sebelum tahun 1930, karena kepemilikan tanah garapan kepala desa tidak diatur secara khusus.[47]
Selain memiliki persamaan, desa migran yang berada di luar dan di dalam pemerintahan marga memiliki beberapa perbedaan, misalnya kedudukan kepala desa dalam struktur pemerintahan pribumi di Bengkulu; hak seorang kepala desa atas hasil padi di desanya; hak dan kewajiban penduduk desa kepada pemerintahan marga. Di desa migran berada dalam pemerintahan marga, kedudukan kepala desa berada di bawah kepala marga. Akan tetapi, kepala desa secara otomatis menjadi anggota Dewan Marga dan berhak mengikuti rapat-rapat marga. Meskipun demikian, kepala desa migran dari Jawa tidak bisa dipilih menjadi kepala marga, tetapi memiliki hak memilih.[48].
Dalam struktur pemerintahan pribumi di Bengkulu, kepala desa bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan desanya kepada kepala marga. Kepala marga memiliki tugas selain menjaga ketertiban dan keamanan juga dibebani pekerjaan lain, seperti menarik pajak dan mengatur kerja wajib pemerintah (heerendiensten) di wilayah marga tersebut. Para kepala marga ini bertanggung jawab kepada atasan mereka, yaitu demang. Seorang demang sebagai kepala distrik bertanggung jawab kepada seorang kontrolir, pemimpin sebuah onderafdeeling. (Gambar. 7.10)
Penduduk di desa migran ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli. Mereka pun berhak menggunakan tanah marga dan memungut hasil hutan marga. Setiap penduduk desa migran akan ditarik sumbangan berupa padi. Hasil iuran padi itu akan dibagikan kepada kepala marga dan kepala desa beserta para pamong desa sebagai penghargaan atas kerja mereka mengurus desa.
Dalam pembagian padi ini, bagian untuk kepala desa di desa migran yang berada dalam pemerintahan marga lebih sedikit bila dibandingkan dengan kepala desa di desa migran yang berada di luar marga. Oleh karena iuran padi di desa migran yang berada dalam pemerintahan marga harus dibagikan pula kepada kepala marga. Kepala desa dan carik, selain mendapat jatah beras, masih mendapatkan tambahan penghasilan dari penduduk desa yang mengurus perkawinan, perceraian, dan rujuk, dan dari transaksi jual-beli tanah penduduk.
Contoh desa-desa migran yang bergabung dalam pemerintahan marga adalah desa migran kolonisasi Permu dan Talang Benih (Rejang). Hal ini disebabkan penduduk desa migran ini didatangkan atas inisiatif para kepala marga dan dibiayai dari uang kas Marga Merigi, Marga Bermani Ilir, dan Marga Selupu Rejang.
Di desa migran yang terbentuk setelah tahun 1930, kepala desa bertanggung jawab langsung kepada demang ataupun asisten demang. Misalnya, kepala desa di desa-desa migran Kolonisasi Perbo bertanggung jawab langsung kepada Asisten-Demang onderdistrik Kerkap yang berkedudukan di Aur Gading.[49] Di Kolonisasi Kemumu, para kepala desa migran dari Jawa bertanggung jawab langsung pada demang Lais. Asisten demang dan demang ini bertanggung jawab kepada Kontrolir Lais.
Kedua, di desa migran yang berada di luar pemerintahan marga, kedudukan kepala desa terlepas dari pemerintahan marga dan berada langsung di bawah perintah kontrolir. (Gambar 7.11) Hal ini disebabkan letak desa-desa migran tersebut berada di
tanah-tanah milik perusahaan. Oleh kareba itu penduduk desa tidak wajib membayar pajak dan melakukan kerja untuk marga. Akan tetapi penduduk desa tersebut tidak memiliki hak mengambil hasil dari hutan marga setempat ataupun menggarap tanah milik marga yang berada di luar daerah perusahaan. Penduduk di desa migran tidak wajib membayar pajak dan melakukan kerja untuk marga dan sekaligus mereka tidak memiliki hak mengambil hasil hutan marga setempat dan menggarap tanah marga yang berada di luar daerah kolonisasi.
Hasil iuran padi yang ditarik dari penduduk desa hanya dibagikan kepada kepala desa beserta pamongnya, sebagai penghargaan atas kerja mereka mengurus desa. Kepala desa selalu mendapat bagian padi yang paling besar, yaitu antara 0,33 sampai 0,50 dari hasil padi yang terkumpul. [50]Selain mendapatkan jatah padi, kepala desa dan carik mendapatkan penghasilan tambahan dari pemungutan uang dari penduduk yang mengurus perkawinan, perceraian, dan rujuk, dan dari transaksi jual-beli tanah penduduk.
Beberapa contoh desa migran dari Jawa yang belum bergabung dalam pemerintahan marga, adalah desa migran kolonisasi Air Sempiang, desa-desa migran yang berdiri tahun 1930-an di Marga Suku Tengah Kepungut, Sindang Beliti, dan Sindang Kelingi.
F. Pemerintah dan Kolonisasi
Pelaksanaan kolonisasi tidak dapat dilepaskan dari tugas pemerintah menyediakan beberapa fasilitas, antara lain pemberian kredit, layanan kesehatan, penyuluhan pertanian, irigasi, pendidikan bagi anak migran, dan pembangunan sarana jalan dan pasar. Pada penyelenggaraan percobaan kolonisasi dari tahun 1908 sampai tahun 1919 pemerintah Bengkulu menyediakan sarana layanan kesehatan, lembaga simpan pinjam, sekolah, dan pembangunan jalan di daerah kolonisasi. Pertama, dalam rangka pengembangan ekonomi pemerintah memberikan bantuan kredit pada migran dari Jawa. Misalnya, pada tahun 1912 di desa migran Air Sempiang pemerintah mendirikan bank perkreditan desa. Modal yang dimiliki oleh bank desa adalah f. 631,56. Bank desa diurus oleh panghulu dan kepala desa yang berada di bawah pengawasan seorang administratur keuangan. Selain itu migran kolonisasi juga bisa mendapatkan kredit dari bank yang lebih besar, yaitu bank perkreditan distrik “Kepahiang” di Kepahiang.[51]
Kedua, di Kepahiang pemerintah membangun sebuah rumah sakit dan menempatkan seorang dokter pribumi untuk kepentingan penduduk pendatang dari Jawa dan penduduk setempat. Rumah sakit memiliki dua ruang perawatan, yaitu ruang perawatan untuk pasien laki-laki dan untuk perawatan pasien perempuan.[52]
Ketiga, pembangunan sarana jalan yang dapat dilalui grobak, Jalan ini menghubungkan desa migran Air Sempiang dengan jalan propinsi menuju Pasar Kepahiang. Di samping itu pemerintah membangun jalan tanah yang menguhubungkan Desa Air Sempiang dengan Kampung Pensiunan di Kepahiang.
Pada penyelenggaraan kolonisasi setelah tahun 1930 dengan jumlah peserta lebih banyak, penanganan tehadap peserta kolonisasi dilakukan lebih serius. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah menyertakan seorang mantri yang berfungsi untuk mengurus kesehatan kolonis. Dalam aturan disebutkan bahwa di desa kolonisasi akan dibangun sebuah poliklinik untuk melayani para kolonis yang sakit. Selain itu pemerintah pun menyediakan berbagai obat-obatan, misalnya obat malaria, disentri, dan influenza. Seorang mantri, selain bertugas di poliklinik juga bertugas membagikan pil kina pada peserta kolonisasi.
Di kolonisasi Perbo dan Kemumu, peserta yang sakit dapat berobat di poliklinik Lubuk Durian yang cukup jauh dari desa kolonisasi. Pada mulanya poliklinik hanya digunakan oleh penduduk setempat, tetapi setelah kolonisasi Perbo dan Kemumu dibuka, poliklinik digunakan bersama oleh penduduk setempat dan peserta kolonisasi.
Penyakit yang sering menyerang migran dari Jawa adalah penyakit malaria. Misalnya, pada tahun 1933 migran dari Jawa yang terserang penyakit malaria berjumlah 46 orang dari 64 orang migran yang sakit. Pada tahun 1934, jumlah migran yang terserang penyakit malaria berjumlah 17 orang dari 22 orang migran yang sakit. Di Kolonisasi Perbo, diantara migran dari Jawa yang berjumlah 2.277 orang terdapat 25 orang yang meninggal dunia akibat penyakit malaria.[53]
Selain masalah penyakit migran mengalami masalah dalam bertanam padi. Misalnya. Lahan pertanian di kolonisasi Perbo dan Kemumu ditumbuhi ilalang (Imperata cylindrica L.) dan tidak tersedia irigasi untuk mengairi sawah sehingga banyak ladang milik peserta kolonisasi mengalami gagal panen. Permasalahan lain adalah serangan hama, misalnya walangsangit (Leptocorisa oratorius L.), burung (Ploceidae L.), tikus (Rattus argentiventer L.), babi hutan (Sus scrofa L.), kera (Macaca faticularis L.), dan penyakit tanaman. Untuk mengatasi permasalahan tersebut penyuluh pertanian mrngambil tindakan, yaitu pengaturan waktu tanam dan pemilihan jenis padi yang akan ditanam. Waktu tanam padi migran dan penduduk asli disamakan, dan jarak waktu tanam padi gaga dan padi sawah diperpendek, sehingga masa tumbuh dan masak padi dapat bersamaan. Migran kolonisasi dan penduduk asli disarankan untuk menanam padi varietas Rejang yang tahan terhadap serangan hama. Penyuluh pertanian mengerahkan tenaga kolonis untuk memberantas kera dan babi hutan, dan membuat pagar di sekeliling lahan pertanian dan tempat tinggal migran. Pagar ini selain berfungsi sebagai pelindung tanaman juga untuk melindungi migran dari serangan binatang buas.
Di daerah kolonisasi pemerintah membangun sekolah-sekolah bagi anak-anak dari penduduk asli maupun migran kolonisasi. Akan tetapi kesadaran orangtua terhadap pendidikan masih rendah maka jumlah anak-anak migran kolonisasi yang bersekolah masih sedikit. Hal ini disebabkan anak-anak masih diperlukan tenaganya untuk membantu orangtua mencari nafkah hidup. Misalnya, pada tahun 1913 jumlah anak migran kolonisasi yang bersekolah hanya berjumlah delapan anak, enam anak bersekolah di Kepahiang, dan dua anak bersekolah di Curup.
Dalam rangka memajukan pendidikan di Bengkulu, pemerintah kolonial Belanda membangun sekolah-sekolah rakyat (Volksschool). Sampai tahun 1930 di Bengkulu terdapat 145 sekolah rakyat, dua di antaranya terdapat di kolonisasi Perbo dan kolonisasi Kemumu. Dengan demikian, anak-anak migran kolonisasi di Kolonisasi Perbo dan Kolonisasi Kemumu dapat bersekolah di sekolah-sekolah milik pemerintah tersebut. Selain sekolah pemerintah, di Perbo dan Kemumu terdapat sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh Misionaris Katolik. Di Perbo, sekolah swasta milik Misionaris Katholik terdapat di Desa Baturoto, sedangkan di Kemumu terdapat sekolah milik pemerintah yang berada di Desa Sidomulio. Sekolah-sekolah ini berdiri sejak bulan Januari 1935
meskipun hanya sampai kelas tiga.[54]
Kondisi pendidikan anak-anak migran kolonisasi yang datang setelah tahun 1930 masih sama seperti pada anak-anak migran kolonisasi yang datang sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak yang bersekolah pada sekolah Misi Roma Katholik di Baturoto. Pada tahun 1935 di sekolah tersebut terdapat 82 anak, 27 anak diantaranya adalah anak migran dari Jawa.[55] Di sekolah milik pemerintah yang berada di Sidomulio, pada bulan September 1935 terdapat 60 murid dengan perincian 57 anak migran dari Jawa dan tiga anak orang Rejang
Kolonisasi yang dilaksanakan di Bengkulu sejak tahun 1908 berbeda dengan kolonisasi di Lampung. Apabila di Lampung pemerintah memisahkan daerah kolonisasi Jawa, seperti Gedong Tataan dan Wonosobo dengan daerah penduduk asli maka di Bengkulu desa-desa kolonisasi langsung dimasukan dalam
pemerintahan marga setempat.[56] Hal ini antara lain karena program
mendatangkan migran dari Jawa yang pertama didanai oleh kepala-kepala marga di Rejang Rejang. Setelah program percobaan kolonisasi berhasil, pemerintah melanjutkan sistim tersebut.
Akan tetapi karena keadaan tanah yang bergelombang dan terpisahkan oleh jurang-jurang maka lahan yang cocok untuk pertanian hanya terdapat di beberapa tempat. Lahan itu pun berupa dataran sempit di areal perbukitan sehingga pengembangan kolonisasi pun menjadi terbatas. Jumlah peserta kolonisasi pun hanya sedikit, dari tahun 1910 sampai tahun 1925 pemerintah daerah Bengkulu hanya berhasil mendatangkan penduduk sekitar 596 orang, selebihnya adalah hasil merekrut bekas kuli kontrak. Dalam waktu 15 tahun (tahun 1925) penduduk di desa-desa migran dari Jawa hanya berjumlah 1.326 orang.[57]
Hasil penelitian Komisi Pusat Emigrasi dan Kolonisasi Penduduk Pribumi ( Centrale Commissie van Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen) pun menyebutkan bahwa daerah Bengkulu kurang cocok dijadikan daerah kolonisasi yang berskala luas. Akan tetapi pemerintah Bengkulu menganggap hasil percobaan kolonisasi di Bengkulu cukup memuaskan. Hal ini ditunjang oleh respon baik dari penduduk asli (Orang Rejang) dan masih tersedian lahan yang belum digarap. Akhirnya pemerintah memutuskan Bengkulu menjadi salah satu daerah tujuan kolonisasi setelah tahun 1933.
Dalam waktu singkat penduduk dari Jawa didatangkan dalam jumlah besar dan pemerintah pun mempersiapakan berbagai fasilitas, yaitu pelayanan kesehatan, penyuluhan pertanian, dan pendidikan untuk anak-anak migran. Dengan persiapan yang cukup lengkap ini akankah program kolonisasi di Bengkulu setelah tahun 1930 lebih berhasil dibandingkan dengan percobaan kolonisasi sebelumnya ? Pada bab selanjutnya dibahas mengenai pertumbuhan desa-desa migran pada fase percobaan kolonisasi di daerah Rejang dan Lebong, dan desa-desa migran kolonisasi yang berdiri pada fase kolonisasi setelah tahun 1930 di daerah Lais (Bengkulu Utara).
( Dikutip dari dan seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VIII) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007)
Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”
[2] D.G. Hooyer, “Emigratie naar de residentie Benkoelen’, Indisch Genootschap 549, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1912), hlm. 152.
[5] Atmo adalah bekas pegawai Dinas Perkebunan di Priangan yang kemudian menjadi pembantu kontrolir D.G. Hooyer.
[6] Setahun kemudian ada satu keluarga Sunda yang kembali ke Jawa dengan biaya sendiri . Afschrift No: 1486/20, Kepahiang 7 October 1907
[8] Perdebatan mengenai daerah Bengkulu yang tidak mungkin untuk didirikan kolonisasi inti dengan daerah yang luas, dapat dilihat pada P.M. Hooykaas, Memorie Betreffende de Javanen Kolonisatie, KIT 930, hlm. 7-8.
[9] Mvo. Residentie Benkoelen, 1932, KIT. 202, op.cit., hlm. 69, meskipun persensentase pengiriman kolonis ke Bengkulu hanya berkisar 0,5 % ( tahun 1938) dan 1,1 % (tahun 1939) dari jumlah keseluruhan kolonis yang dikirim pemerintah dari pulau Jawa ke luar pulau
[10] Kontrolir Rejang E.J. Eebberhorst Tengbergen menyebutkan kekurangan lahan ini mengakibatkan terjadinya konflik antara pihak perkebunan milik orang Eropa dan penduduk, saat Perkebunan Bukit Daun dan Kaba Wetan akan memperluas perkebunan. Lihat Mvo.Onderafdeeling Redjang, KIT 936, op cit., hlm. 9
[11] Dari Jawa Tengah migran kolonisasi terutama berasal dari Karesidenan Banyumas, yaitu regentschap Banyumas, regentschap Purwokerto dan Keresidenan Kedu, yaitu regentschap Magelang dan regentschap Purworejo
[12] Dari Jawa Timur migran kolonisasi berasal dari Karesidenan Kediri, yaitu regentschap Kediri, regentschap Blitar, dan regentschap Tulungagung
[13] Beberapa cara transmigrasi :a. Pencarian tenaga kerja untuk perkebunan, b. Transmigrasi pertanian oleh pemerintah, c. Transmigrasi di tanah-tanah perkebunan, d. Transmigrasi tenaga kerja buruh, e. Transmigrasi sukarela dengan dorongan pemerintah, lihat W. Groeneveldt, ‘Het Transmigratie Vraagstuk voor de Buitengewesten’ dalam Koloniale Studien, XVIII, 1934, hlm. 554.
[14] Penekanan bahwa peserta kolonisasi harus seorang yang benar-benar petani merupakan salah satu syarat dalam 10 peraturan untuk seleksi kolonis, lihat Karl J Pelzer, op cit., hlm. 210
[15] Perhitungan berdasarkan dari sumber-sumber, Memorie van Overgave Residentie Benkoelen, KIT 202, op.cit., hlm 70, Jaarverslag van de Centrale Commissie voor Migratie en Kolonisatie van Inheemschen over het jaar 1940, (Batavia: Landsdrukkerij, 1941), hlm. 30, dan Memorie Betreffende de Javanen Kolonisaties, KIT no. 930, ibid.
[16] Dasar perhitungan dari sumber-sumber, Koloniaal Verslag tahun 1910-1920 “ Verslag omtrent de proefneming met de overbrenging van Soendaneesche gezinnen naar de onderafdeeling Redjang (Benkoelen)”
[17] Lihat Staatsblad 1925 no. 353 dan Staatsblad 1926 no. 141
[18] Peraturan itu kemudian diperbaharui berdasarkan surat Direktur Pemerintahan Dalam Negeri tanggal 10 Desember 1929 no. A.I. 10/5/14, meminta pemerintah setempat untuk menyediakan tanah reservasi.
[19] Reservasi hutan ditetapkan berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 8 September 1926 no. 4 dan pengaturan lebih lanjut diatur dengan Keputusan Residen. Lokasi reservasi biasanya berada di luar tanah yang dikuasai oleh Pemerintahan Pribumi (Inlandsche Gemeenten) dan bukan lahan penduduk.
[20] Staatsblad tahun 1927 no. 283.
[22] Keputusan Residen Bengkulu tanggal 9 November 1940 no. 451, Madjallah Pedoman Marga tanggal 18 December 1940, hlm. 354.
[24] Lihat ‘Regeling Betreffende de Adatwettige Inkomsten en Heffingen der Marga in de Residentie Benkoelen’, dalam Mvo. Residentie Benkoelen, KIT 199, op cit. bijlage VIII
[27] Mvo. Residentie Benkoelen, KIT. 202, loc cit.
[28] Pengertian “Pasar” di sini adalah tempat tinggal kaum pendatang dan di pasar ini mereka melakukan aktivitas perdagangan, secara administratif pasar berdiri sendiri dan terlepas dari ikatan marga setempat.
[30] Pada tahun 1919 program kolonisasi dengan cara mendatangkan kolonis langsung dari Jawa, dihentikan dan pengembangan desa-desa migran kolonisasi diarahkan dengan cara merekrut mantan kuli kontrak. A Th. van Ginkel, Koloniaal Tijdschrift, 1917, op cit., hlm. 1560
[35] A.J. Koens, “Over Kolonisatieproeven in de Residentie Benkoelen” dalam Teysmania , 26 deel (Batavia: G. Kolff & Co, 1915), hlm. 590
[40] Purwanta Iskandar, Agus Setyajie, Heddy Shri Ahimsa Putra, ‘ Desa Transmigrasi Sidomulyo (1937)’, Seri Laporan No. R. 10, (Yogyakarta: Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, 1978), hlm. 15
[41] Nama-nama kepala desa di Imigrasi Permu hasil pemilihan sejak tahun 1958 sampai dengan 1977, berturut-turut adalah Marii, Inang, Hanafi, Cinong, Basari yang semua orang Sunda. Baru pada pemilihan tahun 2005 Kepala Desa Imigrasi Permu adalah orang Rejang. Wawancara dengan Basari, di Desa Imigrasi Permu tanggal 4 April 2005.
[42] Sebutan kepala kampung biasa dipakai di desa migran yang berada di Rejang dan Lebong, sedangkan untuk daerah kolonisasi Lais kepala desa migran disebut depati
[44] Berdasarkan Keputusan Pemerintahan Setempat Kepahiang tanggal 21 Mei 1941 dan Keputusan Pemerintahan Setempat Lais tanggal 2 Mei 1941 dalam Madjallah Pedoman Marga tanggal 23 Juli 1941, hlm. 125
[45] Keputusan Pemerintahan Setempat di Lais tanggal 25 Juli 1940 dalam Madjallah Pedoman Marga tanggal 14 October 1940, op cit., hlm. 270
[48] Hal ini berbeda dengan model pemerintahan marga yang berlaku di Lampung, di Lampung kepala kampung Jawa tidak punya hak pilih aktif maupun pasif untuk jabatan kepala marga.
[51] “ Verslag over 1913 omtrent de proefneming met de overbrenging van Soendaneesche gezinnen naar de onderafdeeling Redjang (Benkoelen)” dalam Koloniaal Verslag, 1914, op cit., hlm 13
[52] Mvo. onderafdeeling Rejang 1913, KIT 931, op cit., hlm. 53
[53] Diperkirakan penyakit malaria yang menyerang peserta kolonisasi merupakan penyakit bawaan dari Jawa, karena penyakit malaria hampir tidak ditemukan pada penduduk asli. Memorie van Overgave betreffende de Javanen kolonisatie, KIT 930, op cit., hlm. 33
[56] Di daerah Sumatera bagian Selatan unit politik dalam pemerintahan pribumi yang tertinggi pada setiap distrik adalah marga. Marga merupakan kumpulan dari beberapa dusun dan dipimpin oleh seorang kepala marga. Tiap marga memiliki tanah yang diakui menjadi daerah kekuasaan marga, akan tetapi sistim marga kemudian dihapus oleh pemerintah, kecuali di Bengkulu. Hal ini memudahkan pembukaan kolonisasi di Lampung dan desa-desa kolonisasi itu dipisahkan dari daerah penduduk asli dan mempunyai sistim pemerintahan sendiri. Akan tetapi saat sistim pemerintahan marga di Lampung diberlakukan kembali, tahun 1928 maka sejak saat ini setiap pembukaan kolonisasi baru harus mendapat ijin dari pemerintahan marga.
Source :
http://adimarhaen.multiply.com/journal/item/106/BENGKULU_DAERAH_KOLONISASI_ALTERNATIF_SEJARAH_BENGKULU1908_-1944
0 comments:
Post a Comment