Oleh : Dr.Lindayanti.M.Hum
Retype by : Adi Marhaen
A. Perkembangan Politik dan Pemerintahan di Bengkulu
Bengkulu melalui Traktat London tanggal 17 Maret 1824 beralih tangan dari pemerintah Inggris kepada pemerintah Belanda.[1] Pergantian kekuasaan mulai berlaku sejak 6 April 1825 dan diikuti dengan diangkatnya Residen Bengkulu B.C. Verploegh. Residen bertugas menangani urusan di ibukota Bengkulu dengan dibantu beberapa orang pejabat, seperti notaris, juru lelang, sedangkan untuk menangani urusan di luar ibukota Bengkulu diangkat seorang kepala wilayah.[2] Daerah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu dimulai dari arah paling utara, yaitu Muko-Muko[3], distrik Sungai Lemau[4], distrik Sungai Itam[5] dan distrik Selebar. Distrik-distrik ini diperintah oleh seorang pangeran. Selanjutnya, di bagian selatan kota Bengkulu berturut-turut terdapat wilayah Seluma, Manna, Kaur, dan Krui.[6]
Pada masa peralihan dari pemerintahan kompeni Inggris ke pemerintah kolonial Belanda, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah kolonial besar, yaitu hampir satu juta gulden/tahun yang digunakan untuk merawat jalan serta bangunan, membayar tunjangan bagi Kepala Anak Negeri, dan membeli lada penduduk.[7] Pengeluaran ini dianggap tidak sebanding dengan keuntungan yang dapat diambil dari Bengkulu. Oleh karenanya menurut E.A. Francis, Asisten Residen di Bengkulu (1828-1930), Bengkulu adalah wilayah yang tidak menguntungkan sehingga perlu dilakukan penataan kembali peraturan dan wilayah Bengkulu. Pembaharuan yang pertama dilakukan adalah tidak lagi membeli lada penduduk. Kedua, Bengkulu dimasukan ke wilayah administratif Keresidenan Pantai Barat Sumatra, sehingga jabatan dalam pemerintahan yang tertinggi adalah Asisten Residen dengan gaji f. 800. Ketiga, pos-pos pemerintahan yang berada di luar ibukota Bengkulu dihapuskan.[8]
Masa peralihan ini juga diwarnai dengan situasi politik yang tidak menguntungkan. Penghapusan pos-pos pemerintah di luar kota Bengkulu ini berpengaruh buruk terhadap ekonomi dan keamanan wilayah. Apabila pada tahun 1825 dan 1826 jalan-jalan ke distrik Kaur, Manna, dan Seluma ramai dipenuhi pedati yang mengangkut beras, tetapi setelah pos-pos pemerintah di luar Bengkulu dihapuskan, aktivitas perdagangan menurun. Hal ini antara lain disebabkan situasi di jalan yang tidak aman, sering terjadi perampokan dan pembunuhan terutama di jalur perdagangan Krui, Kaur, Manna, dan Seluma di sebelah selatan kota Bengkulu. Keadaan seperti ini sengaja dibiarkan oleh para kepala pribumi karena kerusuhan dapat menguntungkan mereka. Misalnya, mereka bisa mendapatkan uang denda yang dibayarkan dari kasus pencurian atau pembunuhan yang terjadi di wilayahnya.[9]
Sikap para kepala pribumi ini, terutama yang telah lama menikmati gaji dari Kompeni Inggris, disebabkan mereka menolak kebijakan Kompeni Inggris yang menyerahkan Bengkulu kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka mengakui kekuasaan Kompeni Inggris, tetapi Bengkulu bukan daerah taklukannya sehingga mereka ingin tetap dihargai hak-haknya serta adat istiadatnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati tahun 1818 antara Kepala Pribumi dengan Raffles.[10] Selain kelompok elit pribumi, pemerintah kolonial Belanda juga harus menghadapi penentangan kelompok Pengusaha perkebunan dan perdagangan rempah-rempah yang sebagian besar adalah orang Inggris yang berada di Bengkulu maupun di wilayah lain di Pulau Sumatera.
Meskipun demikian, perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan terus dilakukan. Pada masa pemerintahan Asisten Residen Knoerle (1830-1833) di wilayah Kaur, Krui, Muko-Muko, dan Silebar ditempatkan kembali seorang posthouder. Selain itu, Knoerle juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang memicu kemarahan elit pribumi, misalnya peraturan tentang penghapusan gelar kepangeranan dengan hak-hak tradisionalnya dan diadakannya reformasi dalam sistem pengadilan.
Dilanjutkan pada tahun 1832 Knoerle mengeluarkan kebijakan wajib tanam lada kepada kepala adat di distrik-distrik mulai dari Seluma sampai ke Kaur. Setiap kepala keluarga diwajibkan menanam 700 batang pohon lada (Piper ningrum L.), sedangkan untuk seorang bujang berusia di atas 15 tahun diwajibkan menanam 300 batang.[11] Wajib tanam ini tidak diberlakukan secara serentak, dimulai dari Kampung Sedada ( Krui) yang melibatkan 25 orang kepala keluarga. Selanjutnya, wajib tanam lada diberlakukan juga di daerah-daerah lain, misalnya di Seluma meliputi dusun-dusun Seluma, Allas, Angalam, dan Tallo, di distrik Lais, dan wilayah Muko-Muko (tahun 1833). Akan tetapi, percobaan penanaman lada ini tidak berjalan dengan baik karena tidak mendapat dukungan dari penduduk.
Penduduk tidak menyukai peraturan ‘wajib tanam lada’ dan para Anak Raja kecewa karena kekuasaan tradisionalnya dikurangi. Mereka bersama-sama mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Knoerle. Pada 27 Juli 1833 tejadi kerusuhan yang berakhir dengan terbunuhnya Asisten Residen J Knoerle di dusun Tanjung Ibrahim. Setelah peristiwa ini, untuk sementara pemerintahan Bengkulu dipegang oleh E.A. Francis.
Pada masa pemerintahan Francis, sejak tahun 1833 Sistem Tanam Paksa resmi diberlakukan di Bengkulu. Berdasarkan ketetapan Minister van Kolonien van den Bosch nomor. 369 , tanggal 14 Oktober 1833 seluruh penduduk Bengkulu diwajibkan menanam 300 pohon kopi (Coffea canephora L.) dan 250 batang pohon lada (Piper ningrum L.) setiap kepala keluarga, tetapi bagi mereka yang dapat membayar pajak antara f. 2- f. 4 dibebaskan dari wajibtanam.[12] Oleh sebab itu, penduduk Bengkulu harus memperbaharui kebun-kebun lada dan mulai menanam tanaman kopi.
Wajib tanam lada dan kopi tersebut tidak dapat berjalan lancar karena penduduk tidak puas dengan perjanjian kerja yang berlaku. Misalnya, pada tahun 1847 penduduk daerah Krui menuntut adanya perbaikan perjanjian kerja karena ‘wajib tanam lada dan kopi’ selama ini dirasakan memberatkan penduduk. Kasus lain, penduduk di Seluma dan sekitar kota Bengkulu berhenti menanam lada dan kopi. Dampaknya, hasil lada masih jauh dari harapan. Dari tahun 1846 sampai tahun 1848, kebun-kebun lada milik pemerintah di Bengkulu hanya menghasilkan 3.840 pikul/tahun, sedangkan kebun-kebun kopi penduduk belum banyak menghasilkan.
Permasalahan lain yang harus dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu adalah serangan-serangan yang dilakukan oleh penduduk dataran tinggi terhadap penduduk yang bermukim di dataran rendah. Meskipun pada tahun 1841 pemerintah kolonial telah mengadakan perjanjian kerja sama dengan empat pasirah dari Lebong, tetapi sampai tahun 1855 masih terjadi pelanggaran perbatasan daerah dan penyerangan-penyerangan yang membahayakan penduduk daerah rendah. Oleh karena itu, pada tahun 1856 pemerintah kolonial meninjau kembali perjanjian tahun 1841 dan mengadakan kesepakatan baru dengan pasirah-pasirah di Lebong.
Selain itu, pada tahun 1858 pejabat pemerintah di Bengkulu dan pejabat pemerintah di Palembang mengadakan kesepakatan untuk melakukan ekspedisi militer ke daerah-daerah Lebong, Rejang, Ampat Lawang, dan Pasemah.[13] Kesepakatan itu diikuti dengan dikeluarkannya keputusan pemerintah tanggal 29 Juni 1859 yang berisi perintah kepada Mayor Cobet untuk melakukan ekspedisi militer ke daerah Rejang, Lebong, dan Pasemah. Hasil ekspedisi militer ini, daerah Rejang dan Lebong dapat ditaklukan dan dimasukan ke wilayah administratif Karesidenan Palembang.[14] Selanjutnya, pada tahun 1866 daerah Pasemah Ulu Manna ditaklukan dan dimasukan ke wilayah administratif Bengkulu.
Reorganisasi bidang pemerintahan di Bengkulu kembali terjadi pada masa pemerintahan Asisten Residen J. Walland (1861-1865), antara lain dengan penghapusan pemerintahan kabupaten (regentschappen) dan tetap mempertahankan sistem marga. Secara berangsur regentschap dihapuskan di Sungai Lemau tahun 1861, Sungai Itam (tahun 1862). Silebar (tahun 1864) dan yang terakhir Muko-Muko pada tahun 1870. Selanjutnya, desa-desa disatukan dalam satu ikatan marga dan gabungan beberapa marga disatukan menjadi satu wilayah, yaitu onderafdeeling di bawah pimpinan seorang kontrolir.[15]
Pada saat Undang-Undang Agraria tahun 1870[16], dilaksanakan di Bengkulu maka Tanam Paksa kopi dan lada dihapuskan dan digantikan dengan kebijakan baru, yaitu penarikan pajak kepala (hoofdelijke belasting) yang mulai berlaku 1 Januari 1873.[17] Kebijakan penarikan pajak ini memicu kembali perlawananan rakyat Bengkulu terhadap pemerintah kolonial Belanda. Misalnya, pada bulan April 1873 tempat tinggal Asisten Residen Humme diserang oleh tiga orang penduduk dari Sungai Itam. Meskipun serangan dapat digagalkan, tetapi di kota Bengkulu orang-orang Eropa menjadi panik dan mereka diungsikan ke dalam benteng untuk beberapa hari. Perlawanan penduduk lainnya juga terjadi di daerah Seluma dan Lais dan puncak perlawanan penduduk terjadi pada tanggal 2 September 1873 ketika Asisten Residen H.C. v . Amstel dan Kontrolir daerah Lais Castens terbunuh dalam perjalanannya ke Bintunan (onderafdeeling Lais).[18]
Menurut laporan pejabat Belanda, kerusuhan-kerusuhan terjadi karena penduduk dihasut oleh keturunan Anak Raja. Penghapusan sistem pemerintahan tradisional telah berdampak pada turunnya prestise keturunan Anak Raja sehingga mereka menghasut penduduk untuk melawan pemerintah seperti yang terjadi pada kerusuhan di Bintunan yang mengakibatkan terbunuhnya H. van Amstel dan E.F.W. Carstens. Hal ini berkaitan dengan penolakan pemerintah terhadap permintaan pemulihan kelembagaan adat turun temurun oleh keturunan Anak Raja.
Berkaitan dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Bengkulu maka pemerintah di Batavia mengirim dua kompi militer untuk menumpas kerusuhan-kerusuhan itu. Selanjutnya, di Bengkulu terjadi pengejaran dan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap pemimpin pemberontakan, antara lain Pasirah
Samban, Pasirah Tampan Anak Dalam, dan Haji Maridan.[19] Setelah operasi-operasi militer dilakukan, maka perlawanan penduduk Bengkulu dapat dihentikan.
Setelah pemerintahan kolonial Belanda dapat menguasai wilayah Bengkulu dan perlawanan penduduk ditumpas. Pada tahun 1878 pemerintah meningkatkan status Bengkulu menjadi keresidenen.[20] Selanjutnya, sejak tahun 1904 wilayah keresidenan Bengkulu bertambah luas dengan dimasukkannya daerah Dataran Tinggi Rejang-Lebong yang subur. Hal ini dilakukan untuk kepentingan politik dan ekonomi kolonial Belanda meskipun penggabungan tersebut tidak disetujui oleh para pasirah wilayah
Sindang.[21]
Dari sudut ekonomi, dimasukannya Dataran Tinggi Rejang Lebong ke wilayah Bengkulu berarti menyatukan daerah penambangan, semula sebagian daerah penambangan Lebong berada di wilayah Bengkulu dan sebagian lain di wilayah Palembang. Selanjutnya, pada tahun 1908 melalui Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1908 no. 646, Keresidenan Bengkulu dibagi menjadi lima daerah afdeeling, yaitu Afdeeling Bengkulu, Afdeeling Lebong, Afdeeling Seluma, Afdeeling Manna, dan Afdeeling Krui. Pembuatan ‘peta baru’ daerah yang berhasil dikuasai menandakan bahwa Bengkulu secara keseluruhan mulai tergabung dengan pola umum yang diterapkan di seluruh wilayah Hindia Belanda.
B. Perekonomian Penduduk
Menurut laporan para kontrolir Belanda, misalnya P. Wink dan J.L.M. Swaab mata pencaharian penduduk Bengkulu pada umumnya bertanam padi (Oryza sativa L.), berkebun, dan mengumpulkan hasil hutan. Penduduk Bengkulu kebanyakan menanam padi di ladang kering atau di tanah berawa. Salah satu daerah penghasil padi di Bengkulu adalah Muko-Muko, karena di sana tanahnya basah sehingga cocok untuk pertanian.
Setiap tahun penduduk menanam padi pada bulan-bulan September dan Oktober dan pada bulan April atau Mei tahun berikutnya padi sudah siap dipanen. Pembukaan ladang dilakukan pada saat pohon kenidai (Bridelia pustalata L.) mulai berbunga. Hal tersebut digambarkan dalam sajak berikut.
Kenidai berbunga, tebas hutan dan menebang hutan tua
Kenidai masak, memanggang
Kenidai gugur daun, menugal ladang.[22]
Saat pohon kenidai mulai berbunga pertanda mulai datangnya musim kemarau, sehingga mereka dapat memulai menebang hutan. Setelah daun-daunnya mulai berguguran, artinya musim hujan akan segera datang, mereka dapat mulai menyebar bibit. Selain tanda-tanda dari pohon kenidai mereka melihat dari posisi bintang, posisi bintang tiga ( mata taun), ataupun bintang tujuh (bintang puru).[23]
Ladang biasanya digarap hanya dua tahun karena setelah itu mereka pindah mencari ladang baru, sedangkan ladang pertama baru dapat digarap lagi setelah dibiarkan antara enam sampai tujuh tahun.[24] Ladang penduduk seringkali terletak jauh dari dusun dan tersebar di berbagai tempat. Selama mereka bekerja di ladang, mereka dan keluarganya tinggal di pondok kecil dekat ladang.
Tahapan berladang dimulai dengan menebang pepohonan di hutan, sedangkan ranting-ranting pohon dibiarkan sampai kering. Setelah kering, ranting dibakar dan abu dari sisa pembakaran dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Luas ladang yang dibuka bervariasi antara, 40x40 depa, 50x50 depa, 50x80 depa, atau 20x80 depa.[25] Ladang yang telah dibuka ini diberi pagar bambu untuk menghindarkan tanaman dari serangan binatang. Pada saat para lelaki membuka ladang, maka para wanita bekerja di sekitar pondok untuk menanam tanaman seperti, ubi (Manihot utilisima L.), jagung (Zea mays L.), ataupun tebu (Saccharum officinarum L.).[26] Mereka kembali ke dusun setelah padi dipanen. Apabila ladang mereka berada dekat dengan dusun, maka mereka pada pagi hari berangkat ke ladang dan pulang ke rumah pada sore hari.
Selain bertanam padi (Oryza sativa L.), penduduk masih bertanam tanaman dagang, yaitu lada (Piper ningrum L.), cengkeh (Eugenia aromatica L.), kopi (Coffea canephora L.), tembakau (Nicotania tabacum L.). Kebun-kebun lada masih bisa didapatkan di dataran pantai Manna,[27] sedangkan penduduk di dataran tinggi Manna, seperti marga Pasemah Ulu Manna, di samping berladang mereka bertanam kopi, sayuran, dan tembakau untuk kebutuhan sendiri. Kebun-kebun lada juga terdapat di Kaur, terutama dusun-dusun yang berada di aliran sungai, di antara Air Kinal dan Air Seranjangan sampai ke Air Kulo. Di daerah Krui yang memiliki dataran pantai yang sempit, penduduk hidup dengan bersawah dan bertanam kelapa (Cocos nucifera L.) untuk dibuat kopra. Pusat pemerintahan berada di Pasar Krui, sebuah desa makmur yang menjadi pusat perdagangan kopi yang berasal dari dataran tinggi. [28] Setelah Pasar Krui sampai Vlakken Hoek, dataran pantai masih berupa hutan dan hanya dapat dicapai melalui jalan laut dari Bengkulu.
Dua daerah di Bengkulu bagian utara, Lais, dan Muko-Muko, sudah sejak masa pemerintahan Kompeni Inggris penduduk hidup dengan berkebun lada dan pusat pengumpul lada berada di Manjuto, Seblat dan Ketahun. Daerah Muko-Muko, selain dikenal sebagai penghasil lada, juga merupakan penghasil padi terkemuka di Keresidenan Bengkulu, di samping sebagai daerah penghasil produk hutan. Daerah penghasil lada lainnya adalah Lais. Pada tahun 1848 di Lais masih banyak terdapat kebun-kebun lada rakyat yang dapat menghasilkan sekitar 91 pikul/tahun.[29] Akan tetapi, mata pencaharian utama penduduk tetap bertanam padi, dan menanam kelapa untuk keperluan sendiri. Selain bertani dan berkebun, sebagian penduduk memelihara ternak terutama kerbau (Bos bubalus L.) dan kambing (Capricornis sumatraensis L.), sedangkan sapi (Bos taurus L.), dan kuda (Equus caballus) ditemukan dalam jumlah sedikit. Mereka menggunakan kerbau, sapi, dan kuda hanya sebagai penarik pedati.
Setelah Bengkulu dimasukkan menjadi wilayah Hindia Belanda, maka langkah pertama pemerintah kolonial Belanda masih tetap mempertahankan dasar perekonomian yang telah ada, yaitu pertanian padi, perkebunan lada, dan kopi. Kemudian, dalam rangka meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan beras, maka pemerintah daerah Bengkulu mulai menggalakkan penanaman tanaman ekspor, seperti lada dan kopi, dan mendorong petani Bengkulu untuk beralih dari berladang pindah menjadi pertanian menetap, yaitu bersawah. Pertama, budidaya padi digalakkan untuk mencukupi kebutuhan beras di Bengkulu karena selama ini pemerintah harus mendatangkan beras dari Jawa dan Sumatera Barat untuk memenuhi kebutuhan beras bagi penduduk kota Bengkulu dan tangsi-tangsi militer. Hal ini antara lain karena hasil ladang penduduk hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengembangan sawah dimulai dengan pembangunan irigasi sederhana oleh penduduk, misalnya yang dilakukan penduduk di Lais, Manna, Muko-Muko, dan Krui. Selanjutnya diikuti dengan pembukaan sawah-sawah baru, misalnya pada tahun 1874 luas sawah baru di Manna seluas 22 bau, kemudian pada tahun 1875 meningkat menjadi 65 bau.[30] Meskipun demikian, kebanyakan petani masih berladang karena terbentur masalah pengairan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah melalui Departemen Pekerjaan Umum (Burgelijke Openbaare Werken) berencana membangun irigasi untuk mengairi persawahan penduduk.
Kedua, pemerintah daerah juga menggalakkan petani untuk menanam tanaman ekspor, misalnya kopi. Pengembangan penanaman kopi dimulai di sekitar ibukota Bengkulu (Benkoelen Ommelanden), salah satunya dilaksanakan di Dusun Rinduhati. Hasil percobaan ini sudah mulai terlihat pada tahun 1875, yaitu di Rinduhati telah terdapat 106.000 tanaman kopi.[31] Setelah itu, tanaman kopi diperluas sampai daerah Seluma ( Distrik Alas), Manna, dan Lais. Pada tahun 1887 kebun kopi rakyat di daerah Manna sudah menghasilkan sebanyak 646 pikul, sedangkan kebun kopi rakyat di Krui telah menghasilkan 2.028 pikul dan pada tahun 1888 meningkat menjadi 2.691 pikul.
Selain itu, para petani Bengkulu masih tetap mempertahankan kebun-kebun lada mereka karena pemerintah tidak mewajibkan menanam lada dan melakukan pembelian hasil lada dengan harga rendah. Selanjutnya, untuk membangkitkan petani menanam lada, pemerintah mendatangkan bibit tanaman lada dari Lampung untuk dibagikan kepada penduduk. Di Kaur, penduduk tetap berladang padi di samping menanam lada (Piper ningrum L.) dan cengkeh (Eugenia aromatica L.).[32]
Selain berladang, sebagian penduduk pribumi Bengkulu juga berprofesi sebagai pedagang kecil yang berjualan pada pasar di daerah pedesaan. Komoditas yang diperdagangkan di pasar lokal antara lain, barang keperluan rumah tangga, misalnya kayu untuk dinding rumah, daun nipah untuk atap rumah, dan kadang juga dijual jaring, perahu kecil, untuk keperluan menangkap ikan.[33] Kemudian, kelompok pedagang menengah berdagang antara lain, kain linen, barang logam, dan peralatan rumah tangga dan biasanya mereka adalah orang Cina, orang Palembang, dan orang Padang yang bertempat tinggal di ibukota Bengkulu.
Apabila di daerah-daerah dataran pantai kehidupan ekonomi penduduk bersandar pada pertanian padi dan perkebunan lada dan cengkeh , maka penduduk di dataran tinggi bertanam padi, sayuran, dan tanaman kopi. Seperti halnya penduduk di dataran tinggi Rejang yang memiliki tanah vulkanis subur, mereka hidup terutama bertanam padi dan kopi. Daerah Rejang yang terletak di perbukitan, mulai dari Bukit Seblat membentang ke sebelah tenggara sampai Bukit Ulu Sulup dan berlanjut dengan rangkaian bukit dengan puncaknya Bukit Daun,[34] sangat cocok untuk pertanian dan perkebunan seperti kopi dan tanaman keras lainnya.
Hal ini agak berbeda dengan daerah Lebong di sebelah tenggara Rejang yang daerahnya bervariasi, yaitu perbukitan dan dataran. Daerah perbukitan terdapat di antara Bukit Gedang dan Gunung Seblat (Marga Suku IX). Dusun-dusun di sini letaknya tersebar di hutan belantara di punggung bukit dan masih berupa kelompok pemukiman kecil. Penduduk hidup dengan berladang padi di lahan kering. Tanah perbukitan ini mengandung biji tambang, misalnya di perbukitan Bukit Lumut dan Bukit Welirang yang membuka peluang bagi penduduk untuk bekerja menambang emas. Akan tetapi, sejak masa pemerintahan Inggris terjadi perubahan profesi penduduk di Dataran Tinggi Lebong. Dimulai dengan datangnya pedagang Inggris dari Bengkulu ke Lebong untuk membeli damar, rotan, dan tanaman dagang lain, misalnya kopi, maka peduduk menjadi lebih tertarik bertanam kopi dan mencari hasil hutan daripada menambang emas.
Penambangan emas tidak menarik lagi bagi penduduk karena setiap mereka menggali emas sering diikuti dengan kejadian gempa bumi yang menakutkan penduduk. Penduduk menganggap bahwa gempa terjadi karena jin yang tinggal di dalam tanah marah sebab tempat tinggalnya digali orang. Selain itu, banyak pekerja tambang meninggal dunia akibat dimangsa harimau (Felis tigris L.), ataupun tertimpa reruntuhan tanah akibat gempa.[35] Meskpiun demikian, pada tahun 1847 dilaporkan bahwa masih terdapat penambangan emas di Lebong yang dilakukan oleh penduduk setempat dan hasil emasnya dibawa ke dataran pantai Lais untuk ditukarkan dengan kain, garam, dan sebagainya.[36]
Di samping daerah perbukitan, di Lebong terdapat dataran lembah, yaitu Lembah Ketahun. Lembah Ketahun menurut ceritera rakyat terbentuk dari letusan gunung berapi, yaitu Bukit Daun Gedang Ulu Lais, Bukit Welirang, dan Bukit Lumut. Letusan yang disertai gempa bumi besar telah meruntuhkan tanah di sekitarnya sehingga terbentuk Dataran Ketahun. Panjang lembah kira-kira 20km dengan lebar dataran bervariasi antara 5 sampai 10km, dan dialiri oleh Sungai Air Ketahun.[37] Oleh karena kesuburannya, maka Lembah Ketahun sudah sejak lama menjadi pemukiman penduduk dan sudah banyak persawahan di sini.
C. Penduduk dan Peraturan Kepemilikan Tanah
C.1 Penduduk
Penduduk Bengkulu terbentuk dari orang-orang yang berasal dari dataran tinggi Perbukitan Barisan, yaitu orang Rejang dan orang Pasemah (Palembang), orang Lampung, dan orang Minangkabau. Perpindahan penduduk dari daerah asal ini membentuk suatu identitas baru. Misalnya, perpindahan orang Rejang yang berasal dari Dataran Tinggi Rejang Lebong menuju daerah pantai (Lais). Mereka mendirikan pemukiman baru di tepian sungai, misalnya di antara Air Bintunan dan Air Padang, [38] dan mereka dikenal dengan sebutan Rejang Pesisir.
Orang Minangkabau yang masuk melalui Indrapura masuk sampai ke daerah Kaur (Bengkulu). Di sini mereka bercampur dengan kelompok lain yang berasal dari Palembang, sehingga membentuk suatu identitas baru, yaitu orang Kaur. [39] Misalnya, di Marga Muara Nasal (Kaur) sebagian penduduknya berasal dari Minangkabau. Menurut cerita rakyat, daerah pesisir pantai ini mulanya dihuni oleh suku Buai Harung (Waij Harung) dari landschap Haji (Karesidenan Palembang). Sejak sekitar abad ke-18, mereka mendirikan kolonisasi pertama di muara sungai Sambat yang selanjutnya berkembang sampai ke Muara Nasal. Akan tetapi, pada saat daerah itu diambil alih oleh orang-orang dari Pagaruyung yang masuk melalui Indrapura, sebagian dari mereka terdesak ke Lampung. Mereka bercampur dengan penduduk setempat sehingga dikenal sebagai orang Abung. Sebagian lain suku Buai Harung bercampur dengan orang Minangkabau dan menjadi orang Kaur. [40]
Penduduk yang bermukim di Kaur juga merupakan percampuran antara orang dari sekitar Bengkulu dengan orang Pasemah. Misalnya, di dusun Muara Kinal (Marga Semidang), keberadaan penduduk dimulai dengan berdirinya pemukiman orang-orang dari sekitar Bengkulu (onderafdeeling Bengkulu). Pemukiman ini bergabung dengan pemukiman orang Gumai yang berasal dari Pasemah Lebar dan menjadi satu marga, yaitu marga Semidang Gumai.
Pergerakan penduduk dari daerah sekitar menuju Bengkulu terus terjadi sampai sekitar abad ke-19, yaitu percampuran orang Pasemah dan orang Kaur yang dimulai dari kedatangan orang Pasemah yang mendirikan pemukiman di hulu sungai Air Tetap (Marga Ulu Tetap). Selanjutnya, mereka bergabung dengan orang Kaur yang bermukim di Marga Muara Tetap, dan gabungan dua marga ini menjadi Marga Tetap.
Di Kaur terdapat juga orang-orang dari daerah Semendo Darat dari Dataran Tinggi Palembang (Marga-marga Sindang Danau, Sungai Aro, dan Muara Sabung). Mereka bertempat tinggal di Muara Nasal, sekitar 15 km ke arah mudik dari Sungai Nasal, dan bernama Marga Ulu Nasal. Penduduk Marga Ulu Nasal terbentuk dari campuran orang-orang dari daerah Semendo Darat dan Mekakau (Palembang). Kemudian di daerah Manna terdapat orang Serawai, yang menurut legenda berasal dari Pasemah Lebar (Pagar Alam). Mereka berpindah dan bermukim di dusun Hulu Alas, Hulu Manna, Padang Guci, dan Ulu Kinal (daerah Manna).[41]
Daerah pantai Lais mendapatkan tambahan penduduk yang berasal dari Minangkabau. Kedatangan mereka diperkirakan berkaitan dengan kedatangan pangeran dari Minangkabau ke daerah orang Rejang dan mereka menjadi cikal bakal Kerajaan Sungai Lemau. Selain itu, di daerah pantai juga terdapat orang Melayu, mereka memiliki daerah pemukiman sendiri yang disebut dengan ‘pasar’ dan dipimpin oleh seorang datuk.[42]
Di daerah pesisir orang Melayu juga bercampur dengan orang Rejang sehingga pemukiman-pemukiman orang Melayu ini masuk dalam pemerintahan marga. Meskipun demikian, dusun-dusun tersebut tetap dengan sebutannya ‘pasar’, seperti pasar Seblat, pasar Kerkap dan di pimpin oleh seorang datuk, tetapi dusun-dusun tersebut adalah bagian dari pemerintahan marga.[43]
Orang Rejang, orang Pasemah, orang Minangkabau, dan orang Lampung selanjutnya terikat dalam satu kesatuan wilayah, yaitu Keresidenan Bengkulu. Mereka tersebar di daerah-daerah Bengkulu sebagai berikut:
1) Kelompok orang Rejang sebagian besar bermukim di daerah Rejang dan Lebong, dan sebagian lain berada di pesisir pantai bagian sebelah Barat dari Bukit Barisan, Lembak Beliti di Selatan, Seblat dan sampai ke Sungai Ipuh di sebelah Utara.
2) Kelompok Orang Pasemah atau Midden Maleiers yang dapat dibedakan menjadi:
(1) Orang Pasemah bermukim di bagian hulu sungai Manna, Air Kinal, dan Air Tello, dan di daerah aliran sungai Kedurang, dan sungai Padang Guci.
(2) Orang Serawai berada di daerah Manna, Bengkulu-Seluma, dan Rejang.
(3) Orang Semendo berada di daerah muara sungai Sungai Luas ( Kaur)
(4) Orang Mekakau bermukim di hulu Air Nasal (Kaur) dan di marga Way Tenong ( Krui).
(5) Orang Kaur bertempat tinggal di pesisir pantai daerah Kaur
3) Orang Lampung bertempat tinggal di marga Way Tenong, sebagian besar daerah Krui, dan di aliran sungai Nasal ( Kaur).
4) Orang Minangkabau, terutama berada di daerah Muko-Muko.[44]
Pada masa pemerintahan Kompeni Inggris penduduk Bengkulu semakin beragam. Misalnya, kelompok budak yang didatangkan dari Madagaskar dan Mozambique, orang Cina, orang-orang hukuman dari Benggala, dan budak-budak orang Nias.[45] Selain itu terdapat pendatang-pendatang spontan, misalnya orang-orang Bugis dan orang Madura.
Sampai abad ke-18 pergerakan penduduk Bengkulu terus menerus terjadi antara lain karena endemi penyakit yang datang secara periodik, misalnya cacar. Selain karena penyakit, perpindahan terjadi karena mereka menghindar wajib tanam lada pada masa Kompeni Inggris. Meskipun pemerintahan Kompeni Inggris mengeluarkan larangan penduduk meninggalkan desanya, tetapi perpindahan penduduk tetap terjadi. Hal ini menyebabkan di berbagai dusun, terutama yang berada di daerah pantai jumlah penduduk hanya sedikit.
Saat Bengkulu diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda (tahun 1825), jumlah penduduk masih sekitar 61.233 orang dan tersebar di sembilan distrik. (Tabel. 3.1) Kebanyakan mereka bertempat tinggal di dataran pantai di sekitar ibukota Bengkulu, yaitu di dusun-dusun, terutama yang terletak di sebelah utara kota Bengkulu sampai ke Lais, dan di sebelah selatan kota Bengkulu
Tabel. 3.1. Nama Distrik Dan Jumlah Penduduk Bengkulu Tahun
1831- 1832
Nama Distrik | Jumlah Dusun | Jumlah Penduduk |
Bengkulu | - | 10.000 |
Kaur | 59 | 5.350 |
Krui | 64 | 4.702 |
Muko-Muko | 89 | 9.448 |
Seluma,Manna | 119 | 7.832 |
Sillebar | 50 | 6.962 |
Sungai Itam | 42 | 4.122 |
Sungai Lemau | 143 | 12.817 |
Sumber: E.A. Francis, ‘Benkoelen in 1833’, TNI 4e jrg 1e deel, 1842, hlm. 423 -424.
sampai ke Manna. Selebihnya berupa dataran pantai berawa-rawa sehingga penduduknya sedikit, seperti dataran pantai antara muara Sungai Ngalam (44 km di sebelah Selatan kota Bengkulu) sampai Pasar Tallo yang hanya terdapat beberapa pemukiman, dan Pasar Seluma sebagai pusat pemerintahan yang hanya dihuni 201 orang.[46] Di sebelah utara, mulai dari Dusun Ketahun sampai ke Pasar Muko-Muko, di dataran pantai sepanjang 140 km hanya dihuni oleh 3.613 orang.
Selain penduduk pribumi di Bengkulu juga terdapat orang-orang Eropa, orang Timur Asing, dan orang Cina. Hampir semua orang Eropa adalah peranakan (Mestizo), mereka bekerja di kantor pemerintah. Orang-orang Cina di Bengkulu memiliki usaha yang bervariasi. Selain berprofesi sebagai pedagang, ada juga sebagai pemilik pegadaian, pemilik perkebunan lada dan cengkeh, misalnya Kapiten Cina Oei Ngo Teng. Selanjutnya orang Timur Asing, seperti orang Persia dan peranakan orang Arab bekerja sebagai pedagang.
Penduduk Bengkulu jumlahnya tiap tahun tidak tetap. Misalnya, pada tahun 1831 dan 1832 penduduk berjumlah 149.105 orang, berkurang menjadi 141.468 orang pada tahun 1874,dan pada tahun 1875 bertambah sedikit menjadi 142.082 orang.[47] Peningkatan penduduk yang cukup tinggi tejadi pada tahun 1888 sehingga penduduk Bengkulu berjumlah 193.860 orang, dan bertambah sedikit menjadi 193.900 orang pada tahun 1889 .[48]
Daerah-daerah yang berdekatan dengan kota Bengkulu dan telah memiliki sarana jalan menuju ibukota Bengkulu merupakan daerah berpenduduk banyak, misalnya Ommelanden, Seluma, dan Manna. (Tabel. 3.2) Terjadinya fluktuasi jumlah penduduk Bengkulu
Tabel. 3.2. Jumlah Penduduk Keresidenan Bengkulu Tahun
1874-1875
Daerah | Tahun 1874 | Tahun 1875 |
Kota Bengkulu | 6.544 | 6.753 |
Muko-Muko | 18.213 | 18.736 |
Lais | 13.108 | 13.141 |
Ommelanden | 22.859 | 22.572 |
Seluma | 20.915 | 20.769 |
Manna | 23.555 | 23.819 |
Ps.Ulu Manna | 2.595 | 2.613 |
Kaur | 9.635 | 9.635 |
Krui | 18.044 | 18.044 |
Enggano | 6.000 | 6.000 |
Jumlah | 14 141.468 |
142.082 |
Sumber: Algemeen Verslag Residentie Benkoelen, tahun 1875.
antara lain disebabkan oleh kematian ataupun perpindahan penduduk antar marga, bahkan ke karesidenan lain. Perpindahan penduduk Bengkulu dapat terjadi karena menghindar dari wajib kerja kepada pemerintah, menghindar dari pemerasaan yang dilakukan oleh kepala adat, atau mencari kerja di tempat lain. Dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan yang tidak memperbolehkan seseorang meninggalkan desanya lebih dari 1 bulan.
Biasanya, penduduk dari Bengkulu berpindah untuk sementara ke Keresidenan Palembang. Kadang mereka tidak kembali ke Bengkulu dan menetap di sana. Misalnya, seorang yang menikah dengan wanita Palembang (kawin semendo) dan si wanita menolak untuk ikut suami ke Bengkulu, maka si lelaki yang menetap di Palembang. Kejadian seperti ini tentu tidak dapat ditolak oleh pemerintah dan akan berakibat penduduk Bengkulu menjadi berkurang. Di samping itu, masih banyak penduduk yang semula pindah ke Palembang akhirnya pulang ke Bengkulu.
Pada awal abad ke-20, Bengkulu dengan luas daerah 24.400 km2, jumlah penduduknya sudah bertambah dari 161.185 orang (tahun 1900) menjadi sekitar 204.269 orang dengan kepadatan penduduk 9 orang/km2 (tahun 1905).[49] Pertambahan penduduk ini terjadi antara lain karena dimasukkannya daerah Rejang Lebong ke Keresidenan Bengkulu pada tahun 1904.
C.2 Peraturan Kepemilikan Tanah setelah Tahun 1870
Peraturan tanah untuk Sumatera yang mulai dilaksanakan pada tahun 1875, dan reorganisasi pemerintahan Bengkulu dengan ditetapkannya sistem marga telah mengubah peraturan pertanahan di Bengkulu. Dimulai dengan penggabungan beberapa dusun dalam satu ikatan marga, maka dengan sendirinya dusun tidak lagi memiliki hak atas tanah sendiri karena hak atas tanah berada pada marga. Misalnya, beberapa dusun (kuteui) di Lebong disatukan dalam satu ikatan marga,[50] sehingga di wilayah Lebong terdapat 5 marga, yaitu Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman.[51] Dengan demikian, pengertian dusun (kuteui) yang bersifat genealogis berubah menjadi dusun yang mengandung pengertian teritorial dengan batasan wilayah berdasarkan kondisi alam, misalnya perbukitan, sungai, dan pohon besar.
Penduduk dusun yang terikat dalam satu marga memiliki tanah bersama yang disebut tanah marga. Selanjutnya, penduduk sebagai anggota sebuah marga memiliki hak-hak sebagai berikut:[52]
1) Hak membuka tanah kosong yang disebut imbo,[53] yang dapat digunakan sebagai ladang.
2) Hak mengambil hasil hutan, misalnya rotan dan damar, hasil sungai dan danau, misalnya ikan, hasil berburu binatang liar, hasil menggali barang tambang, misalnya emas dan perak, dan hasil buah-buahan hutan, misalnya durian utan dan petai utan.
3) Hak memiliki pohon-pohon di hutan dan dapat mengambil buahnya.
4) Hak bertempat tinggal di tanah marga.
Apabila seseorang yang telah membuka ladang dan meninggalkannya setelah masa panen, maka dia masih tetap
memiliki hak atas tanah itu.[54] Tanah imbo yang telah dibuka jika akan ditinggalkan diberi tanda dengan tanda acak-acak yang diikat dengan akar kayu ataupun rotan. Seseorang dapat kehilangan hak atas tanah itu apabila akar atau rotan sebagai pengikat tanda itu jatuh.
Masa berlaku hak atas tanah imbo ini berdasarkan pada tahap pembukaan hutan yang telah dilakukan seseorang.[55] Apabila seseorang telah membuka tanah imbo sampai dengan memanggang (sakeuih) maka orang tersebut memiliki hak utama selama satu tahun. Jika kemudian tanah ditelantarkan dan tidak digarap, maka dia akan kehilangan hak dan mendapat hukuman. Sebaliknya, bila seseorang yang membuka tanah dan menggarapnya menjadi ladang, meskipun setelah panen ditinggalkan dia tetap memiliki hak atas tanah tersebut selama tiga tahun.[56]
Selain hak utama atas tanah yang telah dibuka, seorang penduduk marga juga memiliki hak utama atas hutan yang berada di sekitar ladang (ujung taneuik),[57] karena setiap penduduk marga (mata gawe) berhak menambah luas tanah garapan yang menurut aturan seluas 40 jenjang. [58] Hak guna semacam ini terutama berlaku di daerah yang masih memiliki banyak lahan kosong. Akan tetapi, di daerah padat penduduk penggunaan tanah cadangan dibatasi. Semua penggunaan tanah diatur oleh Dewan Marga.
Tanah ladang yang dikerjakan secara terus-menerus akan dapat menjadi hak milik penggarap. Akan tetapi hak tersebut tidak berlaku untuk lahan persawahan yang hanya dikenal dengan hak pakai. Hak pakai sawah air idup [59] adalah 3 tahun, sedangkan untuk sawah bendar langit[60] hanya satu tahun dan berlaku bagi orang pertama yang membuka sawah itu. Hak pakai tanah juga
berlaku bagi orang luar,[61] sehingga orang dari luar marga dapat menggarap tanah di marga tersebut. Hak menggarap tanah akan hilang apabila tanah tidak digarap lagi. Tanah-tanah di sekitar marga yang dibiarkan terbengkalai, misalnya sawah yang hilang pematangnya, pekarangan tidak terpelihara dengan rumah yang sudah roboh, dan tebat/kolam yang sudah tertimbun akan kembali menjadi milik marga.
Pada prinsipnya hak pakai dapat menjadi hak milik, dan setelah itu dapat dipindahkan atau diwariskan. Akan tetapi hak tersebut hanya berlaku pada penduduk marga dan tidak berlaku bagi penduduk di luar marga. Penduduk dari luar marga bisa mendapatkan hak yang sama dengan anggota marga (orang Rejang) apabila seorang lelaki pendatang memiliki istri orang Rejang sehingga hak pakainya dapat menjadi hak milik.
Orang luar yang akan membuka tanah imbo harus mendapatkan izin dari kepala marga. Setelah itu mereka dapat menggarap tanah dengan membayar uang sewa bumi dengan status tanah hak pakai. Hak itu akan hilang setelah masa panen dan untuk dapat tetap menggarap kembali tanah tersebut, penggarap harus membayar uang sewa bumi atau mendaftar sebagai mata gawe (penduduk marga) dengan demikian hak pakai atas tanah tersebut dapat beralih menjadi hak milik.
D. Bengkulu Mencari Tenaga Kerja (Tahun 1870-1904)
D.1 Pemerintah dan Tenaga Kerja Paksa
Penerapan kebijakan ekonomi liberal dari tahun 1870 sampai tahun 1905,[62] yang disertai keluarnya Undang-undang Agraria pada tahun 1870 (Staatsblad tahun 1870 no. 55) membawa perubahan bagi perekonomian Bengkulu. Masuknya modal swasta Barat terutama di sektor perkebunan dan penambangan diikuti dengan pekerjaan pembukaan hutan untuk dijadikan kebun dan eksplorasi tambang. Akan tetapi, keadaan politik yang belum stabil; infrastrukur, misalnya jaringan jalan darat dan angkutan sungai, pelabuhan laut yang belum memadai; dan tenaga kerja sedikit, maka pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, tahun 1870 sampai tahun 1905, Bengkulu masih tertinggal dari daerah Sumatera bagian Selatan lainnya, seperti Palembang [63]
Sampai dengan akhir abad ke-19 jaringan jalan di Bengkulu masih terbatas. Jaringan jalan yang telah ada, antara lain jalan aspal sepanjang 375 pal Jawa di dataran pantai Barat Sumatera, dimulai dari Krui di Bengkulu bagian selatan sampai dengan perbatasan Indrapura di Bengkulu bagian utara. Selebihnya jalan masih berupa jalan tanah, misalnya jalan yang menghubungkan kota Bengkulu dengan dusun-dusun di Dataran Tinggi Rejang Lebong, sepanjang 32 ¼ pal Jawa; jalan setapak untuk pejalan kaki dan angkutan pedati sepanjang 38 ½ pal Jawa antara Manna dengan Pasemah Ulu Manna; jalan setapak sepanjang 25 pal Jawa menghubungkan Bintuhan (Kaur) dengan daerah Semendo; jalan setapak sepanjang 22 pal Jawa menghubungkan Krui dengan Liwa; jalan setapak dari Ketahun menuju Muko-Muko.
Jaringan jalan di Dataran Tinggi Rejang keadaannya lebih baik dibandingkan dengan daerah pantai karena sejak tahun 1868 telah dibangun jalan untuk tujuan operasi militer. Daerah ini telah memiliki jaringan jalan dari Tebingtinggi menuju Taba Penanjung, dan dari Kepahiang menuju Curup berlanjut sampai ke Desa Kepala Curup. Pembangunan jalan digunakan untuk operasi militer untuk mengatasi kerusuhan di Ampat Lawang dan Pasemah, sehingga jalan ini disebut ‘Jalan Militer’.
Pembangunan jalan di Dataran Tinggi Rejang-Lebong berlanjut setelah berdirinya berbagai perusahaan-perusahaan besar di sana. Pembangunan jalan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan dilakukan untuk memperlancar tranportasi peralatan tambang dan perkebunan, dan sebaliknya untuk mengangkut hasil dari perkebunan dan pertambangan menuju pelabuhan Bengkulu. Jalan-jalan tersebut merupakan jalan tanah yang sudah dikeraskan dan memiliki lebar 5 sampai 6 meter, kecuali sebagian jalan antara Taba Renah dan Air Dingin yang telah dibangun oleh pemerintah dengan menggunakan kerja wajib.[64] Pembangunan jalan dilakukan berulang-ulang karena jalan cepat rusak tidak kuat menahan beban berat, seperti kayu dan mesin-mesin untuk perusahaan perkebunan dan pertambangan yang diangkut oleh truk. Dalam masa pembangunan jalan ini, para pengusaha dan pemerintah terbentur masalah kekurangan tenaga kerja.
Pemerintah bisa mendapatkan kuli dengan menerapkan kerja wajib (heerendienst) pada penduduk Bengkulu. Akan tetapi, hal ini pun sulit terlaksana karena banyak penduduk terserang penyakit, atau penduduk pindah ke dusun lain untuk menghindar dari kerja wajib. Misalnya, pada tahun 1873 pembangunan jalan di daerah Kaur terhambat karena banyak penduduk laki-laki yang terserang penyakit cholera.[65] Oleh karena itu, untuk memastikan ketersediaan tenaga kerja, pemerintah mengeluarkan peraturan kerja wajib bagi penduduk.
Peraturan itu berisi tentang jumlah hari wajib kerja, misalnya, pada tahun 1894 ditetapkan antara 27 sampai 28 hari kerja. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak berlangsung lama karena penduduk menolak. Akhirnya pada tahun 1895 jumlah hari kerja dikurangi menjadi hanya sekitar 24 sampai 25 hari. Selanjutnya, melalui Indisch Staatsblad 1896 no. 262, juga Bijblad 1897 no. 5198, jumlah hari kerja wajib diatur dan bagi penduduk yang menolak kerja wajib atau lalai akan mendapat hukuman. [66]
Pelaksanaan kerja wajib disesuaikan dengan situasi daerah setempat, misalnya kerja wajib tidak dikenakan kepada penduduk yang mengalami gagal panen, tetapi pemerintah memberikan kesempatan pada penduduk untuk mengerjakan ladang. Sebaliknya, di daerah yang tidak terkena bencana, kerja wajib harus dijalankan. Seseorang yang melakukan kerja wajib kepada pemerintah akan mendapatkan upah, misalnya penduduk sekitar desa Krui yang bekerja membangun dermaga kapal di pelabuhan Krui dibayar f. 0,50 /orang/hari.[67]
Pemerintah selain menerapkan kerja wajib pada penduduk Bengkulu, juga menggunakan orang hukuman/tahanan dari berbagai penjara di Bengkulu. Orang-orang tahanan itu untuk dijadikan tenaga kerja paksa dalam pembangunan jalan.[68] Pengambilan para hukuman dari berbagai penjara sebagai tenaga kerja paksa biasa dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, seperti di Tambang Ombilin Sawahlunto.[69]
D.2 Kerja sama Perkebunan dan Penduduk Setempat
Masuknya modal swasta ke Bengkulu dimulai dengan penyewaan tanah dalam bentuk erfpacht perceel oleh orang Cina dan orang Eropa. Persil tersebut akan digunakan sebagai lahan perkebunan dan eksplorasi tambang. Jangka waktu penyewaan diberikan paling lama 75 tahun dengan luas tanah dibatasi, yaitu tidak lebih dari 5000 bau. Perkebunan terutama dimiliki oleh orang Cina yang tinggal di sekitar kota Bengkulu (afdeeling ommelanden van Benkoelen), misalnya perkebunan milik Kapiten Cina Oei Ngo Teng,[70] dan beberapa perkebunan di pulau Enggano.[71] Kebanyakan pengusaha kebun menanam pohon kelapa (Cocos nucifera L.) dan sebagian kecil tanaman pala (Myristica fragrans L.).
Sampai dengan tahun 1890-an, permintaan tanah erfpacht perceel masih sedikit. Akan tetapi, paling tidak di Marga Liwa (Afdeeling Krui) telah terdapat perkebunan Singapai milik H. Craemer,[72] dan perkebunan Air Pringan di Distrik Ngalam (afdeeling Seluma) dengan luas 81 bau dimiliki oleh R.J. van Oosterzee.[73] Pengusaha Perkebunan Singapai di Krui banyak menggunakan kuli-kuli bebas yang berasal dari Karesidenan Batavia dan kuli lokal.[74] Selanjutnya, perkebunan Air Pringan dengan luas lahan 35 bau yang ditanami lada (Piper ningrum L.) hanya memiliki kuli tetap sebanyak 10 orang dan sekitar 20 sampai 40 orang kuli bebas. Kuli mendapatkan upah sebesar f. 1,25 untuk tujuh hari kerja dengan ditambah delapan kati beras atau sekitar lima kilogram dan sedikit garam.[75] Perkebunan selalu menghadapi kesulitan kuli, terutama pada masa tanam dan panen padi. Hal ini antara lain disebabkan para kuli meninggalkan perkebunan untuk kembali bekerja di ladang. Disamping jumlah penduduk sedikit dan kebanyakan dari mereka tidak berminat bekerja di perkebunan.
Apabila perkebunan Air Pringan menggunakan kuli lokal dalam menjalankan usaha perkebunan, tetapi lain halnya dengan perkebunan Nicotania di daerah Rejang-Lebong. Pengusaha perkebunan tembakau mencoba model kerja sama dengan penduduk setempat. Kerja sama dimulai sebelum perusahaan terbentuk, yaitu pengusaha berfungsi sebagai pedagang pengumpul yang membeli hasil tembakau (Nicotania tabacum L.) petani Rejang, yang dikenal sebagai jenis tembakau Musi.
Selanjutnya, mereka menjual hasil tembakau Musi, melalui pelabuhan Palembang ke pasar Singapura. Mereka pun mencoba memasarkan tembakau Musi ke Eropa, dimulai dengan mengirimkan contoh daun tembakau ke Belanda. Pada mulanya pasar Eropa dapat menerima daun tembakau Musi, sehingga di Kepahiang dibentuk sebuah perusahaan, yaitu Maatschappij Nicotania. Perusahaan ini berfungsi sebagai pembeli daun-daun tembakau dari kebun penduduk. Daun tembakau kemudian diolah untuk memenuhi keperluan pasar Eropa. Akan tetapi dalam perkembangannya, daun tembakau Musi yang memiliki tulang daun tebal harganya jatuh di pasar Eropa, maka Maatschappij Nicotania meminta petani Rejang mengganti tanaman tembakau mereka dengan tembakau Deli. Perubahan ini berdampak pada status petani karena sejak saat itu petani Rejang bekerja untuk perusahaan. Perusahaan memberikan bibit tembakau Deli, setelah daun tembakau dipanen mereka akan menyetorkan ke perusahaan.
Pada mulanya kerja sama antara perkebunan Nicotania dengan petani Rejang dapat berjalan baik. Akan tetapi dalam perkembangannya sering terjadi perselisihan pendapat antara administratur perkebunan dengan petani setempat. Apabila perselisihan terjadi, maka sering berlanjut dengan pembabatan tanaman tembakau oleh penduduk sehingga hal ini merugikan perusahaan. Oleh sebab itu, adminsitratur perkebunan berpendapat bahwa orang Melayu tidak taat dan mereka tidak suka bekerja sebagai kuli. [76]
Keputusan yang diambil administratur perkebunan adalah mendatangkan kuli dari luar untuk menggarap lahan perkebunan. Dimulai dengan mengirim mandor-mandor mencari kuli ke daerah-daerah sekitar perusahaan, tetapi mereka gagal mendapatkan kuli. Kekurangan kuli di perkebunan tampak pada bagian gudang pengepakan yang hanya terdapat 6 kuli pribumi, sedangkan di tempat penimbunan tembakau tidak terdapat kuli. Meskipun perusahaan membayar upah kerja sebanyak f. 1/hari, tetapi orang Rejang tetap tidak bersedia kerja di perkebunan.[77]
Tanpa adanya tenaga kerja tambahan, maka tanaman tembakau yang ditujukan untuk kebutuhan pasar Eropa akan menghilang. Oleh karena itu, berdasar pertimbangan ekonomis dan karena kekurangan tenaga kerja, maka perlu didatangkan tenaga kerja dari Jawa.
D.3 Kekurangan Kuli di Perusahaan Tambang
Perubahan perekonomian Bengkulu dimulai dengan pembukaan perkebunan-perkebunan besar di daerah Rejang dan penemuan-penemuan tambang emas dan perak yang diikuti dengan berdirinya perusahaan-perusahaan tambang di daerah Lebong. Sebenarnya, sebelum orang-orang Eropa menemukan tambang emas di daerah Lebong, penduduk setempat sudah terlebih dahulu melakukan penambangan emas. Hal ini dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat , dan diantaranya berdasarkan informasi dari Sultan Maruan keturunan dari Sultan Muko-Muko.
Selanjutnya, informasi yang lebih lengkap didapat dari Haji Ismael yang tinggal di Pasar Curup. Dia menceritakan pengetahuannya tentang daerah-daerah yang tanahnya banyak mengandung emas di daerah Rejang Lebong kepada Administratur Perkebunan Kopi Soeban Ajam bernama Eugen Kassel. Berdasarkan informasi ini diadakan penelitian awal oleh Eugen Kassel di daerah Lebong yang kemudian menarik perhatian perusahaan tambang di Batavia dan berlanjut dengan didirikannya perusahaan yang bernama Lebong Goud Syndicaat untuk mengadakan penelitian tentang kandungan emas di daerah Lebong.[78]
Kesuksesan penelitian tentang kandungan emas di Lebong mendorong berdirinya perusahaan-perusahaan eksplorasi tambang, dan yang pertama adalah Perusahaan Eksplorasi Emas Redjang Lebong pada tahun 1897 kemudian menjadi Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada tahun 1898. Setelah itu, pada tahun 1900 berdiri Perusahaan Eksplorasi Tambang Lebong Sulit, Perusahaan Eksplorasi Tambang Emas Simau pada tahun 1901, Perusahaan Tambang Lebong Kandis pada tahun 1909, dan Perusahaan Tambang Glumbuk pada tahun 1910.
Perusahaan tambang yang baru berdiri tersebut memerlukan banyak tenaga kerja. Akan tetapi seperti halnya perusahaan perkebunan, perusahaan tambang di daerah Lebong pun mengalami masalah kekurangan tenaga kerja. Oleh karena itu, sejak dimulainya pembangunan jalan dari kota Bengkulu menuju dataran tinggi Lebong perusahaan telah menggunakan kuli-kuli pendatang. Pemakaian jumlah kuli pendatang bertambah sejak tahun 1900-an dengan dimulainya kegiatan eksplorasi tambang di daerah Lebong. Saat itu di Lebong diperkirakan terdapat enam sampai tujuh perusahaan eksplorasi, salah satunya milik Firma Erdmann & Sielcken, yaitu Perusahaan Eksplorasi Tambang Redjang-Lebong. Setelah perusahaan eksplorasi berhasil menemukan area penambangan di Lebong Donok (Marga Suku IX) maka perusahaan tambang dibentuk, yaitu Perusahaan Tambang Emas Redjang-
Lebong [79] di bawah direksi Lebong-Goudsyndicaat.[80]
Pada masa awal eksploitasi, Perusahaan Tambang Redjang-Lebong banyak menggunakan kuli orang Cina yang didatangkan dari Singapura, dan sebagian kecil kuli dari Jawa Barat. Hal ini disebabkan kuli dari Pulau Jawa sulit didapatkan dengan adanya permintaan yang besar terhadap kuli dari Pulau Jawa untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah Hindia Belanda.[81] Mereka pun sulit mendapatkan kuli dari daerah sekitar penambangan karena kebanyakan orang Rejang tidak berminat bekerja di perusahaan tambang maupun perkebunan milik orang Eropa. Mereka hanya bersedia bekerja sekali waktu di pertambangan dan kadang kala mereka menjual hasil padi, ternak, sayur, dan kayu untuk bangunan pada perusahaan.[82]
Setelah mendapatkan kuli, perusahaan masih harus menghadapi permasalahan banyak kuli yang sakit, bahkan meninggal dunia pada awal kedatangannya. Hal ini terjadi antara lain karena lokasi penambangan yang jauh di pedalaman Dataran Tinggi Rejang Lebong sehingga kuli pendatang harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapai lokasi penambangan. Kuli pendatang dari Pelabuhan Bengkulu harus berjalan kaki selama tujuh hari melewati Kepahiang, Pasar Curup, dan Dusun Kotta Danau untuk sampai ke Lebong Donok.[83]
Menurut laporan perusahaan, pada tahun 1898 Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah mempekerjakan kuli sebanyak 650 orang. Mereka dipekerjakan untuk pembukaan hutan dan pembangunan jalan[84] dengan upah kerja sebesar 40 sen/orang/hari dengan tambahan 20 sen bagi kuli yang bekerja di luar perusahaan. Masa eksplorasi tambang dan pembuatan jalan dirasakan berat bagi para kuli tambang, karena mereka bekerja di daerah ketinggian 1.200 meter/dpl. di perbukitan Barisan. Selain medan yang berat, para kuli sering mengalami kurang makan dan terserang penyakit, terutama pada musim hujan. Penyakit yang sering menyerang para kuli saat membuka hutan dan membangun jalan adalah malaria dan beri-beri. Kematian kuli yang tinggi terutama terjadi saat eksplorasi tambang di Lebong Donok (tahun 1901), yaitu 50 orang/bulan [85] dan pada tahun 1902 kuli yang meninggal dunia berjumlah 263 orang, sedangkan kuli yang sakit berjumlah 1584 orang.[86]
Curah hujan yang tinggi di Dataran Tinggi Rejang Lebong menjadi salah satu sebab banyak kuli terjangkit penyakit, selain itu juga mengakibatkan banyak jembatan dan jalan yang rusak karena diterjang banjir. Misalnya, pada tahun 1898 banjir mengakibatkan jalan pemerintah antara kota Bengkulu menuju Lais tertutup untuk angkutan gerobak. Hal ini mengakibatkam pasokan beras untuk para kuli yang kebanyakan berada di daerah Redjang-Lebong terhenti. Oleh karena beras masih didatangkan dari Batavia melalui pelabuhan Bengkulu, apabila terjadi keterlambatan kedatangan beras, maka di lokasi penambangan akan terjadi kekurangan pangan.
Pada awal pertumbuhan, perusahaan mengalami berbagai kesulitan, antara lain kekurangan tenaga kerja dan kecukupan kebutuhan pangan bagi pekerja perusahaan. Dalam hal mengatasi kekurangan tenaga kerja, perusahaan mendatangkan tenaga kerja kuli dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa. Selanjutnya, dalam hal memenuhi kebutuhan pangan, pihak perusahaan berusaha menarik para bekas kuli untuk menetap di sekitar perusahaan. Perusahaan akan menyediakan lahan untuk bertani bagi bekas kuli yang mau menetap.
Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”
[1] Mengenai Traktat London lihat, P.H. van der Kemp, “Benkoelen Krachtens het Londensch Tractaat van 15 Maart 1824” BKI deel 56, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1903) hlm. 308-312.
[2] Seorang posthouder untuk daerah Lais dan Kaur, seorang gezaghebber untuk daerah Muko-Muko dan Manna, dan seorang kontrolir untuk daerah Seluma dan Krui dengan fungsi yang sama, yaitu penanggung jawab wilayah masing-masing, L. van Vinne, “Benkoelen zoo als het is, en de Benkoelezen zoo als Zij zijn”, TNI vijfde jrg. (Batavia: Ter Landsdrukkerij, 1843), hlm. 558.
[3] Penduduknya terdiri dari penduduk asli (disebut anak sungai) dan penduduk pendatang dari Indrapura (disebut anak pesisir).
[4] Penduduknya adalah suku Rejang Empat Petulai, distrik Sungai Itam yang dihuni oleh penduduk yang disebut anak lakitan
[6] Pada masa pemerintahan Kompeni Inggris daerah-daerah ini disebut wilayah Keresidenan Luar yang diperintah oleh seorang Residen
[7] Mengenai besarnya tunjangan yang diberikan kepada para Kepala Adat di Bengkulu dapat dilihat di ‘Over Pangerangs Raad Bencoelen’, Arsip Bengkulu, no. B 6/13
[8]Surat Keputusan Komisaris Jendral no.69, tanggal. 18 Agustus 1826, lihat ‘Aantekeningen Gehouden op een Reis in de Binnenlanden van Sumatra enz, De Oosterlingen 1832, Arsip Bengkulu, no. B 6/24
[9] P. Wink, “ De Ontwikkeling der Inheemsche Rechtspraak in het Gewest Benkoelen”, TBG deel LXIX (Batavia: Albrecht & Co., 1912), hlm. 27
[10] Perjanjian berisi tentang pengukuhan hak pemilikan wilayah kepada Pangeran Sungai Lemau, Pangeran Sungai Itam, Sultan Muko-Muko, serta Kepala distrik di wilayah Manna, Seluma, dan Kaur. Lebih lanjut lihat Orders by the Honble the Lieutenant Governor Fort Marlborough 22 May 1820”, Arsip Bengkulu B. 6/14
[11] Mengenai percobaan tanam paksa pala dan cengkeh masa Asisten Residen Knoerle dapat dilihat pada “Extract uit het Register der Handelingen en Resolutien van der Gouverneur Generaal in Rade 1832-1833”, Arsip Bengkulu, no. B 8/12
[12] “Nota Over Benkoelen Geschreven te Padang, in 18 Februari 1840 door Resident van Ajer Bangis de Perez, Arsip Bengkulu no. B 6/17, mengenai Tanam Paksa di Bengkulu lihat pada E.B. Kielstra, “Dwangcultuur en Vrije Arbeid in Bengkoelen”, Indische Gids 10e jrg II, 1888, hlm. 1209-1235.
Source:
http://adimarhaen.multiply.com/journal/item/96
0 comments:
Post a Comment