Senin, 05 September 2005
Oleh: Amir Sodikin dan Rudy Badil
Sekitar 10 tahun lalu, ketika kamera perangkap menjepret kucing emas (Felis temmincki atau Catopuma temmincki) di hutan Taman Nasional Way Kambas di Lampung, dunia konservasi satwa liar pun terkesiap senang.
Ini dikarenakan kucing dengan bulu coklat kemerahan cerah, berpanjang badan semeteran plus ekornya sampai 50-an sentimeter, bertinggi badan sekitar 55 sentimeter dengan bobot dewasa sampai 15-an kilogram, ternyata eksis dan masih hidup di hutan rusak Sumatera Selatan.
Foto keren Asiatic golden cat yang tampangnya mirip singa gunung Amerika atau puma ini kontan menjadi bahan gunjingan dan telaah studi banding dengan kucing emas-emas Asia lainnya. Sebab, si kucing emas Sumatera Selatan ini memiliki sepupu lainnya di Pakistan, Kashmir, sampai ke Myanmar yang belahan utara (Felis temmincki dominicanorum), serta di Assam dan Malaka yang sama dengan kucing emas jepretan foto di Taman Nasional Way Kambas tertanggal 28 Oktober 1995 itu.
Tinggal cerita
Sejak tahun 1970-an, kucing emas di hutan Lampung, Bengkulu, Palembang, dan Jambi pernah dianggap tinggal cerita kosong saja. Begitu kejepret kamera perangkap dan tercetak fotonya, harapan pun menyembul lagi. Namun, setelah itu, kenyataannya ya sepi-sepi saja. Paling-paling isu satwa itu muncul dalam kajian tentang konservasi satwa liar, berikut foto legendaris yang keren itu.
Sekitar lima tahun kemudian, berita kucing emas muncul dan bikin hangat juga ketika Taman Safari Indonesia (TSI) menerima sumbangan seekor kucing emas betina dewasa. Media massa menuliskan kisah pendeknya, serta ulasan soal binatang langka yang tercatat dalam apendiks I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Asiatic golden cat atau chat dore d’Asie (Perancis), asiastische goldkatze (Jerman), atau gato dorado asiatico (Spanyol) ini berstatus terancam punah.
Keberadaan bertahun-tahun satwa langka koleksi TSI itu menjadi tontonan umum dan telaah khusus pemerhati konservasi. Sayangnya, kaca tebal kandang peragaan itu agak berkabut dan mengganggu pandangan kalau mau mengagumi keindahan bulu tubuh badan langsing sang kucing. Gerak-geriknya tenang dan bergaya banget, sayangnya meong besar ini amat curiga.
Perilakunya tetap curigaan dan reaksinya galak, padahal si Susi sudah di sini sejak akhir 1999, kata Sharmy Prastiti, kurator satwa TSI yang mengaku menolong kucing betina itu. Waktu kami ambil dari penyumbang, kucing itu baru saja melahirkan seekor anaknya. Tapi beberapa puluh menit kemudian anaknya mati karena induknya mungkin diperlakukan buruk sama penangkapnya.
Setelah dipelihara dan pulih dari luka bekas jerat baja di kaki kiri belakangnya, Susi kemudian dipelihara di kandang peragaan. Baru pada 14 Juli 2001, TSI mendapat sumbangan lagi kucing emas jantan bernama Mesa.
Pemelihara pasangan kucing itu mulai memergoki kalau Mesa mengawini Susi beberapa kali, tapi tidak jadi, tutur Sharmy yang menjelaskan kucing emas tidak memperlihatkan perilaku khusus di saat berahi atau estrus, kecuali suka pasang bokong ke jantannya. Juga diduga masa buntingnya sekitar 75 hari.
Baru pada 4 November 2003 beranaklah seekor anakan betina. Peristiwa ini tentu bikin gegar meski gaungnya hanya di seputaran pemerhati satwa liar. Pasangan Mesa-Susi rupanya pasutri subur.
Pada 1 Juni 2004 beranak lagi seekor anak kucing emas jantan. Literatur menyebutkan anaknya antara satu sampai tiga ekor, tapi kami kebagian seekor terus, tutur Sharmy seraya menjelaskan, anakan satwa nokturnal pemangsa binatang kecil itu dipelihara sang induk dengan air susu sendiri, sampai setengah tahunan baru disapih sendirian. Kini semuanya doyan makan anak ayam, campur mineral dan vitamin biar sehat.
Kini duet Mesa-Susi belum kelihatan kawin lagi. Sebab, dari dua kali bunting dan beranak, Susi tidak kelihatan berperut buncit. Di alam bebas, kucing emas diperkirakan hidup soliter dan berpasangan dengan jodoh monogaminya, serta bergentayangan di malam hari dalam teritorinya. Sharmy memberi contoh betapa pesingnya air kencing Mesa dan Susi beserta dua anaknya, Mandra dan Siska. Bau pesing ini untuk pertanda bagi sesama kucing emas lain agar mereka bisa bertemu jodoh sekalian mengumumkan teritori habitatnya.
Padahal, di habitatnya, kucing emas yang pandai memanjat pohon memiliki pesaing yang lebih besar dan ganas, misalnya harimau belang sumatera dan macan dahan yang hidup di pohon rimba. Gerak lincah gesit di tanah dan pandai berjalan di dahan pohon mungkin salah satu keunggulan kucing itu bersaing dengan predatornya.
Di kalangan penduduk Sumbagsel, kucing emas ini terkenal sebagai binatang bertuah. Bagian tubuhnya ada yang dijadikan jimat dan barang penangkal, misalnya bulu kumis dan kuku cakarnya bisa menjadi benda antisantetan dukun jahat. Kalau sempat makan dagingnya, kata pakar supernatural, badan orang itu dijamin tahan bacokan golok tajam. Malah pemakan daging kucing itu gerakannya pasti akan segesit kucing emas dan tidak mudah terlihat mata orang-orang normal.
Kalau di Myanmar, kucing emas atau kya min ini juga membawa berkah. Konon, katanya, kalau menyimpan bulunya, meski hanya selembar, dijamin akan ditakuti satwa liar lainnya. Di Thailand, sua fai atau kucing emas ini dianggap binatang keramat, serta keluar dari lubang persembunyiannya bersamaan dengan terang emas mentari senja. Satwa yang masuk kategori small cat, meski badannya jauh lebih gede daripada kucing dapur, tapi lebih kecil dari macan tutul dan harimau loreng yang big cat.
Gemas dan cemas
Mau beli kucing emas? Ada, masih ada. Tapi betinanya sudah mati, tinggal jantannya. Murah, Rp 10 juta juga boleh. Waktu sepasang aku hargain Rp 30 juta, begitu jawaban telepon dealer spesialis satwa liar Sumatera.
Dari tuturannya, selama tahun ini saja dia berhasil menjual empat kucing emas. Sayangnya, dia lupa berapa betina dan berapa jantannya. Kata pedagang itu, kucing emas ini sejak tahun 2000 muncul di pasaran gelap pedagang satwa liar. Dia mengaku tidak pernah menjual ke luar negeri, atau dibeli orang asing. â€Selain kucing emas, macan dahan juga aku pernah jual. Mau macan dahan?â€
Baru omongin soal Mesa-Susi dan anak-anaknya, masuk informasi di pasaran gelap bahwa masih ada stok kucing emas tangkapan liar, kiriman dari Sumbagsel. Padahal, perawat kucing emas ini lagi berpikir-pikir, apakah mungkin mencari besanan. Di KB Ragunan ada seekor jantan, belon kawin-kawin. Kami lagi mau atur supaya dijodohin dengan Siska yang sudah matang kelamin. Mungkin kalau ada yang punya kucing emas lainnya, bisa saling besanan secara resmi, pakai breeding loan dan diketahui negara, kata Sharmy.
Maksudnya tentu agar kucing emas dalam penangkaran eks itu bisa berkembang dan tercatat resmi serta tidak menyalahi aturan main yang ada. Jadi, sementara sisa kucing emas di habitatnya dijaga keras petugas, kucing emas yang telanjur dibisniskan seharusnya disita, lalu diserahkan ke tangan yang berwajib dan dipelihara baik-baik.
Sebab, dari kasus pasangan Susi-Mesa yang sumbangan itu, kini sudah bertambah dengan dua anakan meong emas kelahiran Cisarua. Kasus kucing emas itu idealnya diikuti juga dengan kabar emas-emas, bukan berita bikin gemas dan cemas.
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0509/05/humaniora/2019164.htm
0 comments:
Post a Comment