Setiap pulang dari tugas lapangan, saya selalu heran, ternyata masih banyak khasanah kuliner di negeri ini yang tak terekspose. Kali ini aku kagum dengan bermacam teknologi pengawetan makanan secara tradisional yang masih dibudayakan. Sebelumnya, di Bengkulu aku telah mengenal tempoyak dan lemea. Tempoyak sudah sering dibahas di milis JS. Tapi Lemea agaknya belum pernah. Sementara kali ini aku mengenal pendap dan kasam. Hampir
serupa dengan samu dan wadi di Kalimantan Selatan. Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan bermacam makanan awetan secara
tradisional yang pernah kutahu.
Dalam masyarakat tradisional yang agraris, ketergantungan hidup pada kondisi alam masih sangatlah kuat. Mereka telah mampu memetakan kondisi dimana cadangan makanan berlimpah dan saat dimana cadangan makanan akan menipis.
Dalam situasi dimana cadangan makan berlimpah, misalnya panen ikan dan panen sayur, dengan pengetahuan lokal yang dimiliki, masyarakat mampu melakukan pengawetan dengan metode yang tradisional. Makanan yang diawetkan ini ada yang mampu bertahan 1-2 minggu, namun ada pula yang masih layak dikonsumsi hingga beberapa bulan.
Selain untuk mengatasi situasi paceklik, makanan awetan biasanya dibawa sebagai bekal perjalanan atau bekal ketika pergi agak lama meninggalkan rumah. Bagi masyarakat kita yang tinggal di pedalaman luar Jawa, kampung tempat tinggal dan ladang tempat bercocok tanaman adalah dua tempat yang berbeda dan saling berjauhan. Sebuah keluarga bisa meninggalkan rumah di kampung untuk kemudian tinggal di ladang untuk menjaga dan mengupayakan ladangnya. Mereka hanya akan pulang ke kampung
kira-kira seminggu sekali pada hari ibadah. Dalam kondisi seperti ini, makanan awetan yang bisa dibawa ke ladang akan sangat membantu mereka mengatasi ketersediaan pangan.
Lemea dan MandaiLemea dan mandai ini berasal dari dua tempat yang berbeda dengan bahan yang berbeda pula, namun sama-sama berjenis "sayur". Proses pengawetannya pun sebenarnya agak berbeda. Yang satu tanpa garam tetapi memakai ikan, sedang yang lain memakai air garam.
Lemea kutemui pertama kali di Muara Aman, ibukota Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu. Kota ini sendiri adalah sebuah kota tua yang penuh sejarah kejayaan booming tambang emas Lebong Tandai di jaman Belanda. Kota kecil sejuk yang dikelilingi bukit, penduduk berbahasa dengan bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa orang Bengkulu. Kabupaten Lebong sendiri 60% wilayahnya adalah hutan konservasi--tentang hal ini bisa menjadi satu cerita panjang tersendiri.
Kembali ke lemea. Lemea adalah rebung asam hasil proses fermentasi. Terbuat dari rebung yang dipotong-potong memanjang tipis sepanjang korek api. Setelah dicuci bersih, rebung tersebut direndam dalam air. Lalu taruh ikan sungai yang sudah direbus sebentar -- tak sampai matang -- di dalam rendaman tersebut. Biasanya ikan yang dimasukkan adalah ikan semak. Aku tak tahu nama Indonesianya, atau nama latinnya. Namun ikan ini termasuk jenis ikan sungai, bersisik, berwarna putih, dan bertulang rawan. Aku ingat pernah makan gulai ikan ini bertahun lalu di pedalaman Napal Putih. Sisik dan tulangnya pun bisa dimakan karena sangat empuk tanpa dipresto.
Nah, kembali ke lemea, simpan rendaman rebung tersebut minimal 2 malam, baru dikonsumsi dengan cara memasaknya. Lemea bisa dimasak gulai atau ditumis saja. Tapi seperti tempoyak, dua-duanya enak dimasak dengan cabe giling extra pedas. Untuk tumisan cukup dengan bawang merah dan bawah putih serta cabe giling, sedikit sereh dan lengkuas. Rasa lemea asam dan rasa bumbu yang pedas berpadu menjadi rasa yang segar merangsang nafsu makan. Bau lemea yang tajam pun bisa menambah selera. Lemea ini bisa tahan disimpan beberapa bulan.
Dengan proses pembuatan yang mirip dengan lemea, mandai kutemui di Banjarmasin. Tadinya aku sangsi dengan makanan ini, mengingat bahannya adalah kulit bagian dalam buah cempedak (orang Jawa bilang "dami") yang oleh tetanggaku pasti akan disisihkan untuk makanan kambing. Jadi selesai makan buah cempedak, sisihkan kulitnya -- jangan dibuang. Lalu kupas kulit bagian luar, cuci bersih, potong-potong, dan rendam dalam air garam. Diamkan kurang lebih 2 hari.
Setelah dua hari, kulit buah cempedak ini akan berubah rupa menjadi sangat lembut. Tak tersisa bentuknya yang keras dan (kadang) bergetah. Cuci mandai ini lalu tumis dengan bawang merah, bawah putih, irisan cabe, dan kecap manis. Rasanya... tak disangka... luar biasa!! Selain ditumis, mandai juga bisa digoreng biasa, lalu dimakan dengan sambal. Menurut temanku, rasanya pun tak kalah luar biasa.
Pendap dan KasamSebenarnya aku belum pernah melihat pendap. Tapi aku pernah melihat kasam -- meski belum sempat mencicipi karena harus segera pulang sebelum sempat dimasak. Pendap adalah versi cepat dari kasam. Selain itu pendap memakai ikan yang besar, sementara kasam memakai jenis ikan kecil-kecil seperti ikan teri dan saluang. Bisa ikan sungai, bisa pula ikan laut.
Kasam yang kujumpai dibuat dari ikan saluang yang telah dibiarkan sehari semalam -- notabene sudah dibusukkan. Setelah itu dicampur dengan nasi, garam, dan irisan kunyit. Taruh dalam toples tertutup, lalu diamkan selama minimal dua malam. Hasil akhirnya memang menimbulkan bau agak busuk yang sangat kuat.
Sebelum dikonsumsi, kasam dimasak dengan cara dipepes. Pak Asmara, nara sumberku menjelaskan bahwa kasam paling enak dibumbui dengan kelapa parut yang dihaluskan hingga keluar minyaknya, lalu kelapa parut tersebut dicampur dengan bumbu-bumbu lainnya seperti bumbu rendang (tanpa santan) menjadi sebuah adonan. Kemudian dalam selembar daun pisang taruhlah sejumput daun singkong rebus, taruh lapisan atasnya dengan kasam yang telah dibumbui dengan adonan tadi, taruh lagi daun singkong, lalu bungkus lapisan tersebut. Letakkan bungkusan dalam panggangan dan biarkan hingga matang. Menurut Pak Asmara, rasa kasam ini memang luar biasa.
Namun sebagai sebuah produk awetan, kasam ini tak mampu bertahan lama. Hanya berkisar 1-2 minggu. Kasam yang baik tidak berulat. Namun jika proses pengawetan tidak higienis maka akan muncul ulat dalam kasam ini
Samu dan Wadi
Samu dan wadi adalah dua jenis ikan awetan yang sangat mirip. Perbedaannya hanya pada waktu pengawetan. Jika samu bisa dikonsumsi segera dalam waktu 1-2 hari setelah diawetkan, sementara wadi bisa baru dikonsumsi setelah 2 bulan. Karena proses pengawetan yang lama, maka wadi berasa sangat asin, seperti ikan asin.
Secara pribadi aku lebih memilih makan samu, apalagi samu haruan (haruan = ikan gabus dalam bahasa Banjar). Samu haruan yang berdaging rasanya lembut dan merangsang nafsu makan. Cukup dengan digoreng lalu dimakan dengan nasi hangat dan sambal. Luar biasa!!!
Samu ini dibuat dari ikan yang sudah dibersihkan bagian dalamnya, lalu diberi garam dan asam. Biarkan semalam. Setelah semalam, beri tumbukan kasar beras yang telah sangrai dan dicampur sedikit gula merah. Biarkan selama beberapa jam, baru dikonsumsi dengan cara digoreng. Seperti halnya ikan "busuk", samu pun menimbulkan aroma yang luar biasa (bayangkan aroma trasi yang segar), namun aroma ini bisa menjadi aroma yang merangsang munculnya air liur. Samu haruan yang berdaging berasa gurih, lembut dan sedikit asin dan asam
Sedangkan wadi tidak terlalu berbau merangsang. Mungkin karena telah melalui proses yang cukup lama. Namun wadi tidak mempunyai rasa daging selembut samu. Baik samu maupun wadi biasanya memakai ikan sungai semisal haruan, sepat, maupun papuyu.
Lemea, mandai, pendap, kasam, samu, dan wadi hanyalah beberapa contoh makanan awetan secara tradisional. Di beberapa daerah lain di Indonesia pasti terdapat lebih banyak lagi jenis dan teknologi makanan awetan. Sungguh menarik mempelajarinya dari berbagai sisi; seni kuliner, teknologi sederhana, dan secara sosiologis.
http://haleygiri.multiply.com/journal/item/57?&item_id=57&view:replies=threaded
http://www.mail-archive.com/idakrisnashow@yahoogroups.com/msg16696.html
0 comments:
Post a Comment