Oleh: Abdul Hamid Pernah suatu ketika, tiga orang tuna netra diminta pendapatnya tentang bentuk tubuh gajah. Tuna netra pertama menyebut badan gajah itu tubuhnya panjang, kecil dan berbulu. Sebab, ketika ia diminta menyentuh tubuh binatang besar itu, si tuna netra pertama hanya menyentuh ekornya saja. Kemudian, pendapat si tuna netra kedua, bahwa badan gajah itu tipis, lebar dan bulat seperti tampah. Sebab, sang tuna netra kedua hanya menyentuh telinganya saja. Sedangkan si tuna netra ketiga menyebut bahwa badan gajah itu seperti pohon kelapa. Sebab ia hanya memegang kakinya. Itu hanya sedikit anekdot. Boleh untuk tidak dipercayai. Tidak dipaksa. Tapi jika mau percaya, fahami saja maknanya, itu lebih bagus. Kalau tidak mengenal secara baik, manusia akan menilai mamalia darat paling besar itu dengan sebutan yang bermacam-macam sebatas pengetahuan yang ia ketahui. Kemudian, penilaian tersebut terkadang bisa sangat subjektif. Mengapa? Karena memang fikiran dan sikap manusia selalu dipengaruhi oleh kepentingan dan kebutuhannya. Contohnya, pengusaha perkebunan kelapa sawit. Kelompok ini cenderung selalu memandang gajah hanya sebagai hama perusak tanaman. Pendapat ini boleh saja demikian, karena mereka selalu dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi belaka tanpa ada kepedulian terhadap pelestarian lingkungan. Cara pandangnya terhadap binatang tambun itu hanya berdasar kepada kepentingan diri sendiri. Karena pemahaman yang sempit itu, seringkali manusia bertindak kurang adil terhadap sesama makhluk hidup lainnya. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari tiga subspecies gajah Asia. Dua subspecies lainnya yakni Elephas maximus maximus, terdapat di Sri Langka dan Elephas maximus indicus hidup di anak benua India, Asia Tenggara dan Borneo. Pada awalnya gajah ini tersebar pada berbagai ekosistem, namun akibat pengrusakan habitat yang menyebar, mereka semakin terisolasi ke berbagai kawasan yang sempit. Habitat yang cocok untuk gajah adalah hutan dipterocarp dengan topografi daerah berlembah dan memiliki sumber air yang cukup. Gajah sumatera secara umum mempunyai ciri badan lebih gemuk dan lebar. Pada ujung belalai memiliki satu bibir. Berbeda dengan gajah afrika, gajah sumatera memiliki 5 kuku pada kaki depan dan 4 kuku di kaki belakang. Berat gajah sumatera dewasa mencapai 3.500-5000 kilogram, lebih kecil dari gajah afrika. Species gajah asia (Elephas maximus) tidur sambil berdiri. Selama tidur, telinganya selalu dikipas-kipaskan. Ia mampu mendeteksi keberadaan sumber air dalam radius 5 kilometer. Menurut Sekagul dan Mc Nelly, gajah asia betina termasuk gajah sumatera, mengalami masa kawin pada usia 10-12 tahun. Dan, akan melahirkan anak selam 4 tahun sekali. Keberadaan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) belakangan ini sedang mengalami ancaman kepunahan. Kawasan-kawasan hutan yang selama ini menjadi tempat hidup “sang datuk” kini telah banyak berubah menjadi areal pertanian dan perkebunan. The World Wide Fund for Nature (WWF), dalam penelitiannya yang dilakukan tahun 1993 melaporkan, bahwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) menyenangi tipe hutan yang berlembah dimana mereka dapat memperoleh makanan dan minum secukupnya. Rata-rata gajah dewasa dalam sehari butuh makanan 150 kilogram. Daerah-daerah berlembah sangat cocok untuk hewan mamalia besar seperti gajah. Sebab, gajah memiliki pola migrasi yang secara parsial dipengaruhi dan bergantung pada bentuk lereng. Populasinya diperkirakan semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Hal ini diakibatkan oleh adanya penyusutan atau hilangnya kawasan habitat yang tersedia. Karena mengalami degradasi, habitat yang terus menerus berkurang itu semakin tidak mampu lagi menampung populasi gajah Pada tahun 1978, Van Strien memperkirakan bahwa kawasan hutan berlembah banyak terletak di daerah Sikundur dan sebagian kecil di kawasan Bengkung dan Kluet. Daerah ini merupakan bagian kawasan di Ekosistem Leuser yang memiliki ketinggian antara 600-1500 meter dpl. Penurunan jumlah gajah Sumatera berlangsung cepat sejak tahun-tahun terakhir ini. Habitat gajah di Sumatera terdapat mulai dari hutan basah berlembah, hutan payau di dekat pantai sampai hutan pegunungan pada ketinggian 2000 meter. Populasi gajah yang paling penting di kawasan Ekosistem Leuser menurut hasil penelitian WWF yang dilakukan Oliver Nelson pada Bulan Mei tahun 1993, terdapat di Sikundur, sepanjang Sungai Lesten, lembah Simpang Kiri, Besitang dan Sungai Lepan. Kawasan-kawasan lainnya yang signifikan antara lain Sungai Alas bagian bawah sampai ke daerah Mamas, Tripa, Semayam dan lembah Kluet. Sampai pada tahun 1993 populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di kawasan Ekosistem Leuser mencapai antara 380 sampai 454 ekor. Secara periodik binatang berkuping besar itu melakukan migrasi tradisional ke beberapa tempat lainnya di Ekosistem Leuser. Jalur itu tetap dan tidak berubah, kecuali jika terjadi perubahan pada habitat migrasinya. Biasanya gerakan migrasi tersebut cenderung mengikuti aliran sungai. Beberapa studi lapangan menyebutkan, bahwa dalam perkembangannya dewasa ini, hubungan populasi gajah di kawasan Sikundur terputus dengan populasi di kawasan Lembah Alas, Kluet dan Bengkung. Kondisi ini disebabkan oleh adanya perubahan pada jalur migrasi antar kedua kawasan itu. Biasanya gajah yang akan bermigrasi ke kawasan Lembah Alas akan melalui Lesten. Akan tetapi dengan tingginya tingkat pengrusakan hutan di daerah itu menjadikan jalur migrasinya terputus. Sedangkan rute antara Sikundur dengan daerah Tamiang juga ikut terputus. Di sepanjang rute migrasi ini sudah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Situasi tersebut sangat mencemaskan para pemerhati lingkungan. Sebab hal itu akan sangat membahayakan perkembangan populasi gajah. Menurut seorang peneliti Bilogi-Kehutanan Unit Manajemen Leuser (UML), Drs Dolly Priatna, terputusnya jalur migrasi tersebut akan membuat populasi gajah menjadi terkotak-kotak dalam habitat yang sempit dan terpencar. Kondisi ini, kata Dolly, akan sangat membahayakan bagi perkembangan populasi gajah karena mereka tidak dapat melakukan pertukaran genetik. Selain itu, kapasitas habitat yang sempit juga tidak akan mampu menyediakan pasokan makanan dan air bagi gajah. Jika masalah itu terus dibiarkan tanpa penanganan serius dari semua pihak, kata mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia itu, populasi gajah sumatera akan mengalami kepunahan. Dolly Priatna menyebutkan bahwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari 16 spesies yang terancam punah dalam catatan Red Data Book Komisi Konservasi Dunia (IUCN). Bahkan, dalam catatan itu tingkat ancamannya berada dalam skala membahayakan. Nasibnya sama dengan orang utan (Pongo pygmaeus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatraensis), badak sumatera (dicerorhinus sumatraensis) dan kambing hutan sumatera (Capricornis sumatraensis). |
0 comments:
Post a Comment