Hukum dan Kelembagaan Adat (1) Kamis, 30 Oktober 2003 - 07:13 AM
Demokrasi ternyata sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Papua. Suasana demokrasi tercermin dalam praktik sistem ondoafi, satu dari empat sistem pemerintahan adat di Papua.
Dalam sistem ini, keputusan diambil secara musyawarah untuk mufakat. Asas kekeluargaan sangat menonjol.
Menurut Elly Waicang, tokoh masyarakat adat Papua, terdapat sekitar 250 etnis di Bumi Cendrawasih. Sampai sekarang semua masih menaati hukum adat yang diwariskan para leluhur mereka. Hukum formal dari negara tidak bisa menggusur begitu saja sistem hukum dan kelembagaan adat di Papua. Sengketa di masyarakat adat, umumnya diselesaikan melalui peradilan adat. Patokannya norma-norma hukum adat setempat.
Kasus-kasus seperti perzinahan, sengketa batas tanah adat antarsuku atau warga suku, pencurian, sampai pemerkosaan, diselesaikan melalui peradilan adat. Namun, seiring berlakunya hukum formal dari negara, aspek pidana pelanggaran hukum adat diselesaikan melalui hukum formal. Sedangkan hukum adat dipakai untuk menyelesaikan aspek perdata pelanggaran tersebut.
Dia mencontohkan, seseorang diwajibkan membayar sejumlah uang untuk "membersihkan darah". Uang ini seperti denda atau ganti rugi dalam kasus pembunuhan. Uang bisa digantikan dengan barang-barang seperti manik-manik, periuk, gelang batu, kapak batu, belanga untuk menanak nasi, dan sebagainya. Penyelesaian secara perdata itu kemudian dilaporkan kepada aparat negara, misalnya polisi dan pengadilan, agar selanjutnya aspek pidana bisa diselesaikan memakai hukum formal negara.
Meskipun hukum adat secara efektif berlaku, tidak semua aspek kehidupan terwadahi dalam tataran tersebut. Itu sebabnya hukum negara tetap diakui sebagai jalan terakhir bagi penyelesaian sengketa. Misalnya sengketa antarsuku yang berimbas saling bunuh dan potensial menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sejumlah wilayah Papua, pembunuhan balasan dilarang karena bisa menyebabkan perang antarsuku.
Jabatan ondoafi, menurut Waicang, diwariskan secara turun-temurun. Jabatan itu tidak bisa digantikan oleh orang dari garis keturunan lain. Meskipun demikian, proses dilahirkannya keputusan dalam forum ondoafi tetap melibatkan partisipasi masyarakat adat dari suku tersebut. Praktik ini seperti biasa ditempuh dalam tatanan demokrasi modern.
"Sistem-sistem lokal seperti itu ternyata kurang terakomodasi sepenuhnya dalam sistem demokrasi modern yang diterapkan negara kita," ungkap Waicang dalam sebuah sarasehan pada Kongres II Masyarakat Adat Nusantara, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, September lalu.
Sistem raja, sistem pemerintahan adat seperti ondoafi, diterapkan di bagian selatan Papua, misalnya Fak Fak, Kaimana,dan Sorong. Terdapat pula sistem big man atau tonowi, yang bisa mengantarkan seseorang menduduki jabatan pemangku adat dan berhak mengatur masyarakat adatnya. Siapa yang terkuat di antara anggota-anggota komunitas itu berhak memangku jabatan tonowi di dalam lingkungan suku tersebut. Sebagian besar suku di Papua menganut sistem tonowi, khususnya di wilayah pegunungan di Wamena, Timika, sampai Manokwari dan Sorong. Ketiga sistem itu bisa ditemukan berbaur di dalam struktur pemerintahan adat yang bersifat campuran (sistem campuran). Sulit dibedakan apakah suatu masyarakat menganut sistem ondoafi, raja, atau tonowi.
Di berbagai daerah di Indonesia, sistem peradilan adat juga tetap dipraktikkan oleh komunitas adat. Masyarakat di daerah Ketapang, Kalimantan Barat, mengenal sanksi patinyawa yang dinilai dengan organ tubuh. Semua organ tubuh korban diganti dengan benda-benda. Contoh, tangan diganti dengan tombak, kepala diganti tempayan, badan ditukar gong besar. Sebelum penyelesaian pada tingkat adat dilakukan, digelar upacara praperadilan "duduk adat". Acara ini dimulai dengan minum tuak, disertai penyampaian ungkapan kepada roh-roh bahwa masyarakat akan mengadili seseorang.
Di Poso, Sulawesi Tengah, seorang perempuan yang kedapatan berselingkuh diwajibkan membayar ganti rugi berupa beberapa ekor sapi kepada suaminya.
Visi yang umumnya ingin dicapai dalam penyelesaian sengketa bukan hanya pada keadilan belaka. Yang lebih penting adalah kedamaian dan ketenteraman. "Tidak cuma cukup adil saja. Tetapi juga tenteram dan damai," ungkap Tjok Astiti, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.
Ada kalanya hukum adat tidak dihormati orang-orang di luar adat. Contoh, sengketa tanah masyarakat adat Dayak Paser, Kalimantan Timur, dengan PT Kideco Jaya Agung. Penyelesaian sengketa melalui hukum adat ditolak oleh perusahaan penambang batubara itu. Sengketa seperti ini berpeluang kian bertambah, sebab Izin Kuasa Pertambangan, HPH, HGU, HPHTI, IHPHH, IPK, dan perizinan eksploitasi sumber daya alam lainnya kerap diterbitkan pemerintah tanpa persetujuan masyarakat adat setempat. Sengketa dengan investor jarang bisa diselesaikan melalui peradilan adat, karena keberadaan peradilan itu cenderung tidak diakui.
Hal seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi bila diterapkan falsasah di mana bumi di pijak di situ langit dijinjing. Falsafah ini sama dengan asas locus delicti dalam tataran sistem hukum modern.*
(Oleh Wartawan "Pembaruan" Elly Burhaini Faizal)
http://www.infopapua.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=1212
You are here : Home > law > Hukum dan Kelembagaan Adat
Hukum dan Kelembagaan Adat
Di Rejang Lebong, Bengkulu, peradilan adat meletakkan penyelesaian sengketa sesuai dengan proporsinya. Puncak penyelesaian sengketa adalah pengucapan ikrar dalam sebuah upacara saling memaafkan, menerima, berjanji, dan menciptakan ikatan persaudaraan agar lebih akrab lagi. Keputusan dijatuhkan tidak sekadar untuk mencari siapa yang benar dan salah, melainkan untuk menjaga keharmonisan komunitas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment