BEBERAPA abad silam, konon terdapat dua bersaudara yang mengembara ke suatu daerah utara tanah Lampung. Yang tua bernama Mensura Tuha dan yang muda bernama Rya Menang Betanding. Dalam pengembaraan itu kedua orang bersaudara tersebut akhirnya sampai di suatu tempat yang masih hutan rimba dan belum dihuni manusia.
Daerah ini dialiri beberapa anak sungai dan salah satu di antaranya terdapat sebuah sungai yang cukup besar.
Pada suatu hari, Rya Menang Betanding berkata kepada kakaknya, "Menurut pandangan saya, di daerah ini terdapat kayu yang besai (bagus) bambu dan rotan besai serta tanah dan sungainya yang cukup besai. Mengingat di daerah ini segala sesuatunya serba-besai dan belum dihuni manusia, maka sebaiknya kita berdua membuka permukiman baru yang kelak diharapkan akan tumbuh menjadi suatu perkampungan." Mendengar ucapan adiknya itu, Mensura Tuha setuju saja dan sekaligus menanamkan sungai yang terbesar itu dengan nama Sungai Way Besai yang kemudian sepanjang daerah Sungai Way Besai itu terkenal dengan sebutan daerah Way Besai (asal kata dari serba-besai). Mereka berkeyakinan sepenuhnya, di sepanjang Sungai Way Besai tersebut belum ada manusia lainnya yang menghuni atau membuka suatu perkampungan.
Mulailah kedua bersaudara itu membuka, membabat hutan di tepi Sungai Way Besai sekaligus untuk dua perkampungan yang kabarnya belum mempunyai nama tetap. Tatkala kedua bersaudara itu sedang membabat hutan, tiba-tiba mereka melihat sepotong bambu hanyut di Sungai Way Besai.
Setelah melihat bambu yang hanyut dan punya tanda-tanda bekas dipotong manusia, mereka berkesimpulan sudah barang tentu ada manusia lain yang lebih dulu dari mereka membuka suatu perkampungan di hulu Sungai Way Besai itu.
Untuk membuktikan kebenarannya, mereka berdua mencoba menyelusuri Sungai Way Besai tersebut ke arah hulunya untuk mengetahui siapa gerangan yang memotong bambu yang hanyut itu, ataukah mungkin ia telah membuka pula suatu perkampungan. Ternyata dugaan mereka itu benar, terbukti mereka menemukan seorang yang bernama Umpu Kawa, yang telah lebih dahulu membuka suatu perkampungan yang kemudian dikenal dengan nama Cugah.
Rya Menang Betanding dan Mensura Tuha meneruskan perjalanannya dan akhirnya mereka menemukan satu perkampungan lagi yang terletak di tepi Sungai Way Abung bernama Kotabumi. Kedatangan kedua bersaudara itu di Kotabumi agaknya mengandung hikmah karena di Kotabumi ini mereka mendapat jodoh putri-putri Pangeran Kotabumi. Kakak beradik ini kawin dengan putri-putri Pangeran Kotabumi yang masing-masing bergelar Minak Ratu Demaung yaitu, istri Mensura Tuha, dan Minak Maju Demaung, istri Rya Menang Betanding.
Setelah pernikahan mereka, timbullah keinginan kedua bersaudara ini untuk kembali ke perkampungan yang telah dirintisnya di tepi Sungai Way Besai. Lebih-lebih lagi kedua orang tersebut kini telah bertambah anggotanya sebagai modal yang cukup besar untuk pengembangan manusia di daerah yang terpencil di tengah-tengah hutan rimba.
Ketika kedua bersaudara itu menyampaikan maksudnya kepada mertuanya untuk kembali ke perkampungannya di tepi Sungai Way Besai, mertuanya pun tidak keberatan dan sekaligus akan memberi anak-anaknya barang-barang alat rumah tangga (dalam Bahasa Lampung Way Kanan--kepunyaan). Tetapi mengingat jarak calon perkampungan sangat jauh sekali, diperkirakan sangat sulit membawa barang-barang tersebut, di samping itu kelak sewaktu-waktu akan mengalami kerusakan, Rya Menang Betanding dan Mensura Tuha menyampaikan suatu usul pada pihak mertuanya agar sebaiknyalah mereka diberi pusaka atau kenang-kenangan yang lebih kekal abadi. Untuk itulah, kedua orang putri Pangeran Kotabumi yang sudah akan diboyong suaminya ke tepi Sungai Way Besai diberi suatu pusaka, kenang-kenangan yang cukup langgeng dan abadi yakni berupa nama kampung, masing-masing sebagai berikut:
1. Kota Harilang untuk nama kampungnya Mensura Tuha dengan Minak Ratu Demaung.
2. Kota Batu untuk nama kampungnya Rya Menang Betanding dengan Minak Maju Demaung.
Setiba di tempat perkampungannya yang baru, mulailah kedua orang bersuara itu menyusun suatu kehidupan yang baru sebagai langkah permulaan dengan iringan cita-cita luhur untuk membangun suatu perkampungan yang permanen.
SEJALAN pergantian siang dan malam, Kotaharilang dan Kotabatu tumbuh pesat menjadi suatu perkampungan disertai pertambahan penduduknya. Keturunan Rya Menang Betanding dan Mensura Tuha mulai berkembang biak setelah berjalan beberapa tahun.
Pada suatu ketika datanglah bencana besar, musibah yang menimpa daerah tersebut, yang ditandai datangnya penyakit, wabah diiringi kejadian-kejadian lainnya yang aneh-aneh dan mengerikan. Akibatnya, banyak penduduk yang meninggal dunia. Timbullah suatu pemikiran hal ini dipandang perlu untuk melakukan korban sebagai tolak bala. Korban dilaksanakan dengan jalan menyembelih seorang manusia bernama Sisura.
Ketika penyembelihan Sisura ini dilakukan, darahnya ditadah dengan bukoro dan kemudian kepalanya dicemplungkan ke dalam lubuk kampung Kotabatu.
Beberapa tahun kemudian setelah penyembelihan Sisura, agaknya ketenangan makin berkurang untuk tetap bertahan di kampung tersebut. Oleh sebab itu, Rya Menang Betanding beserta anak cucu keturunannya memutuskan memindahkan kampungnya ke suatu tempat yang tidak berapa jauhnya dari Kampung Kotabatu. Kampung yang baru ini letaknya lebih kurang 2 kilometer dari Kotabatu (di hilirnya) dan kemudian dinamai Gedungmenong.
Pada suatu ketika Rya Menang Betanding melakukan perjalanan muhibah ke tanah Banten, untuk bertemu Raja Banten. Perjalanan tersebut cukup hebat dan menakjubkan karena beliau tidak menggunakan kendaraan seperti yang ada di zaman modern ini. Beliau hanya menggunakan kain basahan yang biasa dipakai mandi di sungai yang disebut telesan. Kain basahan tersebut diletakkan di atas permukaan air sungai untuk dijadikan tempat duduk, sedangkan yang sepotong dilipatnya untuk dijadikan layar.
Setelah mengikuti aliran sungai yang bermuara ke lautan, beliau dengan santai dan tenang berlayar mengarungi Laut Sunda dan akhirnya sampailah di tanah Banten. Setibanya di tanah Banten, beliau dihadapkan pada ujian-ujian, antara lain membunuh seekor naga di Teluk Banten dan membunuh seekor lipan besar, selebar papan, yang hinggap di batang kelapa. Kedua binatang tersebut mati oleh Rya Menang Betanding dengan manteranya, antara lain: "Kumincok di lembung puntung, nak mati kimal untung".
Selain itu, beliau ikut pula dalam suatu perlombaan besar untuk mengambil dan merebut sebilah keris pusaka yang kabarnya berasal dari daun tebu. Rya Menang Betanding menang dalam perebutan dan mendapatkan keris pusaka tersebut yang kemudian terkenal dengan nama Tedung Rangga. Keris Tedung Rangga ini kira-kira bermakna, ular berbisa. Hingga sekarang, keris tersebut masih ada tersimpan pada salah seorang keturunannya.
Setelah selesai mengikuti beberapa acara di tanah Banten, Rya Menang Betanding bermaksud kembali ke tanah Lampung. Namun, sebelum kembali beliau mengadakan suatu perjanjian di Selat Sunda dengan pihak raja/ratu lautan. Isi perjanjian antara lain, anak cucu dan keturunannya atau rakyatnya jangan sampai terkena mabuk dalam pelayaran atau mabuk laut. Dalam perjanjian tersebut telah ditentukan pula suatu kode, tanda pengenal bagi anak cucu keturunannya. Jika suatu waktu akan melakukan pelayaran, sebelum memulai pelayaran disarankan menaburkan beras kunyit (beras dicampur kunyit) ke laut dengan disertai ucapan-ucapan dalam hati nurani antara lain: "Kami ini adalah keturunan anak cucu Rya Menang Betanding yang akan memulai pelayaran dan mohon agar kami jangan sampai terkena mabuk laut".
Setelah itu Rya Menang Betanding kembali ke tanah Lampung, menuju daerah permukimannya di tepi Way Besai (Sungai Besai) bernama Gedungmenong yang selanjutnya meneruskan perjuangan dalam usaha membangun desa baru, diiringi pertambahan penduduk setelah berjalan bertahun-tahun.
PADA suatu ketika Rya Menang Betanding akan berkunjung ke tempat mertuanya di Kotabumi bersama istrinya. Dalam perjalanan tersebut beliau melalui hutan rimba yang sangat luas dan sama sekali tidak mempunyai jalan atau rintisan. Akhirnya, dia bersama istrinya muncul di satu perkampungan yang bernama Tulangbawang Marga Bungamayang.
Di Kampung ini pun ada peninggalannya serta beberapa buah barang pusaka yang ditinggalkannya. Bekas jalan yang dilalui Rya Menang Betanding tersebut, hingga kini masih ada bekas-bekas dan jika ingin melalui jalan tersebut, mudah-mudahan kita tidak akan tersesat.
Niat berkunjung ke tempat mertua ternyata tidak diteruskannya, berhubung ia berpendapat jika ke Kotabumi khawatir akan disuruh menetap di tempat mertuanya itu yang berarti ia akan tipasuk (diambil mertuanya). Akhirnya, ia berputar haluan ke arah Komering dan di sini ia bertemu pula dengan beberapa orang yang konon sama-sama saktinya, sehingga mereka mengadakan suatu pertandingan melangkahi Sungai Komering.
Ternyata, dalam pertandingan itu semua lawannya dapat melangkahi Sungai Komering, kecuali Rya Menang Betanding sendiri yang tidak dapat melangkahinya. Berhubung kakinya yang sebelah masih berada di darat, sedangkan yang sebelah lagi sudah tercelup ke dalam sungai. Maka Rya Menang Betanding menyatakan dirinyalah yang menang, dengan alasan ia berarti mempunyai kekuasaan di darat dan di air, sedangkan lawan-lawannya bertanding itu hanya mempunyai kekuasaan di air saja.
Selesai melakukan pertandingan tersebut, mereka bermufakat melakukan perjalanan bersama-sama dengan mempergunakan perahu di sungai Komering. Setelah mendapat persetujuan, para anggota rombongan tersebut diharuskan membawa masing-masing bekal secukupnya untuk jangka lama. Masing-masing anggota rombongan menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya berupa ketan putih, sedangkan Rya Menang Betanding sendiri hanya membawa bekal satu pundi-pundi kecil yang berisi ketan hitam paling banyak satu kilo.
Semua temannya menggerutu ketika melihat Rya Menang Betanding yang hanya membawa bekal satu pundi kecil itu saja. Barang mustahil akan mencukupi untuk sangunya selama dalam perjalanan yang telah direncanakan cukup lama.
Setelah rombongan melakukan perjalanan, tiba saatnya istirahat dan rombongan masing-masing menanak nasi. Semua rombongan mengeluarkan bekalnya masing-masing secara infak yang kemudian digabung, dikumpul untuk dimasak dalam satu belanga. Setelah semua teman-temannya memasukkan ketan putih ke dalam belanga, barulah terakhir sekali Rya Menang Betanding memasukkan pula ketan hitam sejumput ke dalam belanga yang sama dengan diiringi ucapan bahwa mana kelak yang berwarna hitam, itulah kepunyaannya. Setelah dimasak ketan itu maka seluruhnya menjadi hitam.
Teman-temannya makin penasaran pada Rya Menang Betanding, tambahan lagi selama dalam perjalanan tersebut ia tidak pernah ikut mendayung atau menolakkan perahu dengan galah yang terbuat dari bambu yang panjangnya lebih kurang 3,5 meter dan lurus, yang lazim digunakan di sungai yang airnya deras. Oleh karena itu, teman-temannya meminta agar Rya Menang Betanding menolakkan perahu dengan menggunakan cawah.
Mendengar ucapan teman-temannya itu, Rya Menang Betanding menyanggupinya, dengan syarat ia dicarikan galah yang cukup besar, panjang dan lurus menurut ukuran yang semestinya. Kemudian diambilkan oleh teman-temannya sebatang bambu buntu yang tidak berlubang di dalamnya. Setelah bambu tersebut diterima, ia menyarankan agar semua anggota rombongan bersiap-siap dan waspada, berhubung ia sudah akan mulai menolakkan perahu tersebut dengan galahnya.
Di luar dugaan sama sekali, perahu tersebut meluncur dengan amat laju dan kencang yang berjalan dengan lurus, sehingga menembus beberapa tanjung yang terdapat di Sungai Komering. Akhirnya perahu tersebut harus berantakan, hanya tinggal di bagian haluan saja yaitu tempat Rya Memang Betanding berdiri yang dinamakan binet. Para anggota rombongan lainnya sudah tak tentu lagi di mana adanya, entah sudah tenggelam atau terbang.
Akhirnya, perahu tersebut berhenti di satu tempat yang dinamakan Kehamongan. Galahnya ditancapkan di tepi sungai yang kemudian tumbuh hingga sekarang, sedangkan kepala perahu tempatnya berdiri yang dinamakan binet itu menjadi batu dan masih ada hingga sekarang.
Itulah sebabnya, menurut hikayat Sungai Komering menjadi lurus.
Alkisah, setelah tiba di Kehamongan tersebut, beliau mendirikan lagi suatu perkampungan yang juga diberinya nama Gedungmenong yang letaknya berseberangan dengan Kehamongan. Akhirnya beberapa tahun kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Kehamongan dan tempat itu menjadi keramat. (TAMAT)
Dipetik dari Bambang Suwondo dan Ahmad Yunus. 1979/1980. Cerita Rakyat (Mite dan Legenda) Daerah Lampung. Depdikbud.
0 comments:
Post a Comment