Sentral Basis Perlawanan Empat Keresidenan
KARENA letaknya yang strategis berada di wilayah Sumatera Bagian Selatan, sebelah Utara Propinsi Jambi, sebelah Selatan Kabupaten Lahat menuju Propinsi Lampung, sebelah Barat Propinsi Bengkulu dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muaraenim dan Musi Banyuasin menuju Kota Palembang, Kota Lubuklinggau menjadi daerah strategis yakni sentral basis perlawanan melawan penjajah. Sebagai saksi bisu dari peristiwa sejarah itu dapat kita lihat dariGedung Sub Kos Garuda di depan lapangan Merdeka, Lubuklinggau.
Bahkan, gubernur militer wilayah Sumatera, Dr Adnan Kapau Gani (AK Gani) --yang namanya diabadikan sebagai rumah sakit TNI di Benteng Kuto Besak, Palembang, pernah menjadikan Gedung Sub Koss (Sub Kordinasi), Lubuklinggau ini sebagai tempat mengaturstrategi melawan penjajah.
Sejarah berdirinya gedung perjuangan yang berlokasi di belakang Monumen Perjuangan 45 Lubuklinggau ini diawali dari perlawanan terbesar di Palembang, yakni pertempuran lima hari lima malam pada 1-5 Juni 1947. Namun pasukan Indonesia saat itu terdesak dan terpaksa mundur sejauh 20 kilometer dari Kota Palembang ke arah Payakabung.
Jenderal Sukardjo Hardjo Wardoyo menyusun perlawanan dari desa tersebut. Sementara Letkol Simbolon menempatkan basis pasukannya di Kota Lahat, yang kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa brigade. Pasukan yang bertempur di wilayah Palembang dinamakan Brigade Garuda Merah, Bengkulu Brigade Garuda Emas, Jambi Garuda Putih dan Lampung Brigade Garuda Hitam.
“Namun pecahan Brigade Garuda Merah Palembang yang dinamakan Brigade Garuda Dempo melakukan perlawanan di daerah Pagaralam dan sekitarnya. Waktu itu yang memimpin pasukan adalah Letkol Hasan Kasim,” ungkap pelaku sejarah yang juga ketua Dewan Harian Angkatan 45 Kabupaten Musirawas, Buchori Harun (80) kepada Sripo di kediamannya Jalan Kaswari Rt III No 42 Kelurahan Bandung Kantan yang saat itu menjabat Komandan Pleton I Kompi 206 Brigade Garuda Emas Bengkulu dengan pangkat terakhir Sersan.
Kala itu, kata Buchori, Brigade Garuda Emas berhasil merebut Kota Curup, Minggu 11 Desember 1949 sekitar pukul 10.00 dari tangan penjajah Belanda. “Saat itu Gedung Sub Koss digunakan sebagai basis pengaturan strategi 4 kresidenan (1947-1949),” tandas Buchori.
Sementara perlawanan rakyat Musirawas pada masa revolusi terjadi di daerah Maur, Batukuning, Dusun Linggau dan daerah lainnya Dengan sistem peperangan yang belum terkoordinir, masih berupa perlawanan yang berkelompok-kelompok. Pergolakan waktu itu dapat dikatakan tahap pertama, sebelum tahun 1945.
Kemudian baru ada koordinasi yang dinamakan tahap kedua. Dimulai sejak tahun 1945 dengan membentuk BPRI (Barisan Pelopor Republik Indonesia) dan berubah kembali pada Oktober 1945 menjadi Barisan Keamanan Rakyat (BKR), tentara Republik Indonesia (TKR) sampai tentara nasional Indonesia (TNI). Pelopor perlawanannya antara lain Opsir Gibun Sulaiman Amin, Onder Opsir Nur Amin, Duluk dan Ahmad Gundik.
Pahlawan kita saat itu, menurut salah seorang sesepuh angkatan 45 lainnya, A Gaffar (80), dimakamkan di depan RSUD Lubuklinggau yang sekarang sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Satria Bukit Sulap.
Dengan prinsip mati satu tumbuh seribu membuat penjajah merasa kewalahan. “Sedikitnya satu hari 60 pejuang kita gugur. Mereka dikebumikan secara massal di depan RSUD Lubuklinggau sekarang,” ucap Gaffar dengan suara lemah karena telah dimakan usia.
Gaffar membenarkan Gedung Sub Koss merupakan basis bagi panglima perang empat keresidenan untuk membahas perlawanan terhadap para penjajah negeri ini.
Bentuk Mata Uang Sendiri
SETELAH berkumpulnya komandan brigadir dari empat keresidenan di Gedung Sub Koss (Sub Komando Sumsel) dipimpin Panglima Teritorial II Sriwijaya Bambang Utoyo dan didampingi Ibnu Sutowo, muncullah ide membentuk mata uang atau duit darurat untuk mempertahankan daerahnya masing-masing.
Terbentuknya mata uang itu berdasarkan mandat dari Gubernur Militer Dr Adnan Kapau (Dr AK Gani). Kala itu, empat keresidenan yang datang seperti Keresidenan Bengkulu diwakili Residen Prof Dr Hazairin dengan Komandan Brigadir Mayor Nawawi, dari Jambi Mayor Marzuki, Lampung Gele Harun dan Keresidenan Palembang.
“Mata uang residen Bengkulu waktu itu PMR. Tak ada lambang, hanya berwarna merah. Palembang gambar kapal terbang, Lampung Uri dan Jambi, saya lupa,” ungkap Pelda (Purn) Buchori Harun, veteran senior sekaligus Ketua Harian Angkatan 45 Kabupaten Mura.
Duit darurat itu sendiri, jelas Buchori, hanya dapat ditukarkan di keresidenan setempat. Dan ditukarkan dengan hasil bumi ataupun nilai tukar keresidenan yang telah disepakati bersama oleh empat keresidenan tadi.
Dari pertemuan empat keresidenan di Lubuklinggau tadimenghasilkan amandemen membentuk brigade pasukan. Residen Bengkulu Garuda Emas. Berdasarkan dari tambang emas yang ada di sana. Lampung Garuda Hitam, ambilan nama dari hasil bumi yang terkenal saat itu; sahang hitam. Jambi Brigade Garuda Putih, sesuai dengan sahang putih yang ada di daerah itu. Kemudian Keresidenan Palembang dengan Brigade Garuda Dempo, pecahan dari brigade di Lahat, Garuda Dempo.
Ketika melawan para penjajah guna mempertahankan kemerdekaan RI, para pejuang di Keresidenan Bengkulu dan Musirawas punya senjata khas bernama meriam Lanmen. Dengan kekuatan hulu ledak dari mesiu lemang dinamit hingga 20 meter persegi. Jenis meriam yang sering disebut meriam kecepek ini terbuat dari tiang telepon dipotong separuh.
Pembuatannya hanya ada di Taba Lagan, tepatnya di Desa Lanmen Kota Curup. Selain dari meriam kecepek yang merupakan senjata khas dan digunakan oleh beberapa pejuang di Keresidenan Bengkulu ataupun daerah pertempuran di Kabupaten Musirawas, ujar Buchori, para pejuang juga menggunakan granat bulu ayam dan kecepek.
“Namun saat itu KNIL -orang Indonesia yang menjadi tentaraBelanda dan MID --sebutan pasukan Belanda dengan seragam macan loreng dan baret merah telah menggunakan brand, stand gun atau sejenis senapan LE 7 mm serta meriam tangan 14 mm,” jelas Buchori.
Perlawanan terbesar di Kabupaten Mura, mulai dari Muarasaling sampai Kota Padang, Muarakati dan Muarabeliti. Namun pusat pertempuran ada di daerah Terawas dan Rupit. Di daerah lainnya juga sering melakukan aksi perlawanan, seperti di Tugumulyo yang dipimpin salah satu komandan pasukan di Kota Lubuklinggau, Selongsong.
“Pertempuran terbesar tahun 1948 sampai 1949. Waktu itu pasukan dilatih Komandan Pleton Serma Zaini Kapri. Pertempuran di Muara kati dipimpin Goffar, Sulaiman Amin dan Nur Amin,” jelas Buchori mengakhiri perbincangan. (a bowo laksono)
Sumber :
Sriwijaya Post 22 agustus 2002
KARENA letaknya yang strategis berada di wilayah Sumatera Bagian Selatan, sebelah Utara Propinsi Jambi, sebelah Selatan Kabupaten Lahat menuju Propinsi Lampung, sebelah Barat Propinsi Bengkulu dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muaraenim dan Musi Banyuasin menuju Kota Palembang, Kota Lubuklinggau menjadi daerah strategis yakni sentral basis perlawanan melawan penjajah. Sebagai saksi bisu dari peristiwa sejarah itu dapat kita lihat dariGedung Sub Kos Garuda di depan lapangan Merdeka, Lubuklinggau.
Bahkan, gubernur militer wilayah Sumatera, Dr Adnan Kapau Gani (AK Gani) --yang namanya diabadikan sebagai rumah sakit TNI di Benteng Kuto Besak, Palembang, pernah menjadikan Gedung Sub Koss (Sub Kordinasi), Lubuklinggau ini sebagai tempat mengaturstrategi melawan penjajah.
Sejarah berdirinya gedung perjuangan yang berlokasi di belakang Monumen Perjuangan 45 Lubuklinggau ini diawali dari perlawanan terbesar di Palembang, yakni pertempuran lima hari lima malam pada 1-5 Juni 1947. Namun pasukan Indonesia saat itu terdesak dan terpaksa mundur sejauh 20 kilometer dari Kota Palembang ke arah Payakabung.
Jenderal Sukardjo Hardjo Wardoyo menyusun perlawanan dari desa tersebut. Sementara Letkol Simbolon menempatkan basis pasukannya di Kota Lahat, yang kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa brigade. Pasukan yang bertempur di wilayah Palembang dinamakan Brigade Garuda Merah, Bengkulu Brigade Garuda Emas, Jambi Garuda Putih dan Lampung Brigade Garuda Hitam.
“Namun pecahan Brigade Garuda Merah Palembang yang dinamakan Brigade Garuda Dempo melakukan perlawanan di daerah Pagaralam dan sekitarnya. Waktu itu yang memimpin pasukan adalah Letkol Hasan Kasim,” ungkap pelaku sejarah yang juga ketua Dewan Harian Angkatan 45 Kabupaten Musirawas, Buchori Harun (80) kepada Sripo di kediamannya Jalan Kaswari Rt III No 42 Kelurahan Bandung Kantan yang saat itu menjabat Komandan Pleton I Kompi 206 Brigade Garuda Emas Bengkulu dengan pangkat terakhir Sersan.
Kala itu, kata Buchori, Brigade Garuda Emas berhasil merebut Kota Curup, Minggu 11 Desember 1949 sekitar pukul 10.00 dari tangan penjajah Belanda. “Saat itu Gedung Sub Koss digunakan sebagai basis pengaturan strategi 4 kresidenan (1947-1949),” tandas Buchori.
Sementara perlawanan rakyat Musirawas pada masa revolusi terjadi di daerah Maur, Batukuning, Dusun Linggau dan daerah lainnya Dengan sistem peperangan yang belum terkoordinir, masih berupa perlawanan yang berkelompok-kelompok. Pergolakan waktu itu dapat dikatakan tahap pertama, sebelum tahun 1945.
Kemudian baru ada koordinasi yang dinamakan tahap kedua. Dimulai sejak tahun 1945 dengan membentuk BPRI (Barisan Pelopor Republik Indonesia) dan berubah kembali pada Oktober 1945 menjadi Barisan Keamanan Rakyat (BKR), tentara Republik Indonesia (TKR) sampai tentara nasional Indonesia (TNI). Pelopor perlawanannya antara lain Opsir Gibun Sulaiman Amin, Onder Opsir Nur Amin, Duluk dan Ahmad Gundik.
Pahlawan kita saat itu, menurut salah seorang sesepuh angkatan 45 lainnya, A Gaffar (80), dimakamkan di depan RSUD Lubuklinggau yang sekarang sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Satria Bukit Sulap.
Dengan prinsip mati satu tumbuh seribu membuat penjajah merasa kewalahan. “Sedikitnya satu hari 60 pejuang kita gugur. Mereka dikebumikan secara massal di depan RSUD Lubuklinggau sekarang,” ucap Gaffar dengan suara lemah karena telah dimakan usia.
Gaffar membenarkan Gedung Sub Koss merupakan basis bagi panglima perang empat keresidenan untuk membahas perlawanan terhadap para penjajah negeri ini.
Bentuk Mata Uang Sendiri
SETELAH berkumpulnya komandan brigadir dari empat keresidenan di Gedung Sub Koss (Sub Komando Sumsel) dipimpin Panglima Teritorial II Sriwijaya Bambang Utoyo dan didampingi Ibnu Sutowo, muncullah ide membentuk mata uang atau duit darurat untuk mempertahankan daerahnya masing-masing.
Terbentuknya mata uang itu berdasarkan mandat dari Gubernur Militer Dr Adnan Kapau (Dr AK Gani). Kala itu, empat keresidenan yang datang seperti Keresidenan Bengkulu diwakili Residen Prof Dr Hazairin dengan Komandan Brigadir Mayor Nawawi, dari Jambi Mayor Marzuki, Lampung Gele Harun dan Keresidenan Palembang.
“Mata uang residen Bengkulu waktu itu PMR. Tak ada lambang, hanya berwarna merah. Palembang gambar kapal terbang, Lampung Uri dan Jambi, saya lupa,” ungkap Pelda (Purn) Buchori Harun, veteran senior sekaligus Ketua Harian Angkatan 45 Kabupaten Mura.
Duit darurat itu sendiri, jelas Buchori, hanya dapat ditukarkan di keresidenan setempat. Dan ditukarkan dengan hasil bumi ataupun nilai tukar keresidenan yang telah disepakati bersama oleh empat keresidenan tadi.
Dari pertemuan empat keresidenan di Lubuklinggau tadimenghasilkan amandemen membentuk brigade pasukan. Residen Bengkulu Garuda Emas. Berdasarkan dari tambang emas yang ada di sana. Lampung Garuda Hitam, ambilan nama dari hasil bumi yang terkenal saat itu; sahang hitam. Jambi Brigade Garuda Putih, sesuai dengan sahang putih yang ada di daerah itu. Kemudian Keresidenan Palembang dengan Brigade Garuda Dempo, pecahan dari brigade di Lahat, Garuda Dempo.
Ketika melawan para penjajah guna mempertahankan kemerdekaan RI, para pejuang di Keresidenan Bengkulu dan Musirawas punya senjata khas bernama meriam Lanmen. Dengan kekuatan hulu ledak dari mesiu lemang dinamit hingga 20 meter persegi. Jenis meriam yang sering disebut meriam kecepek ini terbuat dari tiang telepon dipotong separuh.
Pembuatannya hanya ada di Taba Lagan, tepatnya di Desa Lanmen Kota Curup. Selain dari meriam kecepek yang merupakan senjata khas dan digunakan oleh beberapa pejuang di Keresidenan Bengkulu ataupun daerah pertempuran di Kabupaten Musirawas, ujar Buchori, para pejuang juga menggunakan granat bulu ayam dan kecepek.
“Namun saat itu KNIL -orang Indonesia yang menjadi tentaraBelanda dan MID --sebutan pasukan Belanda dengan seragam macan loreng dan baret merah telah menggunakan brand, stand gun atau sejenis senapan LE 7 mm serta meriam tangan 14 mm,” jelas Buchori.
Perlawanan terbesar di Kabupaten Mura, mulai dari Muarasaling sampai Kota Padang, Muarakati dan Muarabeliti. Namun pusat pertempuran ada di daerah Terawas dan Rupit. Di daerah lainnya juga sering melakukan aksi perlawanan, seperti di Tugumulyo yang dipimpin salah satu komandan pasukan di Kota Lubuklinggau, Selongsong.
“Pertempuran terbesar tahun 1948 sampai 1949. Waktu itu pasukan dilatih Komandan Pleton Serma Zaini Kapri. Pertempuran di Muara kati dipimpin Goffar, Sulaiman Amin dan Nur Amin,” jelas Buchori mengakhiri perbincangan. (a bowo laksono)
Sumber :
Sriwijaya Post 22 agustus 2002
0 comments:
Post a Comment