Nandai Batebah (Bengkulu)
1. Asal-usul
Bengkulu adalah salah satu provinsi yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di provinsi ini ada sebuah teater tradisional yang disebut Nandai Batebah. Selain sebutan itu, teater ini juga sering disebut sebagai “Andai-andai” atau “Geguritan”. Nandai Batebah merupakan istilah yang terdiri atas dua kata, yaitu “Nandai” dan “Batebah”. Nandai yang berasal dari kata “andai” berarti “misalkan”, “jika” atau “umpama”. Sementara, batebah berarti “ditembangkan” atau “dilagukan”. Sedangkan, andai-andai berarti “perumpamaan”. Dan, geguritan yang berasal dari kata dasar “gurit” berarti “bersenandung”. Berdasarkan arti dari berbagai kata tersebut, maka nandai batebah dapat diartikan sebagai suatu ceritera “berandai-andai” yang disampaikan oleh juru nandai dengan cara dilagukan atau ditembangkan .
Ceritera-ceritera yang disenandungkan adalah ceritera-ceritera rakyat Bengkulu yang sarat dengan nilai-nilai. Teater ini berfungsi tidak hanya sebagai pelepas rutinitas dalam kehidupan keseharian masyarakat pendukungnya, tetapi juga untuk menghibur sebuah keluarga yang salah satu anggotanya meninggal dunia, sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan yang mendalam.
2. Pemain, Peralatan, Tempat dan Waktu Pertunjukan
Pemain nandai batebah hanya satu orang, yaitu juru nandai (biasanya laki-laki). Agar pertunjukkan dapat berjalan mulus dan sempurna, maka seorang juru nandai harus: (1) memahami ceritera klasik daerah Bengkulu; (2) mengatur volume suara, artikulasi dan intonasi; (3) mahir memainkan lagu-lagu dengan irama yang khas; (4) dapat menciptakan humor yang halus ataupun tajam; (5) mahir menciptakan kalimat-kalimat sastra; dan (6) paham tentang bahasa-bahasa kiasan, peribahasa dan perumpamaan yang hidup di kalangan masyarakat Bengkulu. Dengan demikian, walaupun tanpa mempersiapkan skenario yang tertulis, dengan spontan ia dapat menggelarkan nandai batebah dengan baik.
Teater yang disebut sebagai nandai batebah ini hanya menggunakan sebuah alat yang disebut gerigik. Gerigik adalah semacam tabung yang terbuat dari bambu (seperti peralatan dapur yang digunakan untuk membawa dan menyimpan air). Bagian samping atasnya dilubangi untuk memasukkan air. Lubang itu berfungsi sebagai “pegangan” dalam menentengnya. Caranya adalah dengan memasukkan kedua jari ke dalam lubang tersebut. Kemudian, bagian atasnya dilapisi dengan kain atau apa saja agar terasa empuk karena selama pertujukkan berlangsung, lengan kiri atau lengan kanan juru nandai berada atau ditumpangkan di atasnya. Sedangkan, bagian bawahnya atau dasar gerigik diletakkan pada lantai. Di samping gerigik biasanya juga disertai dua bantal untuk penopang kedua belah paha kiri dan kanan juru nandai.
Pertunjukan nandai batebah biasanya dilengkapi dengan sesaji agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat, sehingga pertunjukan dapat berjalan lancar. Sesaji berupa jambar dengan gulai ayamnya diletakkan di atas jambar tai. Jambar adalah nasi ketan berkunyit (ketan kuning) dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti sebuah gunung dan ditempatkan bersama gerigik di hadapan juru nandai. Sementara untuk menjamu tamunya, penyelenggara biasanya menyediakan makanan tradisional, seperti: sagon, lepe` pisang, lepe` ubi dan cucur pandan.
Pertunjukan nandai batebah biasanya diadakan di tempat yang agak tertutup seperti serambi atau ruangan tengah rumah. Di tempat-tempat seperti itu mereka duduk secara melingkar (membentuk lingkaran-oval), sehingga suara juru nadai dapat terdengar dengan jelas. Jika pertujukkan bertempat di ruangan tengah rumah, maka pintu dan jendela dibuka, sehingga penonton yang tidak dapat duduk di dalam (karena telah penuh) dapat menikmatinya dari luar. Biasanya pertunjukkan dilakukan pada malam hari, yaitu dari pukul 20.00 (setelah sholat Isya) sampai pukul 04.00 WIB (menjelang waktu subuh). Jika ceritera (lakon) yang dibawakan oleh juru nadai tidak selesai (tamat) dalam satu malam, maka pada malam berikutnya dilanjutkan dalam waktu yang sama. Sebagai catatan, jika pertunjukkan bertempat di kediamanan orang yang sedang berduka cita, maka hanya beberapa jam saja. Maksimal hanya sampai tengah malam.
3. Jalannya Pertunjukkan
Pada hari dan waktu yang telah disepakati, datanglah juru nandai ke rumah penyelenggara. Ia disambut oleh tuan rumah dan dipersilahkan duduk di atas tikar pada tempat yang telah disediakan. Melihat kehadiran sang juru nandai, para undangan dan tetangga pun berdatangan. Mereka disambut oleh tuan rumah dan dipersilahkan duduk secara melingkar. Sebagai catatan, jika pertunjukkan dilakukan di ruang tengah rumah, maka jendela dan pintunya dibuka lebar-lebar, sehingga ketika ruang tersebut penuh, mereka dapat menyaksikannya dari luar.
Ketika para undangan, tetangga, dan penonton lainnya sudah berdatangan, maka pihak tuan rumah menaruh sesaji yang berupa jambar dan gulai ayam di hadapan juru nandai. Selain itu, agar juru nandai dapat duduk dengan nyaman, maka pihak tuan rumah menyediakan dua buah bantal. Setelah itu, seseorang yang mewakili tuan rumah menyerahkan gerigik kepada juru nandai sebagai isyarat bahwa pertunjukkan dapat dimulai. Dengan adanya isyarat itu, maka juru nandai segera mengambil kedua bantal yang telah disediakan, lalu menaruhnya di bawah kedua lututnya (bantal yang satu ada di bawah lutut kiri dan yang satunya lagi ada di bawah lutut kanan) Sedangkan, gerigik digunakan untuk menopang lengannya secara bergantian (kiri dan kanan), sehingga posisi badan tetap tegak. Selanjutnya, juru nandai berdoa kepada Allah SWT agar pertunjukan dapat berjalan dengan lancar dan pihak keluarga serta para tetangga maupun handai taulan yang hadir selalu diberi rahmat-Nya.
Seusai berdoa, juru nandai mulai ber-nandai dengan mengucapkan rejung (pembukaan yang berbentuk prosa liris). Isinya adalah tentang permintaan maaf, jika dalam ber-nandai ada kekurangan atau kekhilafan. Selanjutnya, juru nandai memaparkan salah satu ceritera rakyat Bengkulu dalam bahasa Serawai dan dalam bentuk prosa irama. Jadi, kalimat-kalimat yang tersusun dalam bait-bait puisinya secara keseluruhan mewujudkan sebuah porsa liris. Adapun lagu-lagu yang menyertainya disesuaikan dengan ceritera yang dibawakannya. Pemaparan itu dilakukan babak demi babak sampai akhirnya tamat. Dan, dengan tamatnya suatu ceritera, maka berakhirnya pertunjukkan nandai batebah.
Sebagai catatan, dalam pertunjukkan nandai batebah, juru nandai tidak melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, tetapi hanya duduk bersila. Jika pendengar tampak mengantuk ketika mendengar cariteranya, ia hanya membuat kejutan-kejutan dengan menyaringkan atau mengeraskan suaranya.
4. Nilai Budaya
Nandai batebah, sebagai salah satu jenis teater tradisional khas Bengkulu, jika dicermati secara seksama, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu antara lain adalah kesetaraan, ketenggang-rasaan, kreativitas, dan religius.
Nilai keseteraan tercermin dalam pergelaran nandai batebah itu sendiri. Dalam konteks ini para pendengar sama-sama duduk di atas tikar yang telah disediakan oleh tuan rumah dalam formasi melingkar. Jadi, tidak ada yang lebih tinggi dan atau rendah. Semuanya diperlakukan sama (sederajat).
Nilai ketenggang-rasaan tercermin dalam pergelaran yang ditujukan kepada keluarga yang sedang berduka cita karena salah seorang anggotanya meninggal dunia. Pagelaran ini memang dimaksudkan agar keluarga yang sedang berduka cita tersebut terhibur, sehingga tidak larut dalam kesedihan yang berlebihan. Namun demikian, pagelaran tidak dilakukan sampai pagi, tetapi hanya beberapa jam. Dan, ini adalah sebagai wujud ketenggang-rasaan.
Nilai kreativitas tercermin dalam diri juru nadai. Dalam konteks ini juru nandai harus memahami ceritera klasik daerah Bengkulu; mengatur volume suara, artikulasi dan intonasi; mahir memainkan lagu-lagu dengan irama yang khas; dapat menciptakan humor yang halus ataupun tajam; mahir menciptakan kalimat-kalimat sastra; paham tentang bahasa-bahasa kiasan, peribahasa dan perumpamaan yang hidup di kalangan masyarakat Bengkulu. Dengan demikian, walaupun tanpa mempersiapkan skenario yang tertulis, dengan spontan ia dapat menggelarkan nandai batebah dengan baik. Untuk itu, diperlukan kreatifitas yang tinggi.
Nilai religius tercermin dalam doa yang dipanjatkan oleh juru nandai. Dalam konteks ini, sebelum pergelaran dimulai, juru nandai berdoa kepada Allah SWT agar pertunjukkan dapat berjalan dengan lancar dan pihak keluarga serta para tetangga maupun handai taulan yang hadir selalu diberi rahmat-Nya. (AG/bdy/68/10-07)
Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://melayuonline.com/culture/?a=UnFSei9zVEkvUXZ5bEpwRnNx=
0 comments:
Post a Comment