tag:blogger.com,1999:blog-26989171759821657682007-12-23T19:06:46.429-08:00
revolusi
firnandes
Blogger
3125
tag:blogger.com,1999:blog-2698917175982165768.post-55828567570353147122007-12-23T19:05:00.001-08:002007-12-23T19:06:46.473-08:00
"Pemerintah yang tidak demokratis bisa saja membuat hukum yang dibuatnya itu sehingga nampak konstitusional. Sebaliknya demokrasi tanpa pemerintah yang taat hukum sangat diragukan, atau bahkan omong kosong" (Bondan Gunawan S/Mantan Mensesneg)Sengaja ilustrasi diatas, Penulis tempatkan sebagai pembuka tulisan ini, walaupun mungkin masih banyak lagi tolak ukur Demokrasi dari para ahli yang lebih representatif untuk di sitir atau dijadikan acuan.Mengkaji Demokrasi seakan tidak ada habis-habisnya walaupun di bangku sekolah tingkat pertama di telinga kita sudah akrab dengan kata Demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos = Pemerintahan dan Kratos = Rakyat. Juga dijelaskan kalau ada dua tipe Demokrasi yaitu Demokrasi Langsung biasanya berlaku di wilayah yang kecil dan berpenduduk sedikit dimana disana semua keputusan menyangkut kepentingan publik atau umum, semua orang disana diminta untuk menyatakan pendapatnya dan keinginan mayoritas penduduklah yang dijalankan, kedua adalah Demokrasi Tidak Langsung berlaku pada masyarakat yang besar dan atau majemuk serta mempunyai wilayah yang luas. Disinilah berlaku sistem Demokrasi dengan sistem perwakilan karena memang jika seluruh rakyat dalam jumlah jutaan diminta pendapatnya adalah sesuatu yang mustahil atau paling tidak menghambat kelangsungan proses pengambilan keputusan. Bayangkan saja jika hanya untuk memberlakukan satu Undang-undang harus meminta pendapat seluruh rakyat, berapa biaya yang diperlukan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan ? Bukan beranti penulis berkesimpulan bahwa Demokrasi Tidak Langsung lebih baik daripada Demokrasi Langsung, karena terkadang pilihan-pilihan sistim Demokrasi ini adalah strategi para politisi dalam upaya untuk mencapai target pribadi maupun kelompoknya. Masih segar dalam ingatan kita ketika dulu terjadi perdebatan sengit antara pimpinan partai politik menjelang pemilu 7 Juni 1999 dan pemilihan Presiden masa bakti 2000 — 2004 yang lalu, banyak pihak beranggapan bahwa kita (baca : rakyat) belum siap untuk melaksanakan pemilihan Presiden secara langsung. Pendapat yang menyatakan bahwa rakyat kita belum siap untuk melaksanakan pemilihan Presiden secara langsung dibantah oleh seorang pakar Hukum Tata Negara Prof Dr. Yusril lhza Mahendra (dulu dosen UI), yang mengatakan "bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan rakyat belum siap", bukankah sebelum diberlakukan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, kita sudah terbiasa dengan sistem pemilihan pemimpin secara Iangsung, seperti dibeberapa daerah di Sumatera yang dipimpin oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga. Setiap kali pemilihan Pasirah tersebut dilakukan pemilihan secara langsung. Bahkan saat jaman penjajahan Belanda pemilihan Pasirah tersebut di lakukan dengan cara yang cukup unik, yaitu dengan cara masing-masing calon berdiri di lapangan luas dan terbuka kemudian dipersilahkan bagi pemilih untuk mengambil tempat dibelakang calon sesuai dengan pilihannya, dan nanti panitia akan menghitung siapa yang paling panjang atau banyak barisan di belakangnya maka itulah yang menjadi pemenang pemilihan tersebut. Walaupun rata-rata rakyat pada waktu itu berpendidikan rendah bahkan banyak yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan namun tidak terjadi keributan pasca pemilihan, ini mungkin disebabkan waktu itu orang belum mengenal praktek-praktek kotor seperti Money Politic. dan apa yang dilakukan waktu itu sekarang kita kenal dengan sistem pemilihan dengan Voting terbuka yang banyak dihindari orang-orang di Lembaga Legislalif baik di pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota, karena kalau Voting terbuka itu dilakukan sudah dapat dipastikan akan berbuntut panjang, sebab pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya sebab Ia menghitung begitu banyak kerugian materi dan selanjutnya akan terkuaklah nanti praktek kotor suap-menyuap itu.Demokrasi Versus TiraniMenurut Polybius seorang ahli hukum, memang sudah hukum alam kalau terjadi perubahan atau pergantian sistim pemerintahan dalam siklus yang digambarkannya ada sistim Monarchi, Oligarchi, Teokrachi, Arislikrachi, Demoicrachi, dan Tirani. Polybius mengatakan "bahwa sistem itu selalu berputar dan berganti-ganti". Jika teori siklus Polybius tersebut kita hubungkan dengan kondisi real negara kita dari masa penjajahan Belanda, Jepang sampai kita menyatakan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat atas tanah airnya, nampak memang teori itu mengandung kebenaran. Pada jaman penjajahan wilayah Nusantara terbagi atas beberapa wilayah kerajaan, artinya menganut sistim Monarchi absolut dimana kewenangan mutlak dalam menjalankan roda pemerintahan ada ditangan Raja atau Sultan.17 Agustus 1945 terjadi peristiwa yang bersejarah bagi bangsa Indonesia dimana dua orang pemimpin biasa dikenal sebagai Dwi Tunggal atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan kita. Maka proklamasi itu otomatis mengubah pula sistim ketatanegaraan kita karena dengan demikian kita mempunyai konstitusi serta aturan lain yang murni "made in" Indonesia walaupun dalam kenyataannya kita harus rnengakui bahwa banyak peninggalan penjajah Belanda yang sampai saat ini masih kita anut dan kita pergunakan terutama berhubungan dengan peraturan perundang-undangan dan Iegalisasinya mengacu pada pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, dan kita juga harus bangga dengan sejarah kemerdekaan kita yang berbeda dengan sejarah kemerdekaan negara-negara di dunia ketiga Iainnya seperti Malaysia dan Filiphina. Malaysia semula dijajah inggris walaupun telah merdeka tetapi tidak dapat lepas secara total dari pengaruh Inggris. ini terbukti sampai saat ini Malaysia adalah bagian dari persemakmuran Inggris Raya dan hal ini pula memaksa Malaysia untuk ikut terpengaruh pada sikap Inggris termasuk masalah politik luar negeri, hal yang sama juga terjadi. dengan Filiphina hampir-hampir dapat dikatakan adalah "negara bagian"nya Amerika Serikat, sampai-sampai hari kemerdekaannya sama dengan "tuan" yang pernah menjajahnya, bahkan Amerika Serikat membangun pangkalan militer di negara itu.Kita kembali kepada teori siklus Polybius diatas hubungannya dengan Indonesia. Polybius mengatakan bahwa "pada saat kondisi suatu negara kacau, rakyatnya ditindas, maka akan muncul orang kuat yang akan menyelamatkan rakyatnya dari kekacauan". Pada awalnya orang itu akan memimpin secara Demokratis, Jujur dan Adil. Benar memang kemudian muncul pemimpin-pemimpin kita yang cakap dan berani seperti Soekamo, Hatta, Muh. Yamin dan lain-lain, merekalah yang berperan sebagai "key person" atau orang kunci ketika itu dan memang pada awal kemerdekaan kita, suasana begitu Demokratis terbukti pemilu Indonesia yang pertama tahun 1955 diakui dunia. Internasional sebagai pemilu yang demokratis dipandang dari sudut Demokrasi Universal.Selama 32 tahun Soeharto memerintah dengan tangan besinya, yang akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan hingga pada puncaknya di tahun 1998 Soeharto terguling dan diganti oleh Habibie yang pada pemerintahannya melahirkan Pemilu 7 Juni 1999 dengan cukup demokratis selama Indonesia merdeka. Pemilu 7 juni 1999 mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden yang penuh dengan ide-ide kontroversional. Seandainya pada pemilihan Presiden yang lalu melahirkan Amien Rais sebagai Presiden, mungkin saja pemenintahan kita waktu itu akan bercorak Aristokrachi walaupun latar belakang Amien Rais sebagai akademis atau cendekiawan bukan jaminan terhadap corak pemerintahannya, namun tidak terbukti ramalan sebagian orang bahwa dengan predikat Kyai yang disandang Gus Dur akan berpengaruh dengan sistem pemerintahannya akan condong kearah Teokrachi (dominan pengaruh keagamaanya), bahkan ternyata pemerintahan saat itu agak membingungkan kita dengan dihapusnya Departemen Sosial, Departemen Penerangan dan Ditsospol. Bisa saja Gus Dur membuat perencanaan akan menumbuhkan sebuah masyarakat sipil yang kuat (baca: Masyarakat Madani) yang terbebas dari pengaruh atau intervensi Negara (State) atau bisa saja kalau kita simak teori Polybius gejala Gus Dur dengan statmennya waktu berkuasa yang terkadang kontra produktif dengan statment yang dilontarkan sebelumnya, adalah gejala atau tanda-tanda kebangkitan tirani baru atau mungkin agar lebih sopan kita sebut Neo Tirani.Menyiasati Tumbuhnya DemokrasiSudah tidak dapat dibantah lagi bahwa prasyarat utama tumbuhnya demokrasi adalah terbentuk atau terciptanya masyarakat sipil (Civil Society) wataupun sebenamya gagasan untuk membentuk masyarakat sipil dimulai oleh Aristoteles meskipun Cicerolah yang mulai menggunakan istilah Society Civilis dalam filsafat politiknya. Pada awalnya pengertian Sivil Society dan Negara dianggap sama dimana dipakai istilah-istilah seperti Kainonio Politiche, Societe Civil, Burgerliche geselschaft, Civil Society dengan Polis, Civitas, Etai, Staai, Stato, dan State.Muhammad Hikam mendepinisikan masyarakat sipil itu sebagai benikut : "Masyarakat sipil adalah merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri antara lain Kesukarelaan (Voluntary), Keswasembadaan (Self -Generating), dan ke—Swadayaan (Self- Supporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma hukum yang diikuti dengan warganya", Disamping masyarakat sipil sering dipadankan dengan masyarakat madani. Padanan kata lainya yang sering digunakan iaiah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya bahkan jika diliperhatikan asalnya istilah Civil Society dikaitkan dengan anti militerisme. Di Barat, memang eksistensi masyarakat sipil biasanya dihadapkan dengan kelompok militer, disebabkan keduanya dianggap sebagai dua arena atau Domain politik yang terpisah secara diametris. itupun secara politik disana berlaku apa yang disebut Supremasi Masyarakat sipil atas militer (Cipilian Supremacy Over The military).Ketika Masyarakat sipil sudah terbentuk yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah hanya dengan adanya ruang publik yang bebaslah, individu-individu dalam posisi setara, dapat melakukan transaksi-transaksi wacana (Discursive Transaction) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran dimana secara teoritis, ruang publik dapat diartikan sebagai ruang dimana Anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka berhak melakukan secara merdeka didalamnya termasuk mengembangkan wacana piblik seperti mengembangkan wacana publik seperti menyampaikan pendapat secara lisan atau tertulis (Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani Hal 123). Dengan adanya ruang publik yang bebas tersebut, masyarakat sipil dapat mengekspresikan aspirasi politiknya, dari cara yang Non Institusional (Jalanan) hingga cara Institusional, misalnya media massa, tempat-.tempat pertemuan, parlemen dan sekolah-sekolah juga perwujudan atau pengejawantahan dari kelompok masyarakat sipil sendiri, dimana memungkinkan berlangsungnya transaksi-transaksi wacana (Discursive Transaction) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi untuk mencapai itu semua maka masyarakat sipil mesti berhadapan dengan negara, maka sejatinya masyarakat madani dan ruang publik yang bebas itulah yang merupakan tujuan pokok gerakan-gerakan Pro Demokrasi. Pertanyaan yang muncul lagi adalah bagai mana jika dalam perjalanan memperjuangkan ruang publik itu berhadapan dengan Negara yang Otoriter maka dapat dipastikan masyarakat madani akan menghadapi problematika berupa hambatan untuk berkembang. HaI ini disebabkan oleh tindakan Represif Negara dalam membatasi kebebasan mereka untuk mengekspresikan kepentingan politiknya.Jika masyarakat sipil di refresi oleh Negara yang Otoriter. Maka salah satu solusi yang layak diterima adalah, mereka harus melakukan gerakan sosial : meskipun disisi lain karena kuatnya otoritas Negara pula, dapat mendorong bagi masyarakat madani untuk tumbuh dan mengejawantahkan diri melalui gerakan-gerakan perlawanan sosial politik dengan menuntut demokrasi (Ahmmad Doli Kurnia, membongkar mitos kebesaran HMI, 1999).Stimulus Menuju DemokrasiAdalah penting dilakukan oleh kaum cendikiawan ataupun aktivis politik prodemokrasi untuk menciptakan suatu pra kondisi dalam rangka menyelesaikan fase-fase menuju demokrasi dan jika gerakan Demokrasi itu disamakan dengan gerakan besar menuju perubahan, sedikitnya ada tiga hal yang harus ada, yaitu pertama organisasi yang besar dan kuat. Di organisasi inilah tempat atau wadah dimana berkumpul orang-orang dengan sadar bersatu atas dasar berbagai macam persamaan, seperti persamaan ideologi dan cita-cita biasanya paling lazim organisasi ini dimanifestasikan dalam bentuk Partai politik. Walaupun dalam kenyataannya sebagian orang memahami partai politik dari sudut pandang parsial, malahan kita sering mendengar istilah-istilah seperti partai kader dan partai massa, kedua-duanya memiliki karakteristik yang sangat bertolak belakang adalah suatu yang absurd (tidak berarti/tidak bermakna) jika partai politik itu hanya mengandalkan massa fanatik yang tidak dibekali dengan pendidikan ideologi, bahkan sejatinya massa partai harus diberi pemahaman tentang ideologi-ideologi. Apakah itu ideology liberal, sosialis, komunis dan lain-lain. hal itu berguna sebagai pembanding sekaligus penguat keyakinan akan kebenaran ideologi yang dianut oleh partai potitik itu. Bahkan yang lebih buruk lagi partai massa hanya mengandalkan pengaruh ketokohan pemimpinnya dan cenderung terjadi "kultus buta". Sebaliknya partai kader tidak akan melakukan perubahan yang besar dan nyata tanpa adanya massa / anggota yang solid, terpimpin dan banyak, karena ide-ide atau gagasan partai dapat diwujudkan oleh anggota-anggota partai dan itu dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Kedua adalah massa yang besar, massa ini erat hubungannya dengan parati politik karena aspirasi massa akan ditampung oleh parati dan selanjutnya akan dilakukan proses-proses membuat formula untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat selanjutnya formula itu akan dibawa kedalam kehidupan nyata di lapangan. Ketiga adalah pemimpin yang cakap, lahirnya pemimpin biasanya disebabkan melalui beberapa hal, ada yang menjadi pemimpin karena keturunan misalnya Raja atau Sultan, ada karenà kharismanya dan kemampuannya dalam menyelesaikan persoalan, tapi dapat dibuat kesimpulan apapun sebab seseorang menjadi pemimpin yang menjadi kuncinya adalah kepercayaan, tanpa kepercayaan orang tidak akan diangkat menjadi pemimpin, tanpa kepercayaan, kepemimpinan seseorang tidak akan bertahan lama, terbukti berapa banyak pemimpin-pemimpin besar yang terguling karena hilangnya kepercayaan rakyat misalnya Soekarno, Ferdinand Marcos, Soeharto, Habibie dan lain-lain.Pilihan Bijak Menuju DemokrasiMelalui tulisan ini penulis ingin mengajak kita semua untuk melakukan kontemplasi panjang, melakukan perenungan menuju demokrasi yang kita inginkan bersama. Mengapa penulis menggunakan terminologi atau istilah "pilihan bijak" bukan berarti penulis memproklamirkan diri sebagai bagian dari kelompok "konservatif tua", karena walau sebenarnya banyak pilihan teori yang berdasarkan diberbagai literatur studi gerakan politik (political movemen) berurusan dengan spirit teologi pembebasan mulai dari yang paling radikal / revolusioner sampai ke teori paling konservatif melalui pemberdayaan institusi-institusi resmi kenegaraan seperti institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sering kita istilahkan melalui cara yang konstitusional.Kita perhatikan teori konstitusi, dikatakan oleh seorang ahli hukum Prof. Hans Kelsen "Jika suatu kerajaan diubah bentuknya (transform) jadi suatu Republik oleh suatu Revolusi Rakyat, atau suatu Republik menajdi suatu Kerajaan oleh Coup D’etat seorang presiden dan jika pemerintahan yang baru itu sanggup mempertahankan konstitusi baru itu dalam suatu cara yang efektif, maka menurut hukum Internasional Pemerintah ini adalah pemenintah yang sah dan konstitusi ini adalah konstitusi yang berlaku bagi negara itu". Inilah sebabnya mengapa dinyatakan dalam hubungan lain, bahwa menurut hukum internasional revolusi yang berhasil dan Coup D’etat yang sukses adalah kenyataan-kenyataan yang menciptakan hukum. Dilihat dari teori konstitusi diatas maka tindakan.-tindakan sepihak berbentuk perebutan kekuasaan dilindungi oleh hukum internasional dan kalau kita mau jujur sebenarnya perilaku kudeta atau mengambil alih kekuasaan secara paksa adalah murni budaya kita yang sesungguhnya. Tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara yang dalam pergantian raja-rajanya didahului dengan perebutan kekuasaan, ambil contoh sejarah kudeta Ken Arok terhadap Tunggul Ametung yang akhirnya berlanjut sampai ke anaknya Tohjaya dan Anusapati. Menilik dari sejarah diatas dapat saja disimpulkan bahwa penilaku kudeta adalah "perilaku purba" yang tetap dilestarikan sampai sekarang walaupun tidak sesuai dengan perkembangan teori pemerintahan modern (modern government teory). Penulis masih ragu-ragu jika pilihan untuk melakukan perubahan dilakukan dengan cara kudeta adalah pilihan merupakan paling tepat sebab jika kita jatuhkan pilihan kudeta, kita harus menghitung ulang dengan cermat cost yang akan dikeluankan dari gerakan perebutan kekuasaan itu berapa korban materi, berapa jiwa manusia yang hilang, berapa waktu yang kita butuhkan. untuk mengembalikan kondisi agar normal kembali, dan yang lebih penting lagi berapa prosentase kemenangan di pihak kita. Hitung-hitungan diataslah yang menimbulkan keragu-raguan itu. Tinggal sekarang pilihan kita satu-satunya adalah melakukan perubahan dengan cara damai yaitu melalui pemilihan umum atau meminjam istilah orde baru disebut "pesta demokrasi". Tinggal sekarang apa yang harus kita persiapkan dalam rangka menyambut pemilu itu, tentunya bukan jamannya lagi melakukan pembodohan terhadap rakyat seperti yang terjadi selama 32 tahun rejim Soeharto berkuasa. Rakyat tidak butuh janji-janji kosong para politisi ditambah lagi dengan memperalat pihak militer untuk menakut-nakuti rakyat, yang penting untuk kita lakukan saat ini adalah melakukan proses "pemintaran" kepada rakyat, seperti yang dilakukan oleh kalangan LSM menjelang pemilu 7 Juni 1999 yang lalu dengan melakukan Voter Education (pendidikan pemilih) atau pasca pemilu LSM melakukan Civic Education (pendidikan kewarganegaraan) walaupun sebenarnya tugas-tugas pendidikan seperti itu adalah tanggung jawab partai politik. Tetapi kelihatannya para politisi saat ini "mabuk kemenangan" sehingga lupa fungsi yang sesungguhnya, mungkin mereka tidak tahu seorang senator di Amerika Serikat menyediakan saluran telepon khusus on line 24 jam bagi konstituennya untuk mengadukan permasalahannya. Apalagi nanti seandainya diberlakukan sistem distrik dalam pemilu mendatang jika para politisi sekarang tidak dapat mengubah paradigma berfikir dan perilakunya mereka harus bersiap-siap untuk meninggalkan kursi mereka di Legislatif saat ini.Peran Mahasiswa Dalam Menegakkan DemokrasiMengapa kemudian diakhir tulisan ini penulis "sempatkan" untuk mengupas sedikit tentang kontribusi mahasiswa, dalam hal ini penulis mengelompokkan mahasiswa dalam kelompok pemuda. Ada beberapa alasan mengapa kemudian mahasiswa / pemuda kita yakin dapat melakukan perubahan ke arah demokrasi, yaitu pertama alasannya adalah mahasiswa atau pemuda memiliki keberanian yang luar biasa, kedua mereka memiliki idealisme yang tinggi dan ketiga mereka memiliki semangat yang menyala-nyala. Ketiga alasan diatas adalah modal besar yang tak ternilai harganya, karena memang hanya mahasiswa atau pemuda yang memilikinya. Kita tahu sejak dulu, di kampus sebelum diberlakukannya NKK / BKK para petani yang dirugikan akibat tanahnya digusur tanpa ganti rugi yang adil lebih memilih untuk mengadu kepada Dewan Mahasiswa (Dema) perguruan tinggi daripada mengadu kepada para "wakil rakyat" yang ada di lembaga legislatif, dan sekarang ketika era kebebasan dibuka mengapa sebagian besar mahasiswa menjauhi isu-isu populis tentang rakyat, misalnya tentang kemiskinan, lingkungan hidup, HAM, demokrasi, dan sebagainya. Tidakkah terpikir dibenak mereka yang kuliah di perguruan tinggi negeri berapa subsidi diberikan negara, yang didapat dari pajak rakyat kepada dirinya untuk biaya pendidikan setiap tahunnya? Sudah merasa gagahkah mereka membayar uang SPP yang besarnya lebih kurang Rp. 700.000,- per semester. Padahal kalau dihitung uang itu hanya cukup untuk membeli spidol white board, masih untung nanti kalau jadi pembesar mereka tidak menindas rakyat. Semoga!OLEH : AGUSTAM RACHMAN, SH
firnandes
tag:blogger.com,1999:blog-2698917175982165768.post-8283485954710038742007-12-23T19:05:00.000-08:002007-12-23T19:06:36.131-08:00
"Pemerintah yang tidak demokratis bisa saja membuat hukum yang dibuatnya itu sehingga nampak konstitusional. Sebaliknya demokrasi tanpa pemerintah yang taat hukum sangat diragukan, atau bahkan omong kosong" (Bondan Gunawan S/Mantan Mensesneg)Sengaja ilustrasi diatas, Penulis tempatkan sebagai pembuka tulisan ini, walaupun mungkin masih banyak lagi tolak ukur Demokrasi dari para ahli yang lebih representatif untuk di sitir atau dijadikan acuan.Mengkaji Demokrasi seakan tidak ada habis-habisnya walaupun di bangku sekolah tingkat pertama di telinga kita sudah akrab dengan kata Demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos = Pemerintahan dan Kratos = Rakyat. Juga dijelaskan kalau ada dua tipe Demokrasi yaitu Demokrasi Langsung biasanya berlaku di wilayah yang kecil dan berpenduduk sedikit dimana disana semua keputusan menyangkut kepentingan publik atau umum, semua orang disana diminta untuk menyatakan pendapatnya dan keinginan mayoritas penduduklah yang dijalankan, kedua adalah Demokrasi Tidak Langsung berlaku pada masyarakat yang besar dan atau majemuk serta mempunyai wilayah yang luas. Disinilah berlaku sistem Demokrasi dengan sistem perwakilan karena memang jika seluruh rakyat dalam jumlah jutaan diminta pendapatnya adalah sesuatu yang mustahil atau paling tidak menghambat kelangsungan proses pengambilan keputusan. Bayangkan saja jika hanya untuk memberlakukan satu Undang-undang harus meminta pendapat seluruh rakyat, berapa biaya yang diperlukan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan ? Bukan beranti penulis berkesimpulan bahwa Demokrasi Tidak Langsung lebih baik daripada Demokrasi Langsung, karena terkadang pilihan-pilihan sistim Demokrasi ini adalah strategi para politisi dalam upaya untuk mencapai target pribadi maupun kelompoknya. Masih segar dalam ingatan kita ketika dulu terjadi perdebatan sengit antara pimpinan partai politik menjelang pemilu 7 Juni 1999 dan pemilihan Presiden masa bakti 2000 — 2004 yang lalu, banyak pihak beranggapan bahwa kita (baca : rakyat) belum siap untuk melaksanakan pemilihan Presiden secara langsung. Pendapat yang menyatakan bahwa rakyat kita belum siap untuk melaksanakan pemilihan Presiden secara langsung dibantah oleh seorang pakar Hukum Tata Negara Prof Dr. Yusril lhza Mahendra (dulu dosen UI), yang mengatakan "bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan rakyat belum siap", bukankah sebelum diberlakukan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, kita sudah terbiasa dengan sistem pemilihan pemimpin secara Iangsung, seperti dibeberapa daerah di Sumatera yang dipimpin oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga. Setiap kali pemilihan Pasirah tersebut dilakukan pemilihan secara langsung. Bahkan saat jaman penjajahan Belanda pemilihan Pasirah tersebut di lakukan dengan cara yang cukup unik, yaitu dengan cara masing-masing calon berdiri di lapangan luas dan terbuka kemudian dipersilahkan bagi pemilih untuk mengambil tempat dibelakang calon sesuai dengan pilihannya, dan nanti panitia akan menghitung siapa yang paling panjang atau banyak barisan di belakangnya maka itulah yang menjadi pemenang pemilihan tersebut. Walaupun rata-rata rakyat pada waktu itu berpendidikan rendah bahkan banyak yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan namun tidak terjadi keributan pasca pemilihan, ini mungkin disebabkan waktu itu orang belum mengenal praktek-praktek kotor seperti Money Politic. dan apa yang dilakukan waktu itu sekarang kita kenal dengan sistem pemilihan dengan Voting terbuka yang banyak dihindari orang-orang di Lembaga Legislalif baik di pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota, karena kalau Voting terbuka itu dilakukan sudah dapat dipastikan akan berbuntut panjang, sebab pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya sebab Ia menghitung begitu banyak kerugian materi dan selanjutnya akan terkuaklah nanti praktek kotor suap-menyuap itu.Demokrasi Versus TiraniMenurut Polybius seorang ahli hukum, memang sudah hukum alam kalau terjadi perubahan atau pergantian sistim pemerintahan dalam siklus yang digambarkannya ada sistim Monarchi, Oligarchi, Teokrachi, Arislikrachi, Demoicrachi, dan Tirani. Polybius mengatakan "bahwa sistem itu selalu berputar dan berganti-ganti". Jika teori siklus Polybius tersebut kita hubungkan dengan kondisi real negara kita dari masa penjajahan Belanda, Jepang sampai kita menyatakan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat atas tanah airnya, nampak memang teori itu mengandung kebenaran. Pada jaman penjajahan wilayah Nusantara terbagi atas beberapa wilayah kerajaan, artinya menganut sistim Monarchi absolut dimana kewenangan mutlak dalam menjalankan roda pemerintahan ada ditangan Raja atau Sultan.17 Agustus 1945 terjadi peristiwa yang bersejarah bagi bangsa Indonesia dimana dua orang pemimpin biasa dikenal sebagai Dwi Tunggal atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan kita. Maka proklamasi itu otomatis mengubah pula sistim ketatanegaraan kita karena dengan demikian kita mempunyai konstitusi serta aturan lain yang murni "made in" Indonesia walaupun dalam kenyataannya kita harus rnengakui bahwa banyak peninggalan penjajah Belanda yang sampai saat ini masih kita anut dan kita pergunakan terutama berhubungan dengan peraturan perundang-undangan dan Iegalisasinya mengacu pada pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, dan kita juga harus bangga dengan sejarah kemerdekaan kita yang berbeda dengan sejarah kemerdekaan negara-negara di dunia ketiga Iainnya seperti Malaysia dan Filiphina. Malaysia semula dijajah inggris walaupun telah merdeka tetapi tidak dapat lepas secara total dari pengaruh Inggris. ini terbukti sampai saat ini Malaysia adalah bagian dari persemakmuran Inggris Raya dan hal ini pula memaksa Malaysia untuk ikut terpengaruh pada sikap Inggris termasuk masalah politik luar negeri, hal yang sama juga terjadi. dengan Filiphina hampir-hampir dapat dikatakan adalah "negara bagian"nya Amerika Serikat, sampai-sampai hari kemerdekaannya sama dengan "tuan" yang pernah menjajahnya, bahkan Amerika Serikat membangun pangkalan militer di negara itu.Kita kembali kepada teori siklus Polybius diatas hubungannya dengan Indonesia. Polybius mengatakan bahwa "pada saat kondisi suatu negara kacau, rakyatnya ditindas, maka akan muncul orang kuat yang akan menyelamatkan rakyatnya dari kekacauan". Pada awalnya orang itu akan memimpin secara Demokratis, Jujur dan Adil. Benar memang kemudian muncul pemimpin-pemimpin kita yang cakap dan berani seperti Soekamo, Hatta, Muh. Yamin dan lain-lain, merekalah yang berperan sebagai "key person" atau orang kunci ketika itu dan memang pada awal kemerdekaan kita, suasana begitu Demokratis terbukti pemilu Indonesia yang pertama tahun 1955 diakui dunia. Internasional sebagai pemilu yang demokratis dipandang dari sudut Demokrasi Universal.Selama 32 tahun Soeharto memerintah dengan tangan besinya, yang akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan hingga pada puncaknya di tahun 1998 Soeharto terguling dan diganti oleh Habibie yang pada pemerintahannya melahirkan Pemilu 7 Juni 1999 dengan cukup demokratis selama Indonesia merdeka. Pemilu 7 juni 1999 mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden yang penuh dengan ide-ide kontroversional. Seandainya pada pemilihan Presiden yang lalu melahirkan Amien Rais sebagai Presiden, mungkin saja pemenintahan kita waktu itu akan bercorak Aristokrachi walaupun latar belakang Amien Rais sebagai akademis atau cendekiawan bukan jaminan terhadap corak pemerintahannya, namun tidak terbukti ramalan sebagian orang bahwa dengan predikat Kyai yang disandang Gus Dur akan berpengaruh dengan sistem pemerintahannya akan condong kearah Teokrachi (dominan pengaruh keagamaanya), bahkan ternyata pemerintahan saat itu agak membingungkan kita dengan dihapusnya Departemen Sosial, Departemen Penerangan dan Ditsospol. Bisa saja Gus Dur membuat perencanaan akan menumbuhkan sebuah masyarakat sipil yang kuat (baca: Masyarakat Madani) yang terbebas dari pengaruh atau intervensi Negara (State) atau bisa saja kalau kita simak teori Polybius gejala Gus Dur dengan statmennya waktu berkuasa yang terkadang kontra produktif dengan statment yang dilontarkan sebelumnya, adalah gejala atau tanda-tanda kebangkitan tirani baru atau mungkin agar lebih sopan kita sebut Neo Tirani.Menyiasati Tumbuhnya DemokrasiSudah tidak dapat dibantah lagi bahwa prasyarat utama tumbuhnya demokrasi adalah terbentuk atau terciptanya masyarakat sipil (Civil Society) wataupun sebenamya gagasan untuk membentuk masyarakat sipil dimulai oleh Aristoteles meskipun Cicerolah yang mulai menggunakan istilah Society Civilis dalam filsafat politiknya. Pada awalnya pengertian Sivil Society dan Negara dianggap sama dimana dipakai istilah-istilah seperti Kainonio Politiche, Societe Civil, Burgerliche geselschaft, Civil Society dengan Polis, Civitas, Etai, Staai, Stato, dan State.Muhammad Hikam mendepinisikan masyarakat sipil itu sebagai benikut : "Masyarakat sipil adalah merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri antara lain Kesukarelaan (Voluntary), Keswasembadaan (Self -Generating), dan ke—Swadayaan (Self- Supporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma hukum yang diikuti dengan warganya", Disamping masyarakat sipil sering dipadankan dengan masyarakat madani. Padanan kata lainya yang sering digunakan iaiah masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya bahkan jika diliperhatikan asalnya istilah Civil Society dikaitkan dengan anti militerisme. Di Barat, memang eksistensi masyarakat sipil biasanya dihadapkan dengan kelompok militer, disebabkan keduanya dianggap sebagai dua arena atau Domain politik yang terpisah secara diametris. itupun secara politik disana berlaku apa yang disebut Supremasi Masyarakat sipil atas militer (Cipilian Supremacy Over The military).Ketika Masyarakat sipil sudah terbentuk yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah hanya dengan adanya ruang publik yang bebaslah, individu-individu dalam posisi setara, dapat melakukan transaksi-transaksi wacana (Discursive Transaction) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran dimana secara teoritis, ruang publik dapat diartikan sebagai ruang dimana Anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka berhak melakukan secara merdeka didalamnya termasuk mengembangkan wacana piblik seperti mengembangkan wacana publik seperti menyampaikan pendapat secara lisan atau tertulis (Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani Hal 123). Dengan adanya ruang publik yang bebas tersebut, masyarakat sipil dapat mengekspresikan aspirasi politiknya, dari cara yang Non Institusional (Jalanan) hingga cara Institusional, misalnya media massa, tempat-.tempat pertemuan, parlemen dan sekolah-sekolah juga perwujudan atau pengejawantahan dari kelompok masyarakat sipil sendiri, dimana memungkinkan berlangsungnya transaksi-transaksi wacana (Discursive Transaction) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi untuk mencapai itu semua maka masyarakat sipil mesti berhadapan dengan negara, maka sejatinya masyarakat madani dan ruang publik yang bebas itulah yang merupakan tujuan pokok gerakan-gerakan Pro Demokrasi. Pertanyaan yang muncul lagi adalah bagai mana jika dalam perjalanan memperjuangkan ruang publik itu berhadapan dengan Negara yang Otoriter maka dapat dipastikan masyarakat madani akan menghadapi problematika berupa hambatan untuk berkembang. HaI ini disebabkan oleh tindakan Represif Negara dalam membatasi kebebasan mereka untuk mengekspresikan kepentingan politiknya.Jika masyarakat sipil di refresi oleh Negara yang Otoriter. Maka salah satu solusi yang layak diterima adalah, mereka harus melakukan gerakan sosial : meskipun disisi lain karena kuatnya otoritas Negara pula, dapat mendorong bagi masyarakat madani untuk tumbuh dan mengejawantahkan diri melalui gerakan-gerakan perlawanan sosial politik dengan menuntut demokrasi (Ahmmad Doli Kurnia, membongkar mitos kebesaran HMI, 1999).Stimulus Menuju DemokrasiAdalah penting dilakukan oleh kaum cendikiawan ataupun aktivis politik prodemokrasi untuk menciptakan suatu pra kondisi dalam rangka menyelesaikan fase-fase menuju demokrasi dan jika gerakan Demokrasi itu disamakan dengan gerakan besar menuju perubahan, sedikitnya ada tiga hal yang harus ada, yaitu pertama organisasi yang besar dan kuat. Di organisasi inilah tempat atau wadah dimana berkumpul orang-orang dengan sadar bersatu atas dasar berbagai macam persamaan, seperti persamaan ideologi dan cita-cita biasanya paling lazim organisasi ini dimanifestasikan dalam bentuk Partai politik. Walaupun dalam kenyataannya sebagian orang memahami partai politik dari sudut pandang parsial, malahan kita sering mendengar istilah-istilah seperti partai kader dan partai massa, kedua-duanya memiliki karakteristik yang sangat bertolak belakang adalah suatu yang absurd (tidak berarti/tidak bermakna) jika partai politik itu hanya mengandalkan massa fanatik yang tidak dibekali dengan pendidikan ideologi, bahkan sejatinya massa partai harus diberi pemahaman tentang ideologi-ideologi. Apakah itu ideology liberal, sosialis, komunis dan lain-lain. hal itu berguna sebagai pembanding sekaligus penguat keyakinan akan kebenaran ideologi yang dianut oleh partai potitik itu. Bahkan yang lebih buruk lagi partai massa hanya mengandalkan pengaruh ketokohan pemimpinnya dan cenderung terjadi "kultus buta". Sebaliknya partai kader tidak akan melakukan perubahan yang besar dan nyata tanpa adanya massa / anggota yang solid, terpimpin dan banyak, karena ide-ide atau gagasan partai dapat diwujudkan oleh anggota-anggota partai dan itu dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Kedua adalah massa yang besar, massa ini erat hubungannya dengan parati politik karena aspirasi massa akan ditampung oleh parati dan selanjutnya akan dilakukan proses-proses membuat formula untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat selanjutnya formula itu akan dibawa kedalam kehidupan nyata di lapangan. Ketiga adalah pemimpin yang cakap, lahirnya pemimpin biasanya disebabkan melalui beberapa hal, ada yang menjadi pemimpin karena keturunan misalnya Raja atau Sultan, ada karenà kharismanya dan kemampuannya dalam menyelesaikan persoalan, tapi dapat dibuat kesimpulan apapun sebab seseorang menjadi pemimpin yang menjadi kuncinya adalah kepercayaan, tanpa kepercayaan orang tidak akan diangkat menjadi pemimpin, tanpa kepercayaan, kepemimpinan seseorang tidak akan bertahan lama, terbukti berapa banyak pemimpin-pemimpin besar yang terguling karena hilangnya kepercayaan rakyat misalnya Soekarno, Ferdinand Marcos, Soeharto, Habibie dan lain-lain.Pilihan Bijak Menuju DemokrasiMelalui tulisan ini penulis ingin mengajak kita semua untuk melakukan kontemplasi panjang, melakukan perenungan menuju demokrasi yang kita inginkan bersama. Mengapa penulis menggunakan terminologi atau istilah "pilihan bijak" bukan berarti penulis memproklamirkan diri sebagai bagian dari kelompok "konservatif tua", karena walau sebenarnya banyak pilihan teori yang berdasarkan diberbagai literatur studi gerakan politik (political movemen) berurusan dengan spirit teologi pembebasan mulai dari yang paling radikal / revolusioner sampai ke teori paling konservatif melalui pemberdayaan institusi-institusi resmi kenegaraan seperti institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sering kita istilahkan melalui cara yang konstitusional.Kita perhatikan teori konstitusi, dikatakan oleh seorang ahli hukum Prof. Hans Kelsen "Jika suatu kerajaan diubah bentuknya (transform) jadi suatu Republik oleh suatu Revolusi Rakyat, atau suatu Republik menajdi suatu Kerajaan oleh Coup D’etat seorang presiden dan jika pemerintahan yang baru itu sanggup mempertahankan konstitusi baru itu dalam suatu cara yang efektif, maka menurut hukum Internasional Pemerintah ini adalah pemenintah yang sah dan konstitusi ini adalah konstitusi yang berlaku bagi negara itu". Inilah sebabnya mengapa dinyatakan dalam hubungan lain, bahwa menurut hukum internasional revolusi yang berhasil dan Coup D’etat yang sukses adalah kenyataan-kenyataan yang menciptakan hukum. Dilihat dari teori konstitusi diatas maka tindakan.-tindakan sepihak berbentuk perebutan kekuasaan dilindungi oleh hukum internasional dan kalau kita mau jujur sebenarnya perilaku kudeta atau mengambil alih kekuasaan secara paksa adalah murni budaya kita yang sesungguhnya. Tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara yang dalam pergantian raja-rajanya didahului dengan perebutan kekuasaan, ambil contoh sejarah kudeta Ken Arok terhadap Tunggul Ametung yang akhirnya berlanjut sampai ke anaknya Tohjaya dan Anusapati. Menilik dari sejarah diatas dapat saja disimpulkan bahwa penilaku kudeta adalah "perilaku purba" yang tetap dilestarikan sampai sekarang walaupun tidak sesuai dengan perkembangan teori pemerintahan modern (modern government teory). Penulis masih ragu-ragu jika pilihan untuk melakukan perubahan dilakukan dengan cara kudeta adalah pilihan merupakan paling tepat sebab jika kita jatuhkan pilihan kudeta, kita harus menghitung ulang dengan cermat cost yang akan dikeluankan dari gerakan perebutan kekuasaan itu berapa korban materi, berapa jiwa manusia yang hilang, berapa waktu yang kita butuhkan. untuk mengembalikan kondisi agar normal kembali, dan yang lebih penting lagi berapa prosentase kemenangan di pihak kita. Hitung-hitungan diataslah yang menimbulkan keragu-raguan itu. Tinggal sekarang pilihan kita satu-satunya adalah melakukan perubahan dengan cara damai yaitu melalui pemilihan umum atau meminjam istilah orde baru disebut "pesta demokrasi". Tinggal sekarang apa yang harus kita persiapkan dalam rangka menyambut pemilu itu, tentunya bukan jamannya lagi melakukan pembodohan terhadap rakyat seperti yang terjadi selama 32 tahun rejim Soeharto berkuasa. Rakyat tidak butuh janji-janji kosong para politisi ditambah lagi dengan memperalat pihak militer untuk menakut-nakuti rakyat, yang penting untuk kita lakukan saat ini adalah melakukan proses "pemintaran" kepada rakyat, seperti yang dilakukan oleh kalangan LSM menjelang pemilu 7 Juni 1999 yang lalu dengan melakukan Voter Education (pendidikan pemilih) atau pasca pemilu LSM melakukan Civic Education (pendidikan kewarganegaraan) walaupun sebenarnya tugas-tugas pendidikan seperti itu adalah tanggung jawab partai politik. Tetapi kelihatannya para politisi saat ini "mabuk kemenangan" sehingga lupa fungsi yang sesungguhnya, mungkin mereka tidak tahu seorang senator di Amerika Serikat menyediakan saluran telepon khusus on line 24 jam bagi konstituennya untuk mengadukan permasalahannya. Apalagi nanti seandainya diberlakukan sistem distrik dalam pemilu mendatang jika para politisi sekarang tidak dapat mengubah paradigma berfikir dan perilakunya mereka harus bersiap-siap untuk meninggalkan kursi mereka di Legislatif saat ini.Peran Mahasiswa Dalam Menegakkan DemokrasiMengapa kemudian diakhir tulisan ini penulis "sempatkan" untuk mengupas sedikit tentang kontribusi mahasiswa, dalam hal ini penulis mengelompokkan mahasiswa dalam kelompok pemuda. Ada beberapa alasan mengapa kemudian mahasiswa / pemuda kita yakin dapat melakukan perubahan ke arah demokrasi, yaitu pertama alasannya adalah mahasiswa atau pemuda memiliki keberanian yang luar biasa, kedua mereka memiliki idealisme yang tinggi dan ketiga mereka memiliki semangat yang menyala-nyala. Ketiga alasan diatas adalah modal besar yang tak ternilai harganya, karena memang hanya mahasiswa atau pemuda yang memilikinya. Kita tahu sejak dulu, di kampus sebelum diberlakukannya NKK / BKK para petani yang dirugikan akibat tanahnya digusur tanpa ganti rugi yang adil lebih memilih untuk mengadu kepada Dewan Mahasiswa (Dema) perguruan tinggi daripada mengadu kepada para "wakil rakyat" yang ada di lembaga legislatif, dan sekarang ketika era kebebasan dibuka mengapa sebagian besar mahasiswa menjauhi isu-isu populis tentang rakyat, misalnya tentang kemiskinan, lingkungan hidup, HAM, demokrasi, dan sebagainya. Tidakkah terpikir dibenak mereka yang kuliah di perguruan tinggi negeri berapa subsidi diberikan negara, yang didapat dari pajak rakyat kepada dirinya untuk biaya pendidikan setiap tahunnya? Sudah merasa gagahkah mereka membayar uang SPP yang besarnya lebih kurang Rp. 700.000,- per semester. Padahal kalau dihitung uang itu hanya cukup untuk membeli spidol white board, masih untung nanti kalau jadi pembesar mereka tidak menindas rakyat. Semoga!OLEH : AGUSTAM RACHMAN, SH
firnandes
tag:blogger.com,1999:blog-2698917175982165768.post-62189867530321501152007-12-23T18:51:00.000-08:002007-12-23T19:00:25.257-08:00
Catatan Dari Perjalanan Ke ''Batavia Kecil''
"Perjalanan menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai). Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa kemerdekaan ini"....Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam. Setiba dipangkal desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh Dr. AK Gani Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan. Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer. Setelah itu, kita kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun. Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Meningat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel. Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi. Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk diketahui sejak jaman penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan). Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek (+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa. Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3, 5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat. Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia. Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980an didesa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini hampir saja ada lokalisasi, karena PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup dilokasi tambang tanpa boleh membawa istri). Selain itu, hampir setiap ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan RI Camat memilih mengunjungi desa ini untuk merayakannya dengan berbagai aneka kegiatan dan berziarah ke makam pahlawan bersama warga desa. Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin. Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang. Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana (Mantan Presiden Soeharto). Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Muko-muko. Hanya sedikit warga yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi diantara yang menolak itu adalah Mahyudin (54) konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi keluar desa. Namun hal itu ada hikmahnya misalnya bagi Mahyudin , dengan situasi sulit itu kemudian dia mendapat keahlian baru yaitu beralih profesi menjadi pandai besi dengan membuat alat-alat dapur dan pertanian, seperti pisau dan cangkul, kemudian dijual kepada para pekerja PT Lusang Mining. Untunglah situasi itu tidak berlangsung lama karena pada tahun 1994 PT Lusang Mining bangkrut. Banyak pekerja yang tidak dibayar gajinya hingga saat ini, aset rumah dan gedung sebanyak 45 unit dan alat-alat tambang ditinggalkan begitu saja oleh pihak PT Lusang Mining. Penduduk yang tadinya ditransmigrasikan, kembali ke Lebong Tandai. Beberapa pekerja khususnya yang memiliki sertifikat juru ledak dinamit dan pengeboran banyak yang pindah bekerja di PT Freeport Papua. Sekarang ini masyarakat belum berani membuat bangunan permanen, kebanyakan masih memanfaatkan sisa-sisa bangunan bekas Belanda atau PT Lusang Mining. Mereka trauma dengan kejadian pengusiran yang pernah mereka alami. Salah satu yang mereka sesalkan adalah tidak adanya pembelaan dari pemerintah waktu itu pada saat mereka diusir padahal usaha ‘proyek’ (sebutan untuk lokasi penambangan emas) milik warga dilengkapi dengan ijin usaha (HO) dari pemerintah dan tidak lupa membayar pajak. Padahal bukti pembayaran pajak dan surat Ijin usaha itu menunjukkan kekuatan hukum warga atas usaha yang dikelolanya. Karena kita tiba didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada didesa ini. Namun jangan lupa membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah yang bisa kita kunjungi antara lain : Tambang Emas TradisionalPerusahaan yang pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada 3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh. Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan. Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini. Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003) Dilokasi Tambang Lebong Tandai ini perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau membuat 16 level terowongan yang jarak satu level dengan level yang lainnya rata-rata 50 meter kebawah tanah. Pada waktu itu dibuat tangga lip untuk pekerja masuk ke terowongan itu. Sampai sekarang tiang-tiang lip itu masih dapat kita jumpai. Setelah masuknya PT Lusang Mining terowongan-terowongan ini kembali dikelola. Namun itupun hanya sampai level 11 karena level 12-16 sudah penuh dengan air dan tertimbun tanah. Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya. Saat ini, setiap saat para penambang dapat mengetahui pasaran harga emas dunia, dengan memonitor berita keluar negeri, misalnya BBC London. Dengan rumus tertentu mereka dapat mengetahui harga emas dunia dengan standar dolar. Bahkan ada juga yang memiliki pesawat telepon satelit. Penggunaan alat elektronik seperti TV, kulkas atau radio komunikasi ditunjang oleh tersedianya aliran listrik dari tenaga air terus menyala siang-malam tak pernah mati. Eks Rumah Sakit BelandaLokasi rumah sakit ini terletak dibukit barisan sebelah barat desa Lebong Tandai. Rumah sakit ini menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit. Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap. Paling lama 6 bulan pekerja ini sudah terserang penyakit. Kalaupun ada rumah sakit itupun tidak banyak membantu. Menurut cerita warga bagi pekerja bagian pengeboran yang sakit maka diberi 2 pilihan apakah akan dikirim pulang kekampung halamannya (kebanyakan pekerja dari pulau Jawa tepatnya Banten) atau tetap dirawat dirumah sakit itu sambil menunggu ajal tiba. Tak heran dibagian belakang rumah sakit terdapat lokasi kuburan yang sebagian besar adalah ‘korban’ perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau. Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu. Kamar BolaTempat ini khusus disiapkan oleh Belanda sebagai sarana hiburan bagi para pekerja tambang. Letaknya dikaki bukit barisan dibawah eks rumah sakit jaman Belanda. Kita dapat membayangkan waktu tahun 1900an ditempat ini sudah ada permainan yang yang sebenarnya permainan itu lazim dimainkan oleh kelas menengah Eropa waktu itu. Saat ini yang tersisa hanya gedungnya saja meja, stik dan bola billyard sudah tidak ada lagi. Tapi walaupun demikian bagi yang ingin mencoba bermain billyard dilokasi ini sambil membayangkan kehidupan waktu itu, kita masih bisa bermain billyard karena beberapa warga membangun sarana billyard sendiri. Rumah SimauBangunan kayu ini mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, tapi dibuat seperti bedeng-bedeng terdiri dari 13 pintu, tingginya sekitar 12 meter dari tanah, panjangnya sekitar 70 meter. Ruangan bagian atas dan bawah bisa ditempati sebagai tempat tinggal. Dinamakan Rumah Simau atau Pondok Baru karena bangunan yang didirikan sekitar tahun 1940 ini merupakan bangunan terakhir yang didirikan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, sebelum tambang ini dikuasai oleh Penjajah Jepang Tahun 1942-1945. Awalnya bangunan ini diperuntukkan bagi para pekerja perusahaan Belanda itu. Hingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara. Pemakaman Belanda Pemakaman ini berada disebelah selatan Desa Lebong Tandai yaitu sekitar 1 jam berjalan kaki, banyak orang asing khususnya Belanda yang bekerja di Perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau dikuburkan disini. Sebagian diantara orang asing itu meninggal karena dibunuh oleh pekerja kontrak yang tidak tahan dengan penderitaan. Menurut cerita disana dimakamkan juga tuan Smith yang dibunuh oleh seorang inang (perempuan) dengan cara ditusuk dengan paku yang telah dipipihkan sebagai senjata ke bagian leher tuan Smith. Ada juga orang Belanda yang meninggal karena kepalanya di bor oleh pekerja tambang. Pemakaman China Lokasinya berada sekitar 3 km dari arah Lebong Tandai menuju Desa Napal Putih. Berada disebuah bukit kecil disebelah kanan rel kereta Molek. Sampai sekarang setiap hari raya Tionghoa maupun acara keagamaan Konghucu, ahli waris masih melakukan upacara atau ritual keagamaan dilokasi ini. Beberapa diantara warga desa Lebong Tandai dan Napal Putih adalah keturunan Tionghoa. Makam Pahlawan Terletak dibelakang eks rumah sakit jaman Belanda. Mereka yang dimakamkan disini adalah para pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat dan sebagian memang tentara. Mereka gugur karena ledakan bom, saat Belanda bermaksud menguasai kembali lokasi tambang ini tahun 1947-1949. Rakyat yang tergabung dalam laskar-laskar itu diberi pangkat setelah gugur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan. Desa Lebong Tandai juga pernah dijadikan basis gerilya pada waktu perang mempertahankan kemerdekaan. Gedung Bulu Tangkis BelandaBentuk bangunan masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda. Air Panas AlamiLokasinya terletak dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit. Tidak jauh dari air panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air terjun Kelumbuk. Alat Tambang KunoAlat tambang peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak, diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini. Sungai Lusang Nama PT Lusang Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai, airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini. Kelebihan ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri dari tulang rawan. Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai. Hutan TNKSHutan ini masih relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat). Pernah terjadi penebangan kayu oleh pembalak liar dikawasan TNKS, melihat kejadian itu warga langsung berinisiatif untuk menelepon petugas dibalai TNKS di Sungai Penuh Jambi guna melaporkannya. Jika dihitung biaya telepon satelit yang digunakan warga cukup mahal, tapi demi kelestarian hutan masyarakat dengan ikhlas melakukannya. Didalam hutan TNKS ini juga masih banyak beraneka jenis, hewan, kayu atau tumbuhan langka lainnya. Sungguh tepat jika ada yang bermaksud mengadakan penelitian. Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini. Kerajinan Perak Kerajinan perak ini masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil. Bermacam-macam perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat dibeli atau dipesan disini. Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni. Pemasaran perhiasan ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang berkunjung kesini.Sumber : Agustam Rachman (Ketua PASKA Sumsel, Mantan Ketua PKBH Bengkulu)
firnandes
http://www.blogger.com/feeds/2698917175982165768/posts/default
You are here : Home > History > REVOLUSI
REVOLUSI
Labels: History
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment